Tuesday, March 11, 2014

Laut Biru 3

Cerita diambil dari novel LAUT BIRU karya stuka1788 di forum Kaskus, sexscene oleh kaskus-addict
 
Chapter III : The Departure
Lokasi X
22.41 WIB
Menakjubkannya, meskipun sudah ada kejadian dan omen buruk itu, pelayaran tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Tampaknya semua orang merasa bahwa mereka sudah terlalu besar untuk percaya dengan takhayul-takhayul semacam itu. Selesai upacara simbolis pemecahan kendi (yang ternyata tidak pecah), perancah raksasa yang menampung kapal selam itu segera bergeser menuju salah satu galangan, dekat dengan jetty yang disiapkan segala macam barang-barang.

Semua tim NewsTV takjub melihat betapa perancah itu berukuran amat raksasa, memindahkan kapal selam besar itu dari tempat upacara menuju ke dok, tempat di mana seharusnya ia berada. Bentuk perancah itu mirip seperti rangka rumah-rumahan bagi kapal selam, dalam skalanya yang kolosal. Mesin-mesin raksasa mengatur pemindahan struktur itu, menggerakkan dengan perlahan menuju ke air.
Kamera NewsTV tak berkedip dalam memandangi proses mahabesar itu. Lucia pernah melihat kapal yang “diluncurkan” dalam galangan kering, atau kapal yang “diapungkan” pada galangan basah. Namun baru kali ini ia melihat sebuah kapal dibuat di atas perancah, lalu perancah itu bergeser untuk menempatkan kapal itu di tempat yang semestinya. Betul-betul sebuah proses yang membius pandangan. Semua orang pun memandang dengan perasaan haru ketika kapal selam sedikit demi sedikit bergerak ke atas air.
Di sini, Lucia mendapati keanehan satu lagi. Tanpa menunggu perancah itu menyelesaikan tugasnya untuk menempatkan kapal selam itu ke air, para pejabat sudah bersiap untuk meninggalkan tempat. Memang di situ ada helipad di mana ada sekitar 4 helikopter, dua dari jenis NBell-412, dua lainnya adalah sebuah Bell-206 Jet-Ranger dan sebuah NSa-332 Super Puma, dan sepertinya dari tadi mesin-mesinnya sudah dinyalakan. Bahkan para pejabat itu tidak menoleh ke belakang, seolah-olah bahwa setelah diresmikan, nasib kapal selam itu tidak berada di tangan mereka lagi.
“Mereka pergi,” kata Lucia setengah menggumam.
Erika hanya melongo, tak tahu apa yang terjadi, ketika tiba-tiba Lucia mengambil sebuah kamera VCR berukuran kecil, kemudian beranjak. Lucia tampaknya ingin mengejar mereka sebelum mereka naik ke heli mereka masing-masing.
“Mbak Lucia!” teriak Erika sambil berusaha mengejar Lucia.

“Aku ke sana dulu!” kata Lucia sambil menoleh sejenak.
Langkah Lucia pun semakin dipercepat hingga ia mulai berlari, karena jaraknya dengan tujuannya cukup jauh, sementara para Pejabat itu semakin mendekati helikopter. Sambil berlari, Lucia pun menyalakan kamera VCR-nya. Semua reporter di NewsTV mendapatkan pelatihan pula mengoperasikan kamera. Suara langkah kaki Lucia yang sedang berlari pun menyadarkan semua orang.
“LUCIA!!” panggil Elman dengan khawatir.
Bagaimana tidak, beberapa orang marinir bersenjata dengan segera mulai mendekati Lucia, mencoba menghadangnya.
“MBAK LUCIA!! JANGAN!!” teriak Erika.
Tapi Lucia seolah tidak mendengarkan, ia terus saja berlari memburu sasarannya. Terlihat para pejabat itu mulai menaiki helikopter mereka. Tentara yang berjaga di dekat helikopter pun seketika itu menyadari kehadiran Lucia. Mereka segera mengacungkan senapan SS2-V5 mereka ke arah Lucia. Apabila Lucia tidak berhenti dengan segera, maka bisa dipastikan ini tidak akan berakhir baik…
“DOOR!!!”
Lucia pun seketika itu juga berhenti. Jantungnya berdegup dengan keras sekali, menandakan dia masih hidup. Itu adalah sebuah tembakan peringatan, cukup keras untuk menghentikan langkah Lucia, entah siapa yang menembakkannya. Lucia baru sadar ketika tahu-tahu para prajurit bersenjata tengah mengepungnya. Dan mereka kini berjalan makin mendekat.
“JANGAN BERGERAK!!” hardik salah seorang prajurit, “DIAM ATAU KAMI TEMBAK!”
Lucia membeku dan gemetar ketakutan mendengar hardikan itu. Ia berusaha melihat sekitar tapi di mana-mana, hanya moncong senapan saja yang ia lihat. Beberapa orang prajurit melihatnya dengan pandangan mata sadis, mereka berteriak-teriak ribut, menyuruh Lucia untuk diam, bahkan ada yang menyuruh Lucia angkat tangan; tapi seiring semakin membekunya Lucia akibat ketakutan, tensi pun semakin meninggi. Dari jauh, Lucia bisa melihat ada sepucuk senapan yang diturunkan dari menghadap ke atas. Rasanya ia kenal siapa yang memegang senapan itu: Kolonel Frida. Rupanya dia yang tadi menembakkan tembakan peringatan itu; tapi bukan menggunakan senapan SS-2 atau SS-1, melainkan sebuah M1891 Mosin-Nagant; senapan buatan Soviet pada era Perang Dunia II. Pantas saja suaranya cukup keras.
Anggota tim pun tak tinggal diam, mereka berusaha merangsek untuk membantu Lucia, tapi para marinir sudah membentuk pagar betis dan menghalangi mereka. Alhasil, tak mampu menembus blokade, mereka pun hanya bisa berteriak-teriak memanggil Lucia. Lucia sendiri hanya menelan ludah saja sambil gemetaran ketika ia melihat moncong-moncong senjata yang dari pelbagai sudut sudah diarahkan kepadanya seorang. Para prajurit yang mengepungnya pun berhenti pada jarak radius 10 meter dari Lucia, jarak yang lebih dari cukup untuk menembak secara akurat.
Baru beberapa saat mereka berhenti, seseorang merangsek dari luar perimeter dan segera menghampiri Lucia. Dia adalah Kolonel Frida, dan tampaknya raut mukanya tidak begitu senang. Ia mendekat hingga jarak hanya beberapa kaki saja muka Lucia. Pandangan matanya tajam, dan Lucia melihat seolah ada kilatan nafsu membunuh dari pancaran mata wanita ini. Tak perlu kata-kata untuk menunjukkan betapa wanita ini amat marah. Tahu-tahu, tangannya sudah mencengkeram kamera VCR yang dipegang oleh Lucia.
“Aku ambil ini,” kata Kol. Frida dingin.

“Nggak bisa!” kata Lucia mencoba mempertahankan kamera itu.

“Kamu mau nyerahin sukarela, atau aku ambil paksa, yang pastinya bakal ngerusak kamera ini!?”
ancam Frida dengan nada tinggi, “atau bisa lebih buruk lagi,”
Diancam seperti itu, Lucia pun luluh dan mengendurkan cengkeramannya. Dengan satu kali sentakan kuat, kamera itu pun sudah berpindah tangan kepada Frida. Dengan cekatan, Frida mematikan kamera itu, mengambil kaset yang ada di dalamnya, lalu menyerahkan kaset itu pada ajudannya.
“Sekali lagi kejadian seperti ini,” kata Frida, “aku nggak segan-segan buat nerapin tembak di tempat! Ngerti!?”

