Cerita
diambil dari novel LAUT BIRU karya stuka1788 di forum Kaskus, ss by
kaskus-addict
Chapter IV: The Battle
Somewhere at sea
Selat Madura
WIB
Laksma. Mahan berada
di anjungan komando sembari mengawasi laporan-laporan dari para perwiranya. Kapal selam
ini sekarang berada di kedalaman periskop, dan terus berlayar. Ketika menyelam,
maka kapal selam boleh dibilang berlayar secara “buta”, karena sama sekali
tidak bisa melihat keadaan di luar. Lagipula, di luar pun tak ada yang bisa
dilihat kecuali air laut yang gelap. Hanya di kedalaman periskop, kapal selam
bisa mengawasi keadaan di sekitarnya secara visual. Lebih dalam dari itu, maka
peralatan sonar, sensor, peta koordinat, serta telinga sensitif saja yang
digunakan untuk menavigasi arah kapal.
Arus laut di dalam
Selat Madura cukup keras, dan ini menuntut segala keahlian dari Laksma. Mahan,
karena sejak menyelam tadi, arus ini sudah menghambat gerakan kapalnya. Kedua
mualim kapal pun tidak henti-hentinya berkonsentrasi untuk mengemudikan kapal,
karena apabila kalah dari arus, maka kapal bisa saja terdisorientasi yang
akibatnya memaksa kapal untuk naik ke permukaan dan mengevaluasi ulang posisi.
Dalam keadaan
perang, hal ini tentu saja adalah alamat maut, karena kapal selam cukup rentan
apabila tengah berlayar di permukaan. Tak dalam keadaan perang pun tetap ada
bahaya kapal selam hanyut hingga terhantam karang atau bahaya navigasi lain.
Tapi Laksma. Mahan adalah nakhoda yang cakap, apalagi dengan KRI Antasena yang
canggih. Sebuah kapal selam type KSPR mungkin logamnya sudah berderak kencang
dengan arus sekuat ini, tapi kapal selam ini masih mulus saja.
Lucia dan Iwan pun
ada di anjungan. Tidak seperti ketika di pangkalan, di sini Laksma. Mahan
membebaskan tim NewsTV ini untuk meliput apapun yang mereka mau. Mungkin saja
Laksma. Mahan melakukannya karena memang di lingkungan ini, tak ada lagi
tekanan dari pihak Intelejen; di samping itu, seorang nakhoda kapal berkuasa
secara absolut di dalam kapalnya. Di bagian lain, para awak teknis memeriksa
semua pipa-pipa, katup-katup, dan kabel-kabel untuk memastikan semuanya
berjalan dengan lancar. Ini adalah pelayaran pertama dari kapal selam pertama
buatan dalam negeri, wajar saja jika semua hal harus dicek dengan pasti,
setidaknya ketika mereka masih di perairan aman. Pipa-pipa sedikit berderak,
namun tak ada kebocoran.
“Keluar dari zona
hijau, Kep!” kata perwira navigasi.
“Status?” tanya Laksma. Mahan.
“Arus laut sudah mulai stabil, kita memasuki perairan yang lebih dalam,” kata perwira navigasi lagi.
“Periskop?” tanya Laksma. Mahan.
“Semua aman, Kep! Barusan tadi ada kapal ferry lewat di samping kita,” kata Letkol. La Masa di periskop, “kayaknya itu kapal kelebihan muatan; kasian itu kapal sudah kakek-kakek disuruh angkut berat-berat,”
“Tapi nggak tenggelam, toh?” tanya Laksma. Mahan sambil tertawa.
“Tentu tidak, kalau tenggelam pasti bakal muncul lagi di berita,” kata Letkol. La Masa sambil melirik ke arah Lucia.
Semua tertawa saja
mendengar candaan itu. Sebentar saja, karena Laksma. Mahan lalu memasang tampang
serius kembali.
“Buka manifest,”
kata Laksma. Mahan.
Letkol. Ari La Masa
lalu menurunkan periskop, lalu menuju ke belakang kabin, ke sebuah ruangan
penyimpanan, dan kembali membawa sebuah kotak yang memiliki dua lubang kunci.
Letkol. La Masa kemudian mengambil kunci yang tergantung di lehernya, begitu
pula dengan Laksma. Mahan, lalu mereka berdua memutar kunci di kotak itu secara
bersamaan. Lucia melihat kejadian itu dengan penuh rasa keheranan. Isi dari
kotak itu hanya sebuah amplop kertas yang di atasnya tertulis serangkaian kode.
Letkol. La Masa kemudian mengambil sebuah buku tebal dan membuka isinya.
“Konfirmasi
manifest:
Alpha-Alpha-Bravo-Sierra-November-Zulu-Echo-Echo-Romeo-Tiga-Tiga-Sembilan-Empat-Charlie-Foxtrot-Dua-Dua-Sembilan-Oscar-Enam,”
kata Laksma. Mahan membaca kode di atas manifest.
“Dikonfirmasi: Alpha-Alpha-Bravo-Sierra-November-Zulu-Echo-Echo-Romeo-Tiga-Tiga-Sembilan-Empat-Charlie-Foxtrot-Dua-Dua-Sembilan-Oscar-Enam,” kata Letkol. La Masa, “silakan dibuka,”
Laksma. Mahan lalu
membuka isi manifest itu. Tak ada yang tertulis banyak di atasnya, namun dari
sepintas pandang, Lucia melihat bahwa itu sebuah peta, daftar koordinat, juga
rute pelayaran yang harus ditempuh oleh KRI Antasena. Untuk keamanan, maka
dokumen penting (terutama rute pelayaran) hanya diberikan, dan baru boleh
dibuka di atas kapal, ketika kapal sudah di tengah laut atau mencapai titik
tertentu.
Laksma. Mahan lalu
menyerahkan rencana rute itu kepada perwira navigasi. Dalam pelayaran
pertamanya ini. KRI Antasena akan melakukan pelayaran perdananya dari Surabaya
ke Jakarta, setelah terlebih dahulu memutar Selat Lombok, lewat Samudera
Hindia, menyusuri lepas Laut Selatan Pulau Jawa, ke Selat Sunda, baru berakhir
di Tanjung Priok. Di Jakarta nanti, KRI Antasena akan memeriahkan puncak
perayaan dengan bermanuver bersama dengan Misi Muhibah AL Russia yang akan
dijadwalkan tiba di Priok 4 hari sebelum KRI Antasena tiba. Kenapa tidak
melewati Laut Jawa saja, yah? Bukankah ini jalan yang lebih aman, karena hanya
melewati inland sea?
“Serangkaian test
yang harus dilakukan, juga latihan,” kata Laksma. Mahan menjawab pertanyaan
itu, “lagipula, inland sea terlalu pendek dan tidak akan menjadi batu ujian
yang baik untuk kapal ini,”
“Apa kita akan melewati tapal batas dengan perairan Australia?” tanya Lucia.
“Sepertinya tidak,” kata Laksma. Mahan, “kita tidak punya urusan dengan Australia; pengujian di Samudera Indonesia bakal menjadi ujian sesungguhnya bagi kemampuan kapal ini, karena sebagian besar pengujian akan kita lakukan di bawah air,”
“Semoga lancar,” kata Lucia setengah berbisik.
“Istirahatlah dahulu, Nn. Lucia,” kata Kdr. Mahan, “ini sudah pagi, dan di kapal selam, waktunya untuk tidur; oh ya, kalau Anda atau Nn. Erika mau mandi atau buang air, kalian boleh menggunakan kamar mandi di kabin saya, setidaknya di sana lebih nyaman, lagipula mungkin jarang saya gunakan,”
“Terima kasih,” kata Lucia.
Memang, kabin
perwira, apalagi kapten kapal, berbeda sekali dari kabin awak, seperti yang
ditempati oleh Lucia dkk. Kabin Kdr. Mahan merupakan sebuah ruangan sendiri
yang lebih lega, dilengkapi dengan pintu, kasur yang lebih empuk, perabotan,
bahkan lemari es dan kamar mandi sendiri yang pastinya amat sangat lebih
nyaman, meski karena di kapal selam, masihlah sempit. Kabin yang Lucia tempati
sebenarnya adalah salah satu dari kabin perwira, karena kabin awak hampir
seperti bangsal besar dengan puluhan tempat tidur susun dan satu meja yang
harus digunakan bergantian oleh sepuluh orang. Ini masih lebih baik, karena ada
juga yang tidur pada hammock di ruang torpedo atau ruang mesin. Bagi
non-pelaut, mungkin ini adalah pengaturan yang amat tidak adil, tapi para
pelaut sendiri tidak keberatan. Kapten harus diberikan semua kenyamanan, karena
justru di tangan kapten lah seluruh awak menggantungkan hidup mereka. Ini bukan
tempat bagi mereka para aktivis HAM dan persamaan hak.
***
Royal Australian Naval Base
08.22 WITA
Captain William Artner tiba di pangkalan dengan wajah yang
tidak begitu senang. Liburannya dipotong karena harus melaksanakan sebuah misi
penting dan rahasia. Bukan dia seorang saja, tapi bagaimana dengan anak
buahnya? Terutama kelasi-kelasi muda yang butuh pelepasan dari rutinitas melaut
yang menjemukan? Tapi perintah itu datang dari Royal Australian Admiralty di
Canberra langsung, dan pemimpin Armada Timur, Rear-Admiral Leighton Crowe,
mempercayakan tugas penting ini langsung kepadanya.
Captain Artner
adalah komandan kapal HMAS Pitcairn, sebuah kapal kelas “Calypso” yang baru
dibeli dari Amerika Serikat. HMAS Pitcairn adalah yang terbesar dari kelas
“Calypso” yang dimiliki oleh Australia, sedikit lebih besar daripada frigate
kelas Oliver Hazard Perry milik Amerika Serikat. Seperti kelas
“Calypso” yang lain, kapal ini berformat trimaran, alias memiliki tiga lambung.
Namun hanya lambung
tengah saja yang digunakan sebagai “kapal”, sementara lambung kanan dan kiri,
selain sebagai penyeimbang, juga digunakan untuk penyimpanan senjata. Bentuk
kapal ini futuristik dan minim tonjolan, hampir sebentuk dengan kapal patroli
kelas Skjold buatan Norwegia. Wajar, karena AL Amerika menggunakan kapalSkjold
sebagai basis pengembangannya. Bedanya, Skjold memakai format katamaran
(lambung ganda), sementara Calypso berformat trimaran.
Siluet kapal ini
cukup rendah, dan seperti halnya kapal trimaran, kecepatannya pun cukup tinggi.
Di dalam tubuhnya, terkandung macam-macam senjata maut untuk kapal selam,
seperti torpedo Mark. 50; Roket anti kapal selam ASROC, mortir Hedgehog II, dan
dua jalur depth-charge. Sebagai senjata pertahanan diri, dilengkapi juga dengan
empat tabung rudal anti kapal Harpoon dan dua pucuk kanon gatling Phalanx 20mm
CIWS di samping pelontar chaff dan flare. Pendeknya, kapal ini adalah kapal
pembunuh kapal selam yang handal, dan di Australia, HMAS Pitcairn dengan
Captain Artner adalah yang terbaik untuk tugas itu.
Pengalaman HMAS
Pitcairn didapat dalam tugas di Timur Tengah. Sebagai sekutu Amerika Serikat,
maka pun mengirimkan beberapa kapal perang ke Timur Tengah. Dan di sini, HMAS
Pitcairn berhasil mengaramkan beberapa kapal selam mini yang digunakan untuk
mengangkut personel milik salah satu kelompok gerilyawan Al-Qaeda, juga
beberapa kapal dan perahu bunuh diri. Prestasi ini jauh lebih hebat daripada
kapal-kapal Amerika sekalipun, meskipun oleh beberapa kapten Amerika, lebih dianggap
sebagai suatu keberuntungan belaka.
Commander Hank
Kelsey, XO dari kapal HMAS Pitcairn sudah berada di sana, dan ia melihat
kegalauan dari kaptennya, akan tetapi ia tak berkata apa pun, juga ketika
kapalnya dimuati penuh oleh senjata-senjata, hal yang tak pernah lagi ia lihat
setelah kapal ini pulang dari Timur Tengah. Mau memburu apa kapal ini? Begitu
pikirnya. Semua awak kapal terlihat agak malas dan frustrasi akibat waktu libur
mereka dipotong oleh penugasan mendadak ini. Pun, seperti halnya para pelaut
sejati, mereka tak pernah membantah perintah dari kaptennya. Baru setelah
akhirnya kapal HMAS Pitcairn berlayar sekitar 1 jam, Commander Kelsey berani
bertanya pada Captain Artner.
“Sebenarnya misi
kita kali ini apa, Cap?” tanya Com. Kelsey.
“Itu juga yang aku mau tahu, Commander,” kata Capt. Artner, “buka manifest, sekarang,”
Kedua pimpinan ini
pun lalu membuka manifest, dan setelah mengkonfirmasi lalu membaca misi yang
harus mereka jalankan, mereka menarik nafas panjang.
“Segera menuju ke
titik koordinat ini,” kata Capt. Artner sambil memberikan manifest itu kepada
Com. Kelsey.
“Yessir!” kata Com. Kelsey sambil menghormat.
“And full speed ahead!” perintah Capt. Artner, “we got fish to hunt; a very large one,”
***
Pagi berikutnya…
Rumah Alex
WIB
Alex terbangun tiba-tiba ketika HP yang ia letakkan di meja menyala.
Ia melihat keadaan sekitar, rupanya tertidur di sofa, di depan TV yang sudah
mati. Rupanya tadi malam Alex tertidur setelah bercinta untuk yang terakhir
kalinya dengan Kania di depan TV. Siapa menelepon pagi-pagi begini? Ia melihat
layarnya, dan ternyata nomor asing, nomor Australia. Alex bisa menebak siapa.
“Hoi! Bangun! Udah
pagi!” kata seorang wanita dari balik telepon.
“Duh… kamu ngapain telepon aku pagi-pagi, Ma?” hardik Alex.
Ternyata itu adalah Rahma
Sarita. Rahma ini adalah anchor NewsTV yang juga berada di bawah Alex, dan
merupakan ujung tombak program News Today. Saat ini, Rahma tengah cuti panjang
dari kegiatan di NewsTV karena tengah melanjutkan studi di Australia.
“Pagi-pagi? Heh, di
sini matahari udah tinggi, nih!” kata Rahma, “Lani nggak kamu bangunin buat
sekolah, emangnya?? Mentang-mentang istri nggak ada di rumah”
“Tau dari mana kamu, istriku nggak ada di rumah?” tanya Alex.
“Aku lagi lihat streaming NewsTV nih… tuh, istri kamu lagi liputan,” kata Rahma.
Alex tersentak, lalu
bergegas ia menyalakan TV di hadapannya. Benar saja, rupanya itu adalah liputan
yang dilaksanakan oleh Lucia tadi malam. Hanya saja, liputan ini tidak
langsung. Alex membesarkan volume televisinya, karena ia sangat ingin
mendengarkan suara istrinya.
“Duh, sampe volume
TV-nya digedein,” sindir Rahma segera setelah package liputan dari Lucia
selesai.
“Ya, namanya juga istri sendiri, Ma,” kata Alex.
