Cerita
diambil dari novel LAUT BIRU karya stuka1788 di forum Kaskus, ss by
kaskus-addict
Chapter V:
The Obituary
Istana Merdeka
Jakarta
03.42 WIB
03.42 WIB
Presiden Hariman Chaidir buru-buru menuju ke
ruangan rapat darurat, masih mengenakan kimono tidurnya. Beliau betul-betul
kaget karena tiba-tiba Kepala Staf TNI, Laksamana Dedy Suprayitno
membangunkannya di pagi-pagi buta begini. Terlepas bahwa Beliau masih jengkel,
berita apapun yang masuk sehingga membuatnya harus bangun dini hari ini
pastilah berita amat penting yang tidak bisa menunggu hingga matahari terbit.
Hatinya mulai was-was, karena beberapa malam ini Beliau memang tidak dapat
tidur sehubungan dengan pelayaran perdana KRI Antasena. Jangan-jangan ini juga
ada kaitannya dengan itu!
Tiba
di ruang rapat, sudah ada Kepala Staf TNI Laks. Dedy Suprayitno, Kepala Staf AL Laks.
Danoe Salampessy, Kapuspen AL Laksdya. Sapar Sihombing, dan Menteri Pertahanan
Marius Tinangon. Kalau melihat dari komposisinya, masih kurang satu orang,
yaitu Dr. Najwa Shihab, Penasihat Keamanan Kepresidenan. Presiden Chaidir
melihat bahwa wajah semua orang tampak lesu dan tidak bersemangat, pastinya ini
sebuah kabar buruk, kalau bukan kabar yang amat sangat buruk.
“Tuan
Presiden,” kata Laks. Suprayitno, “Nn. Najwa sedang dalam perjalanan kemari,
Beliau masih harus mengecek beberapa data,”
“Ada apa ini?” tanya Pres. Chaidir.
Semua
orang tampak takut untuk menjawab, dan semuanya hanya mendesah dengan murung.
“Kami…”
kata Laks. Salampessy, “mendapatkan sinyal darurat dari KRI Antasena, beberapa
waktu lalu… tampaknya, kapal selam kita… sedang diserang,”
Presiden
pun tampak terdiam sejenak dengan pandangan mata tak percaya. “Astaga…
bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Pres. Chaidir.
“Kami… belum tahu lagi,” kata Laks. Salampessy, “kami belum dapat kontak lagi dari kapal selam itu… ada kemungkinan kapal selam itu sudah…”
“Hancur?” tanya Presiden.
“Kami belum memastikan itu, Tuan Presiden,” kata Laksdya. Sihombing, “kami sudah mengirim pesawat intai Be-200 ke posisi terakhir, dan Nn. Najwa sedang memeriksa data-datanya,”
“Bagaimana laporan pengamatan awal?” tanya Pres. Chaidir.
“Tidak ada apa-apa; tapi kami masih belum tahu,” kata Laks. Salampessy, “tidak ada kapal selam ataupun kapal lainnya dalam radius hingga beberapa puluh kilometer,”
“Tapi pertempuran laut tidak meninggalkan bekas,” kata Pres. Chaidir, “aku tidak bisa tidur beberapa malam ini karena kapal selam kita sedang berlayar di perairan luar; apa kalian kira aku mengharapkan dibangunkan malam-malam hanya demi sebuah ketidakpastian!!?”
Semua
tertunduk lesu. Jelas Presiden Chaidir adalah orang yang paling stress dengan
ini, karena KRI Antasena dibangun atas instruksi langsung dari Beliau.
Pada
saat itulah dari luar terdengar suara helikopter yang tengah mendarat di
helipad Istana Merdeka. Rasanya tak perlu menebak siapa yang datang, karena
beberapa menit kemudian, masuklah seorang wanita cantik berusia 36 tahun berambut panjang dan memakai
kacamata minus. Dia adalah Dr. Najwa Shihab, Penasihat Keamanan Kepresidenan,
wanita yang digadang-gadang sebagai “Condoleezza Rice-nya Indonesia”.
Meskipun
masih muda, kariernya tidak main-main. Ia adalah lulusan dari Lemhanas juga,
sama seperti Presiden Chaidir, tetapi Najwa Shihab mengambil bidang kedaulatan teritorial. Juga merupakan anggota termuda dari Tim Penasihat Kepresidenan yang turut
andil dalam merumuskan kebijakan pertahanan strategis Republik Indonesia.
Dialah
aktris utama di balik keputusan Presiden Chaidir untuk meningkatkan dan
memodernisasi postur Angkatan Bersenjata, juga yang mendorong dipenuhinya
kebutuhan alutsista lewat industri lokal. Konon, di masa depan, ia sudah
didaulat untuk menjadi entah sebagai Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan,
atau Wakil Presiden; dan sebuah partai bahkan tertarik mengangkatnya menjadi
calon presiden ketika masa jabatan Presiden Chaidir rampung.
“Selamat
pagi, Tuan Presiden,” sapa Najwa Shihab, “maaf, saya tidak berpakaian dengan
lebih layak,”
Memang
saat itu Najwa mengenakan sebuah tank top lingerie yang dibungkus dengan jaket
seadanya, juga celana jeans yang tampaknya buru-buru sekali dipakai.
“Tidak
apa-apa, Nn. Najwa, saya sudah memberi anda dispensasi untuk tidak mempedulikan
masalah baju kalau Anda mau menghadap saya dengan masalah penting malam-malam
begini,” kata Pres. Chaidir, “sekarang jelaskan temuan Anda,”
“Ya, saya sudah menganalisa hasil pengamatan dari piranti pengintaian kita,” kata Najwa, “saya belum bisa memutuskan apa yang sebenarnya terjadi; tapi ada satu hal yang menarik perhatian saya,”
“Jelaskan,” kata Pres. Chaidir.
“Hasil pemindaian inframerah satelit beberapa jam yang lalu menunjukkan ada sebuah lonjakan panas di titik dekat dengan kontak terakhir,” kata Najwa, “cakupan radiusnya cukup luas, karena mencapai 1 kilometer; yang mana ini hanya berarti satu hal,”
“Apa itu?” tanya Pres. Chaidir.
“Ledakan nuklir,” kata Najwa, “tepatnya di bawah laut, hanya beberapa puluh kilometer sebelum batas terluar ZEE kita,”
“Jadi maksud Anda…” kata Pres. Chaidir.
“Ya, ada yang menembakkan nuklir ke wilayah Indonesia, bom nuklir taktis sepertinya,” kata Najwa, “namun belum bisa saya pastikan; saat ini juga saya akan ikut dengan sortie pesawat Be-200 berikutnya; saya sudah suruh mereka memasang detektor Geiger-Müller,”
Pres.
Chaidir termenung. Pertama nasib kapal selam tak diketahui, lalu sekarang ini?
Nuklir? Apa kejadian ini berhubungan?
“Apa
mungkin ada hubungan antara ledakan nuklir itu dengan hilangnya KRI Antasena?”
tanya Pres. Chaidir.
“Itu juga yang sedang coba saya cari tahu,” kata Najwa, “tapi satu hal yang pasti, titik ledakan itu dekat sekali dengan titik kontak terakhir KRI Antasena,”
***
Kamar
Aviani
Apartemen
NewsTV
04.11
WIB
Aviani
terbangun dari tidurnya, dan merasakan dekapan tangan hangat Gilang masih
menempel di atas payudaranya yang membusung indah. Agak
lemah ia, karena tadi malam dia bercumbu begitu hebat dengan Gilang. Kesempatan
Aviani sendirian
di kamar memang sering dimanfaatkan oleh mereka berdua.
Tanpa
sebelumya memakai baju dulu, Aviani pun perlahan-lahan bangkit dan menuju ke
depan komputernya yang memang tidak begitu jauh letaknya dari tempat tidur. AC
di kamar ini terasa dingin karena Aviani sendiri hanya mengenakan celana dalam
saja, dan tanpa kain lainnya; pun Aviani tidak begitu peduli. Ia berusaha
melakukannya setenang mungkin karena memang ia tidak ingin Gilang sampai
terbangun dan mempergokinya. Bahkan lampu pun tidak ia nyalakan.
Komputer
segera saja ia nyalakan dan ia pun memasukkan beberapa data yang ia lihat dari
penyelidikannya kemarin. Agak lama juga sebelum
akhirnya hasil pencarian yang ia cari keluar juga. Saat itu juga, indikator
pesan di komputer pun berbunyi, cukup pelan sehingga hanya Aviani saja yang
mendengar, karena memang ia tak ingin Gilang bangun. Ada email yang masuk.
“Bingo!”
kata Aviani setengah berbisik setelah membacanya. Lalu dengan cepat dan tenang,
ia pun menuju ke lemari pakaiannya.
***
05.33
WIB
Gilang
kali ini giliran terbangun dan sadar bahwa kekasihnya tidak ada di sisinya. Ia
melihat keadaan sekitar, semua kosong, tapi ada tanda-tanda bahwa komputer
pernah dinyalakan kembali. Dengan gontai, Gilang hanya membebat bagian bawah
tubuhnya dengan selimut, lalu berjalan menuju ke arah komputer. Ada sebuah pesan yang ditempelkan di layar monitornya, bunyinya seperti
ini:
“SORRY, GIL-BABY! CAN’T DO IT WITH YOU TODAY;
LATER MAYBE ^_^ LUV: A-V”
Gilang
membaca pesan itu hanya tersenyum saja. Kemana yah, Aviani pergi
kali ini? Aviani memang sering sekali pergi seperti
ini, dan setiap kali Gilang harus memakluminya. Hanya saja kali ini Gilang
sedikit merasa tidak enak dengan kepergian Aviani.
Gilang
pun segera memeriksa lemari pakaian Aviani. Ada dua potong baju yang nampaknya
hilang, juga satu set pakaian dalam. Tas ransel keberuntungan yang selalu
dibawa Aviani juga tidak ada di tempatnya. Namun
laptop serta beberapa peralatan lainnya masih ada di sini, hanya kamera saku
digital dan tape recorder saja yang tidak ada. Apa Aviani sedang melakukan
liputan secara “backpacker” lagi?
Berulang
kali Gilang, bahkan Alex, mengingatkan Aviani agar mengurangi kebiasaannya
untuk meliput secara “backpacker”, tapi Aviani yang memang semenjak masih
sebagai reporter junior adalah dikenal spontan dan dinamis, jarang menurutinya.
Blackberry Aviani juga tidak ada, sepertinya dibawa pula. Gilang mencoba
meneleponnya, tapi HP Aviani mati.
“Kemana
sih, anak itu?” gumam Gilang gusar.
***
Samudera
Indonesia
06.03
WIB
Pesawat
intai amfibi Beriev Be-200 melaju dengan kencang di atas Samudera Indonesia
sambil mengamati keadaan sekitar. Pesawat ini adalah pesawat intai terbaru
milik TNI-AL, dahulu sebelum ini, digunakan CN-235 ataupun Twin-Otter atau
pesawat Nomad. Seiring dengan meningkatnya kerjasama antara Indonesia dengan
Russia, maka Indonesia pun bisa membeli beberapa buah pesawat Be-200, yang mana
jenis ini pernah disewa untuk memadamkan kebakaran hutan dahulu. Tercatat
Indonesia menerima dua varian, yaitu varian sipil dan varian militer; yang
sipil segera dibagikan ke Dinas Kehutanan sebagai pesawat pemadam kebakaran
hutan, sedangkan versi militer dari pesawat ini digunakan oleh TNI-AL sebagai
pesawat intai amfibi. Apalagi sebagai pesawat amfibi, maka Be-200 bisa lepas
landas dan mendarat di atas air, sehingga tidak memerlukan landasan pesawat.
Najwa
Shihab ikut pula dalam penerbangan kali itu. Sejak dibangunkan dini hari tadi, Najwa
belum sempat istirahat kembali, ataupun mandi menyegarkan diri. Ia masih memakai pakaian yang ia pakai menghadap Presiden tadi dini hari,
kecuali bahwa ia menggunakan jaket penerbang untuk mengusir dingin. Kemungkinan
ada bom nuklir yang meledak di wilayah Indonesia memang betul-betul
mengusiknya. Kalau betul, lalu siapa yang meledakkannya?
Dugaan
sementara adalah ini ulah salah satu negara besar, karena hanya mereka yang
punya akses ke senjata nuklir. Di kawasan ini, selain
Australia, juga ada India, Pakistan, dan Amerika Serikat, karena Amerika
Serikat pun menempatkan Armada Kelima di sini. Atau bisa juga kemungkinan bahan
nuklir itu dibawa oleh jaringan teroris internasional untuk mengacau, entah di
Indonesia atau Australia. Najwa tahu kalau Al-Qaeda bisa saja mendapatkan
senjata nuklir, dan mungkin pula salah satu bahan nuklir itu dibagi kepada
sayapnya di Asia Tenggara, Jamaah Islamiyah, kelompok teroris yang sekarang
tengah diperangi bersama oleh negara-negara ASEAN.
“Apa
anda yakin kalau ini ledakan nuklir, Nn. Najwa?” tanya Sersan Ernest, operator
sensor di pesawat.
“Kemungkinan besar ke sana, Sersan,” kata Najwa.
“Tapi bukankah ada perjanjian untuk pembatasan nuklir?” tanya Srs. Ernest lagi, “lagipula kenapa koq tidak ada ledakan besar; maksudku, ledakan nuklir pasti semua orang tahu,”
“Yang dibatasi itu penggunaan nuklir sebagai senjata strategis, Sersan; dalam tataran taktis, bahan nuklir sering sekali digunakan; Amerika Serikat memakai nuklir untuk peluru artileri mereka, termasuk juga meriam tank,” kata Najwa, “selain itu ledakannya di laut, susah untuk dideteksi kecuali kebetulan kamu ada di dekatnya; makanya kita harus cepat, soalnya air laut bisa mendinginkan jejaknya,”
“Tapi, kalau memang ada nuklir meledak, bukannya harusnya negara-negara lain juga tahu, dan harusnya juga ada statement, kan?” tanya Srs. Ernest.
“Itu juga yang aku mau tahu, Sersan,” kata Najwa.
Pesawat
itu lalu melaju dengan kencang ke arah lokasi yang dicurigai sebagai bekas
ledakan nuklir. Tidak terbang terlalu tinggi, hanya pada ketinggian menengah
saja. Dalam perjalanannya, pesawat pun berpapasan dengan sebuah kapal cepat
yang bertujuan sama.
“Nn.
Najwa, itu teman kita, KRI Harimau,” kata Kapt. Danias, pilot sekaligus
pimpinan misi pesawat.
“Buka saluran komunikasi, Kep!” kata Najwa.
KRI
Harimau adalah sebuah KCT (Kapal Cepat Torpedo) jenis FPB-60, buatan PT PAL
Surabaya. Kapal ini memang diperuntukkan untuk menghadapi pertempuran dengan
kapal selam, sehingga memiliki pula sensor kapal selam yang dapat diandalkan.
Pendahulu dari kapal ini, yaitu KRI Ajak, pernah diikutkan untuk mencari
reruntuk pesawat Adam Air yang jatuh di perairan Mamuju.
“KRI
Harimau, di sini Mother Goose, ganti,” kata Najwa.
“Roger, Mother Goose, kami sedang dalam perjalanan, ada satu tim penyelam juga di sini,” kata Kapten KRI Harimau.
“Jangan turunkan penyelam dulu, takutnya lautnya masih terkontaminasi,” kata Najwa, “kalau memang itu tadi ledakan nuklir,”
“Roger that, Mother Goose, kami menunggu aba-aba dari kalian,” kata Kapten KRI Harimau, “sementara pencarian kami lakukan dengan sonar pasif, tapi tak ada apa-apa di bawah, walaupun kalau boleh jujur, kayaknya tadi malam habis ada pesta di sekitar sini,”
“Tolong kirimkan data kamu langsung ke sini,” kata Najwa, “kami terbang dulu dan coba melacak keadaan sekitar apa sudah aman atau belum,”
“Copy that!” kata Kapten KRI Harimau.