“Ya…” kata Lucia lirih.
Frida pun mengembalikan kamera itu dengan agak kasar kepada Lucia; sementara kasetnya tetap disita olehnya. Begitu Frida mundur, maka prajurit-prajurit yang mengepung itu akhirnya mengendurkan kepungannya. Sementara itu di langit, helikopter-helikopter itu mulai beterbangan meninggalkan tempat ini.
Lucia masih gemetaran sambil memeluk kamera VCR. Erika pun segera merangsek dan mendekap Lucia; mereka berdua sama-sama ketakutan. Disusul anggota tim yang lain yang segera mengerumuni lead reporter mereka ini. Sekali lagi mereka menggerutu.
“Jangkrik!” serapah Elman, “berlebihan banget pengamanannya!”

“Iya… dikiranya kita ini siapa??” sambung Dito, “dimasukin berita tahu rasa ntar!”
Lucia tidak berkata apa-apa, hanya berupaya menahan supaya tidak menangis ketakutan; tapi dengan isyarat tangan, Lucia meminta semua orang untuk memelankan suaranya. Frida adalah orang dari Intelejen, dan Alex pernah mengatakan supaya jangan sekali-kali macam-macam atau mencari-cari masalah dengan orang Intelejen, karena siapa yang tahu apa yang bisa dilakukan oleh mereka?
***
00.57 WIB
Sudah lewat tengah malam, dan KRI Antasena sudah dari tadi masuk ke dalam air. Kini, para pekerja dengan giat dan cekatan memasukkan semua barang-barang keperluan ke dalam kapal selam ini. Seorang quartermaster pun mendata semua pelaut yang hendak mengikuti pelayaran ini. Makanan, air minum, obat-obatan, amunisi, semua yang diperlukan pun akhirnya mulai berpindah masuk ke dalam kapal selam. Tapi pekerjaan masih jauh dari selesai akibat barang-barang ini hanya bisa dimasukkan secara manual. Tidak ada alat berat yang bisa digunakan untuk membantu, kecuali kereta dorong.
Pengawasan terhadap tim dari NewsTV kini semakin diperketat. Ini diketahui oleh Lucia, karena walaupun tidak didekati, Lucia bisa dengan jelas melihat bahwa mereka secara teratur diawasi secara seksama. Mencegah kejadian Lucia tadi terulang kembali, Frida sudah menerapkan tembak di tempat, sehingga otomatis siapapun tim dari NewsTV harus berpikir dua kali sebelum mencoba melanggar protokol. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali mempersiapkan segala sesuatu untuk persiapan pelayaran.
Berbeda dari para prajurit, para pelaut malah cenderung lebih ramah, karena mereka beberapa kali menyapa tim setiap kali lewat. Bahkan, beberapa pelaut yang memang tidak ada kerjaan pun ikut nimbrung pula bersama tim, menawarkan segelas kopi panas, karena malam ini memang cukup dingin apalagi angin juga cukup kencang. Beberapa gelas kopi dan beberapa puntung rokok kemudian, dan tim NewsTV sudah membaur seluruhnya dengan para pelaut.
Sikap paling tidak simpatik, tentu saja oleh orang Intelijen. Baru tadi mereka “membantu” proses pengeditan, tapi “dibantu” di sini bukan dalam artian duduk bersama untuk mendiskusikan masalah gambar, sama sekali bukan. Orang-orang Intelejen ini langsung saja mengambil rekaman kamera, membawanya ke tempat yang dijaga ketat, kemudian setelah selesai, dikembalikan, dengan rekaman itu sudah diedit, tentu saja. Ini pastinya membuat tim kembali menggerutu, apalagi ketika gambar yang disensor oleh mereka adalah gambar pilihan yang akan dijadikan unggulan dari peliputan ini. Lucia pun hanya bisa melirik ke arah Frida, yang kali ini matanya tak pernah lepas dari tim.
Walau begitu, pandangan Lucia lebih tertuju ke arah lain. Kapal selam itu, KRI Antasena. Sesuai dengan tipikal kapal selam buatan Russia yang dibuat berdasarkan desain makhluk samudera, maka kapal selam ini pun dibuat menyerupai tubuh beluga. Lucia jadi ingat, dulu sebelum menikah, ia pernah mengajak Lani ke Ancol untuk menonton aksi beluga, si paus putih yang lucu. Lani saat itu tampak menyukainya; seperti halnya Ayahnya, Lani pun juga menunjukkan kecintaan pada laut. Tapi beluga yang ini jauh dari kesan lucu atau menyenangkan, lebih pada sosoknya yang gelap dan mengerikan, meskipun tampak indah di bawah cahaya lampu malam.
Persenjataan dan amunisi pun dimasukkan, menambah keangkeran si paus putih ini. Wajar saja, desain awalnya, kapal selam ini memang dirancang untuk menghabisi kapal perang besar, seukuran kapal induk sepertinya. Bukan itu yang membuat Lucia ngeri. Ada sesuatu aura yang jelek yang mengitari KRI Antasena, aura kesialan yang menyesakkan. Ia pun semakin bergidik, apalagi mengingat tadi kendi yang harusnya digunakan untuk meresmikan, ternyata tidak pecah. Sebuah pertanda buruk bagi sebuah kapal yang akan diluncurkan, dan firasat-firasat jelek pun terus berkembang di kepala dan benak Lucia. Apakah ini bakal menjadi tugas terakhirnya?
Pada saat itu, Laks. Sapar Sihombing pun menghampiri mereka. Tadinya tim NewsTV menyambut sinis kedatangan petinggi TNI ini; cukup wajar mengingat perlakuan yang mereka dapat di sini. Akan tetapi, Lucia tahu mengenai Laks. Sihombing ini. Setidaknya Laks. Sihombing mengenal suaminya. Plus, Frida sudah menggariskan bahwa Laks. Sihombing, sebagai Kapuspen, boleh untuk diwawancarai. Maka Lucia pun berdiri dan menyambut Laks. Sihombing.
“Jadi ini toh, istrinya Saudara Alex?” tanya Laks. Sihombing sambil tersenyum ramah.

“Iya, Pak,” kata Lucia, “nama saya Lucia,”

“Ya ya, saya sudah tahu dari Alex,” kata Laks.
Sihombing, “pertama-tama, maaf kalau saudara-saudara sekalian mengalami ketidaknyamanan tadi, tapi ini adalah proyek yang amat sensitif, aku harap kalian bisa mengerti,”

“Sensitif sih sensitif, Pak, tapi jangan kita diperlakukan kayak Amrozy gini dong!” protes Dito saat itu juga.

“Huss!! Bisa diem, gak!?” hardik Lucia.
Dito pun mengatupkan mulutnya, tersadar dengan siapa ia berbicara. Elman segera mendekat dan berbisik pada Dito bahwa kalau zaman dulu, bisa jadi Dito sudah ditarget buat petrus! Bercanda memang, tapi tetap saja membuat Dito bergidik ngeri.
“Ah, sudahlah, tidak masalah itu,” kata Laks. Sihombing, “oh ya, apa kalian mau wawancara?”

“Sebenarnya, ada beberapa yang mau saya tanyakan sih, Pak,” kata Lucia.

