Tuesday, March 11, 2014

Laut Biru 5

Cerita diambil dari novel LAUT BIRU karya stuka1788 di forum Kaskus, ss by kaskus-addict
Chapter V: The Obituary
Istana Merdeka
Jakarta
03.42 WIB
Presiden Hariman Chaidir buru-buru menuju ke ruangan rapat darurat, masih mengenakan kimono tidurnya. Beliau betul-betul kaget karena tiba-tiba Kepala Staf TNI, Laksamana Dedy Suprayitno membangunkannya di pagi-pagi buta begini. Terlepas bahwa Beliau masih jengkel, berita apapun yang masuk sehingga membuatnya harus bangun dini hari ini pastilah berita amat penting yang tidak bisa menunggu hingga matahari terbit. Hatinya mulai was-was, karena beberapa malam ini Beliau memang tidak dapat tidur sehubungan dengan pelayaran perdana KRI Antasena. Jangan-jangan ini juga ada kaitannya dengan itu!

Tiba di ruang rapat, sudah ada Kepala Staf TNI Laks. Dedy Suprayitno, Kepala Staf AL Laks. Danoe Salampessy, Kapuspen AL Laksdya. Sapar Sihombing, dan Menteri Pertahanan Marius Tinangon. Kalau melihat dari komposisinya, masih kurang satu orang, yaitu Dr. Najwa Shihab, Penasihat Keamanan Kepresidenan. Presiden Chaidir melihat bahwa wajah semua orang tampak lesu dan tidak bersemangat, pastinya ini sebuah kabar buruk, kalau bukan kabar yang amat sangat buruk.
“Tuan Presiden,” kata Laks. Suprayitno, “Nn. Najwa sedang dalam perjalanan kemari, Beliau masih harus mengecek beberapa data,”

“Ada apa ini?” tanya Pres. Chaidir.
Semua orang tampak takut untuk menjawab, dan semuanya hanya mendesah dengan murung.
“Kami…” kata Laks. Salampessy, “mendapatkan sinyal darurat dari KRI Antasena, beberapa waktu lalu… tampaknya, kapal selam kita… sedang diserang,”
Presiden pun tampak terdiam sejenak dengan pandangan mata tak percaya. “Astaga… bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Pres. Chaidir.

“Kami… belum tahu lagi,” kata Laks. Salampessy, “kami belum dapat kontak lagi dari kapal selam itu… ada kemungkinan kapal selam itu sudah…”

“Hancur?” tanya Presiden.

“Kami belum memastikan itu, Tuan Presiden,” kata Laksdya. Sihombing, “kami sudah mengirim pesawat intai Be-200 ke posisi terakhir, dan Nn. Najwa  sedang memeriksa data-datanya,”

“Bagaimana laporan pengamatan awal?” tanya Pres. Chaidir.

“Tidak ada apa-apa; tapi kami masih belum tahu,” kata Laks. Salampessy, “tidak ada kapal selam ataupun kapal lainnya dalam radius hingga beberapa puluh kilometer,”

“Tapi pertempuran laut tidak meninggalkan bekas,” kata Pres. Chaidir, “aku tidak bisa tidur beberapa malam ini karena kapal selam kita sedang berlayar di perairan luar; apa kalian kira aku mengharapkan dibangunkan malam-malam hanya demi sebuah ketidakpastian!!?”
Semua tertunduk lesu. Jelas Presiden Chaidir adalah orang yang paling stress dengan ini, karena KRI Antasena dibangun atas instruksi langsung dari Beliau.
Pada saat itulah dari luar terdengar suara helikopter yang tengah mendarat di helipad Istana Merdeka. Rasanya tak perlu menebak siapa yang datang, karena beberapa menit kemudian, masuklah seorang wanita cantik berusia  36 tahun berambut panjang dan memakai kacamata minus. Dia adalah Dr. Najwa Shihab, Penasihat Keamanan Kepresidenan, wanita yang digadang-gadang sebagai “Condoleezza Rice-nya Indonesia”.
Meskipun masih muda, kariernya tidak main-main. Ia adalah lulusan dari Lemhanas juga, sama seperti Presiden Chaidir, tetapi Najwa Shihab  mengambil bidang kedaulatan teritorial. Juga merupakan anggota termuda dari Tim Penasihat Kepresidenan yang turut andil dalam merumuskan kebijakan pertahanan strategis Republik Indonesia.
Dialah aktris utama di balik keputusan Presiden Chaidir untuk meningkatkan dan memodernisasi postur Angkatan Bersenjata, juga yang mendorong dipenuhinya kebutuhan alutsista lewat industri lokal. Konon, di masa depan, ia sudah didaulat untuk menjadi entah sebagai Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, atau Wakil Presiden; dan sebuah partai bahkan tertarik mengangkatnya menjadi calon presiden ketika masa jabatan Presiden Chaidir rampung.
“Selamat pagi, Tuan Presiden,” sapa Najwa Shihab, “maaf, saya tidak berpakaian dengan lebih layak,”
Memang saat itu Najwa mengenakan sebuah tank top lingerie yang dibungkus dengan jaket seadanya, juga celana jeans yang tampaknya buru-buru sekali dipakai.
“Tidak apa-apa, Nn. Najwa, saya sudah memberi anda dispensasi untuk tidak mempedulikan masalah baju kalau Anda mau menghadap saya dengan masalah penting malam-malam begini,” kata Pres. Chaidir, “sekarang jelaskan temuan Anda,”

“Ya, saya sudah menganalisa hasil pengamatan dari piranti pengintaian kita,” kata Najwa, “saya belum bisa memutuskan apa yang sebenarnya terjadi; tapi ada satu hal yang menarik perhatian saya,”

“Jelaskan,” kata Pres. Chaidir.

“Hasil pemindaian inframerah satelit beberapa jam yang lalu menunjukkan ada sebuah lonjakan panas di titik dekat dengan kontak terakhir,” kata Najwa, “cakupan radiusnya cukup luas, karena mencapai 1 kilometer; yang mana ini hanya berarti satu hal,”

“Apa itu?” tanya Pres. Chaidir.

“Ledakan nuklir,” kata Najwa, “tepatnya di bawah laut, hanya beberapa puluh kilometer sebelum batas terluar ZEE kita,”

“Jadi maksud Anda…” kata Pres. Chaidir.

“Ya, ada yang menembakkan nuklir ke wilayah Indonesia, bom nuklir taktis sepertinya,” kata Najwa, “namun belum bisa saya pastikan; saat ini juga saya akan ikut dengan sortie pesawat Be-200 berikutnya; saya sudah suruh mereka memasang detektor Geiger-Müller,”
Pres. Chaidir termenung. Pertama nasib kapal selam tak diketahui, lalu sekarang ini? Nuklir? Apa kejadian ini berhubungan?
“Apa mungkin ada hubungan antara ledakan nuklir itu dengan hilangnya KRI Antasena?” tanya Pres. Chaidir.

“Itu juga yang sedang coba saya cari tahu,” kata Najwa, “tapi satu hal yang pasti, titik ledakan itu dekat sekali dengan titik kontak terakhir KRI Antasena,”
***
Kamar Aviani
Apartemen NewsTV
04.11 WIB
Aviani terbangun dari tidurnya, dan merasakan dekapan tangan hangat Gilang masih menempel di atas payudaranya yang membusung indah. Agak lemah ia, karena tadi malam dia bercumbu begitu hebat dengan Gilang. Kesempatan Aviani sendirian di kamar memang sering dimanfaatkan oleh mereka berdua.
Tanpa sebelumya memakai baju dulu, Aviani pun perlahan-lahan bangkit dan menuju ke depan komputernya yang memang tidak begitu jauh letaknya dari tempat tidur. AC di kamar ini terasa dingin karena Aviani sendiri hanya mengenakan celana dalam saja, dan tanpa kain lainnya; pun Aviani tidak begitu peduli. Ia berusaha melakukannya setenang mungkin karena memang ia tidak ingin Gilang sampai terbangun dan mempergokinya. Bahkan lampu pun tidak ia nyalakan.
Komputer segera saja ia nyalakan dan ia pun memasukkan beberapa data yang ia lihat dari penyelidikannya kemarin. Agak lama juga sebelum akhirnya hasil pencarian yang ia cari keluar juga. Saat itu juga, indikator pesan di komputer pun berbunyi, cukup pelan sehingga hanya Aviani saja yang mendengar, karena memang ia tak ingin Gilang bangun. Ada email yang masuk.
“Bingo!” kata Aviani setengah berbisik setelah membacanya. Lalu dengan cepat dan tenang, ia pun menuju ke lemari pakaiannya.
***
05.33 WIB
Gilang kali ini giliran terbangun dan sadar bahwa kekasihnya tidak ada di sisinya. Ia melihat keadaan sekitar, semua kosong, tapi ada tanda-tanda bahwa komputer pernah dinyalakan kembali. Dengan gontai, Gilang hanya membebat bagian bawah tubuhnya dengan selimut, lalu berjalan menuju ke arah komputer. Ada sebuah pesan yang ditempelkan di layar monitornya, bunyinya seperti ini:
“SORRY, GIL-BABY! CAN’T DO IT WITH YOU TODAY; LATER MAYBE ^_^ LUV: A-V”
Gilang membaca pesan itu hanya tersenyum saja. Kemana yah, Aviani pergi kali ini? Aviani memang sering sekali pergi seperti ini, dan setiap kali Gilang harus memakluminya. Hanya saja kali ini Gilang sedikit merasa tidak enak dengan kepergian Aviani.
Gilang pun segera memeriksa lemari pakaian Aviani. Ada dua potong baju yang nampaknya hilang, juga satu set pakaian dalam. Tas ransel keberuntungan yang selalu dibawa Aviani juga tidak ada di tempatnya. Namun laptop serta beberapa peralatan lainnya masih ada di sini, hanya kamera saku digital dan tape recorder saja yang tidak ada. Apa Aviani sedang melakukan liputan secara “backpacker” lagi?
Berulang kali Gilang, bahkan Alex, mengingatkan Aviani agar mengurangi kebiasaannya untuk meliput secara “backpacker”, tapi Aviani yang memang semenjak masih sebagai reporter junior adalah dikenal spontan dan dinamis, jarang menurutinya. Blackberry Aviani juga tidak ada, sepertinya dibawa pula. Gilang mencoba meneleponnya, tapi HP Aviani mati.
“Kemana sih, anak itu?” gumam Gilang gusar.
***
Samudera Indonesia
06.03 WIB
Pesawat intai amfibi Beriev Be-200 melaju dengan kencang di atas Samudera Indonesia sambil mengamati keadaan sekitar. Pesawat ini adalah pesawat intai terbaru milik TNI-AL, dahulu sebelum ini, digunakan CN-235 ataupun Twin-Otter atau pesawat Nomad. Seiring dengan meningkatnya kerjasama antara Indonesia dengan Russia, maka Indonesia pun bisa membeli beberapa buah pesawat Be-200, yang mana jenis ini pernah disewa untuk memadamkan kebakaran hutan dahulu. Tercatat Indonesia menerima dua varian, yaitu varian sipil dan varian militer; yang sipil segera dibagikan ke Dinas Kehutanan sebagai pesawat pemadam kebakaran hutan, sedangkan versi militer dari pesawat ini digunakan oleh TNI-AL sebagai pesawat intai amfibi. Apalagi sebagai pesawat amfibi, maka Be-200 bisa lepas landas dan mendarat di atas air, sehingga tidak memerlukan landasan pesawat.
Najwa Shihab ikut pula dalam penerbangan kali itu. Sejak dibangunkan dini hari tadi, Najwa belum sempat istirahat kembali, ataupun mandi menyegarkan diri. Ia masih memakai pakaian yang ia pakai menghadap Presiden tadi dini hari, kecuali bahwa ia menggunakan jaket penerbang untuk mengusir dingin. Kemungkinan ada bom nuklir yang meledak di wilayah Indonesia memang betul-betul mengusiknya. Kalau betul, lalu siapa yang meledakkannya?
Dugaan sementara adalah ini ulah salah satu negara besar, karena hanya mereka yang punya akses ke senjata nuklir. Di kawasan ini, selain Australia, juga ada India, Pakistan, dan Amerika Serikat, karena Amerika Serikat pun menempatkan Armada Kelima di sini. Atau bisa juga kemungkinan bahan nuklir itu dibawa oleh jaringan teroris internasional untuk mengacau, entah di Indonesia atau Australia. Najwa tahu kalau Al-Qaeda bisa saja mendapatkan senjata nuklir, dan mungkin pula salah satu bahan nuklir itu dibagi kepada sayapnya di Asia Tenggara, Jamaah Islamiyah, kelompok teroris yang sekarang tengah diperangi bersama oleh negara-negara ASEAN.
“Apa anda yakin kalau ini ledakan nuklir, Nn. Najwa?” tanya Sersan Ernest, operator sensor di pesawat.

“Kemungkinan besar ke sana, Sersan,” kata Najwa.

“Tapi bukankah ada perjanjian untuk pembatasan nuklir?” tanya Srs. Ernest lagi, “lagipula kenapa koq tidak ada ledakan besar; maksudku, ledakan nuklir pasti semua orang tahu,”

“Yang dibatasi itu penggunaan nuklir sebagai senjata strategis, Sersan; dalam tataran taktis, bahan nuklir sering sekali digunakan; Amerika Serikat memakai nuklir untuk peluru artileri mereka, termasuk juga meriam tank,” kata Najwa, “selain itu ledakannya di laut, susah untuk dideteksi kecuali kebetulan kamu ada di dekatnya; makanya kita harus cepat, soalnya air laut bisa mendinginkan jejaknya,”

“Tapi, kalau memang ada nuklir meledak, bukannya harusnya negara-negara lain juga tahu, dan harusnya juga ada statement, kan?” tanya Srs. Ernest.

“Itu juga yang aku mau tahu, Sersan,” kata
Najwa.
Pesawat itu lalu melaju dengan kencang ke arah lokasi yang dicurigai sebagai bekas ledakan nuklir. Tidak terbang terlalu tinggi, hanya pada ketinggian menengah saja. Dalam perjalanannya, pesawat pun berpapasan dengan sebuah kapal cepat yang bertujuan sama.
“Nn. Najwa, itu teman kita, KRI Harimau,” kata Kapt. Danias, pilot sekaligus pimpinan misi pesawat.

“Buka saluran komunikasi, Kep!” kata Najwa.
KRI Harimau adalah sebuah KCT (Kapal Cepat Torpedo) jenis FPB-60, buatan PT PAL Surabaya. Kapal ini memang diperuntukkan untuk menghadapi pertempuran dengan kapal selam, sehingga memiliki pula sensor kapal selam yang dapat diandalkan. Pendahulu dari kapal ini, yaitu KRI Ajak, pernah diikutkan untuk mencari reruntuk pesawat Adam Air yang jatuh di perairan Mamuju.
“KRI Harimau, di sini Mother Goose, ganti,” kata Najwa.

“Roger, Mother Goose, kami sedang dalam perjalanan, ada satu tim penyelam juga di sini,” kata Kapten KRI Harimau.