“Emang liputan di mana, sih?” tanya Rahma.
“Nggak tahu,” kata Alex, “classified,”
“Wah, koq main rahasia-rahasiaan, sih?” tanya Rahma.
“Udah ah, pagi-pagi ngegosip,” kata Alex, “kamu kesepian, ya?” godanya pada perempuan cantik itu.
“Enak aja,” tukas Rahma, “suami aku di sini nih, tadi malem nyusul,”
“Masa? Wah, berarti semalem ‘pertandingan’, dong!” kata Alex. Membayangkan si molek Rahma yang lagi disetubuhi oleh suaminya membuat penis Alex perlahan bangun dan menegang.
“Nggak tuh,” kata Rahma sembari terkekeh, “lagi ‘pita merah’ nih,”
“Yaah… nggak tepat tu, suami kamu milih waktu,” kata Alex. Matanya mencari-cari keberadaan Kania, kemana gerangan sang kakak angkat. Kalau saja ada disini, bakal nikmat rasanya bisa dapat ’breakfast’ sebelum waktu sarapan tiba.
“Hooi, koq jadi ngomongin suami aku, sih?” tanya Rahma, “Lani udah dibangunin belum?”
“Ntar gampang lah,” kata Alex, “sarapannya pake sereal aja,” Alex mengelus penisnya dan mulai mengocoknya pelan.
“Idih, pantes anak kamu badannya kecilan, yah?” kata Rahma, “ama bapaknya dicekokin sereal mulu!”
“Yang pinter masak si Luz,” kata Alex terkekeh, gerakan tangannya semakin cepat sekarang. “oh ya, gimana keadaan di Aussie?” tanyanya dengan suara berat.
“Yaa gitu deh,” kata
Rahma, “kayaknya lagi panas nih, persaingan politis soal kudu pro Barat atau
lebih condong ke Asia,”
“Masalah kasip tu,” kata Alex, wajahnya sudah memerah karena menahan nikmat. “oh ya, gimana kalau ntar pas News Today kamu aku telepon biar laporin langsung?” tawarnya pada Rahma.
“Waduh, mau laporin apaan, nih?? Ntar aja deh, kapan-kapan,” kata Rahma, “eh, Lex, aku udahan dulu yah, pulsa mahal!”
“Yawda, bye!” kata Alex sedikit kecewa.
Rahma lalu menutup
teleponnya. Sedikit situasi yang memanas di Aussie memang sudah beberapa waktu
ini menjadi perhatian Alex di NewsTV, akan tetapi meskipun tetap mengumpulkan
informasi, Alex belum bisa mengangkat hal ini di News Today, tidak selama masih
ada topik lain yang sifatnya lebih urgen. Bagaimanapun, situasi ini juga
membuat khawatir Alex, karena ini bakal mempengaruhi kebijakan luar negeri
Indonesia, salah satunya adalah kepada Australia. Duh, sekarang Alex
malah teringat Lucia…
Untunglah di saat
yang tepat, Kania datang menghampirinya. ”Eh, daripada dielus sendiri, sini aku
bantuin.” katanya sambil jongkok di depan Alex. Rupanya dia baru selesai mandi,
rambutnya masih tampak basah, sementara tubuh sintalnya hanya dibalut jubah
mandi putih yang tidak ditalikan, membuat bagian depan tubuhnya yang telanjang
jadi terlihat jelas.
Alex menyelusupkan
tangannya, ia remas-remas payudara Kania yang mengintip malu-malu dengan begitu
lembut. ”Lani belum bangun?” tanyanya sambil memperhatikan Kania yang sekarang
asyik mengulum penisnya.
”Emm... belum,”
sahut Kania. Dengan mulut penuh ia mendorong Alex agar rebahan kembali di sofa.
”Kita punya waktu sekitar...” matanya memperhatikan jam dinding, ”lima belas
menit.” tambahnya kemudian.
Alex tersenyum, ”Itu
dah lebih dari cukup.” Dan merekapun kembali saling memeluk dan berangkulan
untuk memuaskan nafsu masing-masing di pagi hari yang dingin itu.
***
Gedung NewsTV
Reporter’s Lounge
10.01 WIB
Alex memasuki
ruangan reporter dengan cukup mendadak. Jarang-jarang sebenarnya Alex memasuki
ruangan ini, bahkan kalau seandainya Lucia tidak sedang tugas sekalipun. Ini
kontan saja mengagetkan anak buahnya yang ada di ruangan itu, yaitu Githa
Nafeeza, Eva Julianti, dan Aviani Malik. Mereka memang sedang mengerjakan
naskah dan laporan peliputan mereka, jadi tidak sedang kongkow; bagaimanapun
juga, apabila Alex sampai repot-repot masuk ke dalam ruangan ini, pastinya ada
sesuatu yang penting.
“Dah, nggak usah
repot-repot,” kata Alex, “kalian sambil kerja juga gak papa,”
Cubicle tempat anak
buah Alex bekerja memang unik dan membentuk sebuah lingkaran, sehingga sambil
bekerja juga, mereka bisa tetap ngobrol tanpa harus meninggalkan komputer kerja
mereka.
“Ada apaan sih, Bos,
koq tumben ke sini?” tanya Eva, “ngapelin aku, yah? Mumpung Luz nggak ada?
Hehehe,”
“Kegeeran banget kamu,” kata Alex, “pengin ngadem aja sih, lagian aku baru aja diomelin ama Sumi Yang,”
“Soal penugasannya Lucia?” tanya Githa.
“Iya,” jawab Alex.
“Ya jelas lah, orang penuh rahasia gitu,” kata Githa, “misal aku yang jadi Sumi, aku juga pasti ngomel,”
“Oh ya, kabarnya si Lusi gimana, Bos?” tanya Eva, “apa udah ngasih kabar lagi?”
“Cuman SMS kemarin
nih, kayaknya sebelum berangkat ke lokasi,” kata Alex, “abis itu lom ada kabar
lagi,”
“Waduh, ada yang kangen nih, kayaknya,” goda Eva, “ama aku aja dulu, Bos, kalau kangen,”
“Hahaha, mending ama Fessy, Va, daripada ama kamu,” balas Alex.
“Weleh, mainannya sekarang ama Fessy, yah?” tanya Eva.
“Udah dari dulu kali, kalau ama Fessy,” tukas Aviani, “so, sekarang Bos lagi mau ngapain?”
“Gini, kalau misal kalian nggak ada kerjaan yang mendesak, coba deh tongkrongin Dephan,” kata Alex.
“Yeee… ini sih ceritanya kita disuruh nyari kabar istri,” kata Eva.
“Ya, siapa tahu juga malah ada yang menarik,” kata Alex.
“Oke, ntar saya aja yang ke Dephan,” kata Aviani, “kebetulan saya juga lagi mau cari tahu soal misi muhibah AL Russia,”
“Makasih, Vi,” kata Alex, “oh iya, ini aku dapet rekamannya si Luz yang tadi malem, coba tolong dipelajari, yah,” Alex lalu memberikan sebuah DVD kepada Eva, yang kebetulan memang posisinya paling dekat.
“Dipelajari apanya?”
tanya Eva.
“Apa aja yang bisa kalian dapat,” kata Alex, “ntar aku masukin ke poin tugas uji analisa kalian,”
“Wah, parah juga ya, kalau punya Bos suka menyalahgunakan wewenang gini?” celetuk Githa.
“Hei, pada mau poin, gak??” tanya Alex, “lagian, kayaknya rekaman itu sebelum kita edit sudah diedit dulu ama Angkatan Laut, jadinya ini tantangan, siapa tahu ada detil-detil kecil yang bisa kita eksplor di berita,”
“Wah, tumben nih tugas uji analisa-nya menantang gini?” kata Eva, “ya udah, ntar kita kerjain deh, secepatnya,”
“Good!” kata Alex, “aku pergi dulu, habis ini ada rapat produser lagi ama Bu Isyana; duh, capek,”
“Capekan mana, Bos, ama kita yang wara-wiri ke sana-sini, kepanasan, kehujanan,” protes Eva.
“Trust me,” kata Alex, “aku mau aja bayar 2 bulan gaji biar bisa tugas keluar kayak kalian; dah ah…”
Alex pun segera
meninggalkan tempat itu. Di ruangannya, Fessy sudah menunggu dengan senyum
ringan tersungging di bibirnya yang tipis.
”Lama banget, hampir
aku mau balik.” katanya sambil mulai melepas kancing bajunya.
”Maaf, si Eva tuh,
selalu saja menggodaku.” sahut Alex. Ia segera melepas celananya begitu Fessy sudah selesai menelanjangi diri. Kejantanannya
langsung meloncat keluar, seperti ular kobra yang keluar dari sarangnya.
”Taruhan, lama-lama
kamu pasti akan tergoda juga sama dia.” kata Fessy yang berdiri menatap penis
Alex tanpa berkedip, lalu sambil tersenyum, ia berjalan mendekat dan berjongkok
di depan Alex. Diamatinya senjata Alex dengan seksama sambil tangannya
perlahan-lahan meraba naik turun. Jari-jemarinya dengan lembut mengelus, mulai
dari akar hingga ujungnya, menelusuri setiap urat-urat yang sudah meregang dan
bertebaran di sana-sini. Tangannya yang lentik tampak penuh oleh batang
kejantanan Alex.
”Jilat, Fes.” Alex
meminta. ”Selama kamu terus begini, aku gak akan tergoda sama si Eva.” tambahnya.
Mengangguk mengiyakan, Fessy pun mendekatkan wajah. Lidahnya menjulur keluar untuk menyentuh ujung kejantanan Alex. Kehangatan jilatan itu mulai terasa mengalir, membuat tubuh Alex jadi sedikit bergetar. Fessy menatapnya, dan dengan anggukan dari Alex, iapun lekas melahap dan mengulum penis laki-laki itu. Ujung lidahnya dengan pintar bergerak maju-mundur, membelit batang panjang itu hingga membuatnya jadi makin keras dan menegang sempurna.
”Ough!” Alex
melenguh keenakan, wajah tampannya tampak semakin memerah karena dibakar api
birahi. Diperhatikannya Fessy yang terus bergerak menghisap dan menjilat. Tak
sekalipun giginya menyenggol kulit kejantanan Alex. Wanita itu begitu lihai,
hisapannya terasa begitu nikmat, dengan tangan tak henti meraba dan
mengelus-elus buah zakar Alex yang menggantung kembar.
”Ahh...” Alex
merintih merasakan kejantanannya yang semakin meronta-ronta, denyut-denyut
nikmat mulai ia rasakan berlarian di sepanjang batang penisnya. Sementara
seluruh otot di tubuhnya terasa menegang. Semakin lama, kenikmatan itu semakin
menggila, hingga tanpa terasa tubuh Alex sudah menggelinjang kesana-kemari,
pikirannya sudah melayang jauh entah kemana.
Di detik terakhir, sesuatu ia rasakan menjepit kuat pangkal kemaluannya, membuatnya jadi urung untuk berejakulasi. Dengan nafas terengah-engah, Alex berusaha membuka mata. Dilihatnya Fessy yang tersenyum sambil menggenggam kuat batang penisnya, mencekiknya agar tidak jadi meledak.
Di detik terakhir, sesuatu ia rasakan menjepit kuat pangkal kemaluannya, membuatnya jadi urung untuk berejakulasi. Dengan nafas terengah-engah, Alex berusaha membuka mata. Dilihatnya Fessy yang tersenyum sambil menggenggam kuat batang penisnya, mencekiknya agar tidak jadi meledak.
”Jangan
terburu-buru, ini belum selesai.” Fessy berkata, perempuan itu lalu berdiri dan
memeluk Alex. Dengan tubuh sama-sama telanjang, mereka saling berangkulan. Alex
bisa merasakan payudara Fessy yang bulat padat mengganjal empuk di depan
dadanya. Ia segera meraba dan meremas-remasnya dengan penuh nafsu.
”Kamu luar biasa, Fes!”
bisik Alex sambil menggeleng-gelengkan kepala, terkagum-kagum oleh kehebatan
Fessy dalam oral sex.
Fessy tertawa manja. ”Menyesal ya dah milih Lucia sebagai istri?” godanya.
”Ah, nggak juga. Kalau gini ’kan, aku jadi dapat dua.” sahut Alex, ia sedikit mengernyit merasakan genggaman tangan Fessy yang tak kunjung mengendur pada batang kejantanan. "Eh, bisa mati tuh punyaku kalau kamu cekik terus seperti itu." protesnya.
Fessy tertawa geli. "Jangan
mati dulu donk, aku ’kan belum diapa-apain." balasnya sambil melepaskan
genggaman pada kejantanan Alex yang masih berdiri tegak.
”Sini kalau gitu,”
Alex meraih dan meremas-remas bongkahan pantat Fessy yang bulat seksi.
”Sekarang giliranku memuaskanmu!” bisiknya sambil mengatur ujung kejantanannya
agar berada di tempat yang tepat.
”Hehe, sudah nggak
tahan ya?” Fessy perlahan menurunkan pantatnya. Ujung penis Alex yang kaku dan
keras terasa menyentuh pintu gerbang kewanitaannya.
”Kamu sendiri juga
begitu ’kan?” tuduh Alex saat melihat Fessy terus mendesakkan miliknya untuk
lebih turun lagi.
”Hehe,” tidak
menjawab, Fessy membuka kedua lututnya lebih lebar lagi agar penis Alex yang
sempat tertahan jadi bisa lebih mudah menyelinap masuk.
”Ahh,” Tubuh Alex sedikit bergetar saat merasakan jepitan kewanitaan Fessy yang sangat licin dan basah melingkupi batang kemaluannya, terasa begitu hangat dan nikmat sekali.
”Ough,” rintihan
kenikmatan Fessy juga terdengar lirih. Semakin dalam kejantanan Alex menerobos
masuk, kepalanya semakin terdongak ke atas, hingga akhirnya berhenti tak lama
kemudian. Fessy duduk di pangkuan Alex dengan nafas terengah-engah saat alat
kelamin mereka sudah bertemu dan saling bertaut erat. Beberapa saat keduanya terdiam
dalam posisi seperti itu.
Fessy kemudian menundukkan wajahnya, bibirnya menghampiri dan melumat bibir Alex, lidahnya masuk ke dalam mulut Alex untuk mengajak saling memilin dan bersilat lidah. Sambil terus mengecup dan melumat mulut laki-laki itu, Fessy mulai menggoyangkan pinggulnya berputar-putar.
"Aahh..."
Alex merintih, penisnya bagai dipelintir dengan lembut. Lekas ia melumat puting
susu Fessy kuat-kuat hingga membuat perempuan cantik itu menggelinjang dan ikut
merintih pelan.
”Auw, Lex!” desis
Fessy sambil menggoyangkan pinggulnya semakin cepat. Batang penis Alex terus bergerak
keluar masuk di rongga vaginanya, bahkan beberapa kali mentok hingga ke dasar lubang
saat Fessy mendudukinya sedikit lebih keras. Begitu seterusnya hingga nikmat
yang bukan kepalang mulai ia rasakan menghinggapi tubuh sintalnya.