Be-200
bersandi “Mother Goose” itu langsung melesat meninggalkan KRI Harimau. Secepat
apapun KRI Harimau berusaha mengejar, tampaknya bukan tandingan bagi kecepatan
pesawat. Untungnya, lokasi sasaran sudah cukup dekat. Najwa pun menerima data
bacaan dari sensor KRI Harimau dan berusaha menganalisanya. Di sisi lain,
Be-200 pun siap melakukan pemantauan, terutama tingkat radiasi.
“Detektor
Geiger menyala,” lapor Srs. Ernest, “ada lonjakan tingkat neutron; mencolok,
tapi pada tingkat yang masih aman,”
“Ledakannya terjadi di laut,” kata Najwa, “tingkat neutron di udara pasti sudah berkurang sekali; kita butuh sampel air laut,”
“Mendarat, Nn. Najwa?” tanya Kapt. Danias.
“Ya, Kep, silakan,” kata Najwa, “nggak usah lama-lama,”
“Wilco!” kata Kapt. Danias.
Pesawat
Be-200 akhirnya mengambil manuver untuk mendarat di laut, tepatnya pada posisi
yang dicurigai sebagai lokasi ground-zero ledakan nuklir itu. Seperti seekor
angsa yang mendarat dengan anggun di air, pesawat itu pun menurunkan
ketinggiannya, dan menyentuh air dengan lunasnya yang mirip seperti lunas kapal
itu. Kepraktisan inilah yang membuat Najwa dulu menyerukan agar AL memiliki
pesawat terbang amfibi; Indonesia adalah negara dengan wilayah air yang sangat
luas, sehingga pesawat terbang amfibi pun layak untuk berkembang di sini.
Tidak
terlalu lama memang, karena pendaratan ini hanya bertujuan untuk mengambil
sampel air saja. Di sisi yang lain, KRI Harimau pun akhirnya
mendekati pesawat itu. Mereka tampaknya menunggu aba-aba dari Najwa sebelum
memulai pekerjaan mereka.
“Pembacaan
radiasi cukup rendah dan masih dalam ambang aman,” kata Najwa, “oke, KRI
Harimau, silakan lanjutkan tugas kalian, tapi hati-hati,”
“Roger that,” kata Kapten KRI Harimau, “oh ya, kami mendapatkan beberapa deteksi aneh di sekitar sini; apa kalian menerjunkan sonobuoy, Mother Goose?”
“Sonobuoy?
Tidak,” kata Najwa, “tapi aku akan cek; bisa kalian bersihkan sonobuoy-nya?”
“Tidak
masalah,” kata Kapten KRI Harimau.
Sonobuoy
adalah semacam alat yang dijatuhkan di air dan mengeluarkan gelombang pencari
mirip sonar aktif, yang tujuannya untuk memetakan lokasi kapal selam musuh.
Biasanya sonobuoy ini lebih sering dijatuhkan dari pesawat atau helikopter,
mengingat posisi mereka lebih sulit untuk mengendus di dalam air. Tapi, siapa
yang menjatuhkannya? Najwa tak berani berspekulasi, segera saja ia
memerintahkan Kapten Danias untuk segera lepas landas.
Pesawat
Be-200 pun kembali mengudara, dan kali ini meninggalkan sejenak KRI Harimau
dengan pekerjaannya. Aneh sekali, kenapa ada sonobuoy di sini? Pertanyaan itu
yang mengganggu benak Najwa.
Segalanya pun seolah berjalan sesuai dengan sebuah teori konspirasi. Be-200
sendiri harus segera pulang ke pangkalan di Pelabuhan Ratu untuk mengisi bahan
bakar. Namun sebelum pulang, Najwa meminta Kapten Danias untuk berpatroli satu
putaran lagi, tapi kali ini di tapal wilayah terluar ZEE, lebih jauh ke
selatan. Entah bagaimana, tapi naluri Najwa mengatakan,
mereka akan menemukan sesuatu di sana.
“Boogey! At 11 o’clock, low,” kata Kapt. Danias.
“Ada apa?” tanya Najwa.
“Ada pesawat lain, posisi sekitar 10 kilometer sebelah kiri,” kata Kapt. Danias.
Najwa
pun melihat keluar dari jendelanya. Betul juga, dari jauh nampak ada sebuah
titik kecil membentuk bentangan sebuah pesawat. Namun karena jauh, Najwa tidak
bisa menangkap insignia dari pesawat itu.
“Sepertinya
itu kalau bukan Orion ya Aries,” kata Kapt. Danias.
“Pesawat mata-mata?” tanya Najwa.
“Begitulah,” kata Kapt. Danias.
“Aku mau ngomong ke dia,” kata Najwa.
Kapten
Danias segera saja menyambungkan koneksi radio kepada Najwa. Najwa pun langsung memakainya.
“This is Indonesian Naval Air Force,” kata Najwa,
“unknown aircraft, you’re approaching Indonesian air territory, identify
yourself!”
Tidak ada jawaban dari pilot pesawat itu, tapi
pesawat itu malah melakukan manuver dan buru-buru pergi. Kapten Danias hanya
menarik nafas saja. Jika saja bahan bakarnya masih penuh, ia pasti akan
mengejar pesawat itu, mengingat kecepatan maksimum Orion atau Aries yang hanya
405 km/jam masih di bawah Be-200 yang bisa mencapai 700 km/jam.
“Siapa
yah?” tanya Srs. Ernest.
“Itu pesawat mata-mata, dugaanku kalau bukan Amerika Serikat ya dari Australia,” kata Najwa, “kayaknya kita sedang berhadapan dengan skenario besar konspirasi deh,”
***
Rumah
Alex
Jakarta
06:14
WIB
Handphone
Alex kembali berbunyi, dan sekali lagi, nomor Australia. Pastinya itu adalah
punya Rahma Sarita. Ia sedang sibuk pagi ini, karena harus mengurus keperluan
Lani sebelum berangkat sekolah. Dengan kepergian Lucia, maka Alex harus
belingsatan sendirian menangani rumah. Untungnya ada tenaga pembantu pocokan
yang tugasnya cuma menyapu dan mengepel rumah.
“Ada
apa, Ma?” tanya Alex.
“Busyet, langsung tahu ya, kalau ini aku?” tanya Rahma.
“Siapa lagi nomor Australia yang sering ngebel aku kalau bukan kamu,” kata Alex, “masih kesepian?”
“Nggak lah yaw, kemarin dah tuntas koq, jadi tadi malam udah bisa ‘main’ lagi deh, ama bapaknya anak-anak,” jawab Rahma nyinyir.
“Waduh, nggak buang-buang waktu tuh, langsung main tubruk aja,” sindir Alex.
“Kan, kamu yang ngajarin, gimana sih?” balas Rahma, “oh ya, Lani masih kamu cekokin sereal?”
“Nggak lah, nih lagi aku masakin nasi goreng,” kata Alex, “kamu nggak nelpon cuman buat nanyain itu, kan?”
“Nggak koq,” kata Rahma, “gini nih, aku barusan liat berita pagi di stasiun TV lokal, yah… ada berita menarik nih, tapi nggak tahu deh,”
“Gimana?” tanya Alex ingin tahu.
“Katanya ada kapal AL Australia yang rusak berat gara-gara diserang ama ‘kapal tak dikenal’, ini maksudnya apa, ya?” tanya Rahma, “katanya kejadiannya dini hari tadi,”
“Waduh, apa yah? Nggak tahu aku,” kata Alex.
“Katanya lagi sih, walaupun rusak berat, tapi kapal tak dikenal itu udah berhasil ditenggelamkan,” kata Rahma, “apa Al-Qaeda, yah?”
“Nggak tahu, nggak kamu tanyain sendiri aja ama Aiman Al-Zawahiri?” canda Alex.
“Malah
bercanda,” kata Rahma, “emang beritanya bukan headline sih, tapi menarik aja,”
Alex
terdiam sejenak, termenung. Sebuah kapal AL Australia
rusak akibat diserang oleh ‘kapal tak dikenal’? Alex punya firasat buruk bahwa
jangan-jangan ini ada hubungannya dengan KRI Antasena. Bagaimanapun, pikiran
itu segera dibuang jauh-jauh oleh Alex. Tidak mungkin Australia akan dengan
sengaja menyerang sebuah kapal Indonesia, ataupun sebaliknya.
“Hooi!
Ngelamun, yah!” teriak Rahma.
“Eh ya, oh eh… ada apa, Ma?” tanya Alex gelagapan.
“Bisa-bisanya, diajakin ngomong malah ngelamun,” kata Rahma, “aku nanya, semua orang baik-baik aja nggak, di sana?”
“Oh, semua baik-baik aja,” kata Alex, “cuman ya gitu deh, agak sepi di sini, nggak ada kamu,”
“Waduh, hawanya dah pada kangen nih, ama aku?” canda Rahma.
“Begitulah,” kata Alex, “oh ya, si Fessy aku tarik ke News Today, aku perbantukan sebentar; tapi tetep aja nggak bisa ngegantiin kamu,”
“Fessy bagus koq,” kata Rahma, “iya ini, kan masih satu semester lagi baru aku bisa balik ke Indonesia,”
“Dah, nggak usah pikirin yang di sini,” kata Alex, “pikirin aja studi kamu, soalnya kamu kan dibiayai kantor, ntar biar nggak mengecewakan,”
“Oke… eh udahan dulu yah,” kata Rahma, “salam buat semuanya,”
Telepon
pun ditutup. Alex lalu mengangkat masakannya sambil
berpikir. Apa jangan-jangan kapal tak dikenal itu
adalah KRI Antasena? Ia pun takut kalau-kalau istrinya kenapa-kenapa. Alex masih
ingat bagaimana sedihnya ketika Wina meninggal dahulu. Sebuah kecelakaan KRL
yang tragis, apalagi waktu itu Wina bukanlah salah satu dari penumpang KRL, ia
hanya kebetulan saja berada di tempat dan waktu yang salah ketika KRL itu
tergelincir dan menghantam kendaraan yang dinaikinya. Untunglah jasad Wina
relatif utuh sehingga mudah dikenali. Bagaimanapun, Alex tidak ingin menerima
kabar buruk seperti itu lagi, tidak untuk Lucia.
***
Australia
08.54
“Lama banget sih?”
tanya seorang laki-laki sambil memeluk tubuh molek Rahma begitu Rahma selesai
meletakkan telepon. Itu adalah Martin, suaminya.
Meski semalam sudah diberi jatah, laki-laki itu tetap
saja masih menginginkannya. Tapi tidak salah juga sih, tubuh Rahma memang
sangat montok dan menggiurkan. Tidak akan ada yang tahan cuma
berbincang-bincang tanpa berbuat apa-apa bersama Rahma. Tak terkecuali
laki-laki yang sudah 1 tahun menikah bersamanya ini.
”Auw!” Rahma menjerit saat sang suami mulai meraba
dan menciumi sekujur tubuhnya. Bibir laki-laki itu bergerak untuk melumat habis
bibirnya, juga leher dan cuping telinganya.
Rahma bergerak gelisah dalam dekapan, namun sama
sekali tidak bisa menolak. Yang ada ia malah ikut terhanyut dengan mulai
meremas-remas penis Martin yang sudah menegang keras di balik celana. Bisa
dirasakannya ciuman laki-laki itu yang kini semakin turun ke bawah. Martin memelorotkan
tali tank-top Rahma dan mulai menciumi buah dada perempuan cantik itu dengan begitu
ganasnya sambil mendengus-dengus liar. Rahma kontan bergetar menahan geli akibat rangsangan yang begitu hebat
itu. Otot-otot badan dan kakinya jadi terasa kaku semua.
Tidak puas menciumi dada, Martin meloloskan bra yang
menutupi payudara Rahma sehingga kedua bulatannya yang empuk dan kenyal menyembul
keluar.
"Wow... aku paling suka sama payudaramu!"
desis Martin, matanya menatap tak berkedip ke tubuh sang istri, terlihat sangat
menyukai dan mengaguminya.
Rahma paling suka kalau keindahan tubuhnya dipuji. Apalagi kalau Martin mengucapkannya dengan mata
berbinar-binar seperti sekarang ini sehingga membuatnya tersanjung. Sebagai
balasan, dengan senang hati ia akan memuaskannya, apapun permintaan Martin akan
berusaha ia penuhi.
Sedetik kemudian, dilihatnya Martin membungkuk untuk
mendekatkan mulut ke arah puting payudaranya yang sebelah kanan. Dengusan nafas
laki-laki itu yang mengenai ujung putingnya sudah sanggup membuat Rahma menggelinjang
geli. Apalagi saat pelan-pelan
lidah Martin mulai menjilatinya, meski cuma sekilas, namun sanggup untuk membuat
Rahma merintih keenakan.
”Ahh...” dia memejamkan mata dan mendengus. Perasaannya melambung sampai ke awang-awang!
Ketika membuka mata, dilihatnya Martin memandangnya sambil tersenyum nakal. Rahma
segera memukulnya.
Tidak membalas, Martin kembali menjilat puting sang
istri. Kali ini yang sebelah kiri, dan sama seperti tadi, cuma sekilas saja. Namun
efeknya tetap sama, kembali Rahma menggelinjang-gelinjang. Ia merasa
detik-detik penantian apa yang akan dilakukan Martin pada putingnya membuatnya makin
penasaran. Rahma mengerang-erang lirih agar Martin meneruskan aksinya.
”Sabar, sayang...” Martin tersenyum, lalu mulai
memasukkan puting sang istri ke dalam mulutnya. Puting Rahma ia permainkan dengan gigi dan lidahnya.
”Auhh...” perbuatan itu membuat Rahma bergetar dan
menggelinjang semakin menjadi-jadi. Kepiawaian Martin dalam merangsang dan
memuaskannya memang sudah terbukti selama setahun pernikahan mereka. Rahma
tidak pernah kecewa dengan permainan laki-laki itu.
Martin yang juga sudah terangsang, segera mencopoti
seluruh bajunya. Penisnya yang mengganjal di bagian bawah perut jadi terasa
begitu lega. Ia segera membuka kedua kaki Rahma lebar-lebar dan memperbaiki posisi
agar kemaluan sang istri bisa bergesekan rapat dengan batang penisnya.
”Auw... ahh... ahh!” tiap kali penis itu menggesek
klitoris Rahma, wanita itupun mengerang dan merintih semakin hebat. Rahma merenggut
apa saja yang bisa dipegang oleh tangannya, termasuk rambut Martin. Napas keduanya
yang mendengus-dengus bersahut-sahutan dengan lagu mellow yang mengalun memenuhi
ruangan kamar.
Martin meneruskan aksinya dengan melepas pakaian
Rahma satu persatu hingga jadi sama-sama telanjang. Rahma menatapnya dengan pandangan
sayu, terlihat begitu erotis dan sangat menggairahkan.
”Hmmph!” tanpa menunggu lama, Martin langsung menyerang
dengan begitu ganas. Ia ciumi
mulut perempuan cantik itu, sebelum turun ke leher, lalu ke buah dada. Setelah
menjilat-jilat sebentar, ciuman Martin turun lagi melewati pusar dan pinggul
Rahma. Martin mengendus-endus sebentar bulu keriting yang ada disana, tanpa
berniat untuk mencaplok atau menggigit belahannya yang mulus dan indah. Rahma
yang dipancing seperti itu jadi makin terangsang berat.
"Martin… cium anuku, please…" pintanya
terbata-bata, pinggulnya ia putar-putar di depan mulut laki-laki itu.