“Jangan turunkan penyelam dulu, takutnya lautnya masih terkontaminasi,” kata Najwa, “kalau memang itu tadi ledakan nuklir,”

“Roger that, Mother Goose, kami menunggu aba-aba dari kalian,” kata Kapten KRI Harimau, “sementara pencarian kami lakukan dengan sonar pasif, tapi tak ada apa-apa di bawah, walaupun kalau boleh jujur, kayaknya tadi malam habis ada pesta di sekitar sini,”

“Tolong kirimkan data kamu langsung ke sini,” kata Najwa, “kami terbang dulu dan coba melacak keadaan sekitar apa sudah aman atau belum,”

“Copy that!” kata Kapten KRI Harimau.
Be-200 bersandi “Mother Goose” itu langsung melesat meninggalkan KRI Harimau. Secepat apapun KRI Harimau berusaha mengejar, tampaknya bukan tandingan bagi kecepatan pesawat. Untungnya, lokasi sasaran sudah cukup dekat. Najwa pun menerima data bacaan dari sensor KRI Harimau dan berusaha menganalisanya. Di sisi lain, Be-200 pun siap melakukan pemantauan, terutama tingkat radiasi.
“Detektor Geiger menyala,” lapor Srs. Ernest, “ada lonjakan tingkat neutron; mencolok, tapi pada tingkat yang masih aman,”

“Ledakannya terjadi di laut,” kata Najwa, “tingkat neutron di udara pasti sudah berkurang sekali; kita butuh sampel air laut,”

“Mendarat, Nn.
Najwa?” tanya Kapt. Danias.

“Ya, Kep, silakan,” kata Najwa, “nggak usah lama-lama,”

“Wilco!” kata Kapt.
Danias.
Pesawat Be-200 akhirnya mengambil manuver untuk mendarat di laut, tepatnya pada posisi yang dicurigai sebagai lokasi ground-zero ledakan nuklir itu. Seperti seekor angsa yang mendarat dengan anggun di air, pesawat itu pun menurunkan ketinggiannya, dan menyentuh air dengan lunasnya yang mirip seperti lunas kapal itu. Kepraktisan inilah yang membuat Najwa dulu menyerukan agar AL memiliki pesawat terbang amfibi; Indonesia adalah negara dengan wilayah air yang sangat luas, sehingga pesawat terbang amfibi pun layak untuk berkembang di sini.
Tidak terlalu lama memang, karena pendaratan ini hanya bertujuan untuk mengambil sampel air saja. Di sisi yang lain, KRI Harimau pun akhirnya mendekati pesawat itu. Mereka tampaknya menunggu aba-aba dari Najwa sebelum memulai pekerjaan mereka.
“Pembacaan radiasi cukup rendah dan masih dalam ambang aman,” kata Najwa, “oke, KRI Harimau, silakan lanjutkan tugas kalian, tapi hati-hati,”

“Roger that,” kata Kapten KRI Harimau, “oh ya, kami mendapatkan beberapa deteksi aneh di sekitar sini; apa kalian menerjunkan sonobuoy, Mother Goose?”

“Sonobuoy? Tidak,” kata Najwa, “tapi aku akan cek; bisa kalian bersihkan sonobuoy-nya?”

“Tidak masalah,” kata Kapten KRI Harimau.
Sonobuoy adalah semacam alat yang dijatuhkan di air dan mengeluarkan gelombang pencari mirip sonar aktif, yang tujuannya untuk memetakan lokasi kapal selam musuh. Biasanya sonobuoy ini lebih sering dijatuhkan dari pesawat atau helikopter, mengingat posisi mereka lebih sulit untuk mengendus di dalam air. Tapi, siapa yang menjatuhkannya? Najwa tak berani berspekulasi, segera saja ia memerintahkan Kapten Danias untuk segera lepas landas.
Pesawat Be-200 pun kembali mengudara, dan kali ini meninggalkan sejenak KRI Harimau dengan pekerjaannya. Aneh sekali, kenapa ada sonobuoy di sini? Pertanyaan itu yang mengganggu benak Najwa. Segalanya pun seolah berjalan sesuai dengan sebuah teori konspirasi. Be-200 sendiri harus segera pulang ke pangkalan di Pelabuhan Ratu untuk mengisi bahan bakar. Namun sebelum pulang, Najwa meminta Kapten Danias untuk berpatroli satu putaran lagi, tapi kali ini di tapal wilayah terluar ZEE, lebih jauh ke selatan. Entah bagaimana, tapi naluri Najwa mengatakan, mereka akan menemukan sesuatu di sana.
“Boogey! At 11 o’clock, low,” kata Kapt. Danias.

“Ada apa?” tanya
Najwa.

“Ada pesawat lain, posisi sekitar 10 kilometer sebelah kiri,” kata Kapt. Danias.
Najwa pun melihat keluar dari jendelanya. Betul juga, dari jauh nampak ada sebuah titik kecil membentuk bentangan sebuah pesawat. Namun karena jauh, Najwa tidak bisa menangkap insignia dari pesawat itu.
“Sepertinya itu kalau bukan Orion ya Aries,” kata Kapt. Danias.

“Pesawat mata-mata?” tanya Najwa.

“Begitulah,” kata Kapt. Danias.

“Aku mau ngomong ke dia,” kata Najwa.
Kapten Danias segera saja menyambungkan koneksi radio kepada Najwa. Najwa pun langsung memakainya.
“This is Indonesian Naval Air Force,” kata Najwa, “unknown aircraft, you’re approaching Indonesian air territory, identify yourself!”
Tidak ada jawaban dari pilot pesawat itu, tapi pesawat itu malah melakukan manuver dan buru-buru pergi. Kapten Danias hanya menarik nafas saja. Jika saja bahan bakarnya masih penuh, ia pasti akan mengejar pesawat itu, mengingat kecepatan maksimum Orion atau Aries yang hanya 405 km/jam masih di bawah Be-200 yang bisa mencapai 700 km/jam.
“Siapa yah?” tanya Srs. Ernest.

“Itu pesawat mata-mata, dugaanku kalau bukan Amerika Serikat ya dari Australia,” kata Najwa, “kayaknya kita sedang berhadapan dengan skenario besar konspirasi deh,”
***
Rumah Alex
Jakarta
06:14 WIB
Handphone Alex kembali berbunyi, dan sekali lagi, nomor Australia. Pastinya itu adalah punya Rahma Sarita. Ia sedang sibuk pagi ini, karena harus mengurus keperluan Lani sebelum berangkat sekolah. Dengan kepergian Lucia, maka Alex harus belingsatan sendirian menangani rumah. Untungnya ada tenaga pembantu pocokan yang tugasnya cuma menyapu dan mengepel rumah.
“Ada apa, Ma?” tanya Alex.

“Busyet, langsung tahu ya, kalau ini aku?” tanya Rahma.

“Siapa lagi nomor Australia yang sering ngebel aku kalau bukan kamu,” kata Alex, “masih kesepian?”

“Nggak lah yaw, kemarin dah tuntas koq, jadi tadi malam udah bisa ‘main’ lagi deh, ama bapaknya anak-anak,” jawab Rahma nyinyir.

“Waduh, nggak buang-buang waktu tuh, langsung main tubruk aja,” sindir Alex.

“Kan, kamu yang ngajarin, gimana sih?” balas Rahma, “oh ya, Lani masih kamu cekokin sereal?”

“Nggak lah, nih lagi aku masakin nasi goreng,” kata Alex, “kamu nggak nelpon cuman buat nanyain itu, kan?”

“Nggak koq,” kata Rahma, “gini nih, aku barusan liat berita pagi di stasiun TV lokal, yah… ada berita menarik nih, tapi nggak tahu deh,”

“Gimana?” tanya Alex ingin tahu.

“Katanya ada kapal AL Australia yang rusak berat gara-gara diserang ama ‘kapal tak dikenal’, ini maksudnya apa, ya?” tanya Rahma, “katanya kejadiannya dini hari tadi,”

“Waduh, apa yah? Nggak tahu aku,” kata Alex.

“Katanya lagi sih, walaupun rusak berat, tapi kapal tak dikenal itu udah berhasil ditenggelamkan,” kata Rahma, “apa Al-Qaeda, yah?”

“Nggak tahu, nggak kamu tanyain sendiri aja ama Aiman Al-Zawahiri?” canda Alex.

“Malah bercanda,” kata Rahma, “emang beritanya bukan headline sih, tapi menarik aja,”
Alex terdiam sejenak, termenung. Sebuah kapal AL Australia rusak akibat diserang oleh ‘kapal tak dikenal’? Alex punya firasat buruk bahwa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan KRI Antasena. Bagaimanapun, pikiran itu segera dibuang jauh-jauh oleh Alex. Tidak mungkin Australia akan dengan sengaja menyerang sebuah kapal Indonesia, ataupun sebaliknya.
“Hooi! Ngelamun, yah!” teriak Rahma.

“Eh ya, oh eh… ada apa, Ma?” tanya Alex gelagapan.

“Bisa-bisanya, diajakin ngomong malah ngelamun,” kata Rahma, “aku nanya, semua orang baik-baik aja nggak, di sana?”

“Oh, semua baik-baik aja,” kata Alex, “cuman ya gitu deh, agak sepi di sini, nggak ada kamu,”

“Waduh, hawanya dah pada kangen nih, ama aku?” canda Rahma.

“Begitulah,” kata Alex, “oh ya, si Fessy aku tarik ke News Today, aku perbantukan sebentar; tapi tetep aja nggak bisa ngegantiin kamu,”

“Fessy bagus koq,” kata Rahma, “iya ini, kan masih satu semester lagi baru aku bisa balik ke Indonesia,”

“Dah, nggak usah pikirin yang di sini,” kata Alex, “pikirin aja studi kamu, soalnya kamu kan dibiayai kantor, ntar biar nggak mengecewakan,”