“Silakan saja, kalau bisa akan saya jawab,” kata Laks. Sihombing, “demi persahabatan antara saya dan suami Anda, Nn. Lucia,”
Akhirnya dapat juga Lucia mengadakan sesi wawancara malam ini. Laks. Sihombing memang lebih kooperatif. Ia juga menjelaskan beberapa hal, kecuali hal-hal yang memang cukup sensitif. Ia dengan bangganya bercerita mengenai betapa KRI Antasena adalah sebuah mahakarya terbesar dari putra-putra Indonesia di bidang kemaritiman, terlepas dari fakta bahwa perancang kapal ini adalah seorang Russia, Dr. Anatoly Sedorenkov. Laks. Sihombing juga bercerita mengenai cita-citanya bahwa kelak Angkatan Laut Indonesia akan diperkuat hingga 2 skuadron kapal selam jenis ini yang berkemampuan tempur canggih, menyusul kapal-kapal perang permukaan baru yang sekarang masih masuk tahap produksi. Sayangnya, mengenai data-data teknis, Laks. Sihombing tidak mau menjawab, begitu juga ketika ditanya kelebihan kapal selam ini, serta rute untuk pelayaran perdana ini.
“Maaf, tapi saya tidak bisa bercerita lebih jauh,” kata Laks. Sihombing.

“Terima kasih, Laksamana,” kata Lucia, “ini sepertinya sudah lebih dari cukup,”
Memang, meskipun tidak menjawab beberapa pertanyaan penting, hasil wawancara itu sendiri, bagi Lucia sudah lebih dari cukup. Untung saja antara Laks. Sihombing dan suaminya sudah saling mengenal, sehingga dengan “memanfaatkan” persahabatan itu, Lucia bisa mendapatkan hal yang ia butuhkan.
“Sudah cukup segitu saja, Nn. Lucia?” tanya Laks. Sihombing.

“Untuk wawancara, rasanya segitu saja,” kata Lucia, “tapi… kalau boleh, saya mau minta tolong…”

“Silakan saja, kalau bisa akan saya bantu,” kata Laks. Sihombing.

“Apa nanti di Jakarta, Anda akan bertemu dengan suami saya?” tanya Lucia.

“Tentu saja, saya juga berencana mengundangnya dalam perayaan penyambutan KRI Antasena di nanti,” kata Laks. Sihombing, “supaya dia menyambut Anda, tentunya,”

“Terima kasih… tapi…” kata Lucia sedikit bimbang.
Lucia menggigit kecil bibir bawahnya. Matanya mengisyaratkan adanya perasaan kekhawatiran yang nyata, yang tentu saja membuat Laks. Sihombing bertanya-tanya. Kemudian, Lucia segera melepas cincin kimpoinya dari jarinya, lalu memberikannya kepada Laks. Sihombing.
“Lho!? Ada apa ini? Saya tidak mau!” kata Laks. Sihombing.

“Kalau saya tidak selamat dari pelayaran ini, tolong berikan cincin ini pada suami saya,” kata Lucia.

“Apa maksud Anda!? Anda tidak akan kenapa-kenapa!” tolak Laks. Sihombing.

“Laksamana, tolonglah, aku punya firasat tidak enak dengan pelayaran ini; semoga saja memang tidak terbukti,” kata Lucia, “tapi Anda lihat dari kendi tadi, kan?”

“Apa Anda percaya tahayul, Nn. Lucia?” tanya Laks. Sihombing.

“Tidak, tapi aku tak mau ambil resiko,” kata Lucia, “tolong, berjanjilah untuk menyampaikan pada suami saya, kalau terjadi kenapa-kenapa,”
Laksamana Sihombing pun menarik nafas panjang, lalu ia pun menggenggam cincin dari Lucia. “Saya akan simpan dengan baik, Nn. Lucia,” kata Laks. Sihombing, “tapi untuk saya berikan kembali pada Anda di akhir perjalanan, karena saya yakin kita semua akan selamat di sana,”

“Terima kasih, Laksamana,” kata Lucia, “saya juga berharap selamat, tapi kalau terjadi apa-apa, setidaknya nanti suami saya punya pengingat akan saya,”
Laksamana Sihombing mendengus saja. Dasar, reporter koq percaya tahayul, mungkin itu yang ia pikirkan. “Kalau Anda sudah selesai bersiap-siap, Nn. Lucia, saya akan mengajak Anda semua menemui Laksma. Mahan,” kata Laks. Sihombing.

“Sebentar lagi kami akan siap,” kata Lucia.

“Oh ya, maaf sekali, tapi saya lupa bilang sesuatu,” kata Laks. Sihombing, “tapi permintaan dari Mabes, mohon rombongan Anda yang ikut hanya empat orang saja,”

“Apa!?” tanya Lucia tak habis mengerti.

“Hanya ada cukup akomodasi untuk empat orang, di dalam kapal,” kata Laks. Sihombing, “selebihnya, untuk alasan keamanan,”
Kali ini ganti Lucia yang mendengus. Ia yakin, teman-temannya tak akan menyukai hal ini. Akan tetapi, rupanya reaksi yang diperlihatkan oleh rekan-rekannya sedikit di luar dugaan.
“Ya udah kalau gitu,” kata Elman, “kalian aja yang pergi, aku enggak,”
Elman sedari tadi memang sudah menunjukkan rasa ketidaksenangannya. Mulai dari perlakukan yang mereka terima semenjak tiba di pangkalan ini, juga mungkin dengan prospek selamat pada pelayaran perdana ini. Atau mungkin juga, seperti halnya Alex, dia kurang suka dengan ide untuk berada di dalam sebuah kaleng raksasa enam kaki di bawah permukaan laut. Berasa seperti masuk ke dalam kuburan saja.
“Pak Elman…” kata Lucia merajuk.

“Maaf, Lucia, tapi jujur saja, saya nggak ngerasa enak masuk ke sana,” kata Elman, “mending Reza saja yang masuk, nggantiin saya,”
Lucia melihat ke arah Reza, field-technician satu lagi yang lebih junior daripada Elman. Reza tampak menggerutu, karena kini dia tidak ada pilihan lain. Semua orang pun tampaknya juga tidak ingin masuk ke dalam kapal selam, biarpun mereka sama sekali belum pernah melakukannya. Lucia hanya menggeleng saja melihatnya. Sekarang, tidak ada cara lain, Lucia harus mengubah pendekatannya. Ia harus berbuat tega. Suaminya pernah mengatakan bahwa menjadi seorang pemimpin yang baik bukanlah hanya soal bersikap baik dengan bawahan, namun di kala diperlukan, sang pemimpin pun harus bersedia untuk mengirim mereka untuk mati.
“Erika, kamu ikut, aku masih butuh cadangan buat peliputan,” kata Lucia, “aku nggak mau masuk ke sana sendirian,”
Erika hanya mengangguk perlahan, lalu tertunduk lesu. Ia memang sudah menduga bahwa ia akan naik, karena memang ialah satu-satunya cadangan untuk reporter. Reza pun, dengan tidak ikutnya Elman, maka dia terpaksa ikut pula. Berarti tinggal kurang satu orang. Adnan, sangdriver, jelas tidak mungkin, karena dia bertanggungjawab atas kendaraan. Sekarang tinggal memilih salah satu dari dua kameramen yang tersisa, yaitu Dito atau Iwan. Di mata Lucia, dan juga sesuai rekomendasi dari Sumi, kedua orang ini memiliki kualitas yang seimbang. Mereka tampak berdoa, entah supaya dipilih atau supaya tidak dipilih.
“Iwan, kamu ikut!” kata Lucia kemudian.

“Mbak Lucia, kalau boleh saya digantikan Dito saja,” kata Iwan.