Alex yang berada di
bawah juga mengalami hal serupa. Seiring dengan desah nafas Fessy yang semakin
menggila, kedua tangannya tak henti-henti meraba dada perempuan cantik itu. Terkadang
ia memilin kedua puting susu Fessy dengan jemarinya, terkadang menghisapnya
lembut dengan menggunakan mulut, bahkan tak jarang ia membuat Fessy mengerang dan
merintih nikmat saat mendesakkan penisnya yang sudah mencapai dasar untuk
bergerak lebih jauh lagi ke atas.
”Ahh... Lex!!” jerit
Fessy suka, tubuhnya yang mulus seksi terus bergerak naik turun di pangkuan
Alex, memompakan kenikmatan demi kenikmatan ke sekujur tubuh laki-laki itu.
”Fes...” Alex
semakin merintih dengan batang terus menerjang-nerjang liang kemaluan Fessy. Ia
tampak berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertahan, namun himpitan
dinding vagina Fessy yang sempit dan legit sangat mustahil untuk dilawan, membuatnya
semakin lama menjadi semakin tak berdaya. Alex merasakan klimaksnya datang tidak
lama lagi. Untuk memperlambat, ia mencoba mengatur napasnya yang sudah terengah-engah.
”Ahh... biarin, Lex... sshh... let it go, mmhh!!” bisik Fessy
sambil melumat bibir tipis Alex. Rupanya ia mengerti Alex sedang berjuang untuk
menahan ejakulasinya ketika dilihatnya laki-laki itu terdiam dengan mata
terpejam.
Tidak menjawab, Alex malah semakin merintih keenakan karena gerakan Fessy. Wanita itu sekarang menggoyang-goyangkan pinggul tanpa menaik turunkan pantatnya. Ia cuma memutar-mutar pinggulnya begitu saja, tapi itu sudah cukup untuk membuat Alex mengerang sejadi-jadinya. Ia merasakan kenikmatan orgasme sudah berada di tepian birahinya, membuat penisnya bergetar semakin keras dan akhirnya jebol memuntahkan segala isinya.
”Craatt... craatt...
craatt...” sperma Alex menyembur-nyembur, membasahi bagian dasar rongga
kenikmatan Fessy. Ia menyandarkan kepalanya di bahu perempuan cantik itu dan
memeluknya semakin erat untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda.
Nafasnya terengah-engah, begitu pula dengan Fessy.
”Ouhh... hmm... gila, nikmat banget, Lex!” bisik Fessy sambil mengecup bibir dan kening Alex. Ia tak bergeming dari posisinya, penis Alex yang masih berada di dalam rongga kenikmatannya kini ia rasakan sedikit melembek.
”Sorry, aku mengecewakan kamu.” bisik Alex meminta maaf, tahu kalau Fessy masih belum mencapai puncak.
”Ah, nggak.” bisik Fessy kemudian mengecup lembut bibir Alex. ”masih ada ronde kedua ’kan?” tanyanya.
Alex mengangguk. ”Tapi nanti ya, sehabis aku rapat dengan bu Isyana.” sahutnya. ”Aku janji, nanti akan kupuaskan kamu.”
”Ah, benar
perkiraanku!" sorak Fessy dengan suara berbisik, matanya berbinar nakal.
”Apaan sih?” tanya Alex tak mengerti.
”Kamu lagi banyak
tekanan, karena itu jadi gampang keluar. Tidak biasanya kamu begini.” kata
Fessy menganalisa.
Alex mengangguk,
”Mungkin kamu benar.”
Fessy menggerakkan
tubuhnya naik, perlahan-lahan mengeluarkan penis Alex dari jepitan rongga
kenikmatannya. Tampak cairan putih keluar dari dalam guanya, menetes jatuh
membasahi pangkal paha Alex. Fessy mengambil tissue yang ada di atas meja dan
mulai membersihkan kemaluan Alex.
”Sudah, Lex. Cepat
pergi, bu Isyana pasti sudah menunggu.” katanya begitu penis Alex sudah tidak
lengket lagi.
Alex segera
membenahi pakaiannya dan bersiap-siap. ”Tunggu disini, aku akan segera kembali.”
pesannya pada Fessy.
Dengan tersenyum
manis, Fessy mengangguk mengiyakan.
***
Reporter’s Lounge
11.30 WIB
Eva memperlihatkan
DVD itu kepada rekan-rekannya yang lain. Beberapa keping, dan pastinya itu
adalah hasil rekaman “asli” sebelum diedit oleh tim editing di NewsTV sendiri.
Setiap tiga bulan sekali, pasti diadakan pengujian mengenai kinerja para
reporter di tiap-tiap program. Penilaian dilakukan oleh produser atau kepala
program masing-masing. Dan tidak seperti kepala program yang lain, Alex menggunakan
sistem poin berdasarkan hasil kerja plus assignment atau tugas-tugas yang
diberikan. Salah satunya adalah menggunakan tes seperti ini. Reporter dan
siapapun di bawah Alex pun menyukai cara ini, karena lebih menarik dan
menantang.
Dan untuk pengujian
kali ini, Eva, Aviani, dan Githa Nafeeza, harus menganalisa hasil liputan milik
Lucia. Mungkin saja ini hanyalah akal-akalan Alex untuk bisa mendapat kabar
lebih soal istrinya, tapi bagaimanapun, jumlah poin yang dijanjikan tetap saja
menggiurkan.
“Di-stel aja, Va,
sekarang,” kata Aviani, “aku mau segera ke Dephan, soalnya,”
“Oke,” kata Eva.
Ia pun lalu
memainkan DVD itu di sebuah player yang memang berada di ruangan tersebut.
Sebelum menekan tombol play, terlebih dahulu Eva memastikan bahwa semua rekannya
sudah siap dengan pulpen dan kertas catatan, karena ini adalah sebuah tugas
analisa. Semua reporter NewsTV pastinya pernah mengalami pelajaran analisa
dalam kelas pelatihan mereka, namun entah kenapa, Alex gemar sekali mengadakan
uji analisa. Inilah mungkin satu kualitas yang selalu Alex tekankan untuk ada
bagi semua anak buahnya.
Semua pun
mendengarkan dengan seksama setiap perkataan dari Lucia. Juga, gambar rekaman
itupun diperhatikan dengan betul-betul, termasuk juga suaranya, dan apakah
mereka mengenali latar belakangnya. Githa bahkan mencoba menebak-nebak, jam
berapakah rekaman itu dibuat. Sebagian dari hasil peliputan ini belum
ditayangkan di NewsTV, karena memang tengah dipecah-pecah supaya bisa dipasang
di program berita Morning News, Daytime News, dan terutama adalah News Today.
“Ini di Surabaya
mana, sih?” tanya Aviani kepada Githa. Githa memang pernah bertugas di Biro
Surabaya.
“Wah, nggak tahu
yah, kalau aku bilang sih mungkin di Tanjung Perak, beberapa landscape-nya pas;
cuman aku koq ragu,” kata Githa, “apa mungkin aku lom pernah liat Tanjung Perak
pas malem-malem, ya?”
“Gimana kalau kita telpon otoritas syahbandar Tanjung Perak aja?” tanya Aviani, “nanyain gitu, tadi malem ada acara gitu, gak,”
“Iya kalau emang bener di Tanjung Perak, lha kalau enggak?” tukas Eva, “lagian kita juga nggak tahu, ini rekaman kemarin apa tadi malam,”
“Ya tinggal tanyain aja, kan?” tanya Aviani.
“Nggak segampang itu lah, pastinya syahbandar juga tahu kalau ini rahasia,” kata Eva, “berani taruhan deh, abis ini kita pasti ditanyain ama temen-temen dari TV lain soal ini,”
Mereka lalu kembali
mengamati rekaman. Di salah satu bagian itu, ada liputan ketika Lucia berkata
seperti ini:
“…ikut pula bersama
kami adalah seorang staff dari Komisi I DPR RI, yang juga mendapatkan izin
khusus untuk mengikuti pelayaran ini, dan akan bertindak sebagai supervisor
saja dalam pelayaran ini…”
Githa pun melihat ke
arah Eva. “Va, ada orang Komisi I tuh, ikut,” kata Githa, “kalau nggak salah, Bokap
lo di Komisi I juga, kan?”
“Iya sih,” kata Eva, “tapi koq Papa nggak pernah bilang-bilang ya, soal ini,”
“Rahasia?” tanya Aviani.
“Bisa jadi,” kata Githa, “Va, kira-kira bisa kamu tanyain nggak ama Bokap kamu, siapa yang ikut di sana?”
“Bisa aja,” kata Eva, “duh, tapi mungkin nggak bisa sekarang, soalnya katanya Papa lagi ada rapat bahasan penting, nggak bisa diganggu… ntar paling kalau udah di rumah,”
Selepas itu, mereka
kembali menekuni catatan mereka. Beberapa dicatat di dalam buku catatan, juga
beberapa dicatat di dalam hati. Hasil tidak terlalu penting di sini, karena
sebelum Lucia kembali, bakal tidak mungkin mengetahui kebenaran informasinya. Alex hanya
akan melihat cara analisa masing-masing saja, serta kelogisan dan kerasionalan
analisa tersebut.
Setelah melihat
selama hampir satu setengah jam, disertai sedikit uneg-uneg akibat gunting
sensor yang “kebangetan”, akhirnya selesailah juga rekaman itu.
“Ya udah, aku pergi
ke Dephan dulu, yah!” pamit Aviani pada yang lain.
***
Departemen
Pertahanan RI
14.11 WIB
Aviani sudah
beberapa lama ini menunggu di Dephan bersama kameramennya. Petugas protokol
beberapa kali tidak mengizinkan Aviani, juga wartawan lainnya untuk masuk ke
dalam gedung. Bisa ditebak, kedatangan para wartawan ini ada hubungannya dengan
peluncuran KRI Antasena yang beritanya sudah bisa dilihat di NewsTV pagi tadi.
Sontak saja para Pemimpin Redaksi TV-TV lain belingsatan, dan semenjak pagi
tadi, telepon milik Bu Isyana berdering nyaris tanpa henti.
Ketika Aviani datang
tadi, sontak dia menjadi “selebriti”, karena para wartawan langsung saja
mengerumuni dia, hendak meminta kejelasan mengenai peluncuran KRI Antasena,
mungkin juga bentuk rasa frustrasi akibat tidak adanya statement dari Dephan
dari tadi. Aviani tentu saja agak kewalahan, dan tentu saja sewot, karena
Dephan benar-benar menutup diri dari semua insan pers, padahal Aviani sendiri
tidak ingin menanyakan soal KRI Antasena, melainkan hanya konfirmasi info
ringan soal misi muhibah AL Russia yang akan datang di Indonesia. Semua
wartawan pun, jeleknya, menganggap Aviani, sebagai orang NewsTV, tahu lebih
banyak, sehingga betul-betul tak mau melepaskannya. Kemana pun pergi, Aviani dikuntit,
mulai dari hendak beli minum, makan, bahkan ke toilet umum sekalipun. Dalam hati Aviani
pun bertanya-tanya, jangan-jangan dia sedang kena karma!
Setelah hari mulai
agak siang, kuntitan atas Aviani pun mulai mengendur. Aviani sudah berupaya
menjawab apa yang bisa dia jawab, kecuali mengenai pembicaraan uji analisa
tadi, karena dia butuh wewenang dari Alex untuk itu. Bagaimanapun, dia merasa
lega, karena bukan hanya rentetan pertanyaan itu cukup mengganggu, juga ada
beberapa pertanyaan yang sifatnya mendiskreditkan NewsTV; ini datang dari
reporter-reporter baru, atau yang tidak dikenal oleh Aviani sebelumnya. Salah
satu diskredit itu adalah pertanyaan bahwa apakah NewsTV membayar “uang suap”
untuk hak peliputan istimewa itu. Tentu saja Aviani jengkel, karena apabila
memperhatikan, maka orang pun pasti akan tahu bahwa hubungan antara NewsTV dan
Angkatan Laut sebenarnya memang cukup “mesra”, dan bukan kali ini saja NewsTV
berada di pole-position soal berita yang berhubungan dengan Angkatan Laut. Reporter-reporter
TV lain yang juga adalah teman-teman Aviani tentunya sudah mafhum dengan hal
itu!
“Rame yah, Vi,” kata
Cahyo, kameramen yang mengikuti Aviani.
“Iya, baru kali ini ada reporter dikerubutin reporter,” kata Aviani, “duh, mana belum bisa masuk lagi,”
Selepas benar-benar
tidak bisa memasuki Dephan, maka Aviani dan Cahyo pun memutuskan rehat sejenak
di sebuah warung di sekitar kawasan itu, sambil minum es teh untuk mendinginkan
hati. Mereka memang sengaja memilih tempat yang agak tersembunyi, supaya tidak
berbarengan dengan reporter lain. Aviani ingin menghindari
pertanyaan-pertanyaan lanjutan soal peliputan KRI Antasena.
“Yo, kalau udah
selesai, kita coba lagi, yuk,” kata Aviani.
“Lha, bukannya dari tadi udah ditolak, tuh?” tanya Cahyo.
“Persisten lah, sekarang kita lewat jalan muter,” kata Aviani, “siap, belom?”
“Aku sih siap-siap aja, Vi,” kata Cahyo.
“Tapi jangan ampe kelihatan yang lain, ntar pada ngikut lagi,” kata Aviani.
Satu hal yang
dipelajari oleh Aviani dalam pengalamannya selama menjadi reporter adalah:
“apabila pintu depan tertutup, coba jalan lain”. Oleh para reporter
di NewsTV, hal ini sering sekali dipraktekkan. Kebetulan sekali rata-rata
reporter NewsTV yang senior memang cenderung bersifat persisten, namun juga
lihai. Misal saja ketika liputan di DPR, apabila para reporter sering dihadang
di pintu depan, maka Eva, yang memang mengenal keadaan gedung itu, selalu saja
bisa masuk dari pintu lain.
Dan tahu-tahu saja Aviani
dan Cahyo sudah kembali di sekitar gedung Dephan, mengendap-endap, selain
menghindari satpam, juga menghindari reporter lain. Aviani berpegang pada
asumsi umum bahwa ada lebih dari satu jalan masuk menuju sebuah gedung; dan Aviani
mengincar pintu yang biasa digunakan masuk oleh para cleaning-service, karena
letaknya pasti cukup tersembunyi dan relatif tak terjaga. Bagaimanapun mereka
tetap harus hati-hati, karena seragam NewsTV sangat mencolok bila dibandingkan
dengan TV lain. Saking mencoloknya, sehingga muncul jargon bahwa “misal ada
penembak jitu yang mengincar para reporter secara acak, pasti reporter NewsTV
yang mati duluan (gara-gara seragamnya memang lebih mencolok dari yang lain)”.
“Aman!” bisik Cahyo,
masih mengendap-endap bersama dengan Aviani.