“Oke… eh udahan dulu yah,” kata Rahma, “salam buat semuanya,”
Telepon pun ditutup. Alex lalu mengangkat masakannya sambil berpikir. Apa jangan-jangan kapal tak dikenal itu adalah KRI Antasena? Ia pun takut kalau-kalau istrinya kenapa-kenapa. Alex masih ingat bagaimana sedihnya ketika Wina meninggal dahulu. Sebuah kecelakaan KRL yang tragis, apalagi waktu itu Wina bukanlah salah satu dari penumpang KRL, ia hanya kebetulan saja berada di tempat dan waktu yang salah ketika KRL itu tergelincir dan menghantam kendaraan yang dinaikinya. Untunglah jasad Wina relatif utuh sehingga mudah dikenali. Bagaimanapun, Alex tidak ingin menerima kabar buruk seperti itu lagi, tidak untuk Lucia.
***
Australia
08.54
“Lama banget sih?” tanya seorang laki-laki sambil memeluk tubuh molek Rahma begitu Rahma selesai meletakkan telepon. Itu adalah Martin, suaminya.
Meski semalam sudah diberi jatah, laki-laki itu tetap saja masih menginginkannya. Tapi tidak salah juga sih, tubuh Rahma memang sangat montok dan menggiurkan. Tidak akan ada yang tahan cuma berbincang-bincang tanpa berbuat apa-apa bersama Rahma. Tak terkecuali laki-laki yang sudah 1 tahun menikah bersamanya ini. 
”Auw!” Rahma menjerit saat sang suami mulai meraba dan menciumi sekujur tubuhnya. Bibir laki-laki itu bergerak untuk melumat habis bibirnya, juga leher dan cuping telinganya.
Rahma bergerak gelisah dalam dekapan, namun sama sekali tidak bisa menolak. Yang ada ia malah ikut terhanyut dengan mulai meremas-remas penis Martin yang sudah menegang keras di balik celana. Bisa dirasakannya ciuman laki-laki itu yang kini semakin turun ke bawah. Martin memelorotkan tali tank-top Rahma dan mulai menciumi buah dada perempuan cantik itu dengan begitu ganasnya sambil mendengus-dengus liar. Rahma kontan bergetar menahan geli akibat rangsangan yang begitu hebat itu. Otot-otot badan dan kakinya jadi terasa kaku semua.
Tidak puas menciumi dada, Martin meloloskan bra yang menutupi payudara Rahma sehingga kedua bulatannya yang empuk dan kenyal menyembul keluar.
"Wow... aku paling suka sama payudaramu!" desis Martin, matanya menatap tak berkedip ke tubuh sang istri, terlihat sangat menyukai dan mengaguminya.
Rahma paling suka kalau keindahan tubuhnya dipuji. Apalagi kalau Martin mengucapkannya dengan mata berbinar-binar seperti sekarang ini sehingga membuatnya tersanjung. Sebagai balasan, dengan senang hati ia akan memuaskannya, apapun permintaan Martin akan berusaha ia penuhi.
Sedetik kemudian, dilihatnya Martin membungkuk untuk mendekatkan mulut ke arah puting payudaranya yang sebelah kanan. Dengusan nafas laki-laki itu yang mengenai ujung putingnya sudah sanggup membuat Rahma menggelinjang geli. Apalagi saat pelan-pelan lidah Martin mulai menjilatinya, meski cuma sekilas, namun sanggup untuk membuat Rahma merintih keenakan.
”Ahh...” dia memejamkan mata dan mendengus. Perasaannya melambung sampai ke awang-awang! Ketika membuka mata, dilihatnya Martin memandangnya sambil tersenyum nakal. Rahma segera memukulnya.
Tidak membalas, Martin kembali menjilat puting sang istri. Kali ini yang sebelah kiri, dan sama seperti tadi, cuma sekilas saja. Namun efeknya tetap sama, kembali Rahma menggelinjang-gelinjang. Ia merasa detik-detik penantian apa yang akan dilakukan Martin pada putingnya membuatnya makin penasaran. Rahma mengerang-erang lirih agar Martin meneruskan aksinya.
”Sabar, sayang...” Martin tersenyum, lalu mulai memasukkan puting sang istri ke dalam mulutnya. Puting Rahma ia permainkan dengan gigi dan lidahnya.
”Auhh...” perbuatan itu membuat Rahma bergetar dan menggelinjang semakin menjadi-jadi. Kepiawaian Martin dalam merangsang dan memuaskannya memang sudah terbukti selama setahun pernikahan mereka. Rahma tidak pernah kecewa dengan permainan laki-laki itu.
Martin yang juga sudah terangsang, segera mencopoti seluruh bajunya. Penisnya yang mengganjal di bagian bawah perut jadi terasa begitu lega. Ia segera membuka kedua kaki Rahma lebar-lebar dan memperbaiki posisi agar kemaluan sang istri bisa bergesekan rapat dengan batang penisnya.
”Auw... ahh... ahh!” tiap kali penis itu menggesek klitoris Rahma, wanita itupun mengerang dan merintih semakin hebat. Rahma merenggut apa saja yang bisa dipegang oleh tangannya, termasuk rambut Martin. Napas keduanya yang mendengus-dengus bersahut-sahutan dengan lagu mellow yang mengalun memenuhi ruangan kamar.
Martin meneruskan aksinya dengan melepas pakaian Rahma satu persatu hingga jadi sama-sama telanjang. Rahma menatapnya dengan pandangan sayu, terlihat begitu erotis dan sangat menggairahkan.
”Hmmph!” tanpa menunggu lama, Martin langsung menyerang dengan begitu ganas. Ia ciumi mulut perempuan cantik itu, sebelum turun ke leher, lalu ke buah dada. Setelah menjilat-jilat sebentar, ciuman Martin turun lagi melewati pusar dan pinggul Rahma. Martin mengendus-endus sebentar bulu keriting yang ada disana, tanpa berniat untuk mencaplok atau menggigit belahannya yang mulus dan indah. Rahma yang dipancing seperti itu jadi makin terangsang berat.
"Martin… cium anuku, please…" pintanya terbata-bata, pinggulnya ia putar-putar di depan mulut laki-laki itu.
"Hehehe..." Martin hanya tertawa menanggapinya. ”Sudah nggak tahan ya?” tanyanya menggoda. Lalu tanpa menunggu perintah selanjutnya, dia mulai merubah posisi agar mulutnya tepat berada di depan liang kemaluan sang istri.
”Uhh...” desis Rahma saat merasakan hawa panas mulai menerpa bagian dalam kemaluannya yang merekah. Itu adalah hembusan nafas Martin yang mulai mendekat. Rahma segera memejamkan mata, berdebar-debar menunggu aksi Martin selanjutnya.
”Cupp...” Martin mulai menciumi sisi luar kemaluan Rahma dengan perlahan.
”Hah...” perbuatan itu membuat Rahma mengerang tertahan dan mengerutkan kening. Meski sudah sering diperlakukan seperti itu, tapi tak urung tetap membuatnya menggelinjang juga. Rasanya sungguh geli sekali, tapi sangat nikmat!
Ciuman Martin bergerak ke tengah dan berhenti di klitoris Rahma, benda bulat mungil itu diciuminya lama sekali, dijilat dan dihisapnya perlahan-lahan seperti kalau dia menciumi puting payudara Rahma. Martin terus mengulum dan kadang menyucupnya begitu kuat saat didengarnya Rahma mendesah keras sekali.
Lidahnya yang basah juga ikut bermain, ia membuka bibir kemaluan Rahma dengan dua jari, lalu memasukkan lidah lewat celah yang tercipta diantaranya. Lidah itu dengan liar mulai memilin-milin klitoris Rahma dan kadang masuk ke liang vagina Rahma sampai dalam sekali. Martin memang pintar sekali memancing gairah Rahma dengan keahlian oralnya.
”Arghhhhh....” erangan panjang yang menandakan kenikmatan yang tiada tara keluar dari bibir manis Rahma Sarita. Tubuh sintalnya mulai menggelinjang pelan, ia sudah tak kuat lagi menahan desakan orgasme yang muncul menghadang dihadapannya.
Tahu kalau Rahma sudah hampir sampai, Martin mempercepat jilatannya. Saat cairan bening sudah menyembur deras dari liang kemaluan sang istri, barulah ia mengendurkan serangannya. Martin memang hebat. Dia bisa tahu timing yang tepat kapan harus cepat dan kapan harus pelan. Rahma jadi curiga, jangan-jangan suaminya itu berprofesi sebagai gigolo sebelum menikah dengannya.
"Lho kok cepat? Udah terangsang dari tadi ya?" tanya Martin sambil senyum-senyum mesum.
Muka Rahma jadi memerah karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia segera memukul Martin dengan bantal sambil bertanya menggoda, "Kamu dulu gigolo ya? Kok hebat banget?"
"Eh, gigolo apaan! Jangan kurang ajar ya!" sahut Martin kesal. "Enak aja menghinaku! Sebagai balasannya, nih..." ia melompat ke arah Rahma dan kembali memasukkan kepala diantara kedua kaki sang istri yang masih mengangkang lebar.
”Happ...” Martin langsung melumat kembali kemaluan Rahma, bahkan kali ini lebih ganas dari yang tadi, padahal kemaluan Rahma masih berdenyut-denyut geli akibat sisa-sisa orgasme yang masih melanda.
”Auw... auw... ahh...” Rahma jadi menjerit-jerit karenanya. Gelinya luar biasa! Tapi ia sama sekali tidak bisa menghindar. Bunyi kecipak akibat jilatan Martin terdengar keras di liang kemaluannya. Bersamaan dengan itu, rasa geli yang ia rasakan perlahan-lahan berubah menjadi nikmat. Rahma terhanyut lagi dalam permainan lidah sang suami.
Tanpa menunggu lama, ia orgasme untuk yang kedua kalinya. Badannya jadi terasa lemas semua. Entahlah, pagi ini Rahma mudah sekali orgasme. Mungkin ini pengaruh seminggu puasa akibat ’pita merah’, jadi begitu disentuh, ia jadi gampang sekali menyerah. Tidak biasanya Rahma begini.
Mereka break sebentar. Martin tidur terlentang, terlihat penisnya masih berdiri tegak bak tugu monas. Kepalanya yang merah mengkilat karena cairan precum tampak sungguh menggoda. Rahma duduk di sebelahnya dan mulai memegang-megang penis itu, terasa sangat kaku dan keras sekali.
"Aku sudah 2 kali, sedangkan kamu belum sama sekali," kata Rahma sambil mengelus-elus penis Martin penuh rasa sayang. Lalu ia naik ke atas tubuh laki-laki itu dan duduk tepat diatas penisnya.
”Sayang...” Martin tampak terangsang melihat tindakan sang istri. Apalagi saat Rahma mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya maju mundur diatas batang penisnya sambil mengelus-elus dadanya. Ia memejamkan mata menikmatinya, Martin merasa geli-geli nikmat saat batang penisnya yang keras dan licin menggeser-geser mulut kemaluan sang istri.
Lama-lama Martin jadi tak kuat menahan rangsangan. Dia pun bangkit dan memeluk tubuh molek Rahma. Mereka kembali berciuman, saling melumat dan menghisap bibir. Tanpa mempedulikan bau cairan vagina di mulut sang suami, Rahma terus menggoyangkan pinggulnya maju mundur. Kemaluannya yang sudah sangat basah makin memudahkan penis Martin bergesekan di celahnya yang sempit.  
Gerakan mereka semakin lama semakin bertambah liar, sampai akhirnya pertahanan Rahma runtuh. Penis Martin mulai mengoyak liang senggamanya. Kepala penis laki-laki itu selip dan masuk ke lubang vaginanya. Rahma melenguh kaget, namun sama sekali tidak berhenti. Ia terus menggerakkan pinggulnya hingga penis Martin masuk semakin dalam, dan tak lama kemudian sudah terbenam seluruhnya.
Untuk sesaat mereka berhenti bergerak, sama-sama menikmati moment yang sangat intim itu. Rahma memeluk tubuh sang suami erat-erat, sementara Martin balas merangkulnya dengan nafas terputus-putus. Saat sudah tenang, barulah Rahma merendahkan pinggulnya perlahan-lahan, mulai mengocok batang penis Martin yang sudah memenuhi liang senggamanya dengan begitu sempurna.
Martin membalas dengan ikut menggoyangkan pinggulnya secara perlahan-lahan. Penisnya bergerak-gerak lembut menggesek bagian dalam kemaluan sang istri, membuat Rahma mendesah mengaduh-aduh menahan nikmat dan geli yang menyerang pusat sayarafnya. Vaginanya masih begitu sensitif menerima segala gerakan martin.
"Kenapa aku nggak tahu kalau ML bisa seenak ini? Kalau tahu, sudah dari dulu aku mau nikah sama kamu!" kata Rahma parau sambil menatap sayu pada Martin.
Mendengar perkataan itu, sesaat Martin hanya memandang Rahma  tanpa ekspresi. Lalu dengan pandangan yang menyejukkan, dia mencium kening dan pipi Rahma. Martin juga mulai menggerakkan penisnya keluar masuk di vagina Rahma. Mulanya perlahan, tapi lama-lama berubah menjadi semakin cepat.
”Auw!” Rahma menjerit, rasanya seperti mau mati karena saking nikmatnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa, hanya erangan dan desahan yang keluar dari mulut manisnya. Dorongan penis Martin yang terus menghujam keluar masuk di dalam vaginanya membuatnya benar-benar tak berdaya.
Pagi itu ia orgasme empat kali, sedangkan Martin cuma sekali. Laki-laki itu menumpahkan seluruh spermanya di perut Rahma dan terkapar lemas di sebelahnya. Rahma juga terkapar kelelahan. Saking lelahnya ia sampai tak kuat untuk sekedar bergerak mengambil tissue di meja, dibiarkannya sperma Martin mengering di perutnya.
***
Somewhere in downtown
Bandung
07.38 WIB
Aviani turun dari bus ke kota Bandung. Ia sudah berangkat dari Jakarta subuh tadi, masih tanpa sepengetahuan Gilang. Sekali lagi Aviani melihat ke arah blackberry-nya. Sebuah email sudah datang dini hari tadi, intinya memberikan informasi mengenai Dr. Anatoly Sedorenkov. Ini adalah email dari seorang “sumber yang terpercaya”. Aviani hanya mengenalnya sebagai “jaco123”, dan selama ini juga Aviani belum pernah menemuinya. Akan tetapi, dari pengalaman Aviani, dia seringkali mendapatkan info-info menarik dari orang ini.
Seperti halnya detektif polisi, seorang reporter biasanya memiliki link-link atau hub-hub untuk membantu mereka mengumpulkan berita. Beberapa hub bahkan bisa jadi adalah orang-orang “gelap” atau kriminal, yang membantu reporter untuk mengintip sedikit kehidupan di dalam dunia gelap. Hub-hub seperti itu dimiliki pula oleh para reporter NewsTV, meskipun, tentu saja tidak semuanya. Salah satu yang punya banyak hub adalah Eva Julianti, namun Eva tidak pernah mau mengungkapkan siapa saja atau bagaimana caranya menjaga hub-hub tersebut. Nah, si jaco123 inilah salah satu hub terpercaya dari Aviani.
“SUDAH DITEMUKAN, LOKASI MOBIL ITU ADA DI SEKITAR BANDUNG, ALAMAT AKU BERIKAN NANTI, TAPI KALAU BISA SECEPATNYA, TAKUTNYA NANTI BERPINDAH LAGI,”
Begitu bunyi email balasan dari jaco123 itu. Karena email ini pulalah maka Aviani nekad meninggalkan Gilang tanpa permisi dan menuju ke Bandung. Aviani selalu bisa mempercayai jaco123 sebelumnya, maka tidak ada alasan dia tidak bisa mempercayainya sekarang.
“Aku sudah di Bandung,” balas Aviani via blackberry-nya, “Di mana alamatnya?”
Tak butuh waktu lama, akhirnya balasan email itu pun muncul kembali. “CEPAT SEKALI? KAPAN KAMU MAU KE SANA?”
“Secepatnya, mungkin siang ini,”
“BAGUS! OKE, IKUTI KELINCINYA…”
Aviani memang memasukkan data-data mobil yang dipakai oleh Dr. Anatoly Sedorenkov ketika dipergokinya di Dephan kemarin. Tak dinyana, ternyata si jaco123 bisa tahu. Atas instruksi dari Angkatan Laut, maka NewsTV hanya memiliki akses terbatas kepada KRI Antasena, namun Angkatan Laut tak pernah memberi amaran bahwa reporter NewsTV tidak boleh mencari info dari luar. Inilah yang dilakukan oleh Aviani sekarang; sebuah wawancara singkat dengan Dr. Anatoly Sedorenkov, maka Aviani berharap bisa menyempurnakan peliputan NewsTV atas KRI Antasena.
Semenjak beberapa waktu yang lalu, Dr. Anatoly Sedorenkov, desainer kepala KRI Antasena, memang menghilang dari muka umum. Ada yang bilang dia sudah pulang ke Russia, tapi yang lain mengatakan bahwa Dr. Sedorenkov hanya menyepi dan masih memegang proyek walaupun sebatas supervisor. Sayangnya, berita soal Dr. Anatoly Sedorenkov sendiri bukanlah jenis berita yang diminati untuk ditelusuri oleh para reporter. Aviani dan Eva  dulu memang pernah dua kali mewawancarai Dr. Sedorenkov; entah ya, apa Dr. Sedorenkov masih ingat.
***
08.11 WIB
Aviani membayar taksi dan segera masuk ke dalam sebuah rumah kost. Rumah itu dekat sekali dengan Biro NewsTV Bandung, namun Aviani tidak bisa ke kantor Biro. Secara de jure, saat itu statusnya adalah libur, dan tanpa surat penugasan khusus, maka hari ini dia tidak bisa meminta sarana di sana. Sebenarnya dia bisa saja menunggu hingga besok, saat dia masuk kembali, tapi ia takut jejaknya sudah dingin.
Seorang wanita pun bergegas menemui Aviani di ruang tunggu rumah kost itu. Cukup cantik meskipun wajahnya menunjukkan garis kekerasan hati. Dia adalah reporter NewsTV yang saat ini ditugaskan ke Biro Bandung. Namanya adalah Mariska, dan dia ini cukup mengenal Aviani, sehingga tentu saja Mariska kaget ketika melihat Aviani sudah ada di hadapannya.
“Pagi banget?” tanya Mariska.

“Iya, kudu pagi-pagi,” kata Aviani.

“Masuk dulu,” kata Mariska.
Mariska pun menuntun Aviani masuk ke dalam rumah kost dan menuju ke kamarnya. Mariska saat itu masih mengenakan pakaian tidur, karena memang hari ini dia dapat jatah masuk sore, jadi tidak terlalu mendesak untuk bangun pagi. Tempat kost itu adalah kost khusus perempuan, tentu saja, dan rata-rata adalah wanita karier atau mahasiswa yeng kebetulan saja berkuliah di sini. Aviani bersyukur bahwa Mariska adalah satu-satunya orang NewsTV yang ada di situ, karena jika tidak, maka bisa jadi keberadaannya di Bandung bisa dibocorkan, mungkin hingga ke Jakarta.
Begitu mereka berdua masuk ke dalam kamar, Mariska segera menutup dan mengunci pintunya. Kebetulan pula di sini satu orang menempati satu kamar. ”Sudah makan?” tanya Mariska.
Aviani hanya menggeleng saja. Besar kamar kost ini jelas lebih kecil daripada kamar di apartemennya di NewsTV Jakarta, mungkin hanya seperempatnya, karena memang ini full dipakai sebagai kamar tidur. Di sini tidak ada ranjang, hanya kasur yang diletakkan di atas tikar, lalu di depan ada keranjang pakaian kotor, lemari lipat, dan meja belajar yang dilengkapi sebuah laptop dan TV Tuner. Sebuah HP juga nampak sedang di-charge di atas meja itu. Tidak banyak kesenangan di sini, karena barang-barang yang ada hampir saja membuat kamar ini cukup sesak; untungnya Mariska cukup rapi dalam mengatur kamar.
Mariska lalu keluar sebentar dari kamar. Aviani pun duduk bersila di atas ranjang, karena memang jarang sekali tempat untuk duduk di sini. Ia melepaskan ranselnya dan menghembuskan nafas lega. Rasanya berat juga ransel itu dari tadi ia bawa-bawa. Ransel itu sudah butut, tapi itulah ransel kesayangannya, juga sebagai jimat keberuntungan. Ketika Aviani meliput konflik di Kalimantan, sebuah panah beracun hampir saja merenggut nyawanya, kalau saja panah itu tidak menancap di ransel; mulai saat itulah ia menganggap ransel itu sebagau ransel keberuntungannya. Mariska pun masuk kembali sambil membawa dua piring nasi bungkus.
“Nggak usah repot-repot,” kata Aviani berbasa-basi.