“Kenapa kamu ngomong seolah-olah kamu punya pilihan, Iwan?” tanya Lucia dingin, “ini bukan permintaan, tapi perintah,”
Iwan pun terkatup. Ya, sudahlah, memang sudah waktunya Lucia untuk berbuat tega. Sebenarnya, pilihan terhadap Iwan ini ada alasannya, salah satunya adalah bahwa sedari tadi, terbukti bahwa Dito yang memang orangnya ceplas-ceplos sering melontarkan statement yang kurang enak. Akan berbahaya jika membawa Dito ke dalam misi ini. Alasan lain, yang juga tidak kalah penting, adalah bahwa Iwan bertubuh lebih kecil daripada Dito yang tinggi besar. Postur ini jadi signifkan, mengingat ruangan dalam kapal selam cukup terbatas, dan Lucia tidak ingin personelnya nanti bertindak kikuk hanya karena posturnya terlalu besar untuk dimensi sebuah ruangan interior kapal selam.
“Persiapkan semuanya,” kata Lucia, “oh ya, jangan bawa kamera yang besar, bawa yang kecil saja; kita butuh bisa bergerak leluasa, dan ruangan di dalam sana pastinya sempit,”
***
01.33 WIB
Laks. Sihombing sudah akan melangkah menuju ruangannya saat melihat seorang wanita melintas di belakangnya. Itu Kolonel Frida, terlihat dari body-nya yang aduhai dan rambut lurusnya yang terurai hingga ke pundak. Wanita itu menghampirinya sambil tersenyum.
"Senyum yang selalu menggoda,” pikir Laks. Sihombing dalam hati, hingga ia sejenak terdiam bagai patung. Tapi biji matanya berjalan dari atas ke bawah, memperhatikan Kol. Frida yang mempunyai kaki begitu panjang dan indah.
"Ada kesulitan, Laksamana?” tanya perempuan cantik itu.
”Ah tidak, hanya sekedar wawancara singkat." jawab Laks. Sihombing.
"Aku harap orang-orang pers itu tidak merepotkan anda..." Frida kembali berkata.
"Tidak, kebetulan saya kenal  suami dari sang reporter...” Laks. Sihombing teringat cincin kawin Lucia yang dititipkan kepadanya, dia segera merogoh kantongnya untuk memastikan benda itu tidak hilang.
”Lucia? Keras kepala sekali dia, sama sekali tidak mau mematuhi perintah.” Frida mendengus.
”Sebenarnya dia baik, mungkin jiwa pers-nya yang membuat dia jadi berbuat nekad seperti itu.” bela Laks. Sihombing.
Kesunyian memecahkan pembicaraan mereka sejenak... hingga kemudian,  "Tapi ngomong-ngomong, dia cantik lho. Laksamana tidak tertarik?” kata Frida menggoda.
”Ah... dia kan istri teman baikku, mana berani aku berbuat seperti itu. Lagian, lebih cantik anda kok!” sahut Laks. Sihombing tersenyum.
Wajah cantik Frida bersemu merah mendengarnya. ”Ah, Laksamana bisa aja.”
”Beneran! Kalau disuruh memilih, saya akan pilih Kolonel daripada Lucia!” sergah Laks. Sihombing.
”Tentu saja, soalnya yang ada di hadapan Laksamana sekarang cuma aku. Coba kalau...”
”Ayo ke ruanganku, akan kubuktikan ucapanku!” potong Laks. Sihombing cepat sambil mengamati rambut pendek Frida yang menari-nari tertiup angin.
"Boleh deh..." jawab Frida singkat. Entah kenapa, dia yang biasanya tegas dan lugas, malam ini jadi nakal, rasanya seperti arus birahi menggigit seluruh persendiannya. Apa karena pengaruh hawa dingin air laut ya?
"Silakan masuk, maaf berantakan." kata Laks. Sihombing sambil menarik tangan Frida yang halus dan putih bersih. Mereka masuk ruangan secara beriringan. Pintu segera ditutup dan dikunci dari dalam, begitu juga dengan jendela dan tirainya. AC lekas dinyalakan dan di-set di temperatur minimum.
Laks. Sihombing berbalik dan tersenyum, begitu juga dengan Frida. Tanpa berkata lagi, mereka berdiri saling berhadapan dan saling menatap mesra. Dengan lembut Laks. Sihombing membelai rambut Frida yang halus lurus terurai, ia teruskan belaiannya ke wajah Frida yang oval, terlihat ada rasa rindu serta keinginan untuk melakukan persetubuhan yang paling pekat di mata perempuan cantik itu. Laks. Sihombing melanjutkan belaiannya menyusuri pundak Frida, ia memegangi dan mengelusnya pelan. Si Kolonel cantik diam saja diperlakukan demikian, malah dia menatap Laks. Sihombing dengan pandangan sayu penuh kemesraan.
"Ohh... Laks!" desah Frida lirih sambil memejamkan matanya, isyarat meminta untuk dicium.
Laks. Sihombing menatap bibir yang berwarna merah muda itu. Sambil mendekap tubuh montok Frida, dengan lembut ia mendekatkan kepalanya dan mengecup pelan bibir Frida yang tipis menggoda. Tak disangka, Frida membalas dengan menjulurkan lidahnya ke dalam mulut sang Laksamana dan memainkannya dengan lihai. Laks. Sihombing segera mencucup dan melumatnya penuh nafsu, berusaha mengimbanginya sebaik mungkin. Sambil mencium, tangannya dengan terampil meloloskan kancing baju Frida satu per satu hingga tak lama kemudian, kain seragam itupun jatuh ke lantai.
Kini hanya BH ukuran 36B dengan tali di pundak yang ada di hadapan Laks. Sihombing, siap untuk dimangsa. "Ahh... ouh... Laksamana... beri aku kepuasan!!" terdengar suara Frida meminta dengan pasrah, juga degupan jantungnya yang berdetak keras, disertai dengan nafas yang mulai terengah-engah pelan.
Dengan cepat Laks. Sihombing membuka BH tipis yang berwarna putih itu. Wow, indah sekali buah dada yang terpampang di hadapannya ini. Benda itu terlihat begitu menonjol ke depan, dengan puting kecil berwarna kemerahan bertengger di puncaknya, dan dikelilingi aerola yang kecil pula dan penuh dengan kehangatan.
"Ouh... Laksamana... hisap, cepat hisap... ough!" pinta Frida memelas sambil menyorongkan kedua payudaranya ke mulut Laks. Sihombing.
Dengan rakus Laks. Sihombing langsung melahap dua gunung kembar yang putih dan kenyal itu. Ia menghisap dan menjilatinya begitu liar hingga membuat Frida merintih kegelian, namun terlihat begitu menikmatinya. ”Terus, Laksamana... yah, hisap terus... ough!” rintih perempuan cantik itu.
Kemontokan dan kehangatan payudara Frida membuat kemaluan Laks. Sihombing menegak begitu cepat. Meski masih tersembunyi di balik celana, tapi benda itu sudah menggedor-gedor kuat, seperti sudah tidak sabar untuk meloncat keluar. Merasa ngilu, Laks. Sihombing segera mencopot celananya, juga baju seragam dan singletnya hingga kini ia pun telanjang bulat. Penisnya yang sudah menegak dahsyat lekas diberikannya pada Frida, meminta untuk dipijit dan dikocok, sementara dia sendiri semakin gencar melancarkan serangan ke seluruh tubuh Frida yang mulus dan kencang.
Laks. Sihombing meremas gemas buah dada Frida yang sebelah kiri, sedang yang kanan ia jilati dengan penuh nafsu. Putingnya yang mungil ia cucup berulang kali, sambil sesekali menjepit dan menariknya dengan ujung lidah. Frida melenguh, tubuh montoknya kontan bergetar dan menggelinjang, apalagi saat sambil terus menghisap, Laks. Sihombing juga memeluk dan mengelus-elus punggung hingga pantatnya, berusaha melepas celana Frida yang masih menempel ketat.
Saat Laks. Sihombing sudah berhasil memelorotkan celana itu, Frida pun mendengus keenakan dan membuang kepalanya ke belakang, otomatis buah dadanya yang besar makin kelihatan membusung ke depan, semakin menampakkan keindahan dan kemontokannya yang begitu luar biasa. "Terus, Laksamana... ough... lepas juga celana dalamku! Kita sama-sama telanjang!" rintih Frida sedikit memaksa.
Perlahan Laks. Sihombing memelorotkan celana dalam Frida yang tipis berwarna putih, dan tanpa perlu dikomando, ia telah membenamkan kepalanya di liang kewanitaan Frida yang tersembunyi malu-malu di balik bulu-bulu halusnya yang lebat tak terkira. ”Ohh... honey, please... jilat yang keras di situ... ouh!!” Frida yang sepertinya kurang bebas, segera membuka kakinya lebar-lebar untuk menyerahkan lubang kenikmatannya yang telah menganga agar segera dijilat oleh Laks. Sihombing.
"Ssh... sluurp... sluurpp..." penuh gairah, laki-laki itu membungkuk untuk terus menjilati klitoris Frida yang nangkring di depan pintu guanya, yang kelihatan misterius namun penuh dengan kenikmatan.
"Ough... terus, Laksamana... ehmm..." Frida mendesah dan...  seerr! Cairan kenikmatan cepat membanjiri liang kewanitaannya yang sempit dan legit itu,  membuat Laks. Sihombing semakin mudah meluncurkan lidahnya di sekitar klitoris Frida sambil sesekali memasukkannya ke dalam celahnya yang gelap gulita.