Mereka pun akhirnya
menemukan apa yang mereka cari. Sebuah pintu darurat, yang biasa digunakan
sebagai sarana evakuasi misal terjadi kebakaran atau bencana alam. Cleaning
service biasa menggunakan pintu itu, namun dari luar pintu itu memang tidak
terlihat mencolok. Aviani pun menyuruh Cahyo menyiapkan kameranya. Setelah
mereka masuk ke dalam gedung, maka Aviani dan Cahyo hanya memiliki waktu sempit
sebelum akhirnya ketahuan dan ditendang keluar gedung. Dengan sedikit
keberuntungan, mungkin bisa saja mereka menemukan apa yang mereka cari sebelum
hal itu terjadi. Seandainya saja NewsTV tidak memberlakukan kewajiban memakai
seragam kerja ketika peliputan, Aviani yakin bisa mengulur waktu itu lebih
lama; bahkan bisa pula keluar tanpa harus ditangkap dulu.
“Siap?” tanya Aviani, masih
sambil berbisik.
“Sudah,” kata Cahyo, “sekarang?”
“Tunggu!” kata Aviani.
Aviani dan Cahyo
beringsut kembali ke persembunyian mereka. Hampir saja mereka
ketahuan, karena tiba-tiba saja pintu darurat itu membuka. Cahyo secara refleks
pun merekam siapa yang keluar dari pintu itu, dan ternyata bukan cleaning
service! seorang berpakaian jas hitam yang tertutup dan mengenakan topi fedora
yang menutupi kepala dan mukanya; dikawal oleh dua orang berpakaian safari.
Mereka tampak waspada dengan keadaan sekitar, memastikan semuanya aman.
Rombongan itu melewati begitu saja tempat persembunyian Aviani tanpa sedikit
pun curiga. Aviani sempat melihat sekilas orang berpakaian serba hitam itu, dan
sepertinya cukup senior, juga bukan orang sembarangan.
“Masuk sekarang?”
tanya Cahyo.
“Tunggu, nanti saja, kita ikuti saja mereka,” kata Aviani.
Sambil berhati-hati,
Aviani dan Cahyo pun mengikuti rombongan itu. Rombongan itu pun menuju ke
tempat parkir yang biasa digunakan sebagai tempat parkir karyawan, dan menuju
ke sebuah mobil Kijang Innova Hitam. Mereka tak membuang-buang waktu dan
segera pergi meninggalkan tempat. Kamera Cahyo merekam semuanya, sementara Aviani tampak
berpikir sejenak.
“Itu siapa, Vi?”
tanya Cahyo, “pejabat, yah?”
“Pastinya bukan,” kata Aviani, “orang asing koq; kayaknya aku pernah tahu tapi koq aku lupa ya, itu siapa,”
***
Somewhere at sea
200 meter di bawah permukaan laut
19.49 WIB
Lucia menghadapi
buku hariannya dan menuliskan pengalamannya di dalam kapal selam Antasena ini.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini setelah mengetahui bagaimana kehidupan
di dalam kapal selam ini. Di hadapan Lucia hanyalah meja yang tak terlalu besar
dengan skema denah kapal di dinding logam. Di atas Lucia, sebuah pipa besar
terus menerus mengeluarkan suara seolah-olah itu adalah suara kehidupan dari
pipa ini. Di kapal selam, pipa-pipa ini kalau tidak mengalirkan air, ya berarti
uap atau listrik; hal yang penting bagi kapal ini. Pun rasanya cukup mengerikan
mendengar suaranya.
Erika masih tidur di
tempat tidurnya, hanya sehasta jarak dari Lucia. Ritme kapal selam ini, yaitu
tidur di siang hari dan bangun di malam hari, tampaknya sudah diadaptasi secara
sempurna oleh Erika. Setelah dua “malam” di kapal ini, Erika kini sudah bisa
tidur nyenyak meskipun suara dentingan logam, pipa, dan atau sirine
pemberitahuan berbunyi. Awak kapal pun hilir mudik di koridor mereka untuk
melaksanakan tugasnya, dan membuat bunyi yang cukup keras ketika sepatu mereka
beradu dengan lantai besi; cukup mengganggu juga. Belum lagi suara besi-besi
yang berderak dan seolah ingin bergerak menghimpit.
Dari informasi
terakhir, Lucia tahu bahwa kapal ini sudah berada di pintu keluar Selat Lombok,
dan dalam beberapa jam ke depan, ketika kapal ini berlayar di atas permukaan,
dengan perlindungan gelapnya malam, maka kapal KRI Antasena sudah akan berada
di atas Samudera Indonesia, jalur laut yang sebenarnya cukup terbuka dan
berbahaya. Namun di Samudera inilah serangkaian test paling banyak dan paling
utama akan dijalankan. Selama ini, test yang dilaksanakan barulah sebatas test
sonar, uji coba pentargetan elektronik, uji coba ketahanan mesin, serta uji
kecepatan maksimum kapal selam, baik waktu menyelam maupun di atas permukaan.
Nah, baru di atas Samudera ini, test menggunakan senjata serta serangkaian test
ekstrem akan mulai dijalankan.
“Mbak Lucia…”
panggil Erika lirih.
Lucia menoleh saja,
dan melihat Erika tampak baru bangun tidur, masih di lubang tidurnya.
“Jam berapa
sekarang?” tanya Erika.
“Waktunya bangun,” kata Lucia.
“Kita udah naik lagi?” tanya Erika.
“Belum, masih menyelam,” jawab Lucia, “sebentar lagi palingan,”
“Udah mandi, belum?” tanya Erika.
“Belum,” kata Lucia sambil menutup bukunya, “ayuk,”
***
20.12 WIB
Semenjak Komodor
Mahan mengizinkan Lucia dan Erika memakai kamar mandi di dalam kabin kapten,
setidaknya mereka berdua bisa lebih nyaman ketika mandi, meskipun tentu saja
tetap harus mereka melakukannya secara bergantian. Kabin kapten memang betul-betul
nyaman, bahkan kursinya pun lebih empuk daripada kursi lipat di kabin Lucia dan
Erika. Biasanya, sambil menunggui Erika mandi, Lucia sering menulis kembali
buku hariannya di atas meja kapten.
Sejenak, Lucia
sering mengingat rumah ketika ia duduk di sini. Apalagi di atas meja ada foto
keluarga Komodor Mahan, istri dan kedua anaknya. Lucia pun jadi
teringat dengan Alex dan Lani di rumah. Dia juga ingat, sering sekali menulis
buku harian malam-malam di atas meja yang nyaman setelah Lani tidur. Alex
biasanya akan membuatkannya secangkir coklat panas, lalu memeluknya dari
belakang, dan mendaratkan kecupan-kecupan mesra di tengkuknya, dan malam itu
dilanjutkan dengan mereka memadu kasih. Dan Lucia saat ini merindukan
sentuhan-sentuhan mesra itu.
“Inget yang di
rumah, ya?” tanya Erika tiba-tiba mengagetkan Lucia.
Erika baru saja
selesai mandi, dan langsung sudah berpakaian pula. Wangi sabun pun tercium
segar memenuhi kamar itu, dan wajah Erika pun masih merona merah akibat mandi
tadi. Lucia hanya mengangguk saja.
“Ntar juga paling
ketemu lagi,” kata Erika, “cuman 5 hari lagi, kan?”
“Bisa juga lebih cepet,” kata Lucia, “kalau nggak ada apa-apa,”
“Tapi kayaknya nggak seru ya, kalau cuman gini-gini aja,” kata Erika, “tadinya aku pikir kapal selam ini kayak kapal selam yang pernah aku naikin di Nusa Penida dulu, ada jendelanya,”
“Ya jelas nggak ada lah!” kata Lucia sambil tertawa, “yang di Nusa Penida itu kan kapal selam buat wisata, kedalaman selamnya juga paling cuman belasan meter doang; kalau ini kan kapal selam tempur, dan kedalamannya juga dalem banget; bikin jendela malah bisa jadi titik lemah,”
“Tapi nggak kayak yang aku bayangin kayak di film-film gitu,” kata Erika, “terus ntar kalau lempeng-lempeng aja ya kita ngelaporinnya juga gini?”
“Ya iya lah,” kata Lucia, “emang mau dilaporin gimana lagi?”
“Coba lah, ada apa, gitu,” canda Erika.
“Hush! Jangan mikir macem-macem ah,” kata Lucia, “aku mandi dulu yah,”
***
Kamar Aviani Malik
NewsTV Apartment
20.19 WIB
Aviani masih terpaku
di layar komputer di kamar tinggalnya di apartemen NewsTV. Apartemen ini berada
di sebelah kantor NewsTV, dan tersambung dengan sebuah overpass; sehingga
karyawan NewsTV yang tinggal di sini bisa langsung masuk kantor. Ini memang
diperuntukkan bagi karyawan NewsTV, tapi lebih spesifik lagi adalah bagi mereka
yang belum menikah; ya semacam Aviani ini.
Gedung apartemen ini
sebenarnya adalah sebuah bekas konstruksi untuk hotel yang dibiarkan mangkrak
tidak selesai. Atas desakan dari Bu Isyana (waktu itu masih sebagai Wakil
Pemimpin Redaksi) maka NewsTV pun membeli tanah beserta bangunannya untuk
ekspansi tempat, mengingat posisi gedung itu adalah persis di samping NewsTV.
Gedung ini kemudian direkonstruksi menjadi sebuah apartemen yang memiki 200
kamar, yang khusus diperuntukkan bagi pekerja NewsTV. Banyak sekali karyawan
NewsTV yang lalu memanfaatkan kesempatan ini, apalagi gedung apartemen ini kini
sudah ibarat sebuah kota vertikal saja, mengingat ada sebuah toserba, pujasera,
dan klinik di lantai bawah; plus di halaman dilengkapi dengan kolam renang,
lapangan basket, volley, badminton, dan futsal; serta taman dan kolam hias
besar yang bisa dipakai untuk memancing ataupun bagi mereka yang hanya ingin
duduk-duduk melepas lelah setelah seharian bekerja.
Namun kali ini Aviani
sibuk. Bahkan Gilang yang sengaja apel ke tempat Aviani pun (Gilang tinggal di
apartemen yang sama, tapi beda blok) tampaknya dianggurkan oleh Aviani. Padahal
Gilang tengah ingin melepaskan rindunya setelah ditinggal oleh Aviani ke Moskow
selama dua minggu; nampaknya ia hanya bisa mengisi waktunya dengan bermain
game, walau di kamar Aviani, tentu saja. Biasanya untuk satu kamar (disebut
sebagai flat) dihuni oleh 3-4 orang dengan jenis kelamin sama, tentu saja.
Namun untuk malam ini, teman-teman sekamar Aviani kebetulan sedang tugas keluar
semua, sehingga wajar saja kalau Gilang ingin menghabiskan waktu bersama
pacarnya ini.
Aviani sendiri
tengah penasaran dengan kejadian di Dephan tadi siang. Aviani cukup yakin bahwa
ia pernah mengenal orang yang dikawal tadi, hanya saja ia lupa siapa. Maka, Aviani
pun mengecek semua file terutama rekaman mengenai peliputan yang pernah ia,
atau rekan-rekan satu timnya lakukan.
“Itu dia!” kata Aviani
tiba-tiba, cukup keras sehingga Gilang pun hampir meloncat dari tempatnya.
“Apaan, sih?” tanya Gilang.
“Orang yang aku ceritain tadi sore aku liat di Dephan,” kata Aviani, “aku tahu kalau aku pernah kenal,”
“Siapa emangnya?” tanya Gilang.
“Dr. Anatoly Sedorenkov,” kata Aviani.
Kali ini gantian
Gilang yang terperanjat. “Anatoly Sedorenkov?? Bukannya dia itu…” kata
Gilang.
“Iya, yang bikin rancangan KRI Antasena,” kata Aviani, “tapi mau apa ya, dia di Dephan? Dikawal lagi,”
“Nggak tahu yah, sesuatu, kali,” kata Gilang.
“Iya, tapi apa?” tanya Aviani.
Gilang tidak
menjawab. Ia hanya mendekati Aviani dari belakang, dan memijat pundaknya. Aviani
tampak mendesah mendapat perlakuan itu; hal yang biasa dilakukan oleh Gilang.
“Udah lah, nggak
usah dipikirin,” kata Gilang, “kamu tegang banget, nih,”
Aviani hanya
menggumam saja sambil menikmati pijatan Gilang, yang memang dibutuhkannya
setelah seharian penuh tugas keluar.
“Gini aja,” kata
Gilang lagi, “kamu besok libur juga, kan? Kita besok pergi refreshing aja,
gimana? Kamu ama aku, berdua aja, ntar terus malemnya kita candlelight dinner
di restoran kesukaan kamu itu,”
Aviani tidak
menjawab, hanya mengangguk sambil menggumam. Gilang lalu memutar tubuh Aviani sehingga
mereka berdua saling berhadap-hadapan, kemudian dengan lembut, Gilang pun
mencium bibir Aviani. Aviani hanya tertawa kecil, lalu dengan hangat balas
memeluk dan memagut Gilang. Permainan ciuman mulut, bibir dan lidah itu berlangsung
dengan hangat dan penuh kemesraan.
Tangan Gilang mulai
beraksi meremas-remas buah dada Aviani, ia mengusapnya dengan begitu lembut dan
pelan. Aviani membalas dengan meremas batang kejantanan Gilang yang sudah mulai
kaku dan menegang. Tubuhnya sedikit menegang saat sang pacar meraba lembut
kulit punggungnya yang terbuka. Lalu tangan pemuda itu beralih memegang tali
gaun di kedua bagian pundak Aviani dan menariknya ke samping.
Aviani membantu
dengan meluruskan tangannya ke atas sehingga gaun bagian atasnya langsung terlepas.
Payudaranya yang masih kenyal dan padat terlihat jelas di depan mata Gilang.
Putingnya kelihatan mulai membesar dan menegang dengan warna merah merona, membuat
Gilang semakin terpesona. Sambil terus berciuman, satu persatu pakaian Aviani
terlepas dan luruh ke lantai.
Kini Aviani hanya menyisakan celana dalam warna putih untuk membalut tubuh sintalnya, namun itupun tidak lama, karena sambil mengangkat dan membaringkan tubuh Aviani di ranjang, Gilang melepasnya. Tampak kewanitaan Aviani yang seperti bukit kecil tertutup oleh rambut yang cukup lebat. Gilang kemudian melepas T-shirt dan celana panjang sendiri, sambil memandangi tubuh mulus Aviani yang terbaring pasrah di atas ranjang dengan pose yang sangat menantang.
”Ohh, punyamu yang
ini selalu bikin aku jadi gemas,” kata Aviani dengan mata berbinar-binar tajam menatap
ke arah kejantanan Gilang.
”Sama, tubuhmu juga selalu bisa membangkitkan gairahku, Vi.” sahut Gilang dengan nafas memburu dan wajah yang sedikit memerah menahan gairah.
Dalam keadaan tanpa
sehelai benangpun, mereka terus saling memberikan rangsangan. Berpelukan,
Gilang mulai menciumi wajah cantik Aviani, sementara tangannya sibuk menjelajahi
seluruh lembah dan bukit payudara perempuan cantik itu. Jari-jemarinya juga merayap
ke bawah untuk membelai lembut pusar dan perut ramping Aviani. Ciuman Gilang
juga beranjak turun, segera lidahnya mulai menelusuri leher jenjang Aviani.
Terus turun... menuju ke bukit payudara Aviani yang sangat bulat menantang.