“Nggak koq, belinya juga nggak jauh,” kata Mariska, “lagian aku juga belum sarapan,”
Aviani dan Mariska pun segera menyantap sarapan pagi mereka. Mariska menatap Aviani dengan pandangan mata menyelidik. Ia masih tak tahu apa alasan Aviani datang kemari, tapi pastinya bukan kunjungan ramah-tamah. Orang yang mengenal Aviani tentu tahu kalau Aviani tengah mencari sesuatu.
“Bukannya kamu libur hari ini?” tanya Mariska.

“Iya, bener,” jawab
Aviani.

“Terus ngapain ke sini?” tanya Mariska, “pasti ada sesuatu,”

“Iya, kamu bisa bantu aku, gak?” tanya Aviani.

“Wah nggak tahu ya, aku jatah masuk siang nih hari ini,” kata Mariska.

“Nggak lama koq, tenang aja,” kata Aviani, “cuman mau minta kamu anterin aku ke satu alamat,”
Mariska diam saja. Ia tampaknya berusaha menyelami apa yang sebenarnya diinginkan oleh Aviani. Aviani memang salah satu reporter top, bahkan kadang menjadi role-model bagi reporter-reporter muda, termasuk juga bagi Mariska. Namun mengikutinya kadang bisa jadi hal yang berbahaya, karena Aviani punya kebiasaan buruk untuk selalu terjun ke dalam sesuatu sekalipun dia tahu bahwa itu adalah bahaya.
“Terus, apa istimewanya dari ‘alamat’ ini?” tanya Mariska.

“Entahlah,” kata Aviani, “baru tahu kalau udah sampai,”

“Kenapa terus kamu tertarik ke sana?” tanya Mariska lagi.

“Kamu mau nganterin aku pa gak?” tanya Aviani setengah memaksa.
Mariska pun menatap Aviani dalam-dalam. “Kalau ada masalah, aku nggak mau terlibat,” kata Mariska.

“Percaya deh, kamu nggak pernah ketemu aku di sini,” kata Aviani, “pembicaraan ini juga nggak terjadi,”

“Kapan kamu mau berangkat?” tanya Mariska.

“Siang nanti,” jawab Aviani.

“Tapi aku nggak bisa nungguin lama-lama, aku kudu masuk kerja,” kata Mariska.

“Nggak masalah,” kata Aviani.
Malah kebetulan, karena Aviani jujur saja lebih suka melakukan peliputannya seorang diri saja, karena lebih bebas dalam mengerjakan sesuatu.
***
08. 43 WIB
Alex masuk ke dalam ruangan kerjanya, seperti biasa, disambut dengan tumpukan berkas pekerjaan yang harus ia selesaikan. Fifi memang sekarang mengerjakan beberapa pekerjaan, tapi bagaimanapun, dengan posisi Alex  sebagai first-in-command, ada beberapa hal yang Fifi tidak bisa lakukan.
Fifi memang lebih muda daripada Alex, akan tetapi dia justru bekerja di NewsTV lebih dahulu, sehingga seharusnya, Fifi adalah senior Alex. Bahwa karier Alex lebih cepat meroket daripada Fifi itu adalah memang karena kemampuan dan talenta Alex sendiri, namun dengan itu juga, muncul beberapa nada keraguan terhadap Fifi.
Semenjak mereka sama-sama memulai karier di bidang editing, Alex sering sekali dipasangkan dengan Fifi, sehingga lama kelamaan, antara Alex dan Fifi tercapai sebuah chemistry yang amat sangat erat. Konon, hubungan antara Alex dengan Fifi justru lebih erat daripada antara Alex dengan istrinya; Wina, dan juga Fifi dengan suaminya, Fendi. Mungkin nasib saja yang membuat akhirnya Alex yang naik menjadi kepala editing; ini juga dipengaruhi bahwa Fifi menolak menduduki jabatan itu meskipun Alex sendiri lebih suka kalau Fifi yang memegangnya, atas azas senioritas. Sejak itu pula, kemana Alex berada, sudah pasti Fifi ada di sana, dan pasti selalu menjadi wakil Alex, tidak pernah lebih.
Fifi sendiri, mungkin lebih senang seperti ini, toh juga dari sisi finansial, tidak ada masalah dengan duduk di jabatan ini. Kerjasama mereka berdua toh juga selalu solid dan bagus, tapi ketika reputasi Alex mulai naik, pertanyaan pun muncul soal Fifi. Banyak yang menganggap bahwa Fifi mungkin terlalu tenggelam di bawah bayang-bayang Alex. Pada akhirnya, timbul keraguan apakah sebenarnya Fifi memang pantas berada di posisi second-in-command setelah Alex?
Bahkan di antara teman-teman sendiri, seperti Rahma, Mutia, Prita, atau Fessy; meskipun secara personal masih tetap berteman baik dan mendukung Fifi, secara profesional, keraguan serupa pun muncul di antara mereka. Apalagi keempat orang ini pun prestasinya juga semakin menanjak, sehingga lalu orang pun berpendapat bahwa salah satu dari keempat orang ini mungkin lebih pantas bersanding dengan Alex daripada Fifi. Lebih parah lagi, keraguan serupa pun menjalar di antara bawahan-bawahan Alex di News Today. Reporter senior semacam Githa, Eva, bahkan Aviani pun sering meragukan kapabilitas Fifi.
Alex sendiri bukannya tidak paham dengan hal ini. Dari Fessy atau Lucia, dia sering sekali mendengar berita miring soal Fifi, namun demi persahabatan, Alex tak pernah mengatakan apapun pada Fifi. Padahal Alex sendiri merasa bahwa dia juga sering mendelegasikan tugas kepada Fifi, tapi bagi khalayak, itu sepertinya belum cukup. Lagipula Fifi sendiri cukup cuek dan adem-adem aja seolah tak peduli dengan angin ini. Toh, dia juga tak pernah memberi perintah langsung kepada bawahannya, sehingga bawahannya belum punya cukup alasan untuk tidak menghormatinya. Namun bagi beberapa orang, terutama Bu Isyana, sikap Fifi ini sebenarnya cukup fatal.
News Today adalah ujung tombak dari penyiaran berita di NewsTV. Di antara keempat berita utama yang dimiliki oleh NewsTV, hanya News Today lah yang selalu mendapat perhatian paling besar. Program berita utama berdurasi satu setengah jam di primetime ini adalah peringkat pertama acara berita favorit menurut sebuah lembaga survei, sebuah prestasi yang tidak main-main. Oleh karena itu, Bu Isyana sendiri menegaskan bahwa hanya mereka yang terbaik saja yang berhak berada di News Today, program yang Alex pegang saat ini. Bercokolnya para anchor terbaik, reporter terbaik, serta kru terbaik yang mendukung acara ini membuat peran Fifi di sini menjadi kabur.
Misal tidak ada perlindungan dari Alex, niscaya Bu Isyana tak akan berpikir dua kali untuk menggantikan Fifi dengan orang lain yang, di matanya, lebih pantas di jabatan tersebut. Sementara untuk memindah Alex, Bu Isyana masih segan, karena saat ini dia melihat bahwa hanya Alex saja yang pantas memegang posisi di News Today; sebuah pendapat yang pastinya diamini oleh semua orang. Ini tentu adalah sebuah bom waktu yang hanya menunggu waktu saja sebelum meledak.
“Selesai,” kata Fifi memberikan berkasnya pada Alex.
Alex pun menerima berkas-berkas itu dengan senyum simpul. Fifi selalu bisa mengerjakan pekerjaan lebih cepat daripada Alex, ini adalah sebuah kelebihan dan potensi. Sayangnya, hanya Alex saja yang tahu soal ini.
“Seperti biasa, cepat,” kata Alex.

“Oh ya, udah ada kabar lagi soal Luz?” tanya Fifi.

“Belum, tapi aku malah jadi khawatir nih,” kata Alex.

“Hei, dia bakal baik-baik aja,” kata Fifi sambil menepuk pundak Alex.
Alex mengangguk saja pada Fifi. Saat itulah telepon berdering. Alex segera mengangkatnya, dan ternyata itu dari Githa Nafeeza. Alex pun segera memindahkan ke mode speaker supaya Fifi bisa ikut mendengarnya.
“Bos,” kata Githa, “mau laporan nih, kayaknya ada gerakan besar deh, di Istana,”

“Jelasin,” kata Alex.

“Nggak tahu apa ya, tapi ini tumben banget mulai sejak pagi tadi koq kayaknya banyak pejabat yang dateng; sebagian sipil sebagian militer,” kata Githa, “malahan tadi aku ngomong-ngomong ama Ledy, reporternya RTV, katanya Istana dah mulai sibuk dari sebelum subuh,”
Alex pun berpikir sejenak. Memang wajar saja kalau para pejabat datang ke Istana Merdeka. Tapi kalau menurut kata Githa, skalanya mungkin tidak main-main.
“Memangnya ada apa di Istana Merdeka?” tanya Alex.

“Nah, itu dia yang aku mau tanyain, Bos!” kata Githa, “mustinya kan hari ini paling cuman ada rapat koordinasi doang; bukan rapat kabinet; memangnya di sana nggak ada berita yah, hari ini kenapa gitu?”

“Coba aku cek,” kata Alex, “oh ya, di sana siapa aja?”

“Cuman ada aku ama kameramen, Yessa; kita emang nggak rencana buat ini sih,” kata Githa, “reporter-reporter dah pada mulai ngumpul di sini, tapi Bina Graha ama kompleks Istana Merdeka dah ditutup, nggak biasanya,”

“Oke, aku bakal kirim bantuan segera,” kata Alex, “Gith, kamu di sana aja dulu yah, soalnya nggak ada yang mengenal Istana sebaik kamu,”

“Siap, Bos!” kata Githa, “tapi eh, gimana ya Bos, kalau ini ternyata berita buruk,”

“Moga-moga bukan lah, Gith,” kata Alex.
Pembicaraan pun berakhir. Aktivitas di Istana Merdeka betul-betul tidak biasa, apalagi kalau Bina Graha pun ditutup bagi pers. Ada apakah gerangan yang terjadi di Istana saat ini? Mengapa para pejabat banyak yang berkumpul di sana. Githa, sebagai reporter NewsTV yang paling sering meliput di Istana, tentu saja kini menjadi ujung tombak; setidaknya dia mengenal orang dan situasi di Istana.
“Bagaimana sekarang?” tanya Fifi.

“Kirim Tascha ama Cheryl buat bantu Githa; pastikan masing-masing bawa tim sendiri,” kata Alex, “kalau udah, ayo ikut aku,”

“Ke mana?” tanya Fifi.

“Ruang Tempur!” kata Alex.
Ruang Tempur yang dimaksud tentu bukanlah ruangan untuk bertempur. Melainkan ini adalah sebuah ruangan dengan banyak sekali monitor yang digunakan ketika tele-video-conference dengan semua Biro NewsTV di seluruh Indonesia. Secara garis besar, kecuali ada sesuatu yang amat sangat penting, maka ruangan ini sebenarnya jarang dipakai, karena jarang pula ada event yang harus melibatkan gerak dari seluruh Biro NewsTV di seantero Indonesia.
Fifi menekan sebuah tombol, dan semua monitor pun menyala. Ia sedang menghubungi semua Biro, dan dalam panggilan seperti ini, semua Biro harus merespon dengan segera. Satu per satu, akhirnya wajah dari masing-masing Kepala Biro bermunculan. Sungguh tidak biasa alarm itu dibunyikan. Total NewsTV memiliki 11 buah Biro (atau setingkatnya) di seluruh Indonesia, yaitu Biro Medan (di bawah Vita), Biro Pekanbaru (di bawah Yusuf), Biro Palembang (di bawah Hidayat), Biro Bandung (di bawah Budi), Biro Yogyakarta (di bawah Lita), Biro Semarang (di bawah Indra), Biro Surabaya (di bawah Sumi), Biro Bali (di bawah Edwin), Biro Makassar (di bawah Rachel) dan Biro Papua (di bawah Lidya) serta satu lagi adalah kantor koordinator setingkat Biro di Samarinda (di bawah Ardi).
“Selamat pagi semuanya,” kata Alex, “aku langsung saja ke persoalan biar nggak terlalu lama; saat ini juga, di Istana Merdeka lagi ada kesibukan, nah aku nggak tahu ada apa, pastinya kompleks Istana ama Bina Graha ditutup buat reporter, termasuk juga reporter kita; bukan hal yang biasa, pastinya… Aku cuma mau tahu, di wilayah kalian ada apa-apa, nggak? Kejadian yang luar biasa?”
Semua tampak terdiam.
“Apa tidak bisa cari dari reporter di Istana?” tanya Sumi Yang.

“Kalau aja bisa, aku nggak bakal kontak kalian,” kata Alex.

“Terus apa yang kita cari?” tanya Sumi lagi.

“Belum tahu, bisa apa aja, pokoknya kira-kira cukup penting, sampai-sampai Istana kudu tutup pintu,” kata Alex.
Semua kembali terdiam.
“Di Kalimantan paling baru ada berita gembong illegal-logging kelas internasional akhirnya ketangkep di Pangkalanbun,” kata Ardi.

“Tapi kayaknya kalau cuman gitu nggak bakal masuk ke Istana deh,” kata Alex, “minimal Dephut, kalau nggak ya sekalian ke Kejaksaan,”
Semua Biro pun lalu memberikan laporan berita-berita terpanas yang bisa mereka dapatkan pagi itu dari wilayah kerja mereka, tapi Alex sepertinya belum begitu puas dengan mendengarkan semua kemungkinan-kemungkinan event. Sebesar apapun, bagi Alex, masih terlampau kecil.
“Itu aja?” tanya Alex.
Semua pun terdiam, sepertinya kehabisan tajuk berita utama untuk diceritakan ke Alex. Hari masih pagi, bisa jadi berita yang Alex cari sebenarnya belum masuk. Alex pun memaklumi hal ini, tapi matanya terpicing kepada salah satu monitor. Ada satu orang yang belum melaporkan, yaitu Rachel dari Biro Makassar, dan Rachel ini tampak sedang berpikir tentang sesuatu.
“Rachel, ada yang mau kamu laporkan?” tanya Alex.
Rachel pun tampak tersadar dari pikirannya. Gadis mungil kelahiran Makassar asli dan berambut pendek ini menatap sejenak ke arah monitor, tepat pada Alex.
“Aku nggak tahu sih, ini masuk berita besar apa nggak, soalnya kayaknya nggak sepenting yang temen-temen Biro lain laporkan,” kata Rachel.

“Silakan dilaporkan saja,” kata Alex.

“Oke… mulai dari subuh tadi, kayaknya ada peningkatan aktivitas di Pangkalan Komando Armada Timur di Makassar,” kata Rachel, “puluhan kapal cepat disiagakan; rata-rata yang disiagakan tu masuk kategori Kapal Cepat Torpedo, kayaknya siap diberangkatkan ke satu tujuan,”

“Lanjutkan,” kata Alex.

“Pagi tadi juga kayaknya dua pesawat intai diterbangin ke pangkalan udara lain, aku nggak tahu ke mana; di Bandara Hasanuddin juga kayaknya banyak pesawat-pesawat militer bolak-balik deh,” kata Rachel, “pesawat pembom terbaru kita yang ditempatin di Makassar, Tu-22M Backfire, juga dah disiapin, kayak mau perang aja,”

“Eh, pesawat intai apa yah?” tanya Lita.

“NC-295 Maritime Reconaissance and Early Warning, punya TNI-AU,” kata Rachel.