”Aduh, Laksamana... aku geli... aduduh!!” Frida menggelinjang kegelian, ia mulai memutar-mutar pantatnya yang bahenol seirama dengan jilatan Laks. Sihombing yang semakin lincah menari-nari. Frida juga menarik-narik rambut Laks. Sihombing dengan gemas, bagai seorang wanita yang sudah lama menantikan kenikmatan hubungan seks.
"Oohh... honey, cepat masukkan punyamu!" pinta Frida tak sabar sambil menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan menjulurkan pantatnya ke belakang dengan kaki mengangkang lebar. Ia meminta Laks. Sihombing agar segera menusuknya dari belakang.
Menggesek-gesekkan penisnya ke belahan pantat Frida, Laks. Sihombing memeluk perempuan cantik itu dengan mesra. Tangannya meraih payudara Frida yang menggantung indah di depan dadanya dan meremas-remasnya gemas. Sementara di belakang, ujung penisnya mulai menyundul-nyundul mencari celah kemaluan Frida yang terasa hangat dan basah, saat sudah ketemu, ia pun menekannya. Sleeeb... dengan mudah batang penisnya menembus lorong gelap yang lembut namun terasa sangat ketat itu.
"Ouhh... nikmat sekali, Laks... terus perlahan... ahh!!” Frida memohon lirih, diputar-putarkan pantatnya ke kiri dan ke kanan hingga hingga rasa geli menyelimuti penis Laks. Sihombing yang kini mulai bergerak keluar masuk mengocok lubang sempitnya.
Laks. Sihombing sendiri semakin mengganas tatkala mendengar desahan Frida yang tiada henti. Sambil terus memompa dari belakang, tak bosan-bosan tangannya memijit dan meremas-remas bulatan payudara Frida yang bergoyang-goyang indah seiring tusukannya yang semakin lama menjadi semakin cepat, juga sedikit lebih dalam.
"Oughh... ahh... lebih cepat, Laks... yang keras! Ooughh..." jerit Frida saat klimaks mulai merambati tubuh mulusnya. Seerr... terasa cairan hangat mengguyur penis Laks. Sihombing yang terus bergerak keluar masuk dengan cepat. Bunyi clep-clep yang tadi terdengar pelan, kini menjadi sangat keras, tanda kalau liang surga milik Kolonel Frida sudah sangat becek dan basah.
Sedikit gemetar, Frida menjemput orgasmenya. Cairan kenikmatan semakin banyak memenuhi liang rahimnya. Laks. Sihombing yang mengetahui hal itu segera mencabut penisnya, dibiarkannya cairan kenikmatan Frida menyembur keluar hingga meleleh di lantai. Duduk terengah-engah, Frida meringkuk lemas di sofa. Dia terlihat pucat namun sangat puas. Laks. Sihombing menghampiri dan memberikan penisnya yang masih menegang pada perempuan cantik itu. Tidak memberi waktu bagi Frida untuk istirahat, ia menyuruh Frida untuk mengulum dan menghisapnya.
”Iya, baik!” tidak bisa menolak, Frida pun langsung melahap kemaluan itu dan menghisapnya dengan begitu rakus. Sesekali ia julurkan lidahnya untuk menjilati biji kemaluan Laks. Sihombing, juga lubang anus laki-laki itu yang membuat Laks. Sihombing menggelinjang kegelian.
Setelah puas memainkan penis itu, Frida yang kembali bergairah, meminta Laks. Sihombing untuk kembali mengoral vaginanya. Mereka kini berposisi 69, Frida di atas sementara Laks. Sihombing di bawah. Frida menempatkan liang kewanitaannya tepat di depan mulut Laks. Sihombing, sementara ia sendiri terus melahap kemaluan Laks. Sihombing yang kini sudah menegak keras tak terkendali.
Mereka terus saling menghisap satu sama lain sampai akhirnya Frida membenamkan pantatnya kuat-kuat sambil digoyang-goyangkan dengan cepat karena semakin geli oleh jilatan lidah Laks. Sihombing yang menusuk-nusuk semakin dalam. "Ouhh... Laksamana... masukkan sekarang... aku udah nggak tahan nih..." Frida mengeluh penuh kenikmatan.
Tanpa merubah posisi, dengan masih berjongkok, Frida langsung menangkap kemaluan laki-laki itu dan menuntunnya masuk ke dalam lubangnya yang sudah sangat basah, campuran antara madzi dan air liur Laks. Sihombing. Sleebb... perlahan ia menurunkan tubuhnya sambil memegang dada Laks. Sihombing yang berbulu lebat. Terlihat mata Frida merem-melek keenakan sambil menggigit bibirnya yang mungil saat penis itu Laks. Sihombing sudah tenggelam sepenuhnya ke celah liang vaginanya.
"Aahh...” Frida mendesah begitu merasakan kenikmatan yang tiada tara menyerang tubuh sintalnya. Ia mulai menggerakkan pantatnya naik turun, dan semakin lama menjadi semakin cepat. Suara keras akibat benturan pantat Frida dengan paha Laks. Sihombing, kini kembali bergema di ruang yang tidak seberapa besar itu. Sambil sesekali ditingkahi teriakan Frida yang meminta ampun merasakan nikmat gesekan kemaluan Laks. Sihombing dengan liang kewanitaannya.
"Laks, arghh... aku mau keluar lagi,” rintih perempuan cantik itu. Di depan dadanya, tangan Laks. Sihombing bergerak pelan meremas-remas payudaranya yang bulat dan besar.
”Aku juga bentar lagi, Kolonel... kita sama-sama yah?" balas Laks. Sihombing dengan suara sedikit gemetar menahan rasa nikmat yang menggunung. Dengan dua jari ia jepit puting Frida yang menonjol indah dan dipilin-pilinnya mesra.
"Uughh... honey, aku sudah nggak tahan... ayo, sayang... lebih cepat, lebih cepat lagi, sayang... oughh!!" Frida berteriak keras sambil menghentakkan pinggulnya kuat-kuat, membuat penis Laks. Sihombing menancap makin dalam di liang vaginanya, bahkan serasa menembus hingga ke mulut rahimnya.
Tak sampai satu detik, tubuh perempuan cantik itupun bergetar dan... seer, seer, seer, cairan kewanitaannya membanjir keluar membasahi lubang vaginanya yang sempit, bercampur dengan sperma Laks. Sihombing yang menyusul tak lama kemudian. Frida langsung terkulai lemas, tubuhnya ambruk terbaring dalam keadaan telanjang bulat di atas dada Laks. Sihombing, sungguh indah dan mulus sekali. Laks. Sihombing segera memeluknya mesra, terasa liang senggama perempuan cantik itu masih kembang kempis memijit batang penisnya yang kini mulai melemas secara perlahan-lahan.
"Terima kasih, Kolonel, sudah memberi kepuasan kepadaku." ucap Laks. Sihombing di telinga Frida.
”Sama-sama, Laks... aku juga puas sekali!” sahut Frida sambil bangkit dan turun dari sofa. Ia lalu memunguti pakaiannya dan mulai mengenakannya kembali.
”Mau kemana?” tanya Laks. Sihombing, tampak sedikit keberatan.
”Mereka pasti sudah siap sekarang, aku mau melihat sebentar.” Frida mengaitkan kancing BH-nya, dibiarkannya tangan Laks. Sihombing yang mengelus-elus paha mulusnya karena ia memang belum mengenakan celana.
”Tinggallah sebentar, kamu tidak ingin mengulanginya lagi?” dengan dua jarinya, Laks. Sihombing mencolek lubang kewanitaan Frida. Dia mendapati ada sperma dan cairan bening lengket di lorongnya yang sempit.
”Auw! I-itu bisa ditunda, Laks. Aku pasti kembali.” Frida menyingkirkan tangan laki-laki itu. Lalu setelah mengenakan celana dan meyakinkan kalau bajunya sudah rapi, iapun pergi meninggalkan ruangan.
”Jangan lupa, kutunggu disini.” seru Laks. Sihombing sebelum Frida menutup pintu. Wanita itu cuma memberinya senyuman sebagai jawaban.
***
02.34 WIB
Pengangkutan barang masih berlangsung, salah satu yang paling penting adalah pengisian bahan bakar untuk mesin diesel, juga sebuah kabel raksasa untuk mengisi aki baterai. Pun begitu, Komodor Mahan mengumpulkan semua orang yang akan ikut di dalam pelayaran dalam sebuah apel. Semuanya, tanpa kecuali, dari pelaut, marinir, bahkan orang sipil termasuk tim NewsTV. Ternyata pula, NewsTV bukanlah satu-satunya orang sipil dalam pelayaran ini. Ada satu orang lagi yang ikut, yaitu seseorang yang bernama Ridwan Juhari. Tidak ada yang tahu siapa orang ini, tapi dia sendiri mengaku bahwa ia adalah seorang anggota Staff dari Komisi I DPR yang memang ingin mengikuti pelayaran KRI Antasena.
Sudah 5 jam lebih persiapan, tapi belum ada tanda-tanda kapal selam bakal segera berlayar. Baru beberapa awak yang sudah siap di dalam kapal, tapi awak lainnya masih di luar, termasuk Komodor Mahan. Petugas memeriksa barang-barang yang dimasukkan dengan amat teliti sekali. Waktu menunggu itu digunakan oleh para awak untuk bercengkerama. Laksma. Mahan akhirnya mendekati Lucia, yang disambut dengan senyum takzim.
“Nona Lucia,” sapa Laksma. Mahan.