Gilang menciumi
dengan lembut secara bergantian, kiri dan kanan. Putingnya yang mungil tampak
menegang dan memerah, segera dihisapnya dengan begitu rakus, kadang juga dijilat
dan digigit-gigit gemas. Sementara tangannya semakin liar beraksi di
sekitar celah kewanitaan Aviani. Sesekali rambut kewanitaan Aviani ia usap-usap
secara perlahan, sambil jari tengahnya menggelitik daging kecil di antara
celahnya. Kacang kecil milik Aviani mulai nampak memerah, berdenyut cepat, dan mengembang
mengempis seperti jantung manusia.
”Aaah..!!” Aviani
makin mendesah hebat manakala kepala Gilang semakin turun ke arah bagian bawah
tubuhnya. Lidah laki-laki itu mulai menyapu-nyapu perutnya, pelan... makin ke
bawah, sampai tiba di daerah sekitar kewanitaannya.
”Gilang, ughh...” Kepala
Aviani bergoyang ke kanan dan kiri saat bibir nakal Gilang mulai membasahi
kulit pahanya. Ciuman dan jilatan laki-laki itu terasa begitu nikmat saat menghisap
daerah selangkangannya. Aviani segera membuka lebar-lebar kedua pahanya, ia mendesah-desah
nikmat luar biasa begitu merasakan cairan bening mulai menetes keluar dari
celah kewanitaannya.
"Gilang...! Terus... Gilang...!" Aviani meracau, pertanda bahwa birahinya sudah makin memuncak.
Gilang semakin bersemangat, seluruh lekuk tubuh Aviani tidak ada yang lolos dari jilatan lidahnya. Kepalanya masih berada di bagian bawah, terjepit diantara kedua paha mulus Aviani. Jemari tangannya menyibakkan bulu kewanitaan Aviani yang hitam. Sementara lidahnya terus asyik menjilati kacang kecil Aviani yang makin terasa liat dan keras.
”Auw... Gilang!!”
membuat Aviani semakin mengerang nikmat, ia remas-remas kuat rambut Gilang saat
klitorisnya dihisap-hisap dengan lembut oleh bibir laki-laki itu. ”Sudah, aku
nggak tahan!" rintihnya.
Tetapi Gilang masih belum puas menikmati keindahan tubuh dan ekspresi nikmat di wajah Aviani. Lidahnya terus asyik bermain di liang senggama Aviani, dan ingin lebih dari itu. Gilang mulai memasukkan satu jarinya ke dalam rongga kewanitaan Aviani, sementara lidahnya terus menjilati klitoris perempuan cantik itu. Jari-jemarinya berputar mencari titik g-spot Aviani, sambil tangannya yang lain asyik meremas payudara Aviani dan memilin-milin putingnya sampai mencuat mengeras.
”Gilang, aghh...
ahsshh...” seluruh tubuh Aviani meliuk-liuk menahan kenikmatan yang tiada tara
itu, Gilang dengan pintar memainkan emosi dan birahinya, hingga akhirnya tubuh Aviani
mengejang kaku dan berteriak panjang saat melepas orgasmenya yang pertama tak
lama kemudian.
”Arghhhhh...” terlihat
dari lubang kewanitaannya mengalir cairan cinta yang cukup deras.
Gilang langsung
mencucup dan menghisapnya kuat-kuat, tidak membiarkan setetespun terbuang percuma.
Ia gelitik terus selangkangan Aviani supaya cairannya keluar lebih banyak lagi.
Rasanya asin-asin asam dengan bau yang sangat khas. Gilang juga merasa
nikmat dari lelehan lendir itu. Kewanitaan Aviani jadi basah semua, campuran
antara air liur Gilang dengan lendir cintanya.
”Hhh... hh... hh...”
Aviani terdiam sejenak untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda.
Setelah gelombang
birahinya mereda, Gilang sekarang membelai rambutnya dan mengusap keringat yang
banyak muncul membasahi keningnya seraya bertanya, ”Vi, kamu sudah capek?”
Aviani menggeleng,
”Enggak, aku cuma lemes aja.” sahutnya sambil tersenyum.
”Kalau gitu kita lanjutkan lagi ya?” pinta Gilang.
Aviani menganggukkan kepala, ”Sekarang giliranku untuk memuaskan kamu!”
Sehabis berkata
begitu, dengan lincahnya lidah Aviani yang hangat mulai menelusuri tubuh Gilang.
Sekarang ganti Gilang yang mendesah tak karuan, apalagi sambil menjilat pelan puting
susunya, tangan Aviani juga mengocok kejantanannya dengan lembut dan mesra,
membuat benda coklat panjang itu membengkak dan mengeras semakin besar.
”Vii... aku sudah nggak tahan!” pekik Gilang, tangannya dengan gemas meremas pinggul dan bulatan pantat Aviani yang kenyal, sementara payudaranya juga terus ia elus-elus sambil putingnya ia pilin lembut berkali-kali.
Aviani segera merebahkan tubuh dan membuka kedua pahanya lebar-lebar, “Kamu di atas ya!” perintahnya dengan kemaluan sudah menganga lebar dan berdenyut cepat.
Gilang dengan penuh
nafsu segera menindihnya, bulu-bulu kewanitaan Aviani yang hitam lebat ia sibakkan
ke samping. Dengan perlahan-lahan Gilang menggosok-gosokkan kejantanannya di
sekitar daging kecil merah milik Aviani. Aviani dengan tak sabar langsung saja
memegang batang kejantanan itu dan mengarahkan ujung kepalanya ke sasaran yang
tepat.
”Ayo tekan! Yang keras...” pintanya.
Gilang segera memajukan pinggulnya sedikit, ”Blesshh...!”
”Achh...” Aviani menjerit saat kepala kejantanan Gilang mulai terbenam.
”Kenapa, masa sakit?” tanya Gilang heran, Aviani memang sudah tidak perawan lagi, jadi mustahil kalau masih sakit.
Aviani hanya
menggeleng dan semakin erat memeluk tubuh Gilang. ”Teruskan, aku gak apa-apa
kok!” bisiknya.
Gilang merasakan jepitan
bibir kewanitaan Aviani di batang kejantanannya sungguh sangat luar biasa
nikmatnya. Benar-benar sesak, membuat kejantanannya semakin
membengkak dan mengeras tajam.
”Tahan ya, aku masukkan lagi.” sahut Gilang sambil kembali mendorong. Saat sudah masuk seluruhnya dan mentok di mulut rahim Aviani, perlahan iapun mulai memompa. Setengah kejantanannya terdorong masuk, lalu ia tarik kembali, masuk lagi, tarik lagi, begitu seterusnya.
Erangan yang keluar dari
mulut Aviani semakin terdengar tak jelas, dengus nafas mereka berdua sudah
seperti kereta tua yang sedang menarik beban berat, begitu menderu dan sangat
seru akibat menahan kenikmatan yang tiada tara. Sementara gerakan Gilang
menjadi semakin cepat seiring waktu yang terus berlalu.
”Ohh... nikmat
banget! Aku mau keluar!” pekik Aviani.
”Tahan sebentar! Aku juga mau keluar...” sahut Gilang.
Akhirnya dalam beberapa hentakan berikutnya, Gilang membenamkan kejantanannya kuat-kuat ke lorong kewanitaan Aviani hingga amblas seluruhnya. Sekujur tubuh Aviani bergetar hebat saat menerimanya, kedua tangannya menahan pantat Gilang agar menusuk semakin dalam, kedua kakinya yang mulus menjepit kuat pundak Gilang.
”Aahh... Gilang!!” Aviani menjerit saat cairan cinta menyembur kembali dari rongga kewanitaannya, ia sudah orgasme lagi.
Kejantanan Gilang terasa hangat akibat semburan air cinta itu, sementara ia sendiri mencoba bertahan sekuat mungkin agar spermanya jangan sampai menyusul keluar. Gilang mendiamkan sejenak kejantanannya di dalam kewanitaan Aviani, ia nikmati denyutan-denyutan lembut di seluruh batang kejantanannya akibat pijitan lembut dinding-dinding vagina Aviani yang masih menikmati sisa-sisa orgasmenya.
”Ahh... aku puas sekali, sayang!” Aviani mengerang lirih. ”Kamu belum keluar ya?” tanyanya saat merasakan batang kejantanan Gilang yang masih terasa kaku dan keras di dalam rongga kewanitaannya.
”Iya,” Gilang mengangguk.
”Ayo dong, keluarin...!" Aviani merengek manja.
”Kamu masih kuat?” tanya Gilang sambil tangannya meremas-remas bulatan payudara Aviani dengan lembut.
”He-em,” Aviani mengangguk mantap.
Kejantanan Gilang yang masih menegang dahsyat di dalam kewanitaan Aviani mulai bergerak naik-turun kembali. Gilang sengaja mendorongnya pelan-pelan agar bisa bertahan sedikit lebih lama, karena terus terang saja, ia juga sudah tidak tahan sekarang. Sambil terus menggoyang, Gilang mencium payudara Aviani yang sebelah kiri. Aviani sering mengatakan kalau payudaranya yang kiri lebih sensitif daripada yang kanan. Putingnya yang bulat mungil kemerahan langsung ia telan lagi ke dalam mulutnya.
”Ehm... please, aku mau merasakan air manimu di dalam kewanitaanku," pinta Aviani dengan sedikit manja.
”Sekarang?” tanya Gilang menggoda.
”Iya, sekarang!” Aviani menjawab mantap.
”Tahan, sebentar lagi aku semprotkan.” sahut Gilang penuh semangat.
Lima belas tusukan berikutnya, sambil terus menghisap ganas kedua bukit payudara Aviani yang sexy, Gilang merasakan kepala kejantanannya sudah menggembung parah akibat menahan sperma yang akan muncrat. Gerakan pantatnya sudah tidak beraturan lagi, hingga akhirnya, saat tusukannya semakin keras, Gilang pun melepas puncak ejakulasinya. Plass... plass... plass... 8 kali air maninya tumpah ruah di dalam kewanitaan Aviani. Gilang menekan kejantannya sedalam-dalamnya agar spermanya bisa masuk seluruhnya.
”Auw!” tubuh Aviani
bergetar merasakan semburan hangat yang sangat ia inginkan di dalam rongga
rahimnya. Dan iapun orgasme lagi untuk yang ke sekian kalinya.
Gilang kembali
merasakan bibir kewanitaan Aviani berdenyut-denyut pelan meremas kejantanannya.
”Vi...” ia mengecup lembut bibir Aviani yang sensual.
”Ahh...” Aviani menjerit
keras sambil jemari tangannya menancap keras di pundak Gilang, sementara tubuh
mulusnya yang sintal mengejang kaku. Sungguh
sangat nikmat sekali, bisa orgasme secara bersamaan seperti itu.
Gilang beristirahat
sejenak, setelah tenaganya pulih, baru dia pamit untuk balik ke kamarnya
sendiri. Sementara Aviani cuma mengangguk mengiyakan tanpa bisa mengantar
seperti biasanya. Jangankan dipake buat jalan, membuka mata saja Aviani
sudah sangat memaksa. Ia begitu lemas dan kelelahan, dan langsung tertidur
pulas begitu Gilang menutup pintu kamarnya tak lama kemudian.
***
KRI Antasena
Samudera
22.22 WIB
22.22 WIB
Suara lonceng
terdengar keras menggema di seluruh seantero kapal selam, itu tandanya kapal
selam akan naik ke permukaan, dan semua harap bersiap-siap. Lucia kini sudah
bisa menghafal kode-kode pemberitahuan di kapal selam. Suara sirine sebanyak
tiga kali pendek artinya kapal selam akan menyelam, sementara suara lonceng
menandakan kapal akan ke permukaan. Dalam pada itu, ada pula pemberitahuan yang
mirip suara bel delman, yang menandakan bahwa waktu makan sudah tiba. Kapal pun
lalu terasa menanjak naik, dan bagi mereka di dalamnya, sensasinya sama seperti
ketika naik lift yang bergerak ke atas. Kecuali dengan segala suara dan
kebisingan yang ada.
Semua orang
disarankan tidak berjalan-jalan dulu dalam dua fase krusial, yaitu saat
menanjak dan menurun, karena cukup berbahaya. Saat ini kapal menanjak dengan
sudut tanjak sebesar 15°, sebuah sudut yang meskipun cukup kecil, tapi sudah
terasa agak curam. Dalam sudut ini, bahkan barang-barang di atas meja pun harus
dipegangi supaya tidak bergeser atau jatuh. Dalam keadaan normal, sudut tanjak
atau sudut selam bervariasi dari 5°, 15°, 20°, dan 30° bergantung kecepatan
yang diinginkan untuk mencapai kedalaman tujuan. Dalam situasi ekstrem, sudut
tanjak atau selam bisa saja mencapai 45° atau 60°, yang mana ini amat curam
sekali akan dirasakan.
Lucia baru bernafas
lega ketika akhirnya kemiringan kapal stabil. Ini artinya kapal sudah mencapai
kedalaman sasarannya, dan dalam hal ini, berarti kapal selam sudah mencapai
permukaan. Mesin penggerak pun berganti, dari motor listrik kembali ke mesin
diesel, dan gantian sekarang baterai-baterai sumber tenaga yang akan dicharge.
Tenaga besar dari mesin ini pun akhirnya membuat kapal selam melaju dengan
lebih cepat di permukaan. Aneh sekali, Lucia tidak pernah diperkenankan untuk
memasuki kamar mesin. Mungkinkah ada sesuatu dalam kamar mesin itu yang
merupakan kunci kesaktian KRI Antasena?
Sebelumnya, Komodor
Mahan sudah memberitahu, bahwa test yang akan pertama kali dijalankan di
Samudera ini adalah test penembakan rudal. Kapal selam ini memang dilengkapi
dengan 8 buah rudal anti-kapal jenis PINDAD RAK-V3 buatan lokal, yang merupakan
tiruan dari rudal anti-kapal Russia, SS-N-26 Yakhont. Rudal-rudal dengan
konfigurasi peluncur vertikal ini akan dipergunakan seandainya kapal selam
terpergok oleh kapal perusak musuh dan tidak sempat lari. Plus, rudal-rudal
ini, dengan sedikit pengaturan, juga cocok untuk menyerang sasaran di darat,
mengingat jarak jangkau rudal ini yang mencapai “batas cakrawala”. Rudal RAK-V3
juga merupakan rudal basis kapal selam pertama yang baru saja dibuat oleh
teknisi-teknisi Pindad, sehingga misi pengujian ini pun menjadi misi pengujian
bagi rudal baru ini.
“Kita nggak boleh ke
conning-tower?” tanya Lucia.
“Maaf, tidak boleh,” kata Laksma. Mahan, “alasan keamanan, kita nggak tahu apa yang bisa terjadi; lagipula, malam-malam begini, peluncuran rudal bisa membutakan mata,”
Lucia mengangguk
saja. Pada malam hari, pancaran api rudal akan membuat sebuah cahaya yang amat
menyilaukan. Apalagi tempat peluncur rudal dekat sekali dengan conning-tower,
sehingga tidak disarankan untuk berada di saat rudal diluncurkan.
“Pengujian siap!”
kata perwira senjata.
“Bunyikan alarm, siap untuk pengujian senjata!” perintah Kdr. Mahan.