“Hmm, kalau itu sih kayaknya tadi pagi dah mendarat di Lanud Adisucipto sini,” kata Lita, “aku belum ngecek lagi apa pesawatnya dah pergi lagi apa belum,”

“Itu bukannya pesawat pemetaan ama pengintaian laut, yah?” tanya Rachel,  “aku pernah tahu pesawat itu digunakan buat patroli di Ambalat soalnya bisa ngelacak kapal Malaysia dari jauh,”

“Omong-omong soal maritim, oh iya, entah ini berhubungan apa gak ya, tapi di Pelabuhan Ratu, emang lagi ada konsentrasi kapal gede, termasuk kapal perang baru TNI-AL, KRI Ternate,” kata Budi.

“Ada lagi?” tanya Alex.
Semua orang pun terdiam. Sepertinya sudah cukup itu saja, informasi yang cukup minim, tapi entah kenapa malah membuat Alex tertarik. Meskipun markas besar Komando Armada Timur ada di Surabaya, tapi Makassar adalah pangkalan aju, tempat dikonsentrasikannya kekuatan-kekuatan strategis Armada Timur. Mengingat posisi Makassar yang bagus sebagai pos pertama untuk pengamatan di Samudera Pasifik, maka Makassar menjadi basis komando gabungan TNI yang paling kompleks dan masif.
Setidaknya ada konsentrasi gabungan kapal-kapal cepat berkategori “Patrol Ship Killer” di sini, plus kapal-kapal perang utama seperti Frigate dan Korvet. TNI Angkatan Udara juga menempatkan satu skuadron pesawat pembom-tempur Su-30MK, dua skuadron pesawat tempur taktis Su-27MKS, dan satu wing pesawat pembom strategis yang diperkuat oleh 6 buah pesawat pembom supersonik Tu-22M Backfire.
Ditempatkannya pesawat Backfire di sini sudah cukup membuat negara-negara tetangga di sekitar Samudera Pasifik Tengah dan Laut Cina Selatan berteriak-teriak (meskipun jumlahnya sendiri hanya sekitar 4 buah saja), mengingat jangkauan pesawat pembom buatan Russia ini bisa amat jauh, termasuk cukup mumpuni untuk menghantam pangkalan Armada Kelima Amerika Serikat di Guam. Kehadiran pesawat ini juga cukup untuk membuat Angkatan Bersenjata Diraja Malaysia mengurangi aktivitasnya di Ambalat.
“Jadi di semua wilayah ada lonjakan kegiatan militer yah, terutama di Angkatan Laut,” kata Alex.

“Apa jangan-jangan lagi ada persiapan perang,” celetuk Sumi, “apa Malaysia mengacau sampai Ambalat lagi?”

“Kalau bener, rasanya nggak mungkin pesawatnya bisa nyasar jauh sampai Yogya,” kata Alex, “pastinya ada yang mengacau, itu kalau kita liat eskalasi kegiatan militer, secara maritim, mungkin; ya udah, saya minta tolong ama semuanya yah, tolong di wilayah kalian kalau ada lonjakan kegiatan militer kayak tadi, segera lapor ke Jakarta; apapun ini, pastinya sebuah gerakan besar,”
Semua orang pun menyanggupinya, dan setelah itu satu-persatu semuanya mulai signed-off, kecuali Sumi Yang.
“Apa ada kabar dari KRI Antasena?” tanya Sumi.

“Belum ada,” kata Alex.

“Ada reporterku di sana,” kata Sumi, “aku khawatir ama Erika,”

“Aku juga khawatir ama Istriku,” kata Alex, “tapi kita kudu tetep sabar sampai ada informasi selanjutnya,”
Sumi mengangguk.
”Dan satu lagi, ” tambah Alex. ”yang bener donk kalau pake baju, bikin aku jadi gak konsen aja.” tunjuk Alex pada kancing baju Sumi yang terbuka 2 biji.
Menyadari kalau belahan dadanya yang bulat telah menggoda Alex, Sumi  tertawa. ”Iya, maaf deh.” Ia pun mengancingkannya kembali, dan kemudian pamit pada Alex dan Fifi. Sumi signed-off.
***
Istana Merdeka
11.10 WIB
Sebuah helikopter militer jenis Sa. 330 Puma milik TNI AL mendarat di helipad Istana Merdeka, jauh dari kerumunan wartawan yang tertahan di luar pagar. Di wilayah helipad ini kini seolah seperti tempat parkir helikopter saja, karena ada beberapa helikopter lain juga di sini, sebagian militer, sebagian varian sipil. Najwa pun langsung segera turun dari helikopter itu. Kali ini dia sudah mandi yang bersih, dan memakai pakaian yang lebih pantas untuk menghadap Presiden. Meskipun begitu, wajahnya tampak cukup murung.
Sebuah golf-cart segera saja menjemputnya, perintah langsung dari Presiden. Di dalam golf-cart itu turut pula adalah salah satu dari Juru Bicara Kepresidenan, Widya Saputra namanya.
“Apakah situasinya sangat serius, Nn. Najwa?” tanya Widya begitu Najwa naik ke atas golf-cart.

“Sangat, tapi aku tidak bisa bilang sekarang,” kata Najwa.

“Lihat, banyak sekali wartawan yang hadir,” kata Widya sambil menunjuk ke luar pagar, “aku tidak begitu suka harus menutup pintu kepada mereka, apalagi sebanyak ini,”

“Kumpulan ikan hiu selalu tertarik pada aktivitas ikan,” kata Najwa, “apalagi sejak tadi Istana sudah ‘menggeliat’ tanpa bisa ditutupi,”

“Makanya itu, publik pasti meminta penjelasan,” kata Widya.
Mereka melewati jajaran helikopter yang terparkir. Najwa menghitung sekaligus mendata siapa-siapa saja yang datang, karena ia memang hafal mana helikopter punya siapa.
“Semuanya sudah hadir?” tanya Najwa, “semua anggota kabinet? Kepala staff? Dewan Penasihat?”

“Iya,” jawab Widya, “tinggal menunggu kehadiran Anda saja,”
Kilatan blitz terlihat dari jauh, karena memang hanya segitu saja jarak yang bisa ditempuh oleh para wartawan. Istana yang biasanya selalu terbuka pada insan pers, kini hampir rapat menutup pintunya. Najwa segera masuk ke dalam Bina Graha, menuju ke ruang rapat kerja kabinet. Dia menduga, seluruh menteri di jajaran kabinet sudah datang semua, terutama adalah menteri-menteri di bidang pertahanan dan keamanan.
“Selamat pagi,” kata Najwa ketika memasuki ruangan.
Semua orang sudah siap di tempatnya, dan sepertinya hanya tinggal menunggu Najwa seorang saja. Najwa pun meletakkan laptopnya di atas meja, dan menyambungkannya ke layar proyektor sementara semua orang menunggu dengan was-was. Meskipun Najwa berusaha untuk tersenyum, siapapun tahu bahwa Najwa tidak begitu senang hati.
“Langsung saja, Nn. Najwa, bagaimana hasil penyelidikan Anda?” tanya Presiden Chaidir.

“Saya takut hasilnya memang seperti yang telah diperkirakan, Pak Presiden,” kata
Najwa sedikit tercekat.
Semua orang pun menyimak apa yang akan dikatakan oleh Najwa. Memang sebelumnya sudah ada briefing singkat mengenai apa yang terjadi, tapi keputusannya masih menunggu Najwa kembali dari penyelidikannya. Najwa pun lalu berdiri dan menerangkan hasil penyelidikannya.
“Tadi malam, sudah terjadi ledakan besar di Samudera Indonesia, tidak ada 100 km dari perbatasan perairan dengan Australia,” kata Najwa, “dari penyelidikan lebih lanjut, bisa diambil kesimpulan bahwa sumber ledakan itu adalah sebuah bom nuklir, tepatnya nuklir taktis,”
Keheningan pun pecah begitu mendengar ada bom nuklir yang meledak di wilayah Indonesia. Sungguh, walaupun merupakan sebuah keniscayaan, tetap saja masih menjadi kemungkinan yang belum bisa dipercaya.
“Bom nuklir? Anda yakin, Nn. Najwa?” tanya Banu Sudibyo, Menkopolhukkam.

“Siapa yang meledakkannya??” tanya Marius Tinangon, Menhan.

“Kalau memang dekat sekali dengan Australia, kenapa tidak ada statement dari pihak Australia??” tanya Ibrahim Kartaredjasa, Menlu.

“Tuan-tuan, tolong, saya akan jawab pertanyaan Anda semua satu persatu,” kata Najwa mencoba tenang.
Presiden Chaidir pun memberi isyarat agar semua memberikan kesempatan bagi Najwa untuk menjelaskan apa yang perlu ia jelaskan.
“Tolong, beberapa negara sudah memiliki kemampuan untuk meluncurkan nuklir, dan Indonesia juga saat ini tengah berupaya merintis ke arah itu; jika ada yang bertanya apakah saya yakin bahwa itu adalah ledakan nuklir, saya akan jawab: ya saya yakin, itu adalah ledakan nuklir,” kata Najwa.
Jawaban itu membuat semua orang serius untuk menyimak. Bagaimanapun, Najwa memang pakar yang ahli dalam bidang ini. Terutama sekali adalah soal persenjataan Barat, karena Najwa pernah menimba ilmu dan melakukan studi di Amerika Serikat.
“Saya tadi pagi mengikuti patroli pesawat Beriev ke Samudera Indonesia, tepatnya ke ground zero,” kata Najwa, “saya berhasil mengidentifikasi senjata yang digunakan untuk membawa materi nuklir taktis itu; tapi, hal ini membawa sebuah kabar buruk bagi kita…”
Tidak ada kata-kata, semua nampak hening. Di dada para petinggi Angkatan Laut yang memang hadir di sana, jantung mereka pun berdebar-debar; terang saja, karena mereka sudah bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh Najwa.
“Nuclear Anti-Submarine Rocket, atau disingkat NASROC, inilah senjata yang, kemungkinan besar digunakan untuk membawa materi nuklir; dikategorikan sebagai nuclear depth-bomb; asalnya digunakan untuk menghancurkan kapal selam rudal balistik raksasa milik Soviet, kelas Typhoon atau Delta,” kata Najwa, “di luar Amerika Serikat, sekutu-sekutunya, terutama Australia, juga menggunakan senjata ini…”
Najwa tercekat sejenak, seolah tak kuasa untuk melanjutkan perkataannya. “Saya juga sudah memeriksa beberapa dokumen rahasia Angkatan Laut, terutama berkaitan dengan pengujian serta rute perjalanan kapal selam kita, KRI Antasena, dan…” kata Najwa, “…menurut perhitungan, KRI Antasena sedang berada di lokasi saat ledakan itu terjadi; jika itu betul sebuah NASROC, saya takut, senjata itu ditembakkan dengan sengaja untuk menghancurkan kapal selam kita,”
Segera setelah itu, suasana pun menjadi gempar. Tentu saja semua orang di sini mengetahui mengenai KRI Antasena. Akan tetapi, ada yang meledakkan nuklir untuk menghancurkan KRI Antasena? Yang bahkan masih dalam tahap pengujian akhir? Para petinggi Angkatan Laut pun terdiam, dan sebagaimana pelaut sejati, berita itu betul-betul menyayat hati.
“Nn. Najwa!” kata Laks. Danoe Salampessy, “jadi bagaimana nasib dari kapal selam kita?”

“Nasibnya, Laksamana?” tanya Najwa.
Semua orang kembali terdiam dan menyimak.
“Kalau saya boleh jujur, Laksamana, NASROC adalah senjata anti kapal selam yang amat efektif; bahkan tanpa perkenaan langsung pun, gelombang kejut nuklirnya sanggup meluluhlantakkan sebuah kapal selam pemburu,” kata Najwa, “baru tadi sebelum saya ke sini, saya juga mendapat laporan dari kapal KRI Harimau bahwa mereka menemukan serpihan-serpihan kapal yang berhasil diidentifikasi sebagai milik KRI Antasena; maaf, Laksamana, tapi saya kira kapal selam itu mungkin sudah hancur sekarang,”
Jawaban itu tentu saja makin menusuk hati semua orang yang ada di sana.
“Saya tidak mau memberi harapan, tapi KRI Harimau masih akan terus melakukan patroli di sekitar perairan itu hingga 24 jam ke depan; meskipun saya ragu mereka bisa menemukan apapun,” kata Najwa, “pergumulan di laut tidak pernah berbekas, apabila KRI Antasena benar hancur, maka sisa-sisanya mungkin sudah ada di dasar laut yang tak mungkin kita ambil lagi,”
Bahkan Najwa pun tak berani melanjutkan perkataannya, karena kabar ini adalah kabar yang sangat pahit untuk didengar.
“Apakah Australia yang melakukannya?” tanya Ibrahim Kartaredjasa.

“Saya tidak mau berspekulasi, Pak Menteri, tapi apabila Australia tidak mengeluarkan statement apapun, saya kira mereka sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Najwa, “mereka memiliki sistem sensor yang lebih canggih daripada Indonesia, sehingga apabila kita tahu, mereka pasti juga tahu; soal apakah ini ulah dari Australia atau bukan, saya tidak bisa memastikan,”

“Tidak bisakah kita mengirimkan nota ke Australia untuk meminta penjelasan?” tanya Presiden.

“Australia belum mengeluarkan statement apapun,” kata Ibrahim Kartaredjasa, “mereka pasti akan menyangkal keterlibatan mereka dalam hal ini,”

“Bagaimana soal pengamanan lanjutan?” tanya Presiden.

“Saya sudah memerintahkan 4 kapal rudal, 2 korvet, dan 1 kapal torpedo untuk dipindahkan dari Makassar ke pangkalan di Cilacap,” kata Laks. Danoe Salampessy, “masing-masing kapal rudal KRI Mandau, KRI Kujang, KRI Salawaku, dan KRI Kelewang; korvet KRI I Gusti Ketut Jelantik dan KRI Keumalahayati; serta kapal torpedo KRI Musang; mereka akan bergabung dengan KRI Harimau, dan bertugas untuk mengamankan hingga perimeter ground zero, kalau-kalau pihak Australia atau siapa pun berupaya masuk kembali; mereka pasti akan berupaya untuk mencari bangkai kapal selam itu,”

“Bagaimana peluang kita untuk mendapatkan kembali bangkai kapalnya?” tanya Presiden.

“Sulit, Pak Presiden; radar bawah air dari KRI Harimau atau KRI Ternate mungkin bisa memetakan lokasi reruntuhan, tapi untuk mengambil dari kedalaman itu, kita tak punya sarananya,” kata Najwa, “wahana penyelamatan laut dalam terbaru kita baru bisa menyelam hingga kedalaman 240 meter saja, tidak lebih; kita nanti terpaksa harus menyewa dari Amerika Serikat, Norwegia, atau Russia; yang mana pastinya tidak bisa diselesaikan dengan cepat,”
Laksamana Madya Sihombing pun tampak tak kuasa menahan diamnya. “Nn. Najwa, ada orang sipil di dalam kapal selam itu, Anda sudah tahu, kan?” tanya Laksdya. Sihombing.

“Ya, saya tahu,” jawab Najwa gontai.