"Hehehe..." Martin hanya tertawa
menanggapinya. ”Sudah nggak tahan ya?” tanyanya menggoda. Lalu tanpa menunggu
perintah selanjutnya, dia mulai merubah posisi agar mulutnya tepat berada di depan
liang kemaluan sang istri.
”Uhh...” desis Rahma saat merasakan hawa panas mulai
menerpa bagian dalam kemaluannya yang merekah. Itu adalah hembusan nafas Martin
yang mulai mendekat. Rahma segera memejamkan mata, berdebar-debar menunggu aksi
Martin selanjutnya.
”Cupp...” Martin mulai menciumi sisi luar kemaluan
Rahma dengan perlahan.
”Hah...” perbuatan itu membuat Rahma mengerang tertahan
dan mengerutkan kening. Meski sudah sering diperlakukan seperti itu, tapi tak
urung tetap membuatnya menggelinjang juga. Rasanya sungguh geli sekali, tapi
sangat nikmat!
Ciuman Martin bergerak ke tengah dan berhenti di
klitoris Rahma, benda bulat mungil itu diciuminya lama sekali, dijilat dan
dihisapnya perlahan-lahan seperti kalau dia menciumi puting payudara Rahma. Martin
terus mengulum dan kadang menyucupnya begitu kuat saat didengarnya Rahma mendesah
keras sekali.
Lidahnya yang basah juga ikut bermain, ia membuka bibir
kemaluan Rahma dengan dua jari, lalu memasukkan lidah lewat celah yang tercipta
diantaranya. Lidah itu dengan liar mulai memilin-milin klitoris Rahma dan kadang
masuk ke liang vagina Rahma sampai dalam sekali. Martin memang pintar sekali
memancing gairah Rahma dengan keahlian oralnya.
”Arghhhhh....” erangan panjang yang menandakan
kenikmatan yang tiada tara keluar dari bibir manis Rahma Sarita. Tubuh
sintalnya mulai menggelinjang pelan, ia sudah tak kuat lagi menahan desakan
orgasme yang muncul menghadang dihadapannya.
Tahu kalau Rahma sudah hampir sampai, Martin
mempercepat jilatannya. Saat cairan bening sudah menyembur deras dari liang
kemaluan sang istri, barulah ia mengendurkan serangannya. Martin memang hebat.
Dia bisa tahu timing yang tepat kapan harus cepat dan kapan harus pelan. Rahma jadi
curiga, jangan-jangan suaminya itu berprofesi sebagai gigolo sebelum menikah dengannya.
"Lho kok cepat? Udah terangsang dari tadi ya?" tanya Martin sambil
senyum-senyum mesum.
Muka Rahma jadi memerah karena tidak bisa menjawab
pertanyaan itu. Ia segera memukul
Martin dengan bantal sambil bertanya menggoda, "Kamu dulu gigolo ya? Kok
hebat banget?"
"Eh, gigolo apaan! Jangan kurang ajar ya!"
sahut Martin kesal. "Enak aja menghinaku! Sebagai balasannya, nih..."
ia melompat ke arah Rahma dan kembali memasukkan kepala diantara kedua kaki
sang istri yang masih mengangkang lebar.
”Happ...” Martin langsung melumat kembali kemaluan
Rahma, bahkan kali ini lebih ganas dari yang tadi, padahal kemaluan Rahma masih
berdenyut-denyut geli akibat sisa-sisa orgasme yang masih melanda.
”Auw... auw... ahh...” Rahma jadi menjerit-jerit
karenanya. Gelinya luar biasa! Tapi ia sama sekali tidak bisa menghindar. Bunyi
kecipak akibat jilatan Martin terdengar keras di liang kemaluannya. Bersamaan
dengan itu, rasa geli yang ia rasakan perlahan-lahan berubah menjadi nikmat. Rahma
terhanyut lagi dalam permainan lidah sang suami.
Tanpa menunggu lama, ia orgasme untuk yang kedua
kalinya. Badannya jadi terasa
lemas semua. Entahlah, pagi ini Rahma mudah sekali orgasme. Mungkin ini
pengaruh seminggu puasa akibat ’pita merah’, jadi begitu disentuh, ia jadi
gampang sekali menyerah. Tidak biasanya Rahma begini.
Mereka break sebentar. Martin tidur terlentang, terlihat
penisnya masih berdiri tegak bak tugu monas. Kepalanya yang merah mengkilat
karena cairan precum tampak sungguh menggoda. Rahma duduk di sebelahnya dan mulai
memegang-megang penis itu, terasa sangat kaku dan keras sekali.
"Aku sudah 2 kali, sedangkan kamu belum sama
sekali," kata Rahma sambil mengelus-elus penis Martin penuh rasa sayang.
Lalu ia naik ke atas tubuh laki-laki itu dan duduk tepat diatas penisnya.
”Sayang...” Martin tampak terangsang melihat
tindakan sang istri. Apalagi saat Rahma mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya maju
mundur diatas batang penisnya sambil mengelus-elus dadanya. Ia memejamkan mata
menikmatinya, Martin merasa geli-geli nikmat saat batang penisnya yang keras
dan licin menggeser-geser mulut kemaluan sang istri.
Lama-lama Martin jadi tak kuat menahan rangsangan. Dia pun bangkit dan memeluk tubuh molek Rahma. Mereka
kembali berciuman, saling melumat dan menghisap bibir. Tanpa mempedulikan bau
cairan vagina di mulut sang suami, Rahma terus menggoyangkan pinggulnya maju
mundur. Kemaluannya yang sudah sangat basah makin memudahkan penis Martin
bergesekan di celahnya yang sempit.
Gerakan mereka semakin lama semakin bertambah liar,
sampai akhirnya pertahanan Rahma runtuh. Penis Martin mulai mengoyak liang
senggamanya. Kepala penis laki-laki itu selip dan masuk ke lubang vaginanya. Rahma
melenguh kaget, namun sama sekali tidak berhenti. Ia terus menggerakkan
pinggulnya hingga penis Martin masuk semakin dalam, dan tak lama kemudian sudah
terbenam seluruhnya.
Untuk sesaat mereka berhenti bergerak, sama-sama
menikmati moment yang sangat intim itu. Rahma memeluk tubuh sang suami
erat-erat, sementara Martin balas merangkulnya dengan nafas terputus-putus.
Saat sudah tenang, barulah Rahma merendahkan pinggulnya perlahan-lahan, mulai
mengocok batang penis Martin yang sudah memenuhi liang senggamanya dengan
begitu sempurna.
Martin membalas dengan ikut menggoyangkan pinggulnya
secara perlahan-lahan. Penisnya bergerak-gerak lembut menggesek bagian dalam
kemaluan sang istri, membuat Rahma mendesah mengaduh-aduh menahan nikmat dan
geli yang menyerang pusat sayarafnya. Vaginanya masih begitu sensitif menerima segala gerakan martin.
"Kenapa aku nggak tahu kalau ML bisa seenak
ini? Kalau tahu, sudah dari dulu aku
mau nikah sama kamu!" kata Rahma parau sambil menatap sayu pada Martin.
Mendengar perkataan itu, sesaat Martin hanya
memandang Rahma tanpa ekspresi. Lalu
dengan pandangan yang menyejukkan, dia mencium kening dan pipi Rahma. Martin juga mulai menggerakkan penisnya keluar
masuk di vagina Rahma. Mulanya perlahan,
tapi lama-lama berubah menjadi semakin cepat.
”Auw!” Rahma menjerit, rasanya seperti mau mati karena
saking nikmatnya. Ia tak bisa
berbuat apa-apa, hanya erangan dan desahan yang keluar dari mulut manisnya.
Dorongan penis Martin yang terus menghujam keluar masuk di dalam vaginanya membuatnya
benar-benar tak berdaya.
Pagi itu ia orgasme empat kali, sedangkan Martin cuma
sekali. Laki-laki itu menumpahkan seluruh spermanya di perut Rahma dan terkapar
lemas di sebelahnya. Rahma juga terkapar kelelahan. Saking lelahnya ia sampai
tak kuat untuk sekedar bergerak mengambil tissue di meja, dibiarkannya sperma
Martin mengering di perutnya.
***
Somewhere
in downtown
Bandung
07.38
WIB
Aviani
turun dari bus ke kota Bandung. Ia sudah berangkat dari Jakarta subuh tadi, masih tanpa sepengetahuan Gilang. Sekali lagi Aviani melihat ke arah
blackberry-nya. Sebuah email sudah datang dini hari tadi, intinya memberikan
informasi mengenai Dr. Anatoly Sedorenkov. Ini adalah email dari seorang
“sumber yang terpercaya”. Aviani hanya mengenalnya sebagai “jaco123”, dan
selama ini juga Aviani belum pernah menemuinya. Akan tetapi, dari pengalaman Aviani, dia seringkali mendapatkan info-info
menarik dari orang ini.
Seperti
halnya detektif polisi, seorang reporter biasanya memiliki link-link atau
hub-hub untuk membantu mereka mengumpulkan berita. Beberapa hub bahkan bisa
jadi adalah orang-orang “gelap” atau kriminal, yang membantu reporter untuk
mengintip sedikit kehidupan di dalam dunia gelap. Hub-hub seperti itu dimiliki
pula oleh para reporter NewsTV, meskipun, tentu saja tidak semuanya. Salah satu
yang punya banyak hub adalah Eva Julianti, namun Eva tidak pernah mau
mengungkapkan siapa saja atau bagaimana caranya menjaga hub-hub tersebut. Nah, si jaco123 inilah salah satu hub terpercaya dari Aviani.
“SUDAH
DITEMUKAN, LOKASI MOBIL ITU ADA DI SEKITAR BANDUNG, ALAMAT AKU BERIKAN NANTI,
TAPI KALAU BISA SECEPATNYA, TAKUTNYA NANTI BERPINDAH LAGI,”
Begitu
bunyi email balasan dari jaco123 itu. Karena email ini pulalah maka Aviani nekad
meninggalkan Gilang tanpa permisi dan menuju ke Bandung. Aviani selalu bisa
mempercayai jaco123 sebelumnya, maka tidak ada alasan dia tidak bisa
mempercayainya sekarang.
“Aku
sudah di Bandung,” balas Aviani via blackberry-nya, “Di mana alamatnya?”
Tak
butuh waktu lama, akhirnya balasan email itu pun muncul kembali. “CEPAT SEKALI? KAPAN KAMU MAU KE SANA?”
“Secepatnya,
mungkin siang ini,”
“BAGUS!
OKE, IKUTI KELINCINYA…”
Aviani
memang memasukkan data-data mobil yang dipakai oleh Dr. Anatoly Sedorenkov
ketika dipergokinya di Dephan kemarin. Tak dinyana, ternyata si jaco123 bisa
tahu. Atas instruksi dari Angkatan Laut, maka NewsTV hanya memiliki akses
terbatas kepada KRI Antasena, namun Angkatan Laut tak pernah memberi amaran
bahwa reporter NewsTV tidak boleh mencari info dari luar. Inilah yang dilakukan
oleh Aviani sekarang; sebuah wawancara singkat dengan Dr. Anatoly Sedorenkov, maka
Aviani berharap bisa menyempurnakan peliputan NewsTV atas KRI Antasena.
Semenjak
beberapa waktu yang lalu, Dr. Anatoly Sedorenkov, desainer kepala KRI Antasena,
memang menghilang dari muka umum. Ada yang bilang dia sudah pulang ke Russia,
tapi yang lain mengatakan bahwa Dr. Sedorenkov hanya menyepi dan masih memegang
proyek walaupun sebatas supervisor. Sayangnya, berita soal Dr. Anatoly
Sedorenkov sendiri bukanlah jenis berita yang diminati untuk ditelusuri oleh
para reporter. Aviani dan Eva dulu memang
pernah dua kali mewawancarai Dr. Sedorenkov; entah ya, apa Dr. Sedorenkov masih
ingat.
***
08.11
WIB
Aviani
membayar taksi dan segera masuk ke dalam sebuah rumah kost. Rumah itu dekat
sekali dengan Biro NewsTV Bandung, namun Aviani tidak bisa ke kantor Biro.
Secara de jure, saat itu statusnya adalah libur, dan tanpa surat penugasan
khusus, maka hari ini dia tidak bisa meminta sarana di sana. Sebenarnya dia
bisa saja menunggu hingga besok, saat dia masuk kembali, tapi ia takut jejaknya
sudah dingin.
Seorang
wanita pun bergegas menemui Aviani di ruang tunggu rumah kost itu. Cukup cantik
meskipun wajahnya menunjukkan garis kekerasan hati. Dia
adalah reporter NewsTV yang saat ini ditugaskan ke Biro Bandung. Namanya adalah
Mariska, dan dia ini cukup mengenal Aviani, sehingga tentu saja Mariska kaget
ketika melihat Aviani sudah ada di hadapannya.
“Pagi
banget?” tanya Mariska.
“Iya, kudu pagi-pagi,” kata Aviani.
“Masuk dulu,” kata Mariska.
Mariska
pun menuntun Aviani masuk ke dalam rumah kost dan menuju ke kamarnya. Mariska saat itu masih
mengenakan pakaian tidur, karena memang hari ini dia dapat jatah masuk sore,
jadi tidak terlalu mendesak untuk bangun pagi. Tempat kost itu adalah kost
khusus perempuan, tentu saja, dan rata-rata adalah wanita karier atau mahasiswa
yeng kebetulan saja berkuliah di sini. Aviani bersyukur bahwa Mariska adalah
satu-satunya orang NewsTV yang ada di situ, karena jika tidak, maka bisa jadi
keberadaannya di Bandung bisa dibocorkan, mungkin hingga ke Jakarta.
Begitu
mereka berdua masuk ke dalam kamar, Mariska segera menutup dan mengunci
pintunya. Kebetulan pula di sini satu orang menempati
satu kamar. ”Sudah makan?” tanya Mariska.
Aviani
hanya menggeleng saja. Besar kamar kost ini jelas lebih kecil daripada kamar di
apartemennya di NewsTV Jakarta, mungkin hanya seperempatnya, karena memang ini
full dipakai sebagai kamar tidur. Di sini tidak ada ranjang, hanya kasur yang
diletakkan di atas tikar, lalu di depan ada keranjang pakaian kotor, lemari
lipat, dan meja belajar yang dilengkapi sebuah laptop dan TV Tuner. Sebuah HP juga nampak sedang di-charge di atas meja itu. Tidak banyak
kesenangan di sini, karena barang-barang yang ada hampir saja membuat kamar ini
cukup sesak; untungnya Mariska cukup rapi dalam mengatur kamar.
Mariska
lalu keluar sebentar dari kamar. Aviani pun duduk bersila di atas ranjang,
karena memang jarang sekali tempat untuk duduk di sini. Ia melepaskan ranselnya
dan menghembuskan nafas lega. Rasanya berat juga ransel itu dari tadi ia
bawa-bawa. Ransel itu sudah butut, tapi itulah ransel kesayangannya, juga
sebagai jimat keberuntungan. Ketika Aviani meliput konflik di Kalimantan,
sebuah panah beracun hampir saja merenggut nyawanya, kalau saja panah itu tidak
menancap di ransel; mulai saat itulah ia menganggap ransel itu sebagau ransel
keberuntungannya. Mariska pun masuk kembali sambil membawa dua piring nasi
bungkus.
“Nggak
usah repot-repot,” kata Aviani berbasa-basi.
“Nggak koq, belinya juga nggak jauh,” kata Mariska, “lagian aku juga belum sarapan,”
Aviani
dan Mariska pun segera menyantap sarapan pagi mereka. Mariska menatap Aviani dengan
pandangan mata menyelidik. Ia masih tak tahu apa alasan Aviani datang kemari,
tapi pastinya bukan kunjungan ramah-tamah. Orang yang mengenal Aviani tentu
tahu kalau Aviani tengah mencari sesuatu.