Sirine pun
dibunyikan dua kali, dan semua awak pun bersiap. Tidak hanya mereka yang ada di
anjungan ataupun yang ada di kamar senjata, semuanya harus bersiap-siap, karena
dalam kapal (termasuk kapal selam), keadaan siaga tempur berarti semua awak
harus siap untuk bertempur, termasuk koki-kokinya.
“Konfirmasi dari
Markas Armatim, lampu hijau!” kata Letkol. La Masa
“Target diidentifikasi dan dikunci!” kata perwira senjata lagi.
“Siapkan tombol penghancuran rudal,” kata Laksma. Mahan.
“Protokol pengamanan siap!” kata perwira senjata sambil membuka sebuah tombol warna merah yang penuh dengan amaran peringatan. Laksma. Mahan pun menyiapkan jarinya untuk menekan tombol itu.
“Dikonfirmasi!” kata perwira senjata, “siap tembak!”
“Tembak!” perintah Laksma. Mahan.
“Tembak!” ulang perwira senjata.
Tiba-tiba tubuh
kapal selam sedikit bergetar, tandanya rudal tengah meluncur meninggalkan
kapal. Semua perwira mengawasi proses itu dengan seksama. Dengan mulus, rudal itu
pun melaju meninggalkan kapal selam. Sayangnya, tidak ada yang mengabadikan
peristiwa meluncurnya rudal ini dari luar.
“Cek! sepuluh
kilometer!” kata perwira radar.
Lalu berturut-turut,
jarak yang disebutkan oleh perwira radar itu makin lama makin meningkat,
menunjukkan seberapa jauh rudal telah meluncur. Komodor Mahan mengawasi proses
itu dengan seksama.
“Lima puluh
kilometer!” teriak perwira radar.
“Lanjutkan,” kata Laksma. Mahan.
“Kalau sudah mencapai jarak 100 kilometer, sebaiknya segera diledakkan,” kata Letkol. La Masa.
“Negatif! Teruskan!” kata Laksma. Mahan.
“Pak? Kita mengambil resiko rudal itu akan menghantam daratan!” kata Letkol. La Masa.
“Aku tahu! Teruskan!” kata Laksma. Mahan.
“Tujuh puluh kilometer!” teriak perwira radar.
Belum diketahui
berapa jarak dari rudal ini. Apabila ternyata rudal ini tidak bisa mengambil
jarak lebih dari 100 kilometer, maka ada resiko rudal akan menghantam area
daratan, karena memang jarak mereka ke daratan hanya sekitar 120 kilometer, dan
rudal itu memang sengaja ditembakkan mengarah ke wilayah Indonesia sendiri
untuk menghindari provokasi.
“Delapan puluh
kilometer!” teriak perwira radar.
Ketegangan pun
memuncak.
“Seratus kilometer!”
teriak perwira radar lagi.
“Kapten!” kata Letkol. La Masa.
“Teruskan!” kata Laksma. Mahan.
“Seratus dua puluh!” teriak perwira radar.
Suasana pun hening.
Hanya ketegangan yang terasa. Hitungan pun tetap berjalan, dan semakin besar
angka-angkanya, semakin besar pula tetes keringat yang jatuh dari dahi Letkol. La Masa.
Rudal itu sekarang jelas sekali sudah berada masuk ke atas daratan. Apabila
jatuh, harapannya adalah semoga jatuh di tanah kosong, bukan wilayah pemukiman,
karena hulu ledak rudal ini sendiri adalah asli dan kekuatannya cukup besar,
karena memang diperuntukkan untuk menghantam target sekelas kapal destroyer ke
atas.
“Dua ratus
kilometer!” teriak perwira radar.
Dan saat itulah
Laksma. Mahan menekan tombol merah dan seketika itu juga rudal yang meluncur di
udara itu hancur meledak. Sorak sorai sontak pecah di seluruh kapal selam itu.
Komandan Ari La Masa pun menghapus keringat di dahinya, dan menyalami Komodor
Mahan.
“Sudah aku bilang!
Orang kita sendiri pun bisa bikin rudal yang bagus!” kata Laksma. Mahan, “siapa
tahu berapa jarak maksimal rudal ini, heh?”
“Kerja yang bagus, Kep!” kata Letkol. La Masa.
“Beritahu Markas Komando, pengujian rudal berlangsung sempurna, dan rudal ini layak dipertimbangkan sebagai rudal jelajah,” kata Laksma. Mahan.
“Siap!” kata Letkol. La Masa.
***
23.59 WIB
Lucia berdiri di
atas conning-tower. Ia bukan satu-satunya yang ada di luar kapal saat ini,
karena beberapa awak kapal lain pun melakukan hal serupa. Sesuai diktat tempur
kapal selam, maka kapal selam tidak ke permukaan pada saat siang hari, dan
malam hari, ketika kapal selam ke permukaan sekaligus untuk mengisi baterai,
maka ini dimanfaatkan oleh para awak kapal untuk menghirup udara bebas.
Malam ini bulan
bersinar dengan terang, sehingga siluet laut pun terlihat, plus dengan
ombak-ombak kecil yang berkilau memancarkan sinar rembulan, sementara
bintang-bintang pun bertaburan dengan indahnya berkelip-kelip menghiasi langit
hitam. Lama sekali Lucia tidak pernah melihat bintang yang seperti ini. Terangnya
lampu-lampu malam di menghalangi mata dari keindahan bintang-bintang di langit
malam. Sebuah garis pun terbentuk di angkasa, bintang jatuh, dan Lucia
memohonkan harapannya. Ia ingin cepat pulang supaya bisa bertemu dengan Alex
dan Lani.
Erika akhirnya ke
atas juga bersama Laksma. Mahan. Erika juga tampak senang dengan pemandangan
malam ini. Ini bukanlah pemandangan yang bisa dinikmati dengan suasana
hingar-bingar, melainkan dengan penuh keheningan. Lucia hanya tersenyum saja
kepada Laksma. Mahan yang memberi salut kepadanya, lalu Laksma. Mahan pun
berdiri menatap ke cakrawala tanpa berkata apa-apa. Erika juga tidak begitu
banyak bicara, padahal biasanya dia yang paling ribut. Benar-benar pemandangan
agung yang membius. Erika sedikit merapat ke tubuh Lucia akibat angin malam
yang dingin. Dalam penugasan ini, ia memang menganggap Lucia sebagai kakak yang
bisa menjadi tempat untuk bermanja.
“Indah, ya?” tanya
Erika.
Lucia hanya
mengangguk saja.
“Pengujian
selanjutnya besok malam,” kata Laksma. Mahan, “mungkin yang besok agak keras,
jadi ya nikmati aja malam ini dulu,”
“Ya,” kata Lucia.
Lucia, Erika, dan
Komodor Mahan pun kembali terdiam dan mematung melihat pemandangan malam. Angin
laut berdesir dingin di antara mereka. Suasana yang mendamaikan. Tapi saat itu,
sekonyong-konyong, Lucia mengernyitkan dahi, karena ia melihat seperti sebuah
titik, jauh di cakrawala, memotong pantulan cahaya bulan dengan ombak pisau
hitam.
“Laksamana! kapal!”
kata Lucia.
“Kapal?” tanya Kdr. Mahan.
Lucia menunjuk ke
arah titik itu, yang lalu segera diikuti oleh Komodor Mahan dengan teropongnya.
“Kapal?” tanya
Lucia.
“Iya,” jawab Laksma. Mahan.
“Punya kita?” tanya Lucia lagi.
“Entahlah, tapi aku punya firasat buruk,” kata Laksma. Mahan, “SEMUA MASUK!!”
Segera saja semua
orang yang ada di atas geladak buru-buru menuju palka untuk kembali masuk.
Mereka tampaknya tidak menyadari kehadiran kapal misterius itu, tapi perintah
kapten tetaplah sebuah perintah.
Lucia, Erika, juga
Laksma. Mahan bergegas ke anjungan. Di sana rupanya sudah ada pula Iwan dengan
kameranya. Iwan tampak heran ketika semua orang bergegas untuk masuk. Tapi
melihat raut muka semuanya yang cukup serius, ia segera menyalakan kameranya.
“Kapal apa, itu?”
tanya Laksma. Mahan.
“Kapal apa, Kep?” tanya perwira radar, “nggak ada apa-apa di radar,”
“Ya Tuhan!” kata Laksma. Mahan ketakutan, “keadaan tempur!”
Di seberang sana,
kapal Calypso HMAS Pitcairn pun juga sudah mengamati KRI Antasena yang masih
muncul enak-enak di permukaan. Com. Kelsey segera memberikan laporan kepada
Capt. Artner. Rupanya HMAS Pitcairn lah yang dilihat oleh Lucia tadi.
“Kapal selam di
depan!” kata Com. Kelsey, “tampaknya mereka tahu kehadiran kita,”
“Itu misi kita, Commander,” kata Capt. Artner, “siapkan Harpoon, kunci sasaran sebelum dia menyelam!”
“Harpoon disiapkan!” kata perwira radar.
Sebuah palka di
geladak HMAS Pitcairn pun membuka dan dari dalam, muncullah rudal anti-kapal
Harpoon. Seketika itu juga tanda siap tempur dinyalakan di HMAS Pitcairn, dan
dua kanon Phalanx bergoyang sejenak, tanda siap ditembakkan.
“Target locked-on, ready at your command, Sir!” kata perwira
senjata.
“Fire!” perintah Capt. Artner.
“FIRE!!!” teriak perwira senjata.
Dan salah satu rudal
Harpoon segera meluncur ke arah KRI Antasena. Hal ini tentu saja diketahui oleh mereka yang ada di kapal
selam.
“INCOMING!!!!” teriak perwira radar KRI Antasena.
Jantung Lucia hampir saja berhenti mendengar teriakan itu.
Lampu utama mati dan digantikan oleh lampu darurat warna merah. Sirine tanda
bahaya pun dibunyikan, menggema di seluruh koridor kapal selam. Kontan saja
semua awaknya kebingungan. Laksma. Mahan sendiri tetap berdiri dengan tenang.
“Siapkan rudal lain,
kunci ke arah rudal itu!” kata Laksma. Mahan.
“Siap! Target dikunci!” kata perwira senjata.
“Tembak!” perintah Laksma. Mahan.
“TEMBAK!!” kata perwira senjata.
Sebuah RAK-V3 pun
kembali meluncur dari kapal selam. Kali ini sasarannya adalah rudal Harpoon
yang melaju dengan kencang ke arah kapal selam itu. Dua rudal berkecepatan
tinggi pun melaju bertubrukan satu sama lain, dan keduanya meledak di udara
menimbulkan bunga api yang cukup besar.
“Di sini Kapten!
Semua awak segera ke posisi tempur! Ini bukan latihan!! Diulangi! INI BUKAN
LATIHAN!!” kata Laksma. Mahan kepada seluruh awak kapal melalui corong pengeras
suara.
“Dua rudal lagi meluncur ke sini!” kata perwira radar lagi.
“Siapkan tiga rudal! Kunci dua rudal itu, lalu serang ke arah sasaran!” kata Laksma. Mahan.
“Siap! Kunci sasaran!” kata perwira senjata.
“TEMBAK!” kata Laksma. Mahan.
Kali ini tiga rudal
meluncur dari KRI Antasena. Yang dua segera memburu sasarannya berupa dua
Harpoon yang melaju kencang, dua ledakan kembali terjadi di udara, dan dari
balik bola api, rudal ketiga menyeruak langsung ke arah HMAS Pitcairn. Namun
HMAS Pitcairn sudah bersiaga, dan dua kanon Phalanx-nya menyalak menyemburkan
hujan peluru 20mm ke arah rudal RAK-V3 itu. Rudal itu meledak hanya beberapa
meter sebelum mengenai HMAS Pitcairn.
“Wah, mereka lawan
yang tangguh,” kata Capt. Artner.
“Bersiap untuk
menyelam, crash dive! Dalam komandoku!” teriak Kdr. Mahan, “Dive! Dive! Dive!”
Lucia tertegun.
Crash dive?? Ia pun segera berpegangan pada sebuah tiang logam. Erika, melihat
Lucia melakukan hal itu, segera mencari pegangan pula. Tapi Iwan masih asyik
merekam dengan memanggul kameranya.
“Iwan! Pegangan!”
teriak Lucia.
Belum sempat Iwan
bereaksi, sirine berbunyi sekali tapi panjang. Kapal selam
tiba-tiba langsung miring dengan amat curam ke bawah. Crash dive berarti
menyelam secara tiba-tiba dan dengan sudut selam yang amat curam. Kontan saja
Iwan kehilangan keseimbangan, lalu jatuh dan kepalanya menghantam panel. Lucia
dan Erika hanya bisa gemetaran sambil berpegangan supaya tidak jatuh. Kapal
selam itu meluncur menyelam dengan amat cepat, dan itu membuat seluruh kapal
salam ini bergetar hebat. Hanya dalam beberapa detik saja, kapal KRI Antasena
sudah stabil kembali, tapi kali ini di kedalaman 20 meter.
Lucia merangkak
menghampiri Iwan yang berbaring tak sadarkan diri di lantai. Ia
menggoyang-goyangkan tubuh Iwan, tapi tidak ada reaksi. Darah segar pun
mengalir dari kepala Iwan. Seketika itu juga Lucia tercekat dan hampir
mengeluarkan tangis tertahan. Ia takut bahwa Iwan telah menemui takdir
terburuknya.
“Masih hidup!” kata
Letkol. La Masa yang langsung ikut memeriksa Iwan, “kita nggak bisa bawa dia ke
ruang medis sekarang; nanti saja,”
“TORPEDO!!!” teriak
perwira sonar, “700 meter!”
Sebuah bunyi khas terdengar membelah air. Laksma.
Mahan tetap berusaha tenang.
“Manuver menghindar!
Siapkan countermeasure!” perintah Laksma. Mahan, “sekarang!”
Mualim pun segera
membanting stir, dan dengan mendadak, kapal selam itu berbelok dengan canggung;
membuat semua yang ada di dalamnya miring. Lucia terdorong menyentuh dinding,
dan ia segera mencari pegangan. Rasanya betul-betul seperti berada di sebuah
bus tanpa tempat duduk yang melaju dengan kecepatan tinggi lalu berbelok tajam.
Sejenak kemudian, terdengar suara desisan keras, mirip dua buah tablet effervescent
yang dimasukkan ke air. Dua buah countermeasure dilepaskan dan mulai berputar
di dalam air untuk mengacaukan sensor torpedo, yang memang menggunakan gerakan
berputar baling-baling sebagai basis homing-nya.
Sebuah suara ledakan
besar tedengar keras dan kapal pun sedikit terguncang akibat dentuman itu.
Torpedo tadi berhasil terkecoh dan menghantam salah satu countermeasure; namun
karena ledakan itu terjadi tidak begitu jauh dari kapal, maka kapal pun
merasakan getaran ledakannya. Erika yang berusaha berdiri pun langsung terjatuh
lagi dan nyaris saja mengalami nasib yang sama dengan Iwan.
“Aman!” kata perwira
sonar.