“Kita harus segera memberitahukan kepada keluarga korban, karena mereka berhak untuk tahu,” kata Presiden, “sementara, jangan ada pengumuman resmi sampai seluruh keluarga korban selesai kita beritahu secara langsung,”

“Kami sudah siapkan surat kematian untuk seluruh keluarga para awak di kapal selam, dan sebentar lagi perwakilan kami akan memberikannya,” kata Laksdya. Sihombing, “dan soal korban sipil, saya mengenal salah satu reporter dari NewsTV yang menjadi korban di sana; suaminya kawan saya, kalau boleh saya mohon izin untuk memberitahukan hal ini langsung kepada dia,”

“Silakan saja, Laksamana,” kata Presiden, “jika memang Anda mengenal keluarga korban, mungkin memang lebih baik apabila Anda sendiri yang memberitahukannya secara langsung,"
Laksdya. Sihombing pun menangguk dengan enggan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, dan memegang sebuah benda kecil berbentuk lingkaran. Itu adalah cincin kimpoi milik Lucia, dan kini, sesuai amanat Lucia kepadanya, dia harus memberikan cincin itu kembali kepada Alex, karena inilah satu-satunya kenangan Lucia pada suaminya.
***
Kantor NewsTV
11.48 WIB
Alex terdiam di balik meja kerjanya. Sebagian berkas telah ia selesaikan, tapi entah kenapa ia merasa amat sangat khawatir. Berita yang Rahma berikan tadi pagi betul-betul menghantuinya, ditambah gerakan misterius di Istana yang belum diketahui apa sebabnya. Ia khawatir bahwa semua itu ada hubungannya dengan KRI Antasena, dan saat ini Lucia ada di sana. Alex pun membuka lacinya, dan melihat sebuah benda warna perak yang ada di sana.
Itu adalah sebuah kalung salib yang terbuat dari perak dan bertahtakan intan dan sungguh indah. Kalung ini adalah milik Lucia, tapi kini disimpan oleh Alex (sebelum menikah dengan Alex, Lucia memeluk Nasrani). Alex memegang kalung salib itu dan menggegamnya erat-erat. Dengan begitu, seolah-olah dia bisa merasakan istrinya tengah dekat dengannya. Setelah menikah dengan Alex, Lucia memang tidak lagi memakai kalung itu, tapi Alex melarang Lucia untuk membuangnya, karena bagaimanapun, Alex tahu bahwa kalung itu adalah peninggalan dari keluarga Lucia, yang pastinya tetap harus diperlakukan dengan hormat.
Fifi masuk dan melihat Alex tengah menggenggam kalung salib itu. Fifi  sendiri paham apa artinya, Alex tengah khawatir dengan Lucia. Setelah Lucia pergi, Alex memang sering terpergok tengah memegang kalung salib milik Lucia itu.
“Aku yakin dia pasti baik-baik aja,” kata Fifi.

“Moga-moga aja bener,” kata Alex.

“Oh ya, biar nggak kepikiran terus, coba tebak deh, siapa yang datang,” kata Fifi.

“Siapa? Prita, yah?” tanya Alex.

“Yak betul!” kata Prita yang tiba-tiba saja sudah muncul dari belakang Fifi.
Alex pun tersenyum lebar, lalu segera bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut Prita dengan sebuah pelukan hangat. Prita pun tak lupa memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan Alex. Alex memang memiliki hubungan dekat dengan beberapa wanita, salah satunya adalah Prita ini; dan mereka berdua memang tak canggung untuk berpelukan, bergandengan, atau cipika-cipiki di depan umum. Alex malah pernah pula berciuman dengan Prita gara-gara pada saat natal mereka berada di bawah mistletoe. Toh, baik Wina maupun Lucia tidak pernah cemburu, karena memang wanita-wanita ini masih dalam lingkup lingkaran dalam Alex.
“Nggak dikasih cium bibir, nih?” goda Prita.

“Nanti deh, kalau sudah berdua,” kata Alex sambil melirik Fifi, “oh ya, kamu kapan datang, Prit? Dari mana sih, aku lupa,”

“Dari Wamena,” kata Prita, “kan aku udah bilang buat liputan ‘Khatulistiwa’, ini aja aku baru tadi pagi datang langsung ke sini,”

“Lho, bukannya kalau habis pulang gitu dapet jatah libur, ya?” tanya Alex.

“Gimana, sih? Kan aku kangen ama kamu!” kata Prita sambil tertawa.
Alex hanya tertawa kecil saja sambil ia lalu mengusap pantat Prita, hal yang memang biasa ia lakukan setiap kali bertemu. Prita pun lalu mengeluarkan sebuah dompet CD yang isinya beberapa buah cakram optik.
“Nih, dokumentasi selama di Wamena, khusus buat kamu,” kata Prita.

“Makasih, kudu bayar berapa, nih?” tanya Alex.

“Belum aku itung, ntar deh, gampang,” kata Prita. ”Bayar pake cium juga boleh,” tambahnya sambil tersenyum.

Alex terdiam, bukan karena perkataan Prita barusan, tapi karena tangan kirinya tak sengaja menyentuh buah dada Prita yang empuk dan kenyal. ”Omong-omong, Danny nggak ikut pulang?” tanya Alex kemudian untuk menghilangkan debaran di hatinya.

“Danny, dia langsung ke Merauke,” kata Prita ringan, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “dua minggu lagi baru balik,” tambahnya.

“Wah, gila, udah mau nikah masih pake acara pisah-pisahan juga,” kata Alex dengan lega.

“Yee… kan berpisah untuk bertemu lagi… Hahaha…” gelak Prita, “eh, aku laper nih, dah jam makan siang, kan? Ma’em yuk,”
Alex mengangguk saja, dan Prita segera menggandeng Alex keluar dari ruangan itu, meninggalkan Fifi (seperti biasa) dengan pekerjaannya. Meskipun kerja bersama, Alex dan Fifi nyaris tak pernah makan siang bersama di kafe NewsTV, kecuali kalau ada sesuatu hal. Untuk makan siang sendiri, Alex hampir pasti selalu ditemani oleh entah Prita, atau Fessy, atau Rahma, atau Mutia, atau reporter-reporter bawahannya.
Tapi siang ini, ”ma’em” yang dimaksud oleh Prita adalah mengajak Alex ke ruang reporter yang kebetulan lagi sepi dan membiarkan laki-laki itu untuk mendekap dan memeluk tubuhnya dari belakang.
”Aku kangen kamu,” bisik Alex sambil memegang kedua lengan Prita dan mendorongnya hingga tersandar di sofa. Tangan kanan Alex dengan cepat mulai mengurai kancing baju yang dipake oleh Prita.
”Ahh...” Prita hanya bisa menggeliat-geliat kegelian karena sembari membuka kancing bajunya, Alex juga menggelitik pinggangnya.
Sebentar saja blouse Prita sudah terbuka, menampakkan tonjolan buah dadanya yang masih ditutupi BH putih tipis. Benda bulat kembar itu tampak bergerak naik turun mengikuti irama nafas Prita yang sudah mulai memburu cepat. Perut Prita yang rata dan mulus juga terlihat sangat merangsang sekali.
Sambil tersenyum memandanginya, Alex berkata, ”Kamu cantik, Prit.” bisiknya dengan tangan bergerak ke belakang untuk membuka pengait BH Prita. Kemudian dia menarik lepas BH itu hingga terpampanglah kedua toked Prita yang bulat kencang, lengkap dengan putingnya yang mungil berwarna coklat kemerahan, terlihat mengacung tegak ke depan dan bergerak naik turun seirama dengan tarikan nafasnya.
”Ahh...” Prita mendesah saat Alex mulai menciumi belakang telinganya, lidah laki-laki itu juga bermain-main di sekujur batang lehernya hingga menimbulkan perasaan geli yang amat sangat. Prita hanya bisa menggeliat-geliat saat menerimanya, tak terasa ia sudah sangat terangsang oleh cumbuan nikmat Alex.
Mulut Alex berpindah, kini laki-laki itu melumat bibir Prita dengan ganas, lidahnya bergerak-gerak menerobos ke dalam mulut Prita dan menggelitik lembut disana, mengajak Prita untuk saling memilin dan bertarung lidah. ”Ini kan yang kamu cari, Prit?” tanya Alex di sela-sela kulumannya.
”Ahh... hmm... hmm...” tidak sanggup untuk menjawab, Prita hanya bisa mengguman sambil badannya yang sedari tadi menegang mulai agak sedikit lemas. Ia tengadah ke atas dan badannya melengkung ke depan, ke arah Alex, seperti ingin memamerkan tonjolan buah dadanya yang bulat kencang menantang pada laki-laki itu.
Alex yang melihatnya, langsung bereaksi. Sambil tangan kanannya memegangi bagian bawah payudara Prita, ia mulai mencium dan menghisap-hisap kedua putingnya secara bergantian. Mulanya toked kanan yang menjadi sasaran, kemudian yang kiri. Hampir semua bagian puting Prita masuk ke dalam mulut Alex yang terus menghisap-hisap layaknya bayi yang kehausan. Lidahnya terus bermain-main pada puting mungil kemerahan itu, hingga tak lama, benda itupun bereaksi dengan berubah menjadi kenyal dan keras.
”Hah... hah...” terasa sesak napas Prita menerima permainan Alex yang lihai itu. Badannya terasa semakin lemas dan dari mulutnya terus terdengar erangan yang sangat membangkitkan birahi.
Mulut Alex terus berpindah-pindah dari toked yang kiri, ke yang kanan, lalu ke kiri lagi, bahkan kadang-kadang Alex juga menjilati keduanya secara bersamaan. Membuat Prita jadi benar-benar lemas menerima perlakuan ini. Matanya terpejam, sementara kedua putingnya telah benar-benar kaku dan mengeras.
Dalam keadaan terlena, tiba-tiba badan Prita tersentak, ”Auw!” ia sedikit menjerit saat merasakan tangan Alex yang mulai mengelus-elus pahanya yang terbuka. Tersenyum, Prita membiarkan Alex untuk menjelajah lebih jauh. Tangan Alex perlahan-lahan merambat ke atas untuk menyentuh bibir kewanitaannya. ”Aahhh...” segera badan Prita tersentak dan melenguh panjang saat Alex sudah menemukan sasarannya.
Mula-mula hanya ujung jari telunjuk yang mengelus-elus bibir kemaluan Prita yang masih tertutup celana dalam, akan tetapi tak lama kemudian tangan kanan Alex menarik turun benda segitiga tipis itu hingga Prita sekarang  dalam posisi duduk di sofa bertelanjang bulat. Muka perempuan cantik itu jadi merah merona dengan mata yang terpejam sayu menatap Alex penuh birahi, sedangkan giginya terlihat menggigit bibir bawahnya yang bergetar karena dorongan api birahinya yang semakin berkobar tak terbendung.
Melihat ekspresi muka Prita yang seperti itu, makin membangkitkan nafsu Alex. Cepat ia mencopoti seluruh bajunya hingga jadi sama-sama telanjang.
”Ihh, besarnya!!” gumam Prita terkejut melihat penis Alex yang kini mencuat mendongak dengan gagahnya. Benda itu kelihatan panjang dan gemuk, dengan urat-urat kecil menjalar melingkar-lingkar di sekujur permukaannya yang menghitam. Sangat panjang sekali, sampai hampir menyentuh pusar Alex.
Prita merinding. Seingatnya dulu -terakhir kali dia menikmatinya sebelum berangkat ke Wamena- kemaluan Alex tidak sebesar ini. Tapi sekarang, bisa-bisa kewanitaanya jebol kalau dimasuki penis itu. Mungkin ini akibat penis Danny yang tidak sebesar punya Alex, keseringan dapat penis kecil membuatnya jadi memandang kagum pada kejantanan Alex. Tak terasa iapun menggumam pelan sambil memandang ngeri. ”Bisa jebol punyaku nanti, Lex.” bisiknya.
”Ya enggak lah, malah nikmat lagi.” sahut Alex penuh rasa bangga, ia tatap wajah cantik Prita yang masih kelihatan terpesona, wanita itu terbelalak dengan mulut setengah terbuka.
Dengan lembut Alex menarik tubuh mulus Prita ke dalam pelukannya. Setelah menciuminya sejenak, sambil tak lupa juga meremas-remas kembali tonjolan buah dadanya, Alex kemudian memegang kedua kaki Prita dan membukanya lebar-lebar. Lalu ia benamkan kepalanya di antara kedua paha Prita yang putih mulus.
”Ahh.. Lex!” Prita merintih saat Alex mulai menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar belahan memeknya. Ia hanya bisa memejamkan mata menikmatinya, sambil tubuhnya bergerak-gerak menggelinjang penuh kegelian.
”Oohh...” rintihan halus terdengar keluar dari mulut manis Prita saat Alex menggerakkan lidahnya semakin cepat, juga semakin dalam, hingga membuat kewanitaan Prita yang masih rapat jadi kelihatan basah dan mengkilat karena air liur.
Tak tahan lagi, Prita pun merintih memelas sambil menggigit bibir bawahnya. ”Lex, s-sudah... cepat lakukan!” Sungguh ia tidak bisa menahan diri lagi, seluruh tubuhnya telah diliputi oleh nafsu birahi, serangan Alex yang bertubi-tubi benar-benar membuatnya kewalahan.
Alex segera melepaskan diri, ia kemudian bangkit berdiri. Ditariknya perempuan cantik itu ke dalam pelukannya hingga kepala Prita tepat berada di depan batang penisnya. Prita yang tahu apa yang diinginkan oleh Alex, segera membuka mulut dan melahap penis Alex dengan penuh nafsu. Ia jepit benda coklat panjang itu di antara kedua bibir mungilnya. Meski sudah berusaha membuka mulut selebar-lebarnya, tapi tetap saja penis itu hanya masuk sebagian. Sungguh ukuran kemaluan Alex terlampau besar bagi mulut Prita yang mungil. Itupun sudah terasa penuh benar, Prita bahkan hampir sesak nafas dibuatnya.
Sebisa mungkin -yang penting Alex merasa nikmat- Prita mulai menghisap dan mengulumnya. Ia mainkan batang penis itu keluar masuk di dalam mulutnya. Terasa kepala penis Alex bergetar pelan setiap kali lidah Prita menyapu disana.
”Ahh...” Alex melenguh, terlihat begitu menikmatinya. Bahkan lama-lama ia jadi tak tahan juga. Cepat ia tarik batang penisnya hingga terlepas dari mulut Prita, dan langsung berlutut di sofa. Ditariknya badan Prita hingga sedikit berbaring menyamping.
Dengan tangan kanannya Alex menggenggam batang penisnya dan mulai menggesek-gesekkan benda itu ke bibir kemaluan Prita yang sudah basah memerah. Prita merintih dan badan mulusnya sedikit tersentak saat Alex berusaha untuk menekan. Terasa sedikit sempit, tapi dengan usaha lebih keras, perlahan-lahan kepala kontol itupun mulai menerobos masuk, membelah bibir kemaluan Prita hingga jadi terkuak lebar.
”Arghh...” rintih Prita saat Alex menekan pantatnya kuat-kuat dengan tiba-tiba, pinggul mereka langsung menempel ketat dan saling menggesek mesra. Bulu lebat di pangkal kemaluan Alex terasa menggesek lembut di bibir kewanitaan Prita, makin membuatnya kegelian, sedangkan seluruh batang kejantanan laki-laki itu amblas ke dalam liang memeknya.
Tak kuasa menahan diri, Prita pun menjerit tertahan, ”Ohh... besar banget, Lex! Sampe sesek rasanya punyaku...” gumamnya dengan badan tertekuk ke atas.
Alex yang cukup mengerti keadaan Prita, memberi kesempatan pada perempuan cantik untuk menyesuaikan diri. Setelah dilihatnya Prita sedikit tenang, barulah Alex mulai menggoyangkan pinggulnya. Mula-mula perlahan, namun kemudian makin lama menjadi semakin cepat. Seterusnya pinggul Alex bergerak dengan kecepatan tinggi diantara kedua paha Prita yang putih mulus.
Prita berusaha memegang lengan Alex, sementara tubuhnya bergetar dan terlonjak-lonjak dengan hebat akibat dorongan dan tarikan laki-laki itu. Ia terus mendesah dan merintih-rintih, sambil kepalanya tak henti-henti menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan. Gesekan demi gesekan di dinding liang memeknya benar-benar membuatnya melayang. Sepertinya goyangan Alex telah sepenuhnya menguasai tubuh sintal Prita.
Sambil terus memompa pinggulnya, Alex tidak mau membiarkan tangannya menganggur. Dengan gemas ia kembali memegang dan meremas-remas gundukan payudara Prita secara bergantian. Bisa ia rasakan bahwa puting Prita sudah sangat kaku dan mengeras.
Lagi asyik-asyiknya, tiba-tiba Alex dikejutkan oleh erangan panjang yang keluar dari bibir tipis Prita, ”Ooooh... Lex... aku... aahhhh...”
Tubuh perempuan cantik itu melengkung, kedua pahanya yang jenjang mengejang serta menjepit batang Alex kuat-kuat. Sambil menekuk ibu jari kakinya, Prita menaik-turunkan bokongnya berkali-kali. Seluruh badannya kelojotan saat cairan bening menyembur deras dari liang senggamanya. Prita menjerit serak menghadapi orgasme total yang dengan dahsyat melanda tubuh sintalnya itu.
”Hah... hah... hah...” terengah-engah, Prita merasakan seakan-akan seluruh tulang di tubuhnya copot berantakan. Ia terkulai lemas tak berdaya di sofa dengan kedua tangannya terentang dan pahanya terkangkang lebar-lebar, sementara batang penis Alex yang masih kaku dan menegang tetap tertancap dalam di liang vaginanya.
Beberapa menit Alex memberi waktu bagi Prita untuk beristirahat, sebelum akhirnya ia membalik tubuh perempuan cantik itu hingga setengah tertelungkup di sofa. Dengan posisi pantat menungging ke arah Alex, Prita siap untuk melakukan babak selanjutnya; doggy style. Secara perlahan-lahan, Alex kembali menggerakkan penisnya, menggenjot tubuh mulus Prita dari belakang. Dengan posisi seperti ini, tangannya kini lebih leluasa meremas-remas kedua toked Prita yang menggantung indah.
”Uhh...” merintih keenakan, kepala Prita tengadah ke atas, matanya setengah terkatup menahan kenikmatan yang melanda tubuh sintalnya. Sementara di belakang, Alex terus memacu dan menggoyangkan pinggulnya, bahkan terkadang juga memutarnya ke kiri dan ke kanan serta melingkar-lingkar, sehingga penisnya yang panjang dan besar bisa mengaduk-aduk seluruh lubang kewanitaan Prita.
Tak berselang lama, Alex merasakan suatu dorongan keras mendesak dari dalam batang penisnya, menimbulkan perasaan geli-geli nikmat pada ujung kemaluannya. Ia pun segera menggeram panjang dengan suara tertahan, ”Prit... ahh... aku mau keluar!” desisnya sambil mendorong pinggulnya sekuat tenaga sehingga batang penisnya yang besar dan panjang terbenam seluruhnya di liang kewanitaan Prita.
”Arghhh...” dengan satu lenguhan panjang, Alex pun orgasme. Seluruh tubuhnya bergetar hebat saat ia menguras habis cairan spermanya. Semprotan demi semprotan cairan itu mengisi liang rahim Prita, membuatnya jadi makin basah dan lengket saja.
Alex tertelungkup sejenak di atas badan Prita yang juga sudah lemas tak berdaya. Berdua mereka menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda. Setelah kurang lebih 3 menit, barulah Alex memasuki masa tenang. Secara perlahan-lahan ia mencabut penisnya yang telah melemas dan segera menggeletak di sebelah Prita.
”Kamu kuat banget, Lex. Ini yang aku rindukan dari kamu!” bisik Prita manja.
”Enakan mana punyaku sama punya Danny?” tanya Alex menggoda.
”Ya punya kamu lah... udah gede, panjang, kaku lagi.” sahut Prita nakal.
”Hehe... nyesel ya udah milih Danny?”
Prita memukul pundak Alex pelan, ”Lha kamu, buru-buru amat ngawinin Lucia.”
”Dia spesial,” mata Alex menerawang kepada Lucia yang sekarang berada jauh darinya.
Prita mengangguk, bisa mengerti dengan pilihan laki-laki itu. Lucia adalah ’cinta’ Alex, sementara dia, Fessy, Fifi, dan Rahma tak lebih dari sekedar penghibur. Tapi Prita bisa menerimanya, karena ia juga sudah punya cinta sendiri; Danny, yang meski tidak seperkasa Alex, tapi cukup tampan dan bertanggung jawab.
”Kita cari makan yuk, laper nih." ucap Prita sambil beranjak berdiri. Ia memunguti pakaiannya yang berserakan dan mulai mengenakannya kembali. Begitu juga dengan Alex. Selanjutnya dengan beriringan mereka beranjak menuju kafetaria.
“Douw! Udah kangen makan makanan di sini!” kata Prita selepas menyendok makanan pertamanya.
Alex hanya tersenyum saja melihat tingkah laku Prita. Prita memang bukan orang yang terlalu mementingkan bersikap jaim. Ia lebih suka berlaku seperti apa adanya, apalagi di hadapan Alex.
“Emang dah berapa lama sih, kamu pergi? Baru juga sebulan, kan?” tanya Alex.