“Bukannya
kamu libur hari ini?” tanya Mariska.
“Iya, bener,” jawab Aviani.
“Terus ngapain ke sini?” tanya Mariska, “pasti ada sesuatu,”
“Iya, kamu bisa bantu aku, gak?” tanya Aviani.
“Wah nggak tahu ya, aku jatah masuk siang nih hari ini,” kata Mariska.
“Nggak lama koq, tenang aja,” kata Aviani, “cuman mau minta kamu anterin aku ke satu alamat,”
Mariska
diam saja. Ia tampaknya berusaha menyelami apa yang sebenarnya diinginkan oleh Aviani.
Aviani memang salah satu reporter top, bahkan kadang
menjadi role-model bagi reporter-reporter muda, termasuk juga bagi Mariska.
Namun mengikutinya kadang bisa jadi hal yang berbahaya, karena Aviani punya
kebiasaan buruk untuk selalu terjun ke dalam sesuatu sekalipun dia tahu bahwa
itu adalah bahaya.
“Terus,
apa istimewanya dari ‘alamat’ ini?” tanya Mariska.
“Entahlah,” kata Aviani, “baru tahu kalau udah sampai,”
“Kenapa terus kamu tertarik ke sana?” tanya Mariska lagi.
“Kamu mau nganterin aku pa gak?” tanya Aviani setengah memaksa.
Mariska
pun menatap Aviani dalam-dalam. “Kalau ada masalah, aku nggak mau terlibat,”
kata Mariska.
“Percaya deh, kamu nggak pernah ketemu aku di sini,” kata Aviani, “pembicaraan ini juga nggak terjadi,”
“Kapan kamu mau berangkat?” tanya Mariska.
“Siang nanti,” jawab Aviani.
“Tapi aku nggak bisa nungguin lama-lama, aku kudu masuk kerja,” kata Mariska.
“Nggak
masalah,” kata Aviani.
Malah
kebetulan, karena Aviani jujur saja lebih suka melakukan peliputannya seorang
diri saja, karena lebih bebas dalam mengerjakan sesuatu.
***
08.
43 WIB
Alex
masuk ke dalam ruangan kerjanya, seperti biasa, disambut dengan tumpukan berkas
pekerjaan yang harus ia selesaikan. Fifi memang sekarang mengerjakan beberapa
pekerjaan, tapi bagaimanapun, dengan posisi Alex sebagai first-in-command, ada beberapa hal
yang Fifi tidak bisa lakukan.
Fifi
memang lebih muda daripada Alex, akan tetapi dia justru bekerja di NewsTV lebih
dahulu, sehingga seharusnya, Fifi adalah senior Alex. Bahwa karier Alex lebih
cepat meroket daripada Fifi itu adalah memang karena kemampuan dan talenta Alex
sendiri, namun dengan itu juga, muncul beberapa nada keraguan terhadap Fifi.
Semenjak
mereka sama-sama memulai karier di bidang editing, Alex sering sekali
dipasangkan dengan Fifi, sehingga lama kelamaan, antara Alex dan Fifi tercapai
sebuah chemistry yang amat sangat erat. Konon, hubungan antara Alex dengan Fifi
justru lebih erat daripada antara Alex dengan istrinya; Wina, dan juga Fifi dengan
suaminya, Fendi. Mungkin nasib saja yang membuat akhirnya Alex yang naik
menjadi kepala editing; ini juga dipengaruhi bahwa Fifi menolak menduduki
jabatan itu meskipun Alex sendiri lebih suka kalau Fifi yang memegangnya, atas
azas senioritas. Sejak itu pula, kemana Alex berada, sudah pasti Fifi ada di
sana, dan pasti selalu menjadi wakil Alex, tidak pernah lebih.
Fifi
sendiri, mungkin lebih senang seperti ini, toh juga dari sisi finansial, tidak
ada masalah dengan duduk di jabatan ini. Kerjasama mereka berdua toh juga
selalu solid dan bagus, tapi ketika reputasi Alex mulai naik, pertanyaan pun
muncul soal Fifi. Banyak yang menganggap bahwa Fifi mungkin terlalu tenggelam
di bawah bayang-bayang Alex. Pada akhirnya, timbul keraguan apakah sebenarnya Fifi
memang pantas berada di posisi second-in-command setelah Alex?
Bahkan
di antara teman-teman sendiri, seperti Rahma, Mutia, Prita, atau Fessy;
meskipun secara personal masih tetap berteman baik dan mendukung Fifi, secara
profesional, keraguan serupa pun muncul di antara mereka. Apalagi keempat orang
ini pun prestasinya juga semakin menanjak, sehingga lalu orang pun berpendapat
bahwa salah satu dari keempat orang ini mungkin lebih pantas bersanding dengan
Alex daripada Fifi. Lebih parah lagi, keraguan serupa pun menjalar di antara
bawahan-bawahan Alex di News Today. Reporter senior semacam Githa,
Eva, bahkan Aviani pun sering meragukan kapabilitas Fifi.
Alex
sendiri bukannya tidak paham dengan hal ini. Dari Fessy atau Lucia, dia sering
sekali mendengar berita miring soal Fifi, namun demi persahabatan, Alex tak
pernah mengatakan apapun pada Fifi. Padahal Alex sendiri merasa bahwa dia juga
sering mendelegasikan tugas kepada Fifi, tapi bagi khalayak, itu sepertinya
belum cukup. Lagipula Fifi sendiri cukup cuek dan adem-adem aja seolah tak
peduli dengan angin ini. Toh, dia juga tak pernah memberi perintah langsung
kepada bawahannya, sehingga bawahannya belum punya cukup alasan untuk tidak
menghormatinya. Namun bagi beberapa orang, terutama Bu Isyana, sikap Fifi ini
sebenarnya cukup fatal.
News Today adalah ujung tombak dari penyiaran
berita di NewsTV. Di antara keempat berita utama yang dimiliki oleh NewsTV,
hanya News Today lah yang selalu mendapat perhatian paling besar. Program
berita utama berdurasi satu setengah jam di primetime ini adalah peringkat
pertama acara berita favorit menurut sebuah lembaga survei, sebuah prestasi
yang tidak main-main. Oleh karena itu, Bu Isyana sendiri menegaskan bahwa hanya
mereka yang terbaik saja yang berhak berada di News Today, program yang Alex
pegang saat ini. Bercokolnya para anchor terbaik, reporter terbaik, serta kru
terbaik yang mendukung acara ini membuat peran Fifi di sini menjadi kabur.
Misal tidak ada perlindungan dari Alex, niscaya
Bu Isyana tak akan berpikir dua kali untuk menggantikan Fifi dengan orang lain
yang, di matanya, lebih pantas di jabatan tersebut. Sementara untuk memindah Alex,
Bu Isyana masih segan, karena saat ini dia melihat bahwa hanya Alex saja yang
pantas memegang posisi di News Today; sebuah pendapat yang pastinya diamini
oleh semua orang. Ini tentu adalah sebuah bom waktu yang hanya menunggu waktu
saja sebelum meledak.
“Selesai,”
kata Fifi memberikan berkasnya pada Alex.
Alex
pun menerima berkas-berkas itu dengan senyum simpul. Fifi selalu bisa
mengerjakan pekerjaan lebih cepat daripada Alex, ini adalah sebuah kelebihan
dan potensi. Sayangnya, hanya Alex saja yang tahu soal ini.
“Seperti
biasa, cepat,” kata Alex.
“Oh ya, udah ada kabar lagi soal Luz?” tanya Fifi.
“Belum, tapi aku malah jadi khawatir nih,” kata Alex.
“Hei, dia bakal baik-baik aja,” kata Fifi sambil menepuk pundak Alex.
Alex
mengangguk saja pada Fifi. Saat itulah telepon berdering. Alex segera
mengangkatnya, dan ternyata itu dari Githa Nafeeza. Alex pun segera memindahkan
ke mode speaker supaya Fifi bisa ikut mendengarnya.
“Bos,”
kata Githa, “mau laporan nih, kayaknya ada gerakan besar deh, di Istana,”
“Jelasin,”
kata Alex.
“Nggak tahu apa ya, tapi ini tumben banget mulai sejak pagi tadi koq kayaknya banyak pejabat yang dateng; sebagian sipil sebagian militer,” kata Githa, “malahan tadi aku ngomong-ngomong ama Ledy, reporternya RTV, katanya Istana dah mulai sibuk dari sebelum subuh,”
Alex
pun berpikir sejenak. Memang wajar saja kalau para pejabat datang ke Istana
Merdeka. Tapi kalau menurut kata Githa, skalanya mungkin tidak main-main.
“Memangnya
ada apa di Istana Merdeka?” tanya Alex.
“Nah, itu dia yang aku mau tanyain, Bos!” kata Githa, “mustinya kan hari ini paling cuman ada rapat koordinasi doang; bukan rapat kabinet; memangnya di sana nggak ada berita yah, hari ini kenapa gitu?”
“Coba aku cek,” kata Alex, “oh ya, di sana siapa aja?”
“Cuman ada aku ama kameramen, Yessa; kita emang nggak rencana buat ini sih,” kata Githa, “reporter-reporter dah pada mulai ngumpul di sini, tapi Bina Graha ama kompleks Istana Merdeka dah ditutup, nggak biasanya,”
“Oke, aku bakal kirim bantuan segera,” kata Alex, “Gith, kamu di sana aja dulu yah, soalnya nggak ada yang mengenal Istana sebaik kamu,”
“Siap, Bos!” kata Githa, “tapi eh, gimana ya Bos, kalau ini ternyata berita buruk,”
“Moga-moga
bukan lah, Gith,” kata Alex.
Pembicaraan
pun berakhir. Aktivitas di Istana Merdeka betul-betul tidak biasa, apalagi
kalau Bina Graha pun ditutup bagi pers. Ada apakah gerangan yang terjadi di
Istana saat ini? Mengapa para pejabat banyak yang berkumpul di sana. Githa,
sebagai reporter NewsTV yang paling sering meliput di Istana, tentu saja kini
menjadi ujung tombak; setidaknya dia mengenal orang dan situasi di Istana.
“Bagaimana
sekarang?” tanya Fifi.
“Kirim Tascha ama Cheryl buat bantu Githa; pastikan masing-masing bawa tim sendiri,” kata Alex, “kalau udah, ayo ikut aku,”
“Ke mana?” tanya Fifi.
“Ruang Tempur!” kata Alex.
Ruang
Tempur yang dimaksud tentu bukanlah ruangan untuk bertempur. Melainkan ini
adalah sebuah ruangan dengan banyak sekali monitor yang digunakan ketika
tele-video-conference dengan semua Biro NewsTV di seluruh Indonesia. Secara
garis besar, kecuali ada sesuatu yang amat sangat penting, maka ruangan ini
sebenarnya jarang dipakai, karena jarang pula ada event yang harus melibatkan
gerak dari seluruh Biro NewsTV di seantero Indonesia.
Fifi
menekan sebuah tombol, dan semua monitor pun menyala. Ia sedang menghubungi
semua Biro, dan dalam panggilan seperti ini, semua Biro harus merespon dengan
segera. Satu per satu, akhirnya wajah dari masing-masing Kepala Biro
bermunculan. Sungguh tidak biasa alarm itu dibunyikan. Total NewsTV memiliki 11
buah Biro (atau setingkatnya) di seluruh Indonesia, yaitu Biro Medan (di bawah
Vita), Biro Pekanbaru (di bawah Yusuf), Biro Palembang (di bawah Hidayat), Biro
Bandung (di bawah Budi), Biro Yogyakarta (di bawah Lita), Biro Semarang (di
bawah Indra), Biro Surabaya (di bawah Sumi), Biro Bali (di bawah Edwin), Biro
Makassar (di bawah Rachel) dan Biro Papua (di bawah Lidya) serta satu lagi
adalah kantor koordinator setingkat Biro di Samarinda (di bawah Ardi).
“Selamat
pagi semuanya,” kata Alex, “aku langsung saja ke persoalan biar nggak terlalu
lama; saat ini juga, di Istana Merdeka lagi ada kesibukan, nah aku nggak tahu
ada apa, pastinya kompleks Istana ama Bina Graha ditutup buat reporter,
termasuk juga reporter kita; bukan hal yang biasa, pastinya… Aku cuma mau tahu,
di wilayah kalian ada apa-apa, nggak? Kejadian yang luar biasa?”
Semua
tampak terdiam.
“Apa
tidak bisa cari dari reporter di Istana?” tanya Sumi Yang.
“Kalau aja bisa, aku nggak bakal kontak kalian,” kata Alex.
“Terus apa yang kita cari?” tanya Sumi lagi.
“Belum tahu, bisa apa aja, pokoknya kira-kira cukup penting, sampai-sampai Istana kudu tutup pintu,” kata Alex.
Semua
kembali terdiam.
“Di
Kalimantan paling baru ada berita gembong illegal-logging kelas internasional
akhirnya ketangkep di Pangkalanbun,” kata Ardi.
“Tapi kayaknya kalau cuman gitu nggak bakal masuk ke Istana deh,” kata Alex, “minimal Dephut, kalau nggak ya sekalian ke Kejaksaan,”
Semua
Biro pun lalu memberikan laporan berita-berita terpanas yang bisa mereka
dapatkan pagi itu dari wilayah kerja mereka, tapi Alex sepertinya belum begitu
puas dengan mendengarkan semua kemungkinan-kemungkinan event. Sebesar apapun,
bagi Alex, masih terlampau kecil.
“Itu
aja?” tanya Alex.
Semua
pun terdiam, sepertinya kehabisan tajuk berita utama untuk diceritakan ke Alex.
Hari masih pagi, bisa jadi berita yang Alex cari sebenarnya belum masuk. Alex
pun memaklumi hal ini, tapi matanya terpicing kepada salah satu monitor. Ada
satu orang yang belum melaporkan, yaitu Rachel dari Biro Makassar, dan Rachel
ini tampak sedang berpikir tentang sesuatu.
“Rachel,
ada yang mau kamu laporkan?” tanya Alex.
Rachel
pun tampak tersadar dari pikirannya. Gadis mungil kelahiran Makassar asli dan
berambut pendek ini menatap sejenak ke arah monitor, tepat pada Alex.
“Aku
nggak tahu sih, ini masuk berita besar apa nggak, soalnya kayaknya nggak
sepenting yang temen-temen Biro lain laporkan,” kata Rachel.
“Silakan dilaporkan saja,” kata Alex.
“Oke… mulai dari subuh tadi, kayaknya ada peningkatan aktivitas di Pangkalan Komando Armada Timur di Makassar,” kata Rachel, “puluhan kapal cepat disiagakan; rata-rata yang disiagakan tu masuk kategori Kapal Cepat Torpedo, kayaknya siap diberangkatkan ke satu tujuan,”
“Lanjutkan,” kata Alex.
“Pagi tadi juga kayaknya dua pesawat intai diterbangin ke pangkalan udara lain, aku nggak tahu ke mana; di Bandara Hasanuddin juga kayaknya banyak pesawat-pesawat militer bolak-balik deh,” kata Rachel, “pesawat pembom terbaru kita yang ditempatin di Makassar, Tu-22M Backfire, juga dah disiapin, kayak mau perang aja,”
“Eh, pesawat intai apa yah?” tanya Lita.
“NC-295 Maritime Reconaissance and Early Warning, punya TNI-AU,” kata Rachel.