Seketika itu juga,
Erika merangkak cepat dan mengambil kamera yang terjatuh. Keadaan kamera itu
masih baik, juga masih bisa merekam, mengingat jatuhnya tadi sebenarnya cukup
keras juga. Ia harus menggantikan tugas Iwan untuk merekam sekarang. Sementara
itu, Lucia beringsut ke dekat Iwan dan menjaga supaya tubuh Iwan yang sedang
tidak sadarkan diri ini tidak terpelanting akibat getaran kapal.
“Torpedo lagi! Dua
sekarang!” kata perwira sonar, “800 meter!”
“Manuver menghindar sekali lagi! Siapkan countermeasure!” kata Laksma. Mahan, “Sekarang!”
Lucia segera
memegangi Iwan dengan satu tangan dan berpegangan pada sebuah pipa dengan
tangan yang lain. Ia pun dengan susah payah berusaha bertahan, menahan
beban tubuh Iwan dan dirinya sendiri. Erika pun segera menyandarkan punggungnya
ke dinding, dan memilih mereka sambil duduk. Mualim kembali membanting setir,
dan kapal selam besar itu pun mulai menikung lagi. Suara desisan pun kembali
terdengar. Sejenak kemudian, terdengar sebuah ledakan. Hah! Hanya cuma satu?!
“Torpedo masih
mengarah ke kita!!” teriak perwira sonar.
Nafas semua orang
pun serasa berhenti saat itu juga. Saat itu juga mereka terpaku, seolah-olah di
hadapan mereka kini berdiri malaikat maut yang hendak mengambil nyawa mereka.
Countermeasure rupanya gagal menghadang salah satu torpedo dan kini menuju ke
arah KRI Antasena. Dalam kedalaman laut ini, cuma butuh sebuah torpedo saja
untuk menghancurkan kapal selam ini, dan setelah hancur, puing-puing termasuk
mayat akan segera tersebar dan tenggelam jauh di dasar lautan dan mustahil
untuk bisa diambil.
“Dua ratus meter!”
teriak perwira sonar.
Semua orang
berpegangan, dan Lucia pun mencengkeram erat tangan Iwan sambil menundukkan
kepala dan berdoa. Inikah akhir dari petualangannya? Erika juga sama, ia masih
memegang kamera yang dibiarkan menyala, tapi mulutnya sendiri komat-kamit
membaca sebuah doa, yang bahkan dengan suara kecil dan lirihnya, Lucia masih
bisa mendengarnya,
“Bapa kami yang di
Sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, Datanglah kerajaan-Mu, Jadilah kehendak-Mu di bumi
seperti di Sorga, Berikanlah kami pada hari ini, makanan kami yang secukupnya
dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang
bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, melainkan
lepaskanlah kami daripada yang jahat, karena Engkaulah yang empunya Kerajaan,
dan kuasa, dan kemuliaan sampai selama-lamanya; Amin…”
“Seratus... lima
puluh… dua… sepuluh!!” teriak perwira sonar.
Lucia menahan nafas,
merapatkan mulutnya dan menutup mata keras-keras bersiap untuk menyambut ajal
yang sudah pasti. Tapi… dua detik kemudian, tak terjadi apa-apa, tak ada dentuman
keras yang merupakan sinyal mulai dicabutnya nyawa semua orang. Bahkan
Laksma. Mahan pun terbengong-bengong.
“Mana torpedo-nya?”
tanya Laksma. Mahan setengah berbisik.
Perwira sonar pun
sontak terdiam sambil terus melihat layar grafiknya. Ia pun juga tak percaya
dengan apa yang barusan terjadi.
“Hilang…” kata
perwira sonar, “torpedonya…cuma…melewati kita…”
Meleset? Tapi jarang
sekali torpedo modern bisa meleset. Tidak seperti di udara, perbandingan antara
besar dan kecepatan kapal dengan kecepatan dan sensor torpedo membuat rasio
kegagalan sebuah torpedo dalam mencapai sasaran sebenarnya kecil sekali.
Laksma. Mahan pun segera tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
“Kita berhasil!
Mereka tidak bisa melacak kita!” kata Laksma. Mahan sambil tertawa seperti
orang gila.
Lucia tersenyum
lega. Ia ingat, kapal selam KRI Antasena memang sengaja dibuat sebagai kapal
selam rahasia yang tidak bisa terdeteksi begitu saja oleh sensor penjejak kapal
selam. Dr. Anatoly Sedorenkov memang telah menghabiskan waktunya untuk
merancang kapal-kapal selam yang bisa lolos dari deteksi sensor Barat; dan KRI
Antasena-lah masterpiece dari usaha ini.
“Dua torpedo lagi!”
teriak perwira sonar.
Semua kali ini
kembali ketakutan. Namun kali ini Laksma. Mahan malah berdiri tegak seolah
hendak menantang sang Elmaut sendiri. “Biarkan saja,” kata Laksma. Mahan, “ayo
kita lihat kesaktian kapal ini,”
Dan benar saja.
Tanpa manuver menghindar, tanpa countermeasure, dua torpedo itu hanya melintas
saja tanpa menemukan sasarannya. Padahal saat itu KRI Antasena sedang dalam
keadaan bergerak, yang artinya ada kesempatan torpedo itu bisa mengendus jejak
putaran mesin KRI Antasena.
“Di mana posisi kita
sebenarnya?” tanya Laksma. Mahan kepada perwira navigasi, masih sambil
berbisik.
“Sekitar 175 kilometer dari garis pantai, Kep!” jawab perwira navigasi.
“Berarti mereka sudah memasuki wilayah ZEE kita tanpa izin dan langsung menyerang,” kata Laksma. Mahan, “siapkan solusi penembakan torpedo! Ini adalah pelanggaran tak termaafkan,”
Perwira senjata pun
segera memasukkan solusi penembakan, dan mempersiapkan semua tabung torpedo.
Suara pintu torpedo yang membuka pun terdengar keras, dan Lucia takut suara itu
akan membuat kapal pemburu itu mengetahui posisi tembakan yang pasti. Ternyata
tidak ada apa-apa; kapal pemburu itu belum menembak lagi.
Kejadian
selanjutnya, tiba-tiba kapal selam itu berubah menjadi sepi seperti kuburan.
Pendingin ruangan dimatikan untuk menghemat persediaan listrik. Bahkan tidak
ada awak, dari haluan sampai ke buritan; yang berani bergerak, walau hanya satu
inchi pun. Ini adalah pertempuran dan setiap suara di dalam kapal selam bisa
saja didengarkan oleh musuh. Kapal Calypso itu pun, dengan format trimaran dan
aplikasi teknologi yang amat canggih, maka gerakan kapal ini pun susah untuk
dilacak dan sonar pasif kapal selam pun tidak bisa melacak sinyal dari HMAS
Pitcairn. Ini bagaikan duel film koboi klasik; dua pihak sudah menyiapkan
pistol siap tembak, tapi ruangan gelap sehingga mereka tidak tahu di mana
lawan-lawannya. Padahal di suatu saat, KRI Antasena benar-benar berada tepat di
bawah HMAS Pitcairn.
Laksma. Mahan tampak
menghentikan kegiatannya sejenak dan berpikir. Ia berusaha untuk melihat ke
dalam kepala Capt. Artner dan membaca pikirannya, apa yang kira-kira sedang
direncanakan, strategi apa yang akan dipakai oleh lawannya? Dan pada saat yang
sama pun, Capt. Artner pun melakukan hal yang sama. Kapal selam, baginya adalah
musuh paling berbahaya, karena ketika menyelam, sama sekali tak bisa dilihat.
Adu pikiran ini berlangsung cukup lama, dan selama itu, kedua kapal pun
berputar-putar bagaikan dua ekor hiu kelaparan yang siap untuk saling membunuh.
Semakin lama keadaan
hening tegang, dan para awak pun merasa senewen, begitu pula dengan Lucia dan
timnya. Iwan masih tergeletak di lantai, walaupun pendarahannya sudah terhenti,
tapi ia masih belum sadar juga. Erika sendiri juga berada di sudut lain,
menggenggam kameranya sambil menggigil ketakutan dan salah satu tangannya
mencengkeram erat yang selalu dibawanya. Lucia hanya melihat saja ke arah Erika
yang ketakutan. Walaupun jarak antara mereka berdua tidak lebih dari 4 meter
saja, namun Lucia tidak berani bergerak mendekati Erika, begitu pula Erika tak
berani meninggalkan posisinya. Kedua kapten sekarang tengah bertempur dengan
ilmu kebatinan masing-masing. Segala manuver, gerakan, dan serangan, semuanya
berada dalam pikiran dan ditempurkan di alam yang tak berwujud.
“Sonar aktif!”
perintah Capt. Artner kepada anak buahnya.
“Tapi, Pak! Itu berarti kita akan…” kata perwira sonar.
“Aku tahu, Nak! Lakukan saja!” kata Capt. Artner.
Perwira sonar dari
HMAS Pitcairn pun menelan ludahnya sejenak. Menyalakan sonar aktif akan membuat
kapal HMAS Pitcairn mampu “melihat” apa saja yang ada di bawah laut hingga
radius puluhan kilometer. Akan tetapi, ini sekaligus juga akan membuat kapal
selam lawannya tahu di mana posisi dari HMAS Pitcairn; yang mana ini tentu saja
alamat berbahaya, karena ia bisa menyerang dengan torpedo. Dengan jari yang
gugup, perwira sonar itu langsung menekan tombol.
“PING!!”
Suara itu terdengar
cukup keras di headphone-nya dan dalam sekejap gema itu menyebar ke seluruh
bawah lautan. Dan seperti diduga, suara ping itu segera diikuti oleh
meluncurnya dua torpedo langsung ke arah HMAS Pitcairn.
“Kep! Torpedo!” teriak perwira sonar, “bearing 180!”
“Kunci titik peluncurannya! Kecepatan penuh!!” teriak Capt. Artner.
HMAS Pitcairn segera
melaju, berpacu dengan torpedo yang mengejarnya. Luar biasa, hanya dalam
sekejap saja, kecepatan HMAS Pitcairn bisa menanjak cukup cepat, dan akibatnya,
dua torpedo yang mengejarnya menjadi sedikit keteteran.
“Prepare charges! Set 20 feet!” perintah Capt. Artner.
Palka belakang kapal pun terbuka, dan para kelasi sudah
menyiapkan dua buah konveyor yang berisi drum-drum depth-charge. Saat itulah
para kelasi ini melihat jejak aliran air dari dua torpedo yang menguntit di
belakang mereka. Mereka tampak takut, namun percaya dengan kapten mereka.
“Two rolls! Three seconds interval! Roll!” perintah Capt.
Artner.
Dua depth-charges pun bergulir melewati konveyor dan
terjatuh di laut di belakang HMAS Pitcairn. Selang tiga detik kemudian, dua
depth-charge lain kembali diluncurkan. Dua depth-charge pertama pun langsung
meledak dengan hebat secara bersamaan, membuat air muncrat ke atas hingga
setinggi pohon kelapa. Tiga detik kemudian, dua depth-charge selanjutnya
meledak, tapi ledakan kali ini disusul oleh ledakan lain. Rupanya ledakan dari
depth-charge yang disetel di kedalaman 20 kaki ini berhasil meledakkan torpedo
yang mengejar. Kelasi bersiap untuk bersorak ketika perintah selanjutnya
langsung turun.
“Hedgehog! Fire on target, starboard!!” perintah Capt.
Artner, “Fire!”
Dari geladak HMAS Pitcairn, meluncur serangkaian proyektil
yang disebut Hedgehog II. Ini adalah depth-charge juga, hanya saja tidak
digulirkan, melainkan ditembakkan seperti ketika menembakkan mortir. Senjata ini
merupakan penyempurnaan senjata Hedgehog pada Perang Dunia II. Sasarannya
adalah posisi terakhir dari penembakan torpedo. Ketika proyektil hedgehog itu
terbenam ke air, hal itu segera meresahkan perwira sonar dari KRI Antasena.
Setelah meluncurkan torpedo, kapal selam selalu mengubah arah supaya tidak
dideteksi. Ini pun dilakukan oleh Laksma. Mahan, sehingga mau tak mau Capt.
Artner pun harus gambling menebak ke arah mana KRI Antasena berbelok.
Kemungkinannya bisa ke mana saja, tapi celakanya, Capt. Artner menebak ke arah
yang tepat!
“Mortir! Tepat di
atas!!” teriak perwira sonar.
Proyektil mortir
anti kapal-selam itu tenggelam dengan cepat menuju ke arah KRI Antasena yang
langsung terkurung oleh rangkaian mortir itu. Semua orang kembali menahan
nafas, dan ledakan pun langsung terdengar silih berganti, membuat kapal selam
terguncang dengan amat hebat dan semua orang terlempar. Lucia pun sampai
terhantam ke dinding dan kepalanya langsung terasa amat sakit. Depth-charge
semacam ini pun bisa membunuh kapal selam dalam sekali perkenaan.
Tapi KRI Antasena masih berdiri. Bagian dalamnya rusak di sana-sini, dan korban pun bergelimpangan, namun kapal selam itu sendiri masih utuh. Capt. Artner memang menebak ke arah yang benar, sayangnya kedalamannya salah. Mortir-mortir itu meledak pada kedalaman 180 meter, 20 meter di atas KRI Antasena; sehingga meskipun mampu membuat kapal itu berguncang hebat, tapi kapal itu sendiri masih utuh.
Bagaimanapun,
beberapa depth-charge yang meledak bersamaan dalam jarak yang cukup dekat
membuat keadaan di KRI Antasena sendiri tidak bisa dibilang baik. Radio kapal
selam segera saja dipenuhi oleh awak-awak kapal yang melaporkan status.
Beberapa kompartemen rupanya bocor, dan para awak dengan cepat dan susah payah
berusaha mencegah supaya tidak banjir. Jika di kompartemen mereka banjir tak
dapat dibendung, maka tinggal hitungan waktu saja kapal ini bakal langsung
tenggelam.
Lucia berusaha
bangkit, dan pandangannya sedikit kabur. Ia memegang kepalanya yang terasa
sakit sekali, dan ketika ia melihat tangannya, rupanya sudah dipenuhi darah.
Bagian yang membentur keras tadi terluka dan membengkak. Hampir-hampir Lucia
terguncang melihat darahnya sendiri. Ia melihat sekitar, dan orang-orang tampak
kebingungan. Iwan tampaknya terpelanting, lepas dari pegangan Lucia; tapi kini
ia mulai bergerak-gerak, tanda kesadarannya mulai pulih.
Lucia melihat Erika
terjerembab di lantai. Karena Erika dari tadi bersandar di dinding,
maka guncangan itu seketika melontarkannya hingga terjerembab. Kameranya pun
terjatuh tak beberapa jauh darinya; masih merekam. Dengan segera, tanpa
mempedulikan apapun, Lucia segera merangkak dengan cepat menghampiri Erika.
Kabel listrik di salah satu panel meledak dan menghamburkan bunga api ke
mana-mana, beberapa bahkan meninggalkan lubang gosong di baju Lucia, tapi Lucia
tidak menghiraukannya. Ia pun langsung mengangkat kepala Erika, dan lalu
memeluknya. Erika langsung saja meledak tangisnya, bukan karena ia sakit atau
terluka, tapi lebih pada tangis ketakutan. Lucia berupaya keras
menenangkan Erika, padahal dia sendiri hampir tak bisa menahan tangis.