“Sebulan juga lama kali,” kata Prita.
Angin pun menghembus kencang, karena mereka memang makan di bagian outdoor dari kafetaria, hanya dilindungi oleh meja berpayung. Ini adalah spot favorit Alex, karena Alex memang menyukai duduk dan makan di bawah udara bebas, setelah seharian terkurung di dalam kantor, senyaman apapun.
“Tambah lagi aja, Non,” kata Alex, “the treat is on me,”

“Eh, jangan!” cegah Prita.

“Dah, nggak papa,” kata Alex, “itung-itung balas budi dulu kamu sering nraktir aku,”
Prita pun tersenyum saja. Pada awal-awal Alex bekerja, memang Prita sering sekali mentraktir Alex untuk makan. Siapa yang mengira sekarang kedudukan Alex bisa lebih tinggi dari Prita.
“Makasih,” kata Prita.
Alex mengangguk saja. Saat itulah sebuah suara bergemuruh terdengar keras, dan ketika Alex melihat ke atas, tampaklah sebuah helikopter Bell-412 terbang semakin mendekat dan memutari gedung NewsTV. Setelah NewsTV membeli helikopter, bunyi deru mesin terbang itu kini menjadi pemandangan umum bagi mereka yang makan di atas balkon, tapi NewsTV memiliki helikopter dari jenis EC-120 Colibri, bukan Bell-412. Helikopter itu pun perlahan-lahan menuju ke atas helipad yang terletak di atap gedung.
“Siapa, yah?” tanya Alex.

“Kayaknya ada decal Angkatan Laut, deh,” kata Prita sambil melihat ke atas, berpacu dengan silaunya matahari.

“Angkatan Laut?” tanya Alex, yang dengan tiba-tiba jantungnya berdegup kencang sekali.
Alex pun berdiri mematung ketika helikopter itu mulai merapat dan akhirnya menghilang di balik atap gedung, pastinya sekarang helikopter itu sudah mendarat. Nafsu makan Alex mendadak hilang sama sekali, pun Prita juga menghentikan makannya. Wajah Alex terlihat tegang, dan Prita mengetahuinya.
“Ada apa?” tanya Prita.

“Nggak tahu…” kata Alex, “aku harus ke sana… jangan-jangan ada berita buruk soal Lucia!”
Alex langsung saja berlari masuk kembali ke arah gedung. Prita pun, masih dengan mulut penuh, terpaksa juga meninggalkan makan siangnya dan berlari menyusul Alex. Firasat Prita mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk, dan Prita pun takut, karena biasanya firasatnya tak pernah salah.
***
Lantai 4
12.34 WIB
Alex dan Prita pun langsung tiba saja di lantai 4. Mereka berusaha untuk secepatnya menemui siapapun dari Angkatan Laut itu yang datang. Apabila ini memang benar adalah sebuah berita buruk, pastinya akan disampaikan terlebih dahulu pada Bu Isyana. Semakin lama, Alex semakin khawatir dan detak jantungnya semakin terpacu cepat. Mereka pun akhirnya setengah berlari di dalam koridor ruangan gedung NewsTV yang berliku-liku, menuju ke ruangan Bu Isyana.
Akan tetapi, sebelum mereka sempat mendatangi ruangan Bu Isyana, seseorang mencegat mereka. Itu adalah Pak David, mantan produser yang kini menjadi Wapemred, second-in-command di bawah Bu Isyana.
“Berhenti di situ,” kata Pak David dengan perlahan tapi berwibawa.
Prita dan Alex pun segera berhenti. Pak David jelas ada di situ untuk sesuatu hal.
“Apa orang dari Angkatan Laut itu ada di ruangan Bu Isyana?” tanya Alex.

“Iya, tapi kalian tidak boleh ke sana dulu,” kata Pak David.

“Aku mau tahu kabar istriku!” kata Alex yang langsung mencoba merangsek.
Dengan sebuah cengkeraman yang kuat, Pak David pun memegang tangan Alex, mencegahnya melanjutkan langkah.
“Lepasin, Pak David!” teriak Alex.

“Ada waktunya, Alex!” kata Pak David, “ada waktunya, tapi bukan sekarang!”
Alex pun lalu tenang dan melihat ke arah Pak David. Dari sini Pak David bisa membaca mimik kekhawatiran yang amat jelas tercetak di sinar mata Alex.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Alex.

“Aku belum tahu,” kata Pak David, “sebaiknya kalian tunggu di sini, sampai Bu Isyana mengizinkan kalian untuk masuk,”
Prita pun turut menenangkan Alex, dan membimbing Alex untuk duduk di sebuah bangku di dekat mereka. Jelas sekali Alex amat gelisah. Beberapa kali Alex bangkit dari tempat duduknya, tapi Prita dan Pak David selalu bisa menenangkannya. Waktu pun terus berlalu, dan bagi Alex yang gelisah, detik-detik jam itu terdengar bagi dentuman meriam.
Akhirnya, setelah agak lama, Bu Isyana pun keluar dari ruangan. Alex dan  Prita berdiri begitu melihatnya. Aneh sekali, wajah Bu Isyana tampak seperti merasakan sebuah gurat kesedihan, walaupun ia masih berusaha untuk tampil anggun. Bu Isyana lalu berjalan mendekati Alex dan Prita.
“Tuan Alex,” kata Bu Isyana, “bagus, jadi Anda sudah ada di sini,”

“Ada apa?” tanya Alex gelisah.

“Silakan Anda memakai ruanganku,” kata Bu Isyana, “bukan aku yang akan menjelaskan apa yang terjadi,”

“Ada apa, Bu Isyana?” tanya Alex lagi dengan nada dalam.

“Masuklah ke ruanganku,” kata Bu Isyana, “aku permisi,”
Bu Isyana pun lalu meninggalkan mereka tanpa mengatakan apapun lagi. Bahkan Pak David pun tidak tahu apa yang terjadi. Alex menatap ke pintu ruangan yang masih terbuka itu, ia tak dapat melihat siapa yang di dalam. Bersama dengan Prita, akhirnya Alex memberanikan diri untuk memasuki ruangan.
Laksdya. Sihombing pun segera berdiri ketika Alex dan Prita masuk. Tampak ada sebuah keraguan yang kentara ketika Laksdya. Sihombing menyapa mereka berdua, bahkan Alex pun merasakan tangan Laksdya. Sihombing gemetaran ketika mereka bersalaman.
“Tuan Alex…” kata Laksdya Sihombing.

“Laksamana, ada apa?” tanya Alex.

“Begini, Tuan Alex…” kata Laksdya Sihombing, “aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, karena memang tidak ada cara yang mudah untuk menyampaikan ini…”

“Ada apa?” tanya Alex semakin khawatir.
Laksdya Sihombing berdehem beberapa kali, gugup. Maka Alex pun semakin senewen. Prita bahkan bisa merasakan suasana kegugupan yang menyelimuti ruangan itu, oleh karena itu, tanpa terlihat oleh Laksdya Sihombing, Prita pun menelusupkan tangannya ke tangan Alex dan menggenggamnya erat. Alex pun balas meremas tangan Prita itu, tapi bagaimanapun, tangan Alex tetap sedikit gemetaran.
“Gimana keadaan istriku?” tanya Alex lagi.

“Tuan Alex… kami mendapatkan kabar buruk dari KRI Antasena; telah terjadi ledakan besar di Samudera Indonesia, di mana pada saat itu KRI Antasena tengah berada di ground zero,” kata Laksdya Sihombing, yang lalu tercekat sejenak.

“Lalu istriku?” tanya Alex semakin gelisah, genggamannya ke tangan Prita pun semakin erat.

“Kami takut… KRI Antasena hancur akibat ledakan itu, dan tenggelam beserta seluruh awaknya ke dalam Samudera Indonesia, ke dalam kedalaman yang tidak bisa kita jangkau,” kata Laksdya Sihombing, “termasuk juga istri Anda, Lucia,”
Prita terkejut mendengar berita itu, apalagi Alex. Ia serasa bagaikan disambar petir dan jantungnya seolah berhenti sejenak. Pandangannya kosong untuk beberapa saat, karena memang tidak ada seorang suami pun yang bisa bertahan ketika mendengar berita semacam itu; bahwa istri tercintanya meninggal, dan bukan hanya mati melainkan juga kemungkinan jasadnya tidak bisa ditemukan.
“Alex…” panggil Prita lirih sambil menatap nanar ke arah Alex.
Alex tidak menjawab, pandangannya kosong ke depan. Sesaat kemudian, lututnya serasa amat lemas dan Alex segera jatuh bersimpuh. Prita dengan susah payah mencoba menahan, tapi akhirnya ikut turun juga bersama Alex.
“Alex!!” teriak Prita.
Alex pun akhirnya mulai tersadar dari kekosongannya…
“LUCIA!!!!!!!” teriak Alex sekuat tenaga.
Prita segera memeluk Alex untuk menenangkannya, dan Alex pun menangis meraung sejadi-jadinya. Laksdya Sihombing pun tak kuasa untuk menahan air mata pula. Jeritan tangis seorang pria bisa jadi adalah salah satu jeritan yang paling menyayat hati. Alex mencengkeram erat Prita dan menumpahkan airmata sejadi-jadinya di atas bahu perempuan cantik itu. Prita sendiri bingung hendak berkata apa, karena seperti halnya Alex, ia pun tidak bisa menerima berita ini. Lucia adalah juga temannya, jadi ini jelas hal yang amat memilukan.
Laksdya Sihombing lalu menghapus airmatanya, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya, cincin kimpoi dari Lucia. Ia pun lalu meletakkan cincin itu di dalam genggaman Alex.
“Wasiat terakhir dari dia…” kata Laksdya Sihombing, “supaya kalau ada apa-apa… ini harus aku serahkan ke Anda…”

“TIDAAAAK!!!!!” jerit Alex dengan nada yang memilukan, sambil menggenggam cincin itu erat-erat.
***
Somewhere in Bandung
12.48 WIB
Sebuah Honda Jazz silver metalik berhenti di depan sebuah rumah di bagian pinggiran kota Bandung. Pemukiman itu tampak lengang, serta rumah-rumahnya tampak seperti sudah berumur puluhan tahun, bergaya Belanda yang klasik dan (boleh dibilang) angker. Suasananya sepi, hampir-hampir tak ada orang yang berlalu-lalang di dalam perumahan itu, padahal hari tengah dalam posisi puncak. Aviani dan Mariska pun melihat ke arah rumah dengan was-was.
“Kamu yakin ini alamat yang benar?” tanya Mariska.