“Hmm, kalau itu sih kayaknya tadi pagi dah
mendarat di Lanud Adisucipto sini,” kata Lita, “aku belum ngecek lagi apa
pesawatnya dah pergi lagi apa belum,”
“Itu bukannya pesawat pemetaan ama pengintaian laut, yah?” tanya Rachel, “aku pernah tahu pesawat itu digunakan buat patroli di Ambalat soalnya bisa ngelacak kapal Malaysia dari jauh,”
“Omong-omong soal maritim, oh iya, entah ini berhubungan apa gak ya, tapi di Pelabuhan Ratu, emang lagi ada konsentrasi kapal gede, termasuk kapal perang baru TNI-AL, KRI Ternate,” kata Budi.
“Ada lagi?” tanya Alex.
Semua orang pun terdiam. Sepertinya sudah cukup
itu saja, informasi yang cukup minim, tapi entah kenapa malah membuat Alex
tertarik. Meskipun markas besar Komando Armada Timur ada di Surabaya,
tapi Makassar adalah pangkalan aju, tempat
dikonsentrasikannya kekuatan-kekuatan strategis Armada Timur. Mengingat posisi
Makassar yang bagus sebagai pos pertama untuk pengamatan di Samudera Pasifik,
maka Makassar menjadi basis komando gabungan
TNI yang paling kompleks dan masif.
Setidaknya
ada konsentrasi gabungan kapal-kapal cepat berkategori “Patrol Ship Killer” di
sini, plus kapal-kapal perang utama seperti Frigate dan Korvet. TNI Angkatan
Udara juga menempatkan satu skuadron pesawat pembom-tempur Su-30MK, dua
skuadron pesawat tempur taktis Su-27MKS, dan satu wing pesawat pembom strategis
yang diperkuat oleh 6 buah pesawat pembom supersonik Tu-22M Backfire.
Ditempatkannya
pesawat Backfire di sini sudah cukup membuat negara-negara tetangga di sekitar
Samudera Pasifik Tengah dan Laut Cina Selatan berteriak-teriak (meskipun
jumlahnya sendiri hanya sekitar 4 buah saja), mengingat jangkauan pesawat
pembom buatan Russia ini bisa amat jauh, termasuk cukup mumpuni untuk
menghantam pangkalan Armada Kelima Amerika Serikat di Guam. Kehadiran pesawat
ini juga cukup untuk membuat Angkatan Bersenjata Diraja Malaysia mengurangi
aktivitasnya di Ambalat.
“Jadi
di semua wilayah ada lonjakan kegiatan militer yah, terutama di Angkatan Laut,”
kata Alex.
“Apa jangan-jangan lagi ada persiapan perang,” celetuk Sumi, “apa Malaysia mengacau sampai Ambalat lagi?”
“Kalau bener, rasanya nggak mungkin pesawatnya bisa nyasar jauh sampai Yogya,” kata Alex, “pastinya ada yang mengacau, itu kalau kita liat eskalasi kegiatan militer, secara maritim, mungkin; ya udah, saya minta tolong ama semuanya yah, tolong di wilayah kalian kalau ada lonjakan kegiatan militer kayak tadi, segera lapor ke Jakarta; apapun ini, pastinya sebuah gerakan besar,”
Semua
orang pun menyanggupinya, dan setelah itu satu-persatu semuanya mulai signed-off,
kecuali Sumi Yang.
“Apa
ada kabar dari KRI Antasena?” tanya Sumi.
“Belum ada,” kata Alex.
“Ada reporterku di sana,” kata Sumi, “aku khawatir ama Erika,”
“Aku juga khawatir ama Istriku,” kata Alex, “tapi kita kudu tetep sabar sampai ada informasi selanjutnya,”
Sumi mengangguk.
”Dan satu lagi, ” tambah Alex. ”yang bener donk
kalau pake baju, bikin aku jadi gak konsen aja.” tunjuk Alex pada kancing baju
Sumi yang terbuka 2 biji.
Menyadari kalau belahan dadanya yang bulat telah
menggoda Alex, Sumi tertawa. ”Iya, maaf
deh.” Ia pun mengancingkannya kembali, dan kemudian pamit pada Alex dan Fifi. Sumi
signed-off.
***
Istana
Merdeka
11.10
WIB
Sebuah
helikopter militer jenis Sa. 330 Puma milik TNI AL mendarat di helipad Istana
Merdeka, jauh dari kerumunan wartawan yang tertahan di luar pagar. Di wilayah
helipad ini kini seolah seperti tempat parkir helikopter saja, karena ada
beberapa helikopter lain juga di sini, sebagian militer, sebagian varian sipil.
Najwa pun langsung segera turun dari helikopter itu. Kali ini dia sudah mandi
yang bersih, dan memakai pakaian yang lebih pantas untuk menghadap Presiden.
Meskipun begitu, wajahnya tampak cukup murung.
Sebuah
golf-cart segera saja menjemputnya, perintah langsung dari Presiden. Di dalam
golf-cart itu turut pula adalah salah satu dari Juru Bicara Kepresidenan, Widya
Saputra namanya.
“Apakah
situasinya sangat serius, Nn. Najwa?” tanya Widya begitu Najwa naik ke atas
golf-cart.
“Sangat, tapi aku tidak bisa bilang sekarang,” kata Najwa.
“Lihat, banyak sekali wartawan yang hadir,” kata Widya sambil menunjuk ke luar pagar, “aku tidak begitu suka harus menutup pintu kepada mereka, apalagi sebanyak ini,”
“Kumpulan ikan hiu selalu tertarik pada aktivitas ikan,” kata Najwa, “apalagi sejak tadi Istana sudah ‘menggeliat’ tanpa bisa ditutupi,”
“Makanya itu, publik pasti meminta penjelasan,” kata Widya.
Mereka
melewati jajaran helikopter yang terparkir. Najwa menghitung sekaligus mendata
siapa-siapa saja yang datang, karena ia memang hafal mana helikopter punya
siapa.
“Semuanya
sudah hadir?” tanya Najwa, “semua anggota kabinet? Kepala staff? Dewan
Penasihat?”
“Iya,” jawab Widya, “tinggal menunggu kehadiran Anda saja,”
Kilatan
blitz terlihat dari jauh, karena memang hanya segitu saja jarak yang bisa
ditempuh oleh para wartawan. Istana yang biasanya selalu
terbuka pada insan pers, kini hampir rapat menutup pintunya. Najwa segera masuk ke dalam Bina Graha, menuju ke ruang rapat kerja
kabinet. Dia menduga, seluruh menteri di jajaran kabinet sudah datang semua, terutama
adalah menteri-menteri di bidang pertahanan dan keamanan.
“Selamat
pagi,” kata Najwa ketika memasuki ruangan.
Semua
orang sudah siap di tempatnya, dan sepertinya hanya tinggal menunggu Najwa seorang
saja. Najwa pun meletakkan laptopnya di atas meja, dan menyambungkannya ke
layar proyektor sementara semua orang menunggu dengan was-was. Meskipun Najwa berusaha
untuk tersenyum, siapapun tahu bahwa Najwa tidak begitu senang hati.
“Langsung
saja, Nn. Najwa, bagaimana hasil penyelidikan Anda?” tanya Presiden Chaidir.
“Saya takut hasilnya memang seperti yang telah diperkirakan, Pak Presiden,” kata Najwa sedikit tercekat.
Semua
orang pun menyimak apa yang akan dikatakan oleh Najwa. Memang sebelumnya sudah
ada briefing singkat mengenai apa yang terjadi, tapi keputusannya masih
menunggu Najwa kembali dari penyelidikannya. Najwa pun lalu berdiri dan menerangkan hasil penyelidikannya.
“Tadi
malam, sudah terjadi ledakan besar di Samudera Indonesia, tidak ada 100 km dari
perbatasan perairan dengan Australia,” kata Najwa, “dari penyelidikan lebih
lanjut, bisa diambil kesimpulan bahwa sumber ledakan itu adalah sebuah bom
nuklir, tepatnya nuklir taktis,”
Keheningan
pun pecah begitu mendengar ada bom nuklir yang meledak di wilayah Indonesia.
Sungguh, walaupun merupakan sebuah keniscayaan, tetap saja masih menjadi
kemungkinan yang belum bisa dipercaya.
“Bom
nuklir? Anda yakin, Nn. Najwa?” tanya Banu Sudibyo, Menkopolhukkam.
“Siapa
yang meledakkannya??” tanya Marius Tinangon, Menhan.
“Kalau memang dekat sekali dengan Australia, kenapa tidak ada statement dari pihak Australia??” tanya Ibrahim Kartaredjasa, Menlu.
“Tuan-tuan, tolong, saya akan jawab pertanyaan Anda semua satu persatu,” kata Najwa mencoba tenang.
Presiden
Chaidir pun memberi isyarat agar semua memberikan kesempatan bagi Najwa untuk
menjelaskan apa yang perlu ia jelaskan.
“Tolong,
beberapa negara sudah memiliki kemampuan untuk meluncurkan nuklir, dan
Indonesia juga saat ini tengah berupaya merintis ke arah itu; jika ada yang
bertanya apakah saya yakin bahwa itu adalah ledakan nuklir, saya akan jawab: ya
saya yakin, itu adalah ledakan nuklir,” kata Najwa.
Jawaban
itu membuat semua orang serius untuk menyimak. Bagaimanapun, Najwa memang pakar
yang ahli dalam bidang ini. Terutama sekali adalah soal persenjataan Barat,
karena Najwa pernah menimba ilmu dan melakukan studi di Amerika Serikat.
“Saya
tadi pagi mengikuti patroli pesawat Beriev ke Samudera Indonesia, tepatnya ke
ground zero,” kata Najwa, “saya berhasil mengidentifikasi senjata yang
digunakan untuk membawa materi nuklir taktis itu; tapi, hal ini membawa sebuah
kabar buruk bagi kita…”
Tidak
ada kata-kata, semua nampak hening. Di dada para petinggi Angkatan Laut yang
memang hadir di sana, jantung mereka pun berdebar-debar; terang saja, karena
mereka sudah bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh Najwa.
“Nuclear
Anti-Submarine Rocket, atau disingkat NASROC, inilah senjata yang, kemungkinan
besar digunakan untuk membawa materi nuklir; dikategorikan sebagai nuclear
depth-bomb; asalnya digunakan untuk menghancurkan kapal selam rudal balistik
raksasa milik Soviet, kelas Typhoon atau Delta,” kata Najwa, “di luar Amerika
Serikat, sekutu-sekutunya, terutama Australia, juga menggunakan senjata ini…”
Najwa
tercekat sejenak, seolah tak kuasa untuk melanjutkan perkataannya. “Saya juga
sudah memeriksa beberapa dokumen rahasia Angkatan Laut, terutama berkaitan
dengan pengujian serta rute perjalanan kapal selam kita, KRI Antasena, dan…”
kata Najwa, “…menurut perhitungan, KRI Antasena sedang berada di lokasi saat
ledakan itu terjadi; jika itu betul sebuah NASROC, saya takut, senjata itu
ditembakkan dengan sengaja untuk menghancurkan kapal selam kita,”
Segera
setelah itu, suasana pun menjadi gempar. Tentu saja semua orang di sini
mengetahui mengenai KRI Antasena. Akan tetapi, ada yang meledakkan nuklir untuk
menghancurkan KRI Antasena? Yang bahkan masih dalam tahap pengujian akhir? Para
petinggi Angkatan Laut pun terdiam, dan sebagaimana pelaut sejati, berita itu
betul-betul menyayat hati.
“Nn.
Najwa!” kata Laks. Danoe
Salampessy, “jadi bagaimana nasib dari kapal selam kita?”
“Nasibnya, Laksamana?” tanya Najwa.
Semua
orang kembali terdiam dan menyimak.
“Kalau
saya boleh jujur, Laksamana, NASROC adalah senjata anti kapal selam yang amat
efektif; bahkan tanpa perkenaan langsung pun, gelombang kejut nuklirnya sanggup
meluluhlantakkan sebuah kapal selam pemburu,” kata Najwa, “baru tadi sebelum
saya ke sini, saya juga mendapat laporan dari kapal KRI Harimau bahwa mereka
menemukan serpihan-serpihan kapal yang berhasil diidentifikasi sebagai milik
KRI Antasena; maaf, Laksamana, tapi saya kira kapal selam itu mungkin sudah
hancur sekarang,”
Jawaban
itu tentu saja makin menusuk hati semua orang yang ada di sana.
“Saya
tidak mau memberi harapan, tapi KRI Harimau masih akan terus melakukan patroli
di sekitar perairan itu hingga 24 jam ke depan; meskipun saya ragu mereka bisa
menemukan apapun,” kata Najwa, “pergumulan di laut tidak pernah berbekas,
apabila KRI Antasena benar hancur, maka sisa-sisanya mungkin sudah ada di dasar
laut yang tak mungkin kita ambil lagi,”
Bahkan
Najwa pun tak berani melanjutkan perkataannya, karena kabar ini adalah kabar
yang sangat pahit untuk didengar.
“Apakah
Australia yang melakukannya?” tanya Ibrahim Kartaredjasa.
“Saya tidak mau berspekulasi, Pak Menteri, tapi apabila Australia tidak mengeluarkan statement apapun, saya kira mereka sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Najwa, “mereka memiliki sistem sensor yang lebih canggih daripada Indonesia, sehingga apabila kita tahu, mereka pasti juga tahu; soal apakah ini ulah dari Australia atau bukan, saya tidak bisa memastikan,”
“Tidak
bisakah kita mengirimkan nota ke Australia untuk meminta penjelasan?” tanya
Presiden.
“Australia belum mengeluarkan statement apapun,” kata Ibrahim Kartaredjasa, “mereka pasti akan menyangkal keterlibatan mereka dalam hal ini,”
“Bagaimana
soal pengamanan lanjutan?” tanya Presiden.
“Saya sudah memerintahkan 4 kapal rudal, 2 korvet, dan 1 kapal torpedo untuk dipindahkan dari Makassar ke pangkalan di Cilacap,” kata Laks. Danoe Salampessy, “masing-masing kapal rudal KRI Mandau, KRI Kujang, KRI Salawaku, dan KRI Kelewang; korvet KRI I Gusti Ketut Jelantik dan KRI Keumalahayati; serta kapal torpedo KRI Musang; mereka akan bergabung dengan KRI Harimau, dan bertugas untuk mengamankan hingga perimeter ground zero, kalau-kalau pihak Australia atau siapa pun berupaya masuk kembali; mereka pasti akan berupaya untuk mencari bangkai kapal selam itu,”
“Bagaimana peluang kita untuk mendapatkan kembali bangkai kapalnya?” tanya Presiden.
“Sulit, Pak Presiden; radar bawah air dari KRI Harimau atau KRI Ternate mungkin bisa memetakan lokasi reruntuhan, tapi untuk mengambil dari kedalaman itu, kita tak punya sarananya,” kata Najwa, “wahana penyelamatan laut dalam terbaru kita baru bisa menyelam hingga kedalaman 240 meter saja, tidak lebih; kita nanti terpaksa harus menyewa dari Amerika Serikat, Norwegia, atau Russia; yang mana pastinya tidak bisa diselesaikan dengan cepat,”
Laksamana
Madya Sihombing pun tampak tak kuasa menahan diamnya. “Nn.
Najwa, ada orang sipil di dalam kapal selam itu, Anda sudah tahu, kan?” tanya
Laksdya. Sihombing.
“Ya, saya tahu,” jawab Najwa gontai.
“Kita harus segera memberitahukan kepada keluarga korban, karena mereka berhak untuk tahu,” kata Presiden, “sementara, jangan ada pengumuman resmi sampai seluruh keluarga korban selesai kita beritahu secara langsung,”
“Kami sudah siapkan surat kematian untuk seluruh keluarga para awak di kapal selam, dan sebentar lagi perwakilan kami akan memberikannya,” kata Laksdya. Sihombing, “dan soal korban sipil, saya mengenal salah satu reporter dari NewsTV yang menjadi korban di sana; suaminya kawan saya, kalau boleh saya mohon izin untuk memberitahukan hal ini langsung kepada dia,”
“Silakan
saja, Laksamana,” kata Presiden, “jika memang Anda mengenal keluarga korban,
mungkin memang lebih baik apabila Anda sendiri yang memberitahukannya secara
langsung,"
Laksdya.