“Komodor,” balas Lucia.

“Laksamana Sihombing meminta saya untuk menjaga Anda, karena suami Anda adalah teman Beliau,” kata Laksma. Mahan, “dan saya berjanji untuk itu,”

“Terima kasih, Komodor,” kata Lucia.
Laksamana Pertama Dino Mahan adalah orang yang baik dan gentleman, setidaknya itu menurut penilaian awal Lucia. Ia termasuk salah satu perwira muda dengan masa depan cerah di Angkatan Laut. Terkenal juga karena cukup perlente dengan dagu belah dan kumis tebal yang selalu rapi. Well, mungkin jika Lucia tidak menikah dan tidak sangat mencintai Alex, dia mungkin bakal mempertimbangkan perwira ganteng ini. Pada saat itulah, Frida kembali mendekati mereka berdua.
“Sekarang mereka tanggung jawabmu, Laksamana,” kata Frida dengan nada yang dingin.

“Jangan kuatir, Kolonel,” kata Laksma. Mahan, “aku akan menjaga mereka dengan baik,”

“Mungkin juga kamu perlu mengikatnya, Laksamana,” kata Frida, “aku tidak pernah percaya dengan orang pers, terutama setelah kejadian tadi,”

“Aku tahu bagaimana memperlakukan mereka, Kolonel!” sahut Laksma. Mahan dengan nada tinggi, “aku tidak memerlukan seorang Intelejen yang mengawasiku setiap saat!”

“Mungkin kamu memang perlu, Laksamana,” kata Frida sambil tersenyum sinis, lalu melangkah menjauh.
Lucia melihat ketika Frida melangkah menjauh. Dalam hati, Lucia merasa takut dengan wanita ini, entah kenapa.
“Sikapnya memang tidak pernah halus,” kata Laksma. Mahan.

“Anda mengenalnya, Laksamana?” tanya Lucia.

“Hanya dari nama… Kolonel Frida, itu saja,” kata Laksma. Mahan, “aku tidak tahu siapa nama belakangnya, atau apakah dia memang memilikinya; atau apakah nama Frida itu adalah nama aslinya,”

“Misterius, yah?” tanya Lucia.

“Begitulah adanya orang Intelejen, Nona,” kata Laksma. Mahan, “tapi yang pasti, kalau aku harus menggantungkan nasibku pada seseorang, aku mungkin akan lebih aman untuk menggantungkannya pada dia,”
***
03.33 WIB
Akhirnya semua awak diperintahkan untuk masuk ke dalam kapal selam. Begitu pula Lucia dan segenap timnya. Seorang kelasi dengan sigap menunjukkan kabin tempat mereka akan tidur di kapal ini. Orang-orang masih berlalu-lalang di koridor-koridor yang sempit, karena proses pemuatan dan penataan memang belum selesai. Untunglah tadi Lucia sudah mewanti-wanti untuk membawa barang bawaan seperlunya saja, karena memang tidak ada banyak tempat di kapal ini.
Lucia dan Erika ditempatkan di satu ruangan kabin, sementara Reza dan Iwan di kabin lainnya, berseberangan dengan kabin Lucia dan Erika. Namun yang disebut kabin itu, jangan dianggap seperti kamar yang nyaman di hotel. Hanya ada ruangan seluas 2 x 2,5 x 2,5 meter, dan dua tempat tidur sempit yang disusun bertingkat. Untuk perabotan hanya ada semacam meja logam dan kursi bundar sebuah, yang sudah cukup memenuhi ruangan, sementara untuk barang-barang bisa diletakkan di kompartemen bawah tempat tidur. Bahkan tempat tidur di kamar Lucia pun lebih lega daripada seluruh ruangan kabin ini! Kabin itu sendiri bahkan hanya ditutup oleh sebuah korden, tidak ada pintu. Lampu utama kabin sudah memadai untuk menerangi seluruh kabin, plus masih ada lampu baca yang lebih redup di tiap-tiap tempat tidur.
“Wah, gila, kayak kandang sapi gini yah, luasnya,” canda Iwan.