“Yakin,” kata Aviani.
Sekali lagi Aviani melihat pesan di dalam blackberry-nya, dan ternyata alamat rumah itu memang benar. Namun dari luar, nyaris tidak bisa dipastikan apakah rumah itu masih ada penghuninya atau tidak, karena memang sepi sekali.
“Perasaanku nggak enak, Vi,” kata Mariska dengan nada penuh kekhawatiran.
Aviani sekali lagi mengecek blackberry-nya, tapi tetap tak ada respons lanjutan dari jaco123. Mau tak mau, informasi terakhir ini harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Tapi entahlah, bahkan kini reporter seberani Aviani pun merasa sedikit ragu.
“Aku samperin aja deh,” kata Aviani.

“Eh, jangan!” cegah Mariska, “nggak takut apa ntar kenapa-kenapa? Mana perumahan sepi banget kayak gini, lagi!”

“Udah deh, Ka,” kata Aviani, “nggak papa koq, tenang aja,”
Sia-sia saja Mariska mencegah, karena apabila Aviani sudah punya mau, maka siapa pun tak bisa menghalanginya. Mariska lalu membuka kunci pintu sentral, dan Aviani pun turun sambil membawa ransel keberuntungannya yang penuh dengan barang-barang peliputan. Sebelum melangkah pergi, Aviani bercakap-cakap sejenak dengan Mariska.
“Hati-hati,” kata Mariska, “kalau aja aku hari ini nggak kudu segera masuk kantor, aku pasti nemenin kamu,”

“Udah, nggak papa,” kata Aviani, “eh, tapi tolong jangan kasih tahu siapa-siapa dulu yah, soal aku di sini,”

“Terus kalau kamu ada kenapa-kenapa, gimana?” tanya Mariska.

“Resiko kerjaan, Ka,” kata Aviani, “kalau dalam 24 jam aku nggak kontak kamu, baru kamu tolong hubungin Pak Alex di Jakarta,”

“Ya, aku ngerti,” kata Mariska, “ati-ati yah…”
Aviani tersenyum, lalu ia segera menyeberang jalan menuju ke rumah. Mariska masih melihat Aviani mengetuk pintu rumah itu ketika akhirnya ia sendiri harus pergi. Dalam hati tentu saja Mariska berat untuk meninggalkan temannya ini seorang diri, tapi apa boleh buat?
Sementara itu, setelah ditunggu beberapa kali ketukan, tetap saja tak ada yang membuka pintu. Aviani pun sampai gatal harus berdiri menunggu di sini.
“Halo? Ada orang di rumah?!” teriak Aviani.
Tetap tidak ada jawaban. Jendela pun tertutup oleh gordin, sehingga Aviani tidak bisa melihat ke dalam rumah. Apa mungkin tidak ada orang di dalam rumah, ya? Apa alamat yang diberikan oleh jaco123 salah?? Iseng-iseng, Aviani pun memutar kenop pintu dan… terbuka! Rupanya pintu tidak terkunci. Aviani kembali ragu, ingin rasanya ia berlari meninggalkan tempat ini, tapi rupanya naluri reporternya malah menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.
“Apa ada orang di rumah?” tanya Aviani lagi segera setelah masuk.
Aviani melangkah perlahan untuk memasuki rumah itu lebih dalam lagi. Suasana interiornya betul-betul klasik khas rumah tua, juga cukup sunyi. Koridor-koridor pun terlihat gelap meskipun hari sebenarnya masih siang, dan semakin Aviani masuk ke dalam, suasana semakin gelap dan sedikit membuat bulu kuduk berdiri. Aviani merinding, namun dari tanda-tanda yang ia lihat, tak adanya debu, perabotan yang cukup bersih, menunjukkan bahwa rumah ini masih dihuni dan dirawat dengan baik. Tapi ke mana penghuninya?
Ketika Aviani sampai ke ruangan utama, ruangan paling besar dari rumah ini, keadaannya cukup berantakan, karena barang-barang berserakan di sana-sini. Aviani tertegun. Butuh sebuah gempa bumi berskala sedang untuk bisa membuat kekacauan seperti ini di sini, atau kalau bukan, sepertinya telah terjadi suatu perkelahian sengit di sini. Aviani lalu mengeluarkan kamera digitalnya dan memotret keadaan di sana.
Ruangan itu gelap karena semua jendela ditutup dengan korden yang tebal. Lampu tidak menyala, sepertinya terjadi gangguan listrik di sini. Hanya bunyi detik jam besar saja yang mengisi keheningan suasana. Aviani menyelidik lebih jauh, dan ia terkejut menemukan sesuatu di bagian tengah ruangan. Bukan, bukan barang, itu ternyata manusia, tergeletak dalam posisi tertelungkup, dan darah terlihat mengalir di lantai. Apa dia mati? Aviani  hampir-hampir saja berteriak, dan bau anyir darah mulai tercium kuat.
Aviani segera menghampiri dan memeriksa tubuh itu. Pengalaman di beberapa daerah konflik membuat Aviani sudah tidak canggung lagi kalau harus berhadapan dengan mayat, atau setidaknya itu yang dikiranya. Dalam hati, Aviani berpendapat bahwa ia pernah melihat mayat-mayat yang keadaannya lebih mengenaskan daripada cuma ini. Tapi setelah diperiksa, ternyata… orang itu masih hidup! Buru-buru Aviani segera membalikkan orang ini.
“Dr? Dr. Anatoly Sedorenkov??” pekik Aviani ketika akhirnya bisa melihat wajah orang itu.
Dr. Sedorenkov pun dengan susah payah berupaya membuka matanya, tapi ia sudah amat lemah. Darah itu rupanya berasal dari luka tembak di tubuh Dr. Sedorenkov. Ini pasti bukan kecelakaan, ada yang mencoba membunuh Dr. Sedorenkov!
“Doktor! Bertahanlah! Aku akan panggil bantuan!” kata Aviani.

“Zh...dat'…” kata Dr. Sedorenkov lemah.

“Ya?” tanya Aviani.
Ia kembali mendekati Dr. Sedorenkov. Bajunya kini sudah kotor dengan darah dari Dr. Sedorenkov, juga darah itu belepotan di tangan dan lengan Aviani. Begitu mendekat. Dr. Sedorenkov, dengan sisa kekuatannya, menarik Aviani sehingga kepalanya saling berdekatan. Lalu dengan masih menahan Aviani, Dr. Sedorenkov pun membisikkan sesuatu di telinga Aviani. Aviani tentu saja kaget, tapi apapun itu pastinya penting, karena Dr. Sedorenkov mengulanginya 3 kali. Segera setelah itu, Dr. Sedorenkov pingsan.
“Doktor!! Bangun!” kata Aviani sambil sedikit mengguncangkan tubuh Dr. Sedorenkov, “yang tadi anda bilang itu apa??”
Tapi Dr. Sedorenkov tidak menjawab, dan meskipun ia hanya pingsan, nafas dan detak jantungnya sudah mulai melemah. Aviani pun makin panik. Dr. Sedorenkov tidak bisa dibiarkan mati di sini. Aviani pun berusaha menolong Dr. Sedorenkov… akan tetapi…
“GUBRAK!!!!”
Pintu terdengar didobrak, dan sebelum Aviani sempat bereaksi apa-apa, tahu-tahu saja beberapa orang berbaju hitam masuk sambil mengacungkan senapan otomatis jenis Uzi. Mereka menggunakan topeng kain warna hitam pula, sehingga Aviani tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja. Salah seorang dari mereka segera saja menyeret Aviani menjauh dari Dr. Sedorenkov, lalu temannya segera memeriksa keadaan Dr. Sedorenkov.
Aviani pun sontak ketakutan, karena moncong-moncong Uzi sudah diarahkan ke arahnya. Selama ini belum pernah ia harus menghadapi senjata api dengan jarak sedekat dan sejelas ini. Paling-paling biasa menghadapi senjata-senjata airsoft, tapi ini bukan senapan mainan! Sebuah tembakan peluru 9mm dari Uzi sudah cukup untuk merenggut nyawanya. Aviani pun segera bersimpuh dengan kedua tangannya diletakkan di belakang kepala.
Mereka bekerja dengan isyarat tangan, tidak ada yang berbicara. Aviani mencoba menjelaskan bahwa ia bukan yang melakukan penembakan pada Dr. Sedorenkov, tapi mendadak sebuah cengkeraman kuat membuatnya berdiri, dan tanpa ba-bi-bu, ia dihempaskan dan dipepet di dinding. Aviani berteriak kesakitan.
Kedua kaki Aviani pun dikangkangkan lebar, lalu orang itu segera menggeledah Aviani. Aviani sendiri tidak merasa nyaman, apalagi orang itu dengan kasar memegang dan meremas bagian-bagian tubuhnya, termasuk payudara, pantat, juga bagian kemaluannya, meskipun tidak melepas baju. Aviani berteriak-teriak dan menangis ketika bagian-bagian sensitif itu diremas, tapi orang itu tidak peduli dan malah mempererat tekanannya atas diri Aviani. Pelecehan seksual yang parah bagi Aviani, tapi rabaan orang itu terlalu kasar untuk bisa dikatakan sebagai pelecehan. Tetap tidak ada yang berbicara. Semua dilakukan dalam diam. Tiba-tiba Aviani merasakan sebuah hantaman di belakang kepala, dan semuanya menjadi gelap.
***
Location Unknown
Time Unknown
Aviani tersadar ketika tahu-tahu ia terjerembab di atas lantai keramik yang dingin. Aviani mengaduh kesakitan, dan ia mencoba mengusir rasa sakit di kepala sambil melihat di mana sekarang ia berada. Pastinya ini bukan rumah yang tadi dia masuki, tapi Aviani tak ingat apakah ia pernah dipindahkan. Memang masih seperti salah satu bagian rumah, tapi Aviani tidak yakin ini di mana. Lima orang berpakaian serba hitam dan bersenjata Uzi sudah mengitarinya.
“Siapa kalian??” tanya Aviani, “kalian mau apa??”
Semua hanya diam saja tidak ada yang bersuara, hanya Uzi yang mengarah ke Aviani.
“Bagaimana keadaan Dr. Sedorenkov??” tanya Aviani, “apa dia tidak apa-apa??”
Tetap tak ada jawaban, bahkan suara nafas mereka pun tak terdengar.
“Jawab aku!” jerit Aviani dengan nada keputusasaan.
Aviani, untuk pertama kali dalam hidupnya, akhirnya benar-benar merasakan ketakutan. Ruangan ini juga gelap, sehingga ia hanya bisa samar-samar saja mengenalinya, hanya sebuah lampu redup saja yang menyala di pusat ruangan. Dua orang lagi, masih berpakaian serba hitam langsung memasuki ruangan, bedanya, salah satu di antara mereka tidak memegang Uzi. Tapi apabila melihat dari gayanya, sepertinya orang ini justru adalah pemimpin dari anggota pasukan hitam ini.
Sang pemimpin pun melihat ke arah Aviani dari balik visor inframerahnya, yang oleh Aviani hanya terlihat seperti dua buah bola bersinar merah. Aviani  berusaha menantangnya, tapi tidak ada di antara orang-orang ini yang berbicara.
“Aku tidak membunuh Dr. Sedorenkov!!” kata Aviani.
Tidak ada jawaban dari orang-orang ini, mereka hanya melihat Aviani saja, dan pancaran sinar dari visor masing-masing betul-betul membuat Aviani senewen. Tanpa malu-malu, Aviani pun menitikkan aimatanya, airmata ketakutan. Mereka masih melihat Aviani, dan terlihat seperti robot yang tanpa ekspresi.
Sang pemimpin akhirnya memberi isyarat tangan, dan semua orang pun lalu menurunkan todongan Uzi mereka. Tadinya Aviani merasa lega, karena ia mengira penjelasannya berhasil meyakinkan mereka, tapi tiba-tiba semua orang menahannya berbaring di atas lantai dan memeganginya hingga ia tak dapat bergerak.
“KALIAN MAU APA!!!??” bentak Aviani.
Tetap tak ada jawaban, dan ketakutan terbesar Aviani pun terjadi. Orang-orang ini dengan kasar segera menanggalkan pakaian Aviani, mulai dari baju, celana, hingga pakaian dalam. Aviani berusaha berontak untuk melawan, tapi sia-sia, karena kelima orang yang menahannya betul-betul kuat. Dalam sekejap saja, ia pun langsung sudah telanjang bulat.
Aviani berteriak dan menangis-nangis. Apakah mereka hendak menggagahinya di sini? Di tempat yang tidak diketahui di mana? Kaki Aviani ditekuk ke atas sehingga pahanya menempel di dada; kemudian kedua kaki itu dibuka lebar sehingga kemaluannya pun terbuka lebar. Aviani tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan perlakuan ini, ia tak cukup kuat. Sepertinya inilah saatnya kehormatannya akan direnggut.
Ia berusaha memberontak sebisanya, menggoyang-goyangkan pinggul dan pantatnya. Tapi sebuah tangan lagi menahan gerakan itu, dan amat kuat sehingga efektif Aviani tidak bisa bergerak lagi; itu adalah tangan Sang Pemimpin. Meskipun tak bisa melihat wajahnya, tapi dari cara Pemimpin itu melihat Aviani, sepertinya ia menginginkannya. Aviani hanya bisa menangis saja sebisa-bisanya, meratapi nasibnya. Andai saja pagi ini ia tidak meninggalkan Gilang…
Ia tertahan sejenak, dan merasakan sebuah tangan dingin mengusap kemaluannya. Lalu dirasakan sesuatu yang dingin dan basah, seperti sebuah cairan yang diusapkan. Aviani pun mulai menangis menghadapi perlakuan itu. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika ia mengintip dan melihat bahwa tangan Sang Pemimpin lah yang memegang bibir kemaluannya dan kali ini ia membukanya lebar-lebar… Sudah tak ada lagi halangan sekarang, dan benteng terakhir Aviani ini akhirnya akan jebol juga.
“Tahan!!” kata Sang Pemimpin, kata pertama yang terdengar dari gerombolan ini.
Aviani tertegun sejenak. Tapi tiba-tiba sebuah benda dengan cepat segera menghujam kemaluannya dan Aviani pun berteriak dengan sebuah teriakan yang pilu!

No comments:

Post a Comment

Musim Panas di Los Angeles - 3

  Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sa...