Sihombing pun menangguk dengan enggan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, dan
memegang sebuah benda kecil berbentuk lingkaran. Itu adalah cincin kimpoi milik
Lucia, dan kini, sesuai amanat Lucia kepadanya, dia harus memberikan cincin itu
kembali kepada Alex, karena inilah satu-satunya kenangan Lucia pada suaminya.
***
Kantor
NewsTV
11.48
WIB
Alex
terdiam di balik meja kerjanya. Sebagian berkas telah ia
selesaikan, tapi entah kenapa ia merasa amat sangat khawatir. Berita yang Rahma
berikan tadi pagi betul-betul menghantuinya, ditambah gerakan misterius di
Istana yang belum diketahui apa sebabnya. Ia khawatir bahwa semua itu ada
hubungannya dengan KRI Antasena, dan saat ini Lucia ada di sana. Alex pun
membuka lacinya, dan melihat sebuah benda warna perak yang ada di sana.
Itu
adalah sebuah kalung salib yang terbuat dari perak dan bertahtakan intan dan
sungguh indah. Kalung ini adalah milik Lucia, tapi kini disimpan oleh Alex
(sebelum menikah dengan Alex, Lucia memeluk Nasrani). Alex
memegang kalung salib itu dan menggegamnya erat-erat. Dengan begitu,
seolah-olah dia bisa merasakan istrinya tengah dekat dengannya. Setelah menikah
dengan Alex, Lucia memang tidak lagi memakai kalung itu, tapi Alex melarang
Lucia untuk membuangnya, karena bagaimanapun, Alex tahu bahwa kalung itu adalah
peninggalan dari keluarga Lucia, yang pastinya tetap harus diperlakukan dengan hormat.
Fifi
masuk dan melihat Alex tengah menggenggam kalung salib itu. Fifi sendiri paham apa artinya, Alex
tengah khawatir dengan Lucia. Setelah Lucia pergi, Alex memang sering terpergok
tengah memegang kalung salib milik Lucia itu.
“Aku
yakin dia pasti baik-baik aja,” kata Fifi.
“Moga-moga aja bener,” kata Alex.
“Oh ya, biar nggak kepikiran terus, coba tebak deh, siapa yang datang,” kata Fifi.
“Siapa? Prita, yah?” tanya Alex.
“Yak betul!” kata Prita yang tiba-tiba saja sudah muncul dari belakang Fifi.
Alex
pun tersenyum lebar, lalu segera bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut
Prita dengan sebuah pelukan hangat. Prita pun tak lupa
memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan Alex. Alex memang memiliki hubungan
dekat dengan beberapa wanita, salah satunya adalah Prita ini; dan mereka berdua
memang tak canggung untuk berpelukan, bergandengan, atau cipika-cipiki di depan
umum. Alex malah pernah pula berciuman dengan Prita
gara-gara pada saat natal mereka berada di bawah mistletoe. Toh, baik Wina maupun
Lucia tidak pernah cemburu, karena memang wanita-wanita ini masih dalam lingkup
lingkaran dalam Alex.
“Nggak
dikasih cium bibir, nih?” goda Prita.
“Nanti deh, kalau sudah berdua,” kata Alex sambil melirik Fifi, “oh ya, kamu kapan datang, Prit? Dari mana sih, aku lupa,”
“Dari Wamena,” kata Prita, “kan aku udah bilang buat liputan ‘Khatulistiwa’, ini aja aku baru tadi pagi datang langsung ke sini,”
“Lho, bukannya kalau habis pulang gitu dapet jatah libur, ya?” tanya Alex.
“Gimana, sih? Kan aku kangen ama kamu!” kata Prita sambil tertawa.
Alex
hanya tertawa kecil saja sambil ia lalu mengusap pantat Prita, hal yang memang
biasa ia lakukan setiap kali bertemu. Prita pun lalu mengeluarkan sebuah dompet
CD yang isinya beberapa buah cakram optik.
“Nih,
dokumentasi selama di Wamena, khusus buat kamu,” kata Prita.
“Makasih, kudu bayar berapa, nih?” tanya Alex.
“Belum aku itung, ntar deh, gampang,” kata Prita. ”Bayar pake cium juga boleh,” tambahnya sambil tersenyum.
Alex terdiam, bukan karena perkataan Prita barusan, tapi karena tangan kirinya tak sengaja menyentuh buah dada Prita yang empuk dan kenyal. ”Omong-omong, Danny nggak ikut pulang?” tanya Alex kemudian untuk menghilangkan debaran di hatinya.
“Danny, dia langsung ke Merauke,” kata Prita ringan, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “dua minggu lagi baru balik,” tambahnya.
“Wah, gila, udah mau nikah masih pake acara pisah-pisahan juga,” kata Alex dengan lega.
“Yee… kan berpisah untuk bertemu lagi… Hahaha…” gelak Prita, “eh, aku laper nih, dah jam makan siang, kan? Ma’em yuk,”
Alex
mengangguk saja, dan Prita segera menggandeng Alex keluar dari ruangan itu,
meninggalkan Fifi (seperti biasa) dengan pekerjaannya. Meskipun kerja bersama,
Alex dan Fifi nyaris tak pernah makan siang bersama di kafe NewsTV, kecuali
kalau ada sesuatu hal. Untuk makan siang sendiri, Alex hampir pasti selalu
ditemani oleh entah Prita, atau Fessy, atau Rahma, atau Mutia, atau
reporter-reporter bawahannya.
Tapi
siang ini, ”ma’em” yang dimaksud oleh Prita adalah mengajak Alex ke ruang
reporter yang kebetulan lagi sepi dan membiarkan laki-laki itu untuk mendekap
dan memeluk tubuhnya dari belakang.
”Aku
kangen kamu,” bisik Alex sambil memegang kedua lengan Prita dan mendorongnya hingga
tersandar di sofa. Tangan kanan Alex dengan cepat mulai mengurai kancing baju yang
dipake oleh Prita.
”Ahh...”
Prita hanya bisa menggeliat-geliat kegelian karena sembari membuka kancing
bajunya, Alex juga menggelitik pinggangnya.
Sebentar
saja blouse Prita sudah terbuka, menampakkan tonjolan buah dadanya yang masih
ditutupi BH putih tipis. Benda bulat kembar itu tampak bergerak naik turun
mengikuti irama nafas Prita yang sudah mulai memburu cepat. Perut Prita yang
rata dan mulus juga terlihat sangat merangsang sekali.
Sambil
tersenyum memandanginya, Alex berkata, ”Kamu cantik, Prit.” bisiknya dengan tangan
bergerak ke belakang untuk membuka pengait BH Prita. Kemudian dia menarik lepas
BH itu hingga terpampanglah kedua toked Prita yang bulat kencang, lengkap dengan
putingnya yang mungil berwarna coklat kemerahan, terlihat mengacung tegak ke
depan dan bergerak naik turun seirama dengan tarikan nafasnya.
”Ahh...”
Prita mendesah saat Alex mulai menciumi belakang telinganya, lidah laki-laki
itu juga bermain-main di sekujur batang lehernya hingga menimbulkan perasaan
geli yang amat sangat. Prita hanya bisa menggeliat-geliat saat menerimanya, tak
terasa ia sudah sangat terangsang oleh cumbuan nikmat Alex.
Mulut
Alex berpindah, kini laki-laki itu melumat bibir Prita dengan ganas, lidahnya
bergerak-gerak menerobos ke dalam mulut Prita dan menggelitik lembut disana,
mengajak Prita untuk saling memilin dan bertarung lidah. ”Ini kan yang kamu
cari, Prit?” tanya Alex di sela-sela kulumannya.
”Ahh...
hmm... hmm...” tidak sanggup untuk menjawab, Prita hanya bisa mengguman sambil
badannya yang sedari tadi menegang mulai agak sedikit lemas. Ia tengadah ke
atas dan badannya melengkung ke depan, ke arah Alex, seperti ingin memamerkan tonjolan
buah dadanya yang bulat kencang menantang pada laki-laki itu.
Alex
yang melihatnya, langsung bereaksi. Sambil tangan kanannya memegangi bagian
bawah payudara Prita, ia mulai mencium dan menghisap-hisap kedua putingnya secara
bergantian. Mulanya toked kanan yang menjadi sasaran,
kemudian yang kiri. Hampir semua bagian puting Prita masuk ke dalam mulut Alex yang
terus menghisap-hisap layaknya bayi yang kehausan. Lidahnya terus bermain-main
pada puting mungil kemerahan itu, hingga tak lama, benda itupun bereaksi dengan
berubah menjadi kenyal dan keras.
”Hah...
hah...” terasa sesak napas Prita menerima permainan Alex yang lihai itu. Badannya
terasa semakin lemas dan dari mulutnya terus terdengar erangan yang sangat
membangkitkan birahi.
Mulut
Alex terus berpindah-pindah dari toked yang kiri, ke yang kanan, lalu ke kiri
lagi, bahkan kadang-kadang Alex juga menjilati keduanya secara bersamaan.
Membuat Prita jadi benar-benar lemas menerima perlakuan ini. Matanya terpejam, sementara kedua putingnya telah benar-benar kaku dan mengeras.
Dalam
keadaan terlena, tiba-tiba badan Prita tersentak, ”Auw!” ia sedikit menjerit
saat merasakan tangan Alex yang mulai mengelus-elus pahanya yang terbuka. Tersenyum,
Prita membiarkan Alex untuk menjelajah lebih jauh. Tangan Alex perlahan-lahan
merambat ke atas untuk menyentuh bibir kewanitaannya. ”Aahhh...” segera badan Prita
tersentak dan melenguh panjang saat Alex sudah menemukan sasarannya.
Mula-mula
hanya ujung jari telunjuk yang mengelus-elus bibir kemaluan Prita yang masih tertutup
celana dalam, akan tetapi tak lama kemudian tangan kanan Alex menarik turun
benda segitiga tipis itu hingga Prita sekarang
dalam posisi duduk di sofa bertelanjang bulat. Muka perempuan cantik itu
jadi merah merona dengan mata yang terpejam sayu menatap Alex penuh birahi, sedangkan
giginya terlihat menggigit bibir bawahnya yang bergetar karena dorongan api birahinya
yang semakin berkobar tak terbendung.
Melihat
ekspresi muka Prita yang seperti itu, makin membangkitkan nafsu Alex. Cepat ia
mencopoti seluruh bajunya hingga jadi sama-sama telanjang.
”Ihh,
besarnya!!” gumam Prita terkejut melihat penis Alex yang kini mencuat mendongak
dengan gagahnya. Benda itu kelihatan panjang dan gemuk, dengan urat-urat kecil
menjalar melingkar-lingkar di sekujur permukaannya yang menghitam. Sangat
panjang sekali, sampai hampir menyentuh pusar Alex.
Prita
merinding. Seingatnya dulu -terakhir kali dia menikmatinya sebelum berangkat ke
Wamena- kemaluan Alex tidak sebesar ini. Tapi sekarang, bisa-bisa kewanitaanya
jebol kalau dimasuki penis itu. Mungkin ini akibat penis Danny yang tidak
sebesar punya Alex, keseringan dapat penis kecil membuatnya jadi memandang
kagum pada kejantanan Alex. Tak terasa iapun menggumam pelan sambil memandang ngeri.
”Bisa jebol punyaku nanti, Lex.” bisiknya.
”Ya
enggak lah, malah nikmat lagi.” sahut Alex penuh rasa bangga, ia tatap wajah
cantik Prita yang masih kelihatan terpesona, wanita itu terbelalak dengan mulut
setengah terbuka.
Dengan
lembut Alex menarik tubuh mulus Prita ke dalam pelukannya. Setelah menciuminya
sejenak, sambil tak lupa juga meremas-remas kembali tonjolan buah dadanya, Alex
kemudian memegang kedua kaki Prita dan membukanya lebar-lebar. Lalu ia benamkan
kepalanya di antara kedua paha Prita yang putih mulus.
”Ahh..
Lex!” Prita merintih saat Alex mulai menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar belahan
memeknya. Ia hanya bisa memejamkan mata menikmatinya, sambil tubuhnya bergerak-gerak
menggelinjang penuh kegelian.
”Oohh...”
rintihan halus terdengar keluar dari mulut manis Prita saat Alex menggerakkan
lidahnya semakin cepat, juga semakin dalam, hingga membuat kewanitaan Prita
yang masih rapat jadi kelihatan basah dan mengkilat karena air liur.
Tak
tahan lagi, Prita pun merintih memelas sambil menggigit bibir bawahnya. ”Lex,
s-sudah... cepat lakukan!” Sungguh ia tidak bisa menahan diri lagi, seluruh
tubuhnya telah diliputi oleh nafsu birahi, serangan Alex yang bertubi-tubi benar-benar
membuatnya kewalahan.
Alex
segera melepaskan diri, ia kemudian bangkit berdiri. Ditariknya perempuan
cantik itu ke dalam pelukannya hingga kepala Prita tepat berada di depan batang
penisnya. Prita yang tahu apa yang diinginkan oleh Alex, segera membuka mulut
dan melahap penis Alex dengan penuh nafsu. Ia jepit benda coklat panjang itu di
antara kedua bibir mungilnya. Meski sudah berusaha membuka mulut selebar-lebarnya,
tapi tetap saja penis itu hanya masuk sebagian. Sungguh ukuran kemaluan Alex
terlampau besar bagi mulut Prita yang mungil. Itupun sudah terasa penuh benar,
Prita bahkan hampir sesak nafas dibuatnya.
Sebisa
mungkin -yang penting Alex merasa nikmat- Prita mulai menghisap dan mengulumnya.
Ia mainkan batang penis itu keluar masuk di dalam mulutnya. Terasa kepala penis
Alex bergetar pelan setiap kali lidah Prita menyapu disana.
”Ahh...”
Alex melenguh, terlihat begitu menikmatinya. Bahkan
lama-lama ia jadi tak tahan juga. Cepat ia tarik batang
penisnya hingga terlepas dari mulut Prita, dan langsung berlutut di sofa. Ditariknya badan Prita hingga sedikit berbaring menyamping.
Dengan
tangan kanannya Alex menggenggam batang penisnya dan mulai menggesek-gesekkan
benda itu ke bibir kemaluan Prita yang sudah basah memerah. Prita merintih dan badan
mulusnya sedikit tersentak saat Alex berusaha untuk menekan. Terasa sedikit sempit,
tapi dengan usaha lebih keras, perlahan-lahan kepala kontol itupun mulai menerobos
masuk, membelah bibir kemaluan Prita hingga jadi terkuak lebar.
”Arghh...”
rintih Prita saat Alex menekan pantatnya kuat-kuat dengan tiba-tiba, pinggul
mereka langsung menempel ketat dan saling menggesek mesra. Bulu lebat di pangkal
kemaluan Alex terasa menggesek lembut di bibir kewanitaan Prita, makin
membuatnya kegelian, sedangkan seluruh batang kejantanan laki-laki itu amblas
ke dalam liang memeknya.
Tak
kuasa menahan diri, Prita pun menjerit tertahan, ”Ohh... besar banget, Lex! Sampe sesek rasanya punyaku...” gumamnya dengan badan tertekuk ke atas.