“Awas, ntar kalian jangan macem-macem, yah!” ancam Erika, mengingat tidak ada pintu untuk kabin.
Lucia hanya tersenyum. Dari referensi milik Alex, ia tahu bahwa privasi adalah barang yang amat mahal bagi awak kapal selam. Semua awak kapal selam harus rela berbagi tempat untuk segalanya. Masih untung mereka tidak harus tidur di ruang mesin, dapur, atau ruang torpedo. Tapi pastinya, ada juga awak yang harus tidur di sana.
“Diterima saja lah,” kata Ridwan Juhari, orang sipil lain yang ikut dalam pelayaran ini. Kabin Ridwan juga tidak jauh dari kabin anak-anak NewsTV. Namun tadi Ridwan sudah berkeliling dan melihat kabin-kabin lain, dan insyaf bahwa kabin mereka masihlah lebih baik.
“Setidaknya kamar mandinya mencukupi,” tambahnya lagi.
Kamar mandi memang ada di beberapa spot di kapal selam ini. Besarnya kamar mandi ini kira-kira ya sebesar sebuah shower box biasa. Air nanti dibawa oleh sebuah pipa dan disiramkan dari atas. Tidak ada opsi untuk air hangat di sini, bahkan gantungan untuk baju pun tidak begitu mencukupi. Untuk fasilitas kakus, ada semacam box-box toilet seperti di mal-mal, kecil tentu saja; tapi yang membuat tidak nyaman adalah pintunya yang hanya menutupi bagian tengah toilet (juga berlaku bagi pintu kamar mandi). Lucia dan Erika sudah bersepakat bahwa misal mereka hendak mandi atau ke toilet, maka tidak boleh bersamaan, dan salah satu harus menjaga di luar, mengingat suasana cukup kurang nyaman apabila mereka adalah wanita. Komodor Mahan berjanji untuk memasukkan hal ini dalam catatan, mengingat AL sudah cukup banyak menerima personel wanita, dan siapa tahu beberapa diantara mereka akan ditempatkan sebagai personel kapal selam pula.
“Anda koq bisa ikut di sini, Pak Ridwan?” tanya Erika.

“Yah, perintah dari atas,” kata Ridwan, “DPR mau tahu, jadi apa uang rakyat yang selama ini mereka kucurkan untuk proyek ini,”
Erika seperti biasa mencatat semua hal yang menarik di sini. Terlepas dari semuanya, bagi Erika sendiri, pengalaman naik kapal selam adalah pengalaman perdana baginya. Lucia malah tidak begitu tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Ridwan. Pikirannya lebih melayang pada suami dan anaknya yang menunggu di rumah.
“Saran saja, berhubung pekerjaan belum selesai, mending untuk sementara kita di kabin dulu yah, daripada nggangguin mereka yang kerja,” kata Ridwan.
Saran yang bagus.
***
04.19 WIB
Pekerjaan pemuatan sudah selesai setengah jam yang lalu, dan awak kapal sudah siap, selang bahan bakar dan kabel untuk mengisi listrik sudah dicabut, juga mesin mulai dinyalakan, tapi belum ada tanda-tanda kapal akan berangkat juga. Lucia, Erika, dan Iwan sudah berada diconning-tower bersama dengan Laksma. Mahan dan beberapa perwira kapal selam lainnya. Reza memilih tinggal di dalam kabin, karena lebih hangat di dalam sana. Ridwan pun tak terlihat di atas geladak kapal ini.
Sebagian awak kapal memang sudah naik ke geladak. Mereka bersiap untuk apel pelepasan kapal selam, sekalipun belum ada aba-aba kapan kapal selam boleh berangkat. Hanya sebagian kecil saja kru yang ada di dalam kapal selam, antara lain kru bagian mesin, perwira radar, perwira sonar, perwira radio, dan mualim kapal, di samping beberapa teknisi yang bersiap di titik-titik vital. Iwan pun menyiapkan tripod untuk merekam suasana pelepasan dari atas conning-tower. Di dok, Dito juga bersiap melakukan pengambilan gambar terakhirnya, yaitu suasana pelepasan dari atas dek. Untuk sementara ini, kamera Iwan dan Dito masih dikendalikan dari darat, dan inilah liputan terakhir dari tim NewsTV, karena sehabis ini, semua peliputan bakal baru bisa diambil hasilnya nanti setelah Lucia dkk sampai di tujuan akhir.
Semua tegang menunggu aba-aba berangkat. Mengapa belum juga? Lucia mungkin tahu apa sebabnya. Dari tadi Lucia merasa melihat pesawat yang terbang lalu-lalang tiap interval waktu tertentu. Mata yang tak terlatih mungkin tak bakal bisa mengetahui pesawat itu yang terbang di kegelapan malam. Lucia tidak tahu pesawat jenis apa itu, tapi kemungkinan itu adalah pesawat intai dari TNI-AL; mungkin sebuah CN-235, Twin Otter, Boeing 737, atau bisa juga pesawat intai amfibi terbaru yang baru dibeli dari Russia, Beriev Be-200. Yang manapun, pesawat itu terbang cukup senyap. Lucia yakin bahwa pesawat itu pasti tengah melakukan pengintaian untuk jalur laut yang akan dilalui oleh kapal selam KRI Antasena. Walaupun berlayar di perairan sendiri, tak ada salahnya berjaga-jaga. Dugaan Lucia ini diperkuat bahwa kadang-kadang Komodor Mahan melihat ke angkasa yang hitam sambil berharap-harap cemas.
Kontak radio pun terdengar, dan Laksma. Mahan menarik nafas lega. Itu hanya berarti satu hal, perintah jalan sudah diberikan! Lucia pun lalu memberi isyarat kepada kedua kameramen untuk bersiap melakukan perekaman. Erika kali ini bertindak sebagai pengarah, dan memberi aba-aba kepada Lucia untuk mulai peliputan. Lucia menarik nafas sejenak untuk mengatur diri. Ia kini memakai topi kap yang bergambarkan KRI Antasena, ini adalah bonus bagi semua awak kapal, termasuk Lucia dan para tim NewsTV yang saat itu ikut.
Bendera Merah Putih dan Panji Angkatan Laut pun dikibarkan di tiang bendera kapal selam. Para pelaut di geladak mengambil sikap sempurna. Perwira pangkalan di darat memberikan salut di tepi dermaga kepada Laksma. Mahan dan jajaran perwiranya. Marching band pun memainkan lagu untuk mengiringi kepergian kapal selam ini. Setelah tali penambat ditarik ke darat, perlahan-lahan, kapal pun mulai bergerak. Erika akhirnya memberi isyarat “mulai”.
Lucia berdehem sejenak, sebelum akhirnya mulai membacakan lead-in kembali.
“Pemirsa, saat ini saya sedang berada di atas conning-tower dari kapal selam KRI Antasena. Tidak lama lagi, kapal selam yang menjadi kebanggaan dari TNI AL ini, dan juga kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia, akan bersiap meninggalkan pelabuhan untuk memulai pelayaran pertamanya. Saya akan ikut dalam kapal selam ini selama pelayaran perdananya, dan akan melaporkan kembali kepada pemirsa semua sesampainya di tujuan akhir pelayaran ini nantinya. Semoga, kapal selam berteknologi canggih ini bisa meningkatkan kekuatan dari TNI AL kita dalam menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Lucia, melaporkan untuk NewsTV”.
Erika mengangkat kedua jempolnya sehingga bisa dilihat baik oleh Lucia maupun oleh tim di darat. Iwan dengan segera mengirimkan sinyal gambar yang barusan diambilnya kepada tim di darat. Nantinya, gambar ini akan diolah dan disampaikan kepada pemirsa di rumah (setelah melalui proses edit tentu saja). Elman, Dito, dan Adnan lalu melambaikan tangan, memberi salut kepada Lucia dkk., yang kini bergerak semakin menjauh.
Sebagian awak kapal di geladak langsung masuk kembali ke dalam kapal selam setelah meninggalkan pangkalan. Hanya beberapa orang yang tersisa di conning-tower, yaitu Komodor Mahan, Perwira Eksekutif (XO) Letkol. Ari La Masa, kelasi yang bertugas di menara pengamatan, juga Lucia dan Iwan, yang masih merekam. Erika sudah masuk ke dalam kapal untuk ganti merekam kegiatan di dalam kapal. Lucia sendiri hanya ingin berada di atas conning-tower ini untuk melihat langit.
Hingga beberapa lama, KRI Antasena hanya bergerak perlahan saja di permukaan air, dan kini sudah sepenuhnya meninggalkan pangkalan. Sebuah pesawat kembali terlihat di kejauhan, kali ini lebih jelas meskipun Lucia belum bisa mengidentifikasi pesawat jenis apa itu. Pastinya sih pesawat itu akan menjadi mata udara KRI Antasena sebelum akhirnya kapal ini menyelam. Angin laut pagi pun menghembus wajah Lucia dan membuat rambutnya berkibar. Di ufuk timur, langit sudah mulai berwarna jingga, dan sinar mentari pun mulai mengintip dari balik cakrawala. Sejenak Lucia mengamati keindahan alam yang terpampang di hadapannya, menjadi satu dengannya, dan tiba-tiba teringat kembali dengan keluarganya di rumah.
Lucia mengeluarkan HP-nya dan melihat, rupanya sudah ada sinyal lagi, tapi terlalu lemah dan tidak stabil. Kapal ini kini berada di tengah laut, di suatu titik di Selat Madura. Lucia belum bisa menentukan, apakah kapal ini menuju ke timur ke Selat Bali, atau ke utara untuk masuk ke Laut Jawa. Bahkan untuk bayangan daratan yang mulai terlihat di kejauhan pun, Lucia tidak bisa menentukan, mana yang merupakan daratan Pulau Madura dan mana yang Pulau Jawa. Lucia membuka album foto di dalam HP-nya itu, dan tersenyum melihat foto-foto suami dan anaknya, meskipun paling banyak adalah foto Lani.
Ia pun lalu membuka satu file video. Ini adalah file ketika mereka berwisata bersama di Pantai Ancol, hanya beberapa hari setelah Lucia dan Alex menikah. Lucia yang merekam semua ini dengan HP-nya, dan ia mengingatnya dengan amat jelas. Mereka ada di laut pinggiran, dan Lani bermain-main bersama Alex dengan Lucia merekam kegiatan mereka.
“Lani, kasih salam ama Mama,” kata Alex pada Lani.