“PING!!!”
Suara itu kembali
terdengar menggema di seluruh ruangan. Sekali lagi HMAS Pitcairn mencari dengan
menggunakan sonar aktif. Bagi semua orang, ini bagaikan bunyi lonceng kematian,
karena kali ini KRI Antasena tidak berada dalam posisi yang enak untuk
membalas. Namun perwira sonar malah terbengong-bengong sambil menghadapi
panelnya.
“Pak… komputer kapal
secara otomatis mengaktifkan pengalihan sonar,” lapor perwira sonar.
“Apa maksudnya?” tanya Laksma. Mahan.
“Saya nggak gitu jelas, Pak,” kata perwira sonar, “tapi ini mungkin… kapal selam kita tidak terdeteksi sonar aktif?”
Laksma. Mahan kini
ganti yang terbengong-bengong. Tidak terdeteksi sonar aktif? Tapi mana bisa
seperti itu?
“Astaga! Dia ke
sini!” teriak perwira sonar lagi.
Semua orang kembali
termenung. Dari jauh, terdengar suara dentuman seperti ledakan yang tertahan.
Telinga terlatih mengenal suara itu. Itu adalah bom depth-charge yang
digulirkan meledak di kedalaman. Berbeda dengan jenis hedgehog yang tadi;
berhubung berbentuk silinder besar, maka depth-charge ini punya daya ledak yang
lebih besar; ini dibandingkan dengan hedgehog yang mengandalkan ledakan dengan
daya yang lebih kecil tapi terjadi secara bersamaan. Pada kedalaman yang sama,
depth-charge jelas lebih mematikan daripada hedgehog.
“Interval 10 detik,
kedalaman 200 meter,” kata perwira sonar, “mengarah ke kita,”
“Putar ke arah
port,” perintah Kdr. Mahan.
“Pak, rudder-nya sedikit macet; mesin sebelah kanan juga agak berat,” kata mualim, “kita mungkin tidak bisa berbelok sempurna tepat waktu,”
“Lakukan sebisanya,” kata Kdr. Mahan.
Mualim pun dengan
susah payah memutar kapal ke arah port (lambung kiri kapal). Lucia pun
merasakan, gerakan kapal tak selincah tadi, dan juga putaran kali ini terasa
lambat sekali, sementara suara dentuman semakin mendekat; juga setiap kali
dentuman terjadi, kapal pun serasa mulai bergetar. Jika kapal tidak berhasil
membelok tepat waktu, maka alamat maut bagi semuanya. Lucia dan Erika pun
bangkit. Erika berusaha sedapat mungkin menahan tangis, karena apabila harus
mati, ia tidak ingin menghadap Tuhan dalam keadaan berlinang air mata. Mereka
pun bergeser untuk merapat ke dinding, tapi…
“Jangan merapat ke
dinding!” cegah Letkol. La Masa, “gelombang kejut dari depth-charge bisa
mematahkan tulang punggung kalian!”
Maka Lucia dan Erika
berhenti, dan mereka mencari pegangan sedapat mungkin. Kedua reporter ini masih
berpegangan tangan, semakin lama semakin erat. Dentuman pun terus
terjadi dan guncangan pun semakin lama semakin keras saja terasa.
“Berdoalah…” kata
Laksma. Mahan.
Seusai berkata
seperti itu, mendadak dentuman terjadi lagi dengan cukup keras, dan kali ini
kapal kembali terguncang, seolah hendak melemparkan siapa saja yang ada di
dalamnya ke lantai. Pegangan Erika dan Lucia pun terlepas, dan mereka berdua
berteriak histeris sambil terus memegang panel atau apapun untuk menahan
getaran itu. Dentuman terjadi lagi dan rasanya seperti berada di dalam sebuah
gong raksasa yang diguncang oleh gempa 9 skala richter. Guncangan terjadi terus
menerus, besi-besi terlepas dari sarangnya, begitu pula kabel-kabel listrik pun
meledak melemparkan bunga api. Tiba-tiba saja pipa di atas mereka pecah dan
air segera memancar membasahi seluruh anjungan.
Komandan La Masa,
tanpa mempedulikan goncangan akibat ledakan depth-charge, segera tanggap menuju
ke katup pipa terdekat, dan dia dibantu dengan dua orang kelasi berusaha
menutup katup itu. Kelasi lainnya membawa dongkrak untuk menutup kebocoran air,
tapi goncangan yang keras menjatuhkannya sebelum dongkrak bisa berdiri tegak. Dengan sigap
ia pun berdiri lagi dan terus berusaha memasang dongkraknya. Kepanikan
terdengar di mana-mana, dan pada beberapa bagian, tampaknya para awaknya riuh
rendah berusaha memadamkan api. Dentuman yang terjadi kemudian pun melemparkan
Lucia dari pegangannya, karena tangan Lucia sudah amat sakit.
Namun dentuman
selanjutnya menjadi semakin ringan. Rupanya pada saat-saat kritis, mualim
berhasil juga membelokkan laju kapal. Laksma. Mahan mengucap syukur. Kapal HMAS
Pitcairn masih berjalan dan melemparkan depth-charge, tapi kali ini menuju
sasaran kosong. Ledakan pun kembali terdengar, tapi kapal rupanya tidak
mengubah haluan, bahkan ketika ping-ping berikutnya diluncurkan.
“Astaga… mereka
benar-benar tak tahu kita,” kata Laksma. Mahan, “kapal ini sungguh luar biasa,”
“Laksmana,” kata perwira senjata, “semua peluncur torpedo kita macet; sepertinya pengisi tekanannya rusak,”
“Dia masih bisa berbalik lagi,” kata Laksma. Mahan, “mungkin kapal itu cuma gambling, tapi kalau dia berbalik lagi, kita nggak tahu apa keberuntungan kita masih bersinar; apa saran kamu?”
“Masih ada satu senjata yang bisa ditembakkan,” kata perwira senjata.
“Maksudmu senjata pengujian terakhir?” tanya Letkol. La Masa.
Perwira senjata
hanya mengangguk saja. Anggukannya nampaknya cukup enggan, seolah ia
mengetahui apa resiko senjata itu. Lucia pun bangkit, karena posisinya cukup
dekat dengan perwira senjata, dan juga Lucia ingin tahu apa yang akan dilakukan
selanjutnya.
“Siapkan solusi
penembakan,” perintah Laksma. Mahan, “kita melawan sampai akhir; tembak pada
komandoku,”
“Aye!” kata perwira senjata.
Perwira senjata pun
segera memasukkan solusi penembakan untuk “senjata terakhir”. Lucia benar-benar
ingin tahu, senjata apakah ini, sehingga hanya digunakan pada saat-saat
terakhir? Gampang sekali mengetahui kedudukan HMAS Pitcairn, karena entah
karena terlalu percaya diri atau ceroboh, mereka beberapa kali melakukan sonar
aktif. Mungkin HMAS Pitcairn mengira lawannya sudah hancur, atau setidaknya
lumpuh. Tentu saja, dengan teknologi tercanggih ini, hasil penembakan sonar
aktif pun tidak menunjukkan apapun.
“Senjata siap,” kata
perwira senjata, “badai siap melanda,”
“Tembak pada ping berikutnya,” kata Kdr. Mahan.
Perkataan “badai
siap melanda” tadi jelas-jelas membuat Lucia terkaget bagai disambar petir di
siang bolong. Suaminya pernah menjelaskan soal hal ini, dan Lucia tahu senjata
apa yang akan dipakai sebagai “serangan pamungkas”. Sebuah indikator
berkedip-kedip, tandanya senjata itu siap dipakai, dan… Lucia membacanya. Itu
satu-satunya indikator yang ditulis menggunakan aksara Cyrillic, yaitu: “ВА-111 ШКВАЛ”.
“PING!!!”
“TEMBAAAK!!!!”
perintah Laksma. Mahan.
Perwira senjata
segera menekan tombol dan tiba-tiba kapal selam bergetar dengan hebat,
seolah-olah seperti hendak mengeluarkan sesuatu yang besar. Suara bergemuruh
pun terdengar keras di anjungan, dan senjata itu pun meluncur seolah disertai
dengan sebuah suara ledakan dan membuat headphone milik perwira sonar dipenuhi
oleh suara bergemuruh sampai-sampai dia membuang headphone-nya dan menutup
telinganya yang pengang. Ledakan yang terjadi cukup memekakkan telinga, begitu
pula gemuruh yang terjadi kemudian. Inilah senjata pamungkas, torpedo
super-cepat, VA-111 Shkval. Torpedo kebanggaan AL Russia ini benar-benar tak
ada tandingannya; berdaya ledak besar dan berkecepatan hingga 360 km/jam di dalam
air. Wajar saja, karena aslinya torpedo ini dirancang untuk menenggelamkan
sebuah super-carrier sekelas USS Nimitz.
Di atas kapal HMAS
Pitcairn, tadinya perwira sonar senang sekali karena akhirnya KRI Antasena
“memakan umpan”. Akan tetapi suara bergemuruh kemudian membuatnya terpaku,
karena ia tahu apa itu. Terlebih lagi, layar monitor di depannya menunjukkan
sebuah hal yang tidak mungkin: Torpedo ini SANGAT CEPAT!
“SQUALL!!!!!” teriak
perwira sonar panik.
Jantung Capt. Artner
pun seolah berhenti, namun dengan cepat ia memerintahkan untuk melaju dengan
kecepatan tinggi. Ia ingin sekali lagi beradu balap dengan torpedo. Hanya saja,
torpedo kali ini adalah jawara dalam soal adu lari, dan dengan segera, ia
mencapai jarak yang mustahil untuk dihindari. Kapal HMAS Pitcairn sudah melaju
dengan amat kencang, sekencang yang ia bisa, bahkan sampai awaknya
terguncang-guncang, tapi torpedo ini tetap berhasil memperpendek jarak. Awak di
bagian buritan kapal pun melotot ketakutan, karena mereka seolah melihat sang maut
yang datang dalam wujud torpedo hebat itu.
“Siapkan NASROC,
kunci pada sasaran pelepasan tadi,” kata Capt. Artner, “siap-siap tinggalkan
kapal,”
Capt. Artner pun
memerintahkan menyiapkan senjata pamungkasnya pula. Sadar ia tak mungkin bisa
lari dari torpedo ini, Capt. Artner pun bermaksud sampyuh untuk mati bersama
dengan HMAS Pitcairn. Dalam keadaan kecepatan tinggi itulah senjata terakhir
itu, NASROC, diluncurkan ke atas langit malam. Capt. Artner menutup mata, dan
memerintahkan evakuasi. awak yang bisa keluar segera saja berlompatan ke laut,
tanpa jaket pelampung, tanpa sekoci; tapi rata-rata lebih memilih menunggu ajal
di dalam kapal. Sejenak kemudian, ledakan besar terjadi, dan kapal HMAS
Pitcairn terlempar ke udara.
Ledakan itu
terdengar pula di KRI Antasena walaupun jaraknya sudah cukup jauh. Laksma.
Mahan menarik nafas lega, karena ledakan itu berarti bahwa Shkval telah
menemukan sasarannya. Semua orang pun bersorak-sorai, tandanya mereka telah
rampung melewati detik-detik pertempuran yang mengerikan. Namun baru saja
mereka bernafas lega, perwira sonar, yang baru memakai headphone-nya kembali
mendadak terlompat dari kursinya.
“NASROC!!!!!!”
teriak perwira sonar.
Suasana mendadak
hening. Lucia pun tiba-tiba kembali disambar petir di siang bolong. NASROC?
Lututnya mendadak lemas dan ia tak punya tenaga lagi untuk berdiri. NASROC
adalah roket anti kapal selam paling mutakhir buatan Amerika Serikat, yang juga
dipakai oleh sekutu-sekutunya. Kunci kesaktian NASROC adalah hulu ledaknya yang
menggunakan NDB, Nuclear Depth-Bomb; mirip depth-charge, tetapi memakai nuklir,
yang tentunya berpuluh-puluh kali lipat lebih digdaya daripada bom depth-charge
biasa. NASROC ini dipakai sebagai alat konter kapal selam rudal raksasa Uni
Soviet, kelas Typhoon atau kelas Delta. NASROC ini memiliki bunyi khas ketika
meluncur dalam air, membuat perwira sonar tak salah dalam membedakannya dari
senjata lain.
“NASROC…itu
…nuklir…” kata Lucia lirih. Ia menatap ke arah Laksma. Mahan yang tampaknya
juga mengetahui dan tak mampu untuk membalikkan keadaan ini.
“Manuver menghindar,
bersiap untuk tabrakan,” perintah Laksma. Mahan lesu.
Erika segera
menghampiri Lucia dan memeluknya. Mereka pun bertatapan mata seolah itu adalah
tatapan mata perpisahan. Lucia mendesah, karena Erika memang masih terlalu muda
apabila harus mati sekarang. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada Anton dan
Lani, dan memeluk Erika erat-erat.
“Mbak Lucia… selamat
tinggal,” kata Erika sambil terisak, “kita ketemu di surga yah…”
Lucia tidak menjawab dan airmatanya pun meledak. Ia memeluk
Erika erat, dan keduanya menangis. Lucia dengan tangan gemetaran membelai
kepala Erika seperti seorang ibu yang mencoba menidurkan anaknya. Sementara itu
Erika sendiri terus menerus meledakkan tangis dan tidak membendung air matanya
sehingga membasahi baju Lucia. Doa Bapa Kami diucapkan terus menerus oleh
Erika. Semua orang pun melakukan hal serupa, duduk dan berdoa, karena ini
adalah saat-saat terakhir bagi mereka. Pandangan mata mereka kosong menghadapi
apa yang tampaknya menjadi kematian tak terelakkan. Perwira sonar melepas
headphone-nya dan menangis meratapi layar monitor, karena ia memang sudah tidak
bisa berbuat apa-apa lagi.
Sementara itu
Komodor Mahan terduduk lesu sambil mengeluarkan sebuah foto dari dalam sakunya,
foto kedua anak laki-lakinya yang sangat ia sayangi. Lucia pun mengambil
HP-nya, dan menatap layer wallpaper yang bergambarkan foto Anton dan Lani, yang
dengan setia menunggunya di rumah. Dengan gemetaran akibat tangis, Lucia pun
mencium layar wallpaper itu dalam-dalam, sebuah ciuman perpisahan yang getir.
“Sampai…ketemu…di
surga, sayang…” kata Lucia terbata-bata.
Lalu ledakan yang
besar pun terjadi. Amat sangat besar yang mungkin belum pernah dilihat oleh
orang sebelumnya. Areal ledakan itu sangat luas dan memancarkan cahaya putih
yang sedikit menyilaukan, lalu air laut pada radius itu pun terlontar hingga
membentuk awan cendawan dan pilar air yang tinggi sekali, dan ombak yang
dihasilkan juga berukuran cukup tinggi sehingga mampu menelan sebuah kapal
kecil. Air pun lalu turun kembali membentuk sebuah hujan kecil di atas laut
yang bergolak dan berbuih putih. Sejenak kemudian, buih pun menghilang, dan laut kembali sepi.
BERSAMBUNG
Thanks very nice blog!
ReplyDelete