Alex
yang cukup mengerti keadaan Prita, memberi kesempatan pada perempuan cantik
untuk menyesuaikan diri. Setelah dilihatnya Prita sedikit tenang, barulah Alex mulai
menggoyangkan pinggulnya. Mula-mula perlahan, namun kemudian
makin lama menjadi semakin cepat. Seterusnya pinggul Alex bergerak dengan
kecepatan tinggi diantara kedua paha Prita yang putih mulus.
Prita
berusaha memegang lengan Alex, sementara tubuhnya bergetar dan terlonjak-lonjak
dengan hebat akibat dorongan dan tarikan laki-laki itu. Ia terus mendesah dan
merintih-rintih, sambil kepalanya tak henti-henti menggeleng-geleng ke kiri dan
ke kanan. Gesekan demi gesekan di dinding liang
memeknya benar-benar membuatnya melayang. Sepertinya goyangan Alex telah
sepenuhnya menguasai tubuh sintal Prita.
Sambil
terus memompa pinggulnya, Alex tidak mau membiarkan tangannya menganggur. Dengan gemas ia kembali memegang dan meremas-remas gundukan payudara Prita secara
bergantian. Bisa ia rasakan bahwa puting Prita sudah sangat
kaku dan mengeras.
Lagi
asyik-asyiknya, tiba-tiba Alex dikejutkan oleh erangan panjang yang keluar dari
bibir tipis Prita, ”Ooooh... Lex... aku... aahhhh...”
Tubuh
perempuan cantik itu melengkung, kedua pahanya yang jenjang mengejang serta
menjepit batang Alex kuat-kuat. Sambil menekuk ibu jari kakinya, Prita menaik-turunkan
bokongnya berkali-kali. Seluruh badannya kelojotan saat cairan bening menyembur
deras dari liang senggamanya. Prita menjerit serak menghadapi orgasme total yang
dengan dahsyat melanda tubuh sintalnya itu.
”Hah...
hah... hah...” terengah-engah, Prita merasakan seakan-akan seluruh tulang di
tubuhnya copot berantakan. Ia terkulai lemas tak berdaya di sofa dengan kedua
tangannya terentang dan pahanya terkangkang lebar-lebar, sementara batang penis
Alex yang masih kaku dan menegang tetap tertancap dalam di liang vaginanya.
Beberapa
menit Alex memberi waktu bagi Prita untuk beristirahat, sebelum akhirnya ia membalik
tubuh perempuan cantik itu hingga setengah tertelungkup di sofa. Dengan posisi
pantat menungging ke arah Alex, Prita siap untuk melakukan babak selanjutnya; doggy
style. Secara perlahan-lahan, Alex kembali menggerakkan penisnya, menggenjot
tubuh mulus Prita dari belakang. Dengan posisi seperti ini, tangannya kini
lebih leluasa meremas-remas kedua toked Prita yang menggantung indah.
”Uhh...”
merintih keenakan, kepala Prita tengadah ke atas, matanya setengah terkatup
menahan kenikmatan yang melanda tubuh sintalnya. Sementara di belakang, Alex
terus memacu dan menggoyangkan pinggulnya, bahkan terkadang juga memutarnya ke kiri
dan ke kanan serta melingkar-lingkar, sehingga penisnya yang panjang dan besar bisa
mengaduk-aduk seluruh lubang kewanitaan Prita.
Tak
berselang lama, Alex merasakan suatu dorongan keras mendesak dari dalam batang
penisnya, menimbulkan perasaan geli-geli nikmat pada ujung kemaluannya. Ia pun
segera menggeram panjang dengan suara tertahan, ”Prit... ahh... aku mau
keluar!” desisnya sambil mendorong pinggulnya sekuat tenaga sehingga batang penisnya
yang besar dan panjang terbenam seluruhnya di liang kewanitaan Prita.
”Arghhh...”
dengan satu lenguhan panjang, Alex pun orgasme. Seluruh tubuhnya bergetar hebat
saat ia menguras habis cairan spermanya. Semprotan demi semprotan cairan itu
mengisi liang rahim Prita, membuatnya jadi makin basah dan lengket saja.
Alex
tertelungkup sejenak di atas badan Prita yang juga sudah lemas tak berdaya.
Berdua mereka menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda. Setelah kurang
lebih 3 menit, barulah Alex memasuki masa tenang. Secara perlahan-lahan ia mencabut
penisnya yang telah melemas dan segera menggeletak di sebelah Prita.
”Kamu
kuat banget, Lex. Ini yang aku rindukan dari kamu!” bisik Prita manja.
”Enakan
mana punyaku sama punya Danny?” tanya Alex menggoda.
”Ya
punya kamu lah... udah gede, panjang, kaku lagi.” sahut Prita nakal.
”Hehe...
nyesel ya udah milih Danny?”
Prita
memukul pundak Alex pelan, ”Lha kamu, buru-buru amat ngawinin Lucia.”
”Dia
spesial,” mata Alex menerawang kepada Lucia yang sekarang berada jauh darinya.
Prita
mengangguk, bisa mengerti dengan pilihan laki-laki itu. Lucia adalah ’cinta’
Alex, sementara dia, Fessy, Fifi, dan Rahma tak lebih dari sekedar penghibur.
Tapi Prita bisa menerimanya, karena ia juga sudah punya cinta sendiri; Danny,
yang meski tidak seperkasa Alex, tapi cukup tampan dan bertanggung jawab.
”Kita
cari makan yuk, laper nih." ucap Prita sambil beranjak berdiri. Ia
memunguti pakaiannya yang berserakan dan mulai mengenakannya kembali. Begitu
juga dengan Alex. Selanjutnya dengan beriringan mereka beranjak menuju
kafetaria.
“Douw!
Udah kangen makan makanan di sini!” kata Prita selepas menyendok makanan
pertamanya.
Alex
hanya tersenyum saja melihat tingkah laku Prita. Prita memang bukan orang yang terlalu mementingkan bersikap jaim. Ia lebih
suka berlaku seperti apa adanya, apalagi di hadapan Alex.
“Emang
dah berapa lama sih, kamu pergi? Baru juga sebulan, kan?”
tanya Alex.
“Sebulan juga lama kali,” kata Prita.
Angin
pun menghembus kencang, karena mereka memang makan di bagian outdoor dari
kafetaria, hanya dilindungi oleh meja berpayung. Ini adalah spot favorit Alex,
karena Alex memang menyukai duduk dan makan di bawah udara bebas, setelah
seharian terkurung di dalam kantor, senyaman apapun.
“Tambah
lagi aja, Non,” kata Alex, “the treat is on me,”
“Eh, jangan!” cegah Prita.
“Dah, nggak papa,” kata Alex, “itung-itung balas budi dulu kamu sering nraktir aku,”
Prita
pun tersenyum saja. Pada awal-awal Alex bekerja, memang Prita sering sekali
mentraktir Alex untuk makan. Siapa yang mengira sekarang kedudukan Alex bisa
lebih tinggi dari Prita.
“Makasih,”
kata Prita.
Alex
mengangguk saja. Saat itulah sebuah suara bergemuruh terdengar keras, dan
ketika Alex melihat ke atas, tampaklah sebuah helikopter Bell-412 terbang
semakin mendekat dan memutari gedung NewsTV. Setelah NewsTV membeli helikopter,
bunyi deru mesin terbang itu kini menjadi pemandangan umum bagi mereka yang
makan di atas balkon, tapi NewsTV memiliki helikopter dari jenis EC-120
Colibri, bukan Bell-412. Helikopter itu pun perlahan-lahan menuju ke atas
helipad yang terletak di atap gedung.
“Siapa,
yah?” tanya Alex.
“Kayaknya ada decal Angkatan Laut, deh,” kata Prita sambil melihat ke atas, berpacu dengan silaunya matahari.
“Angkatan Laut?” tanya Alex, yang dengan tiba-tiba jantungnya berdegup kencang sekali.
Alex
pun berdiri mematung ketika helikopter itu mulai merapat dan akhirnya
menghilang di balik atap gedung, pastinya sekarang helikopter itu sudah
mendarat. Nafsu makan Alex mendadak hilang sama sekali,
pun Prita juga menghentikan makannya. Wajah Alex terlihat tegang, dan Prita
mengetahuinya.
“Ada
apa?” tanya Prita.
“Nggak tahu…” kata Alex, “aku harus ke sana… jangan-jangan ada berita buruk soal Lucia!”
Alex
langsung saja berlari masuk kembali ke arah gedung. Prita pun, masih dengan
mulut penuh, terpaksa juga meninggalkan makan siangnya dan berlari menyusul Alex.
Firasat Prita mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang
buruk, dan Prita pun takut, karena biasanya firasatnya tak pernah salah.
***
Lantai
4
12.34
WIB
Alex
dan Prita pun langsung tiba saja di lantai 4. Mereka berusaha untuk secepatnya
menemui siapapun dari Angkatan Laut itu yang datang. Apabila ini memang benar
adalah sebuah berita buruk, pastinya akan disampaikan terlebih dahulu pada Bu Isyana.
Semakin lama, Alex semakin khawatir dan detak jantungnya semakin terpacu cepat.
Mereka pun akhirnya setengah berlari di dalam koridor ruangan gedung NewsTV
yang berliku-liku, menuju ke ruangan Bu Isyana.
Akan
tetapi, sebelum mereka sempat mendatangi ruangan Bu Isyana, seseorang mencegat
mereka. Itu adalah Pak David, mantan produser yang kini menjadi Wapemred, second-in-command
di bawah Bu Isyana.
“Berhenti
di situ,” kata Pak David dengan perlahan tapi berwibawa.
Prita
dan Alex pun segera berhenti. Pak David jelas ada di situ untuk sesuatu hal.
“Apa
orang dari Angkatan Laut itu ada di ruangan Bu Isyana?” tanya Alex.
“Iya, tapi kalian tidak boleh ke sana dulu,” kata Pak David.
“Aku mau tahu kabar istriku!” kata Alex yang langsung mencoba merangsek.
Dengan
sebuah cengkeraman yang kuat, Pak David pun memegang tangan Alex, mencegahnya
melanjutkan langkah.
“Lepasin,
Pak David!” teriak Alex.
“Ada waktunya, Alex!” kata Pak David, “ada waktunya, tapi bukan sekarang!”
Alex
pun lalu tenang dan melihat ke arah Pak David. Dari
sini Pak David bisa membaca mimik kekhawatiran yang amat jelas tercetak di
sinar mata Alex.
“Apa
terjadi sesuatu?” tanya Alex.
“Aku belum tahu,” kata Pak David, “sebaiknya kalian tunggu di sini, sampai Bu Isyana mengizinkan kalian untuk masuk,”
Prita
pun turut menenangkan Alex, dan membimbing Alex untuk duduk di sebuah bangku di
dekat mereka. Jelas sekali Alex amat gelisah. Beberapa kali Alex bangkit dari
tempat duduknya, tapi Prita dan Pak David selalu bisa menenangkannya. Waktu pun
terus berlalu, dan bagi Alex yang gelisah, detik-detik jam itu terdengar bagi
dentuman meriam.
Akhirnya,
setelah agak lama, Bu Isyana pun keluar dari ruangan. Alex dan Prita berdiri begitu melihatnya. Aneh sekali,
wajah Bu Isyana tampak seperti merasakan sebuah gurat kesedihan, walaupun ia
masih berusaha untuk tampil anggun. Bu Isyana lalu berjalan mendekati Alex dan
Prita.
“Tuan
Alex,” kata Bu Isyana, “bagus, jadi Anda sudah ada di sini,”
“Ada apa?” tanya Alex gelisah.
“Silakan Anda memakai ruanganku,” kata Bu Isyana, “bukan aku yang akan menjelaskan apa yang terjadi,”
“Ada apa, Bu Isyana?” tanya Alex lagi dengan nada dalam.
“Masuklah ke ruanganku,” kata Bu Isyana, “aku permisi,”
Bu Isyana
pun lalu meninggalkan mereka tanpa mengatakan apapun lagi. Bahkan Pak David pun
tidak tahu apa yang terjadi. Alex menatap ke pintu ruangan yang masih terbuka
itu, ia tak dapat melihat siapa yang di dalam. Bersama
dengan Prita, akhirnya Alex memberanikan diri untuk memasuki ruangan.
Laksdya.
Sihombing pun segera berdiri ketika Alex dan Prita masuk. Tampak ada sebuah
keraguan yang kentara ketika Laksdya. Sihombing menyapa mereka berdua, bahkan Alex
pun merasakan tangan Laksdya. Sihombing gemetaran ketika
mereka bersalaman.
“Tuan
Alex…” kata Laksdya Sihombing.
“Laksamana, ada apa?” tanya Alex.
“Begini, Tuan Alex…” kata Laksdya Sihombing, “aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, karena memang tidak ada cara yang mudah untuk menyampaikan ini…”
“Ada apa?” tanya Alex semakin khawatir.
Laksdya
Sihombing berdehem beberapa kali, gugup. Maka Alex pun semakin senewen. Prita
bahkan bisa merasakan suasana kegugupan yang menyelimuti ruangan itu, oleh
karena itu, tanpa terlihat oleh Laksdya Sihombing, Prita pun menelusupkan
tangannya ke tangan Alex dan menggenggamnya erat. Alex pun balas meremas tangan
Prita itu, tapi bagaimanapun, tangan Alex tetap sedikit gemetaran.
“Gimana
keadaan istriku?” tanya Alex lagi.
“Tuan Alex… kami mendapatkan kabar buruk dari KRI Antasena; telah terjadi ledakan besar di Samudera Indonesia, di mana pada saat itu KRI Antasena tengah berada di ground zero,” kata Laksdya Sihombing, yang lalu tercekat sejenak.
“Lalu istriku?” tanya Alex semakin gelisah, genggamannya ke tangan Prita pun semakin erat.
“Kami takut… KRI Antasena hancur akibat ledakan itu, dan tenggelam beserta seluruh awaknya ke dalam Samudera Indonesia, ke dalam kedalaman yang tidak bisa kita jangkau,” kata Laksdya Sihombing, “termasuk juga istri Anda, Lucia,”
Prita
terkejut mendengar berita itu, apalagi Alex. Ia serasa bagaikan disambar petir
dan jantungnya seolah berhenti sejenak. Pandangannya kosong untuk beberapa
saat, karena memang tidak ada seorang suami pun yang bisa bertahan ketika
mendengar berita semacam itu; bahwa istri tercintanya meninggal, dan bukan
hanya mati melainkan juga kemungkinan jasadnya tidak bisa ditemukan.
“Alex…”
panggil Prita lirih sambil menatap nanar ke arah Alex.
Alex
tidak menjawab, pandangannya kosong ke depan. Sesaat kemudian, lututnya serasa
amat lemas dan Alex segera jatuh bersimpuh. Prita dengan susah payah mencoba
menahan, tapi akhirnya ikut turun juga bersama Alex.
“Alex!!”
teriak Prita.
Alex
pun akhirnya mulai tersadar dari kekosongannya…
“LUCIA!!!!!!!”
teriak Alex sekuat tenaga.
Prita
segera memeluk Alex untuk menenangkannya, dan Alex pun menangis meraung
sejadi-jadinya. Laksdya Sihombing pun tak kuasa untuk menahan
air mata pula. Jeritan tangis seorang pria bisa jadi adalah
salah satu jeritan yang paling menyayat hati. Alex mencengkeram erat Prita dan
menumpahkan airmata sejadi-jadinya di atas bahu perempuan cantik itu. Prita
sendiri bingung hendak berkata apa, karena seperti halnya Alex, ia pun tidak
bisa menerima berita ini. Lucia adalah juga temannya, jadi ini jelas hal yang
amat memilukan.
Laksdya
Sihombing lalu menghapus airmatanya, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam
sakunya, cincin kimpoi dari Lucia. Ia pun lalu meletakkan
cincin itu di dalam genggaman Alex.
“Wasiat
terakhir dari dia…” kata Laksdya Sihombing, “supaya kalau ada apa-apa… ini
harus aku serahkan ke Anda…”
“TIDAAAAK!!!!!” jerit Alex dengan nada yang memilukan, sambil menggenggam cincin itu erat-erat.
***
Somewhere
in Bandung
12.48
WIB
Sebuah
Honda Jazz silver metalik berhenti di depan sebuah rumah di bagian pinggiran
kota Bandung. Pemukiman itu tampak lengang, serta rumah-rumahnya tampak seperti
sudah berumur puluhan tahun, bergaya Belanda yang klasik dan (boleh dibilang)
angker. Suasananya sepi, hampir-hampir tak ada orang yang berlalu-lalang di
dalam perumahan itu, padahal hari tengah dalam posisi puncak. Aviani dan
Mariska pun melihat ke arah rumah dengan was-was.
“Kamu
yakin ini alamat yang benar?” tanya Mariska.
“Yakin,” kata Aviani.
Sekali
lagi Aviani melihat pesan di dalam blackberry-nya, dan ternyata alamat rumah
itu memang benar. Namun dari luar, nyaris tidak bisa dipastikan apakah rumah
itu masih ada penghuninya atau tidak, karena memang sepi sekali.
“Perasaanku
nggak enak, Vi,” kata Mariska dengan nada penuh kekhawatiran.
Aviani
sekali lagi mengecek blackberry-nya, tapi tetap tak ada respons lanjutan dari
jaco123. Mau tak mau, informasi terakhir ini harus diterima sebagai sebuah
kebenaran. Tapi entahlah, bahkan kini reporter seberani Aviani
pun merasa sedikit ragu.
“Aku
samperin aja deh,” kata Aviani.
“Eh, jangan!” cegah Mariska, “nggak takut apa ntar kenapa-kenapa? Mana perumahan sepi banget kayak gini, lagi!”
“Udah deh, Ka,” kata Aviani, “nggak papa koq, tenang aja,”
Sia-sia
saja Mariska mencegah, karena apabila Aviani sudah punya mau, maka siapa pun
tak bisa menghalanginya. Mariska lalu membuka kunci pintu sentral, dan Aviani pun
turun sambil membawa ransel keberuntungannya yang penuh dengan barang-barang
peliputan. Sebelum melangkah pergi, Aviani
bercakap-cakap sejenak dengan Mariska.
“Hati-hati,”
kata Mariska, “kalau aja aku hari ini nggak kudu segera masuk kantor, aku pasti
nemenin kamu,”
“Udah, nggak papa,” kata Aviani, “eh, tapi tolong jangan kasih tahu siapa-siapa dulu yah, soal aku di sini,”
“Terus kalau kamu ada kenapa-kenapa, gimana?” tanya Mariska.
“Resiko kerjaan, Ka,” kata Aviani, “kalau dalam 24 jam aku nggak kontak kamu, baru kamu tolong hubungin Pak Alex di Jakarta,”
“Ya, aku ngerti,” kata Mariska, “ati-ati yah…”
Aviani
tersenyum, lalu ia segera menyeberang jalan menuju ke rumah. Mariska masih
melihat Aviani mengetuk pintu rumah itu ketika akhirnya ia sendiri harus pergi.
Dalam hati tentu saja Mariska berat untuk meninggalkan temannya ini seorang
diri, tapi apa boleh buat?
Sementara
itu, setelah ditunggu beberapa kali ketukan, tetap saja tak ada yang membuka
pintu. Aviani pun sampai gatal harus berdiri menunggu di sini.
“Halo?
Ada orang di rumah?!” teriak Aviani.
Tetap
tidak ada jawaban. Jendela pun tertutup oleh gordin, sehingga Aviani tidak bisa
melihat ke dalam rumah. Apa mungkin tidak ada orang di dalam rumah, ya? Apa
alamat yang diberikan oleh jaco123 salah?? Iseng-iseng, Aviani pun memutar
kenop pintu dan… terbuka! Rupanya pintu tidak terkunci. Aviani kembali ragu,
ingin rasanya ia berlari meninggalkan tempat ini, tapi rupanya naluri
reporternya malah menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.
“Apa
ada orang di rumah?” tanya Aviani lagi segera setelah masuk.
Aviani
melangkah perlahan untuk memasuki rumah itu lebih dalam lagi. Suasana
interiornya betul-betul klasik khas rumah tua, juga cukup sunyi.
Koridor-koridor pun terlihat gelap meskipun hari sebenarnya masih siang, dan
semakin Aviani masuk ke dalam, suasana semakin gelap dan sedikit membuat bulu
kuduk berdiri. Aviani merinding, namun dari tanda-tanda yang ia lihat, tak
adanya debu, perabotan yang cukup bersih, menunjukkan bahwa rumah ini masih
dihuni dan dirawat dengan baik. Tapi ke mana penghuninya?
Ketika
Aviani sampai ke ruangan utama, ruangan paling besar dari rumah ini, keadaannya
cukup berantakan, karena barang-barang berserakan di sana-sini. Aviani
tertegun. Butuh sebuah gempa bumi berskala sedang untuk bisa membuat kekacauan
seperti ini di sini, atau kalau bukan, sepertinya telah terjadi suatu
perkelahian sengit di sini. Aviani lalu mengeluarkan kamera digitalnya dan
memotret keadaan di sana.
Ruangan
itu gelap karena semua jendela ditutup dengan korden yang tebal. Lampu tidak
menyala, sepertinya terjadi gangguan listrik di sini. Hanya bunyi detik jam
besar saja yang mengisi keheningan suasana. Aviani menyelidik lebih jauh, dan
ia terkejut menemukan sesuatu di bagian tengah ruangan. Bukan, bukan barang,
itu ternyata manusia, tergeletak dalam posisi tertelungkup, dan darah terlihat
mengalir di lantai. Apa dia mati? Aviani hampir-hampir saja berteriak, dan bau anyir
darah mulai tercium kuat.
Aviani
segera menghampiri dan memeriksa tubuh itu. Pengalaman di beberapa daerah
konflik membuat Aviani sudah tidak canggung lagi kalau harus berhadapan dengan
mayat, atau setidaknya itu yang dikiranya. Dalam hati, Aviani berpendapat bahwa
ia pernah melihat mayat-mayat yang keadaannya lebih mengenaskan daripada cuma
ini. Tapi setelah diperiksa, ternyata… orang itu masih hidup! Buru-buru Aviani segera
membalikkan orang ini.
“Dr?
Dr. Anatoly Sedorenkov??” pekik Aviani ketika akhirnya bisa melihat wajah orang
itu.
Dr.
Sedorenkov pun dengan susah payah berupaya membuka matanya, tapi ia sudah amat
lemah. Darah itu rupanya berasal dari luka tembak di tubuh Dr. Sedorenkov. Ini
pasti bukan kecelakaan, ada yang mencoba membunuh Dr. Sedorenkov!
“Doktor!
Bertahanlah! Aku akan panggil bantuan!” kata Aviani.
“Zh...dat'…” kata Dr. Sedorenkov lemah.
“Ya?” tanya Aviani.
Ia kembali
mendekati Dr. Sedorenkov. Bajunya kini sudah kotor dengan darah dari Dr.
Sedorenkov, juga darah itu belepotan di tangan dan lengan Aviani. Begitu
mendekat. Dr. Sedorenkov, dengan sisa kekuatannya, menarik Aviani sehingga
kepalanya saling berdekatan. Lalu dengan masih menahan
Aviani, Dr. Sedorenkov pun membisikkan sesuatu di telinga Aviani. Aviani tentu
saja kaget, tapi apapun itu pastinya penting, karena Dr. Sedorenkov
mengulanginya 3 kali. Segera setelah itu, Dr. Sedorenkov pingsan.
“Doktor!!
Bangun!” kata Aviani sambil sedikit mengguncangkan tubuh Dr. Sedorenkov, “yang
tadi anda bilang itu apa??”
Tapi
Dr. Sedorenkov tidak menjawab, dan meskipun ia hanya pingsan, nafas dan detak
jantungnya sudah mulai melemah. Aviani pun makin panik. Dr. Sedorenkov tidak
bisa dibiarkan mati di sini. Aviani
pun berusaha menolong Dr. Sedorenkov… akan tetapi…
“GUBRAK!!!!”
Pintu
terdengar didobrak, dan sebelum Aviani sempat bereaksi apa-apa, tahu-tahu saja
beberapa orang berbaju hitam masuk sambil mengacungkan senapan otomatis jenis
Uzi. Mereka menggunakan topeng kain warna hitam pula, sehingga Aviani tidak
bisa melihat dengan jelas siapa saja. Salah seorang dari mereka segera saja
menyeret Aviani menjauh dari Dr. Sedorenkov, lalu temannya segera memeriksa
keadaan Dr. Sedorenkov.
Aviani
pun sontak ketakutan, karena moncong-moncong Uzi sudah diarahkan ke arahnya.
Selama ini belum pernah ia harus menghadapi senjata api dengan jarak sedekat
dan sejelas ini. Paling-paling biasa menghadapi
senjata-senjata airsoft, tapi ini bukan senapan mainan! Sebuah tembakan peluru
9mm dari Uzi sudah cukup untuk merenggut nyawanya. Aviani pun segera bersimpuh dengan kedua tangannya diletakkan di
belakang kepala.
Mereka
bekerja dengan isyarat tangan, tidak ada yang berbicara. Aviani mencoba
menjelaskan bahwa ia bukan yang melakukan penembakan pada Dr. Sedorenkov, tapi
mendadak sebuah cengkeraman kuat membuatnya berdiri, dan tanpa ba-bi-bu, ia
dihempaskan dan dipepet di dinding. Aviani berteriak kesakitan.
Kedua
kaki Aviani pun dikangkangkan lebar, lalu orang itu segera menggeledah Aviani. Aviani
sendiri tidak merasa nyaman, apalagi orang itu dengan kasar memegang dan
meremas bagian-bagian tubuhnya, termasuk payudara, pantat, juga bagian
kemaluannya, meskipun tidak melepas baju. Aviani berteriak-teriak dan menangis
ketika bagian-bagian sensitif itu diremas, tapi orang itu tidak peduli dan
malah mempererat tekanannya atas diri Aviani. Pelecehan seksual yang parah bagi
Aviani, tapi rabaan orang itu terlalu kasar untuk bisa dikatakan sebagai
pelecehan. Tetap tidak ada yang berbicara. Semua dilakukan dalam diam.
Tiba-tiba Aviani merasakan sebuah hantaman di belakang kepala, dan semuanya
menjadi gelap.
***
Location
Unknown
Time
Unknown
Aviani
tersadar ketika tahu-tahu ia terjerembab di atas lantai keramik yang dingin. Aviani
mengaduh kesakitan, dan ia mencoba mengusir rasa sakit di kepala sambil melihat
di mana sekarang ia berada. Pastinya ini bukan rumah yang tadi dia masuki, tapi
Aviani tak ingat apakah ia pernah dipindahkan. Memang
masih seperti salah satu bagian rumah, tapi Aviani tidak yakin ini di mana. Lima orang berpakaian serba hitam dan bersenjata Uzi sudah mengitarinya.
“Siapa
kalian??” tanya Aviani, “kalian mau apa??”
Semua
hanya diam saja tidak ada yang bersuara, hanya Uzi yang mengarah ke Aviani.
“Bagaimana
keadaan Dr. Sedorenkov??” tanya Aviani, “apa dia tidak apa-apa??”
Tetap
tak ada jawaban, bahkan suara nafas mereka pun tak terdengar.
“Jawab
aku!” jerit Aviani dengan nada keputusasaan.
Aviani,
untuk pertama kali dalam hidupnya, akhirnya benar-benar merasakan ketakutan. Ruangan ini juga gelap, sehingga ia hanya bisa samar-samar saja
mengenalinya, hanya sebuah lampu redup saja yang menyala di pusat ruangan. Dua
orang lagi, masih berpakaian serba hitam langsung memasuki ruangan, bedanya,
salah satu di antara mereka tidak memegang Uzi. Tapi apabila melihat dari
gayanya, sepertinya orang ini justru adalah pemimpin dari anggota pasukan hitam
ini.
Sang
pemimpin pun melihat ke arah Aviani dari balik visor inframerahnya, yang oleh Aviani
hanya terlihat seperti dua buah bola bersinar merah. Aviani berusaha menantangnya, tapi tidak ada di
antara orang-orang ini yang berbicara.
“Aku
tidak membunuh Dr. Sedorenkov!!” kata Aviani.
Tidak
ada jawaban dari orang-orang ini, mereka hanya melihat Aviani saja, dan
pancaran sinar dari visor masing-masing betul-betul membuat Aviani senewen. Tanpa malu-malu, Aviani pun menitikkan aimatanya, airmata ketakutan. Mereka
masih melihat Aviani, dan terlihat seperti robot yang tanpa ekspresi.
Sang
pemimpin akhirnya memberi isyarat tangan, dan semua orang pun lalu menurunkan
todongan Uzi mereka. Tadinya Aviani merasa lega, karena ia mengira
penjelasannya berhasil meyakinkan mereka, tapi tiba-tiba semua orang menahannya
berbaring di atas lantai dan memeganginya hingga ia tak dapat bergerak.
“KALIAN
MAU APA!!!??” bentak Aviani.
Tetap
tak ada jawaban, dan ketakutan terbesar Aviani pun terjadi. Orang-orang ini
dengan kasar segera menanggalkan pakaian Aviani, mulai dari baju, celana,
hingga pakaian dalam. Aviani berusaha berontak untuk melawan,
tapi sia-sia, karena kelima orang yang menahannya betul-betul kuat. Dalam
sekejap saja, ia pun langsung sudah telanjang bulat.
Aviani
berteriak dan menangis-nangis. Apakah mereka hendak menggagahinya di sini? Di
tempat yang tidak diketahui di mana? Kaki Aviani ditekuk ke atas sehingga
pahanya menempel di dada; kemudian kedua kaki itu dibuka lebar sehingga
kemaluannya pun terbuka lebar. Aviani tak bisa berbuat
apa-apa untuk menghentikan perlakuan ini, ia tak cukup kuat. Sepertinya inilah saatnya kehormatannya akan direnggut.
Ia
berusaha memberontak sebisanya, menggoyang-goyangkan pinggul dan pantatnya.
Tapi sebuah tangan lagi menahan gerakan itu, dan amat kuat sehingga efektif Aviani
tidak bisa bergerak lagi; itu adalah tangan Sang Pemimpin. Meskipun tak bisa melihat wajahnya, tapi dari cara Pemimpin itu melihat
Aviani, sepertinya ia menginginkannya. Aviani hanya bisa
menangis saja sebisa-bisanya, meratapi nasibnya. Andai saja pagi ini ia tidak
meninggalkan Gilang…
Ia
tertahan sejenak, dan merasakan sebuah tangan dingin mengusap kemaluannya. Lalu
dirasakan sesuatu yang dingin dan basah, seperti sebuah cairan yang diusapkan. Aviani
pun mulai menangis menghadapi perlakuan itu. Tangisnya semakin menjadi-jadi
ketika ia mengintip dan melihat bahwa tangan Sang Pemimpin lah yang memegang
bibir kemaluannya dan kali ini ia membukanya lebar-lebar… Sudah tak ada lagi
halangan sekarang, dan benteng terakhir Aviani ini akhirnya akan jebol juga.
“Tahan!!”
kata Sang Pemimpin, kata pertama yang terdengar dari gerombolan ini.
Aviani
tertegun sejenak. Tapi tiba-tiba sebuah benda dengan cepat segera menghujam
kemaluannya dan Aviani pun berteriak dengan sebuah teriakan yang pilu!
No comments:
Post a Comment