“Halo, Mama!” kata Lani sambil memberi sebuah ciuman jauh di muka lensa kamera.

Lalu terdengar suara tawa Lucia menyambut sambutan Lani. Karena tidak berada di hadapan kamera, maka suara Lucia terdengar agak lirih.

“Mama ikutan main dong,” kata Lani.

“Mama lagi ngerekam, sayang,” kata Lucia, terdengar sedikit kabur.

“Ayo Mama ikut!”
Alex pun ikut-ikutan menyemangati.
Alex segera mencipratkan air ke arah Lucia, terdengar suara teriakan Lucia, dan lensa pun menjadi penuh titik-titik air, terdengar kembali Lucia pun tertawa.
“LEX!!” jerit Lucia.

“Makanya turun sini…. Hahaha…” ejek Alex.

“Iya, Mama turun…” kata Lani sembari mencipratkan air pula.

“Awas, ya! Tungguin, Mama ke sana!” kata Lucia sambil tertawa.
Rekaman terhenti. Lucia tahu apa yang terjadi kemudian, pastinya mereka bertiga lalu bermain di air hingga sore. Agak aneh juga, bulan madu sambil mengajak anak, tapi Lucia menikmatinya. Apalagi Lani juga anak yang pintar, terima kasih berkat didikan almarhum ibunya. Air mata pun menitik di pipi Lucia, ia rindu Alex dan Lani. Ia pun mencium dalam foto mereka berdua di layar HP-nya.
“Keluarganya?” tanya Laksma. Mahan tiba-tiba.

“Eh, oh iya,” kata Lucia sambil buru-buru menghapus airmatanya.

“Pasti berat meninggalkan mereka, yah?” tanya Laksma. Mahan.

“Begitulah, padahal sering liputan keluar juga,” kata Lucia, “anda punya anak, Laksamana?”

“Ada, dua, laki-laki semua,” kata Laksma. Mahan.

“Wah, pasti rame, yah?” tanya Lucia.

“Betul sekali, nakal-nakal soalnya…” kata Laksma. Mahan sambil tertawa, “tapi setidaknya aku hanya perlu kuatir soal dua cowok ini, dan bukan dua lusin cowok di luar sana,”

“Anda menyindir saya, yah?” tanya Lucia.

“Anaknya perempuan?” tanya Kdr. Mahan.

“Iya, satu-satunya,” jawab Lucia.

“Pasti secantik ibunya dan sepintar ayahnya,” kata Kdr. Mahan.

“Terima kasih, Laksamana,” kata Lucia sambil tersenyum, “Anda kenal suami saya?”

“Hanya mendengar namanya saja,” kata Kdr. Mahan, “juga peran suami Anda pada Pertempuran di Selat Ombai; Laksamana Sihombing tampaknya menghargai suami Anda dengan sangat tinggi, dan saya merasa amat terhormat bisa menjaga istrinya di kapal ini,”
Lucia kembali tersenyum takzim. Apa mungkin karena suaminya, maka semua peliputan NewsTV di Angkatan Laut bisa lumayan lancar? Laksma. Mahan dan Lucia pun lalu melihat ke langit.
“Matahari yang terbit di balik cakrawala sungguh indah,” kata Laksma. Mahan.

“Iya,” jawab Lucia.

“Anda pernah melihat matahari terbit dari atas kapal sebelumnya?” tanya Laksma. Mahan.

“Saya kelahiran Ternate, laksamana,” kata Lucia, “di waktu kecil, saya sering sekali naik kapal hingga ke seluruh Maluku, tapi dari kapal perang baru kali ini,”

“Terberkatilah Anda, Nn. Lucia,” kata Laksma. Mahan.

“Tapi, sebenarnya, kalau aku melihat matahari terbit begini, saya teringat pada suami saya,” kata Lucia, “dia yang betul-betul mencintai dunia maritim, tapi belum pernah sekalipun naik kapal dan merasakan keindahan berlayar dengan betul-betul, apalagi dia ingin sekali bisa naik kapal perang,”

“Dia pasti orang yang hebat,” kata Laksma. Mahan, “pasti akan ada kesempatan suatu hari nanti; siapa tahu setelah pelayaran ini, akan saya bilang kepada Laksamana Sihombing untuk membawa kalian kapan-kapan berlayar dengan kapal perang,”

“Anda baik sekali, Laksamana,” kata Lucia, “terima kasih,”
Tiba-tiba sebuah sinyal menyala. XO Letkol. La Masa pun memberitahukan kepada laksma. Mahan bahwa kapal selam sudah siap untuk menyelam. Buru-buru semua orang pun masuk ke dalam kapal selam. Cahaya pagi sudah terlihat ketika Lucia masuk ke dalam, dan ketika ia melihat ke atas, ke arah palka, ia bisa merasakan kehangatan cahaya pagi; yang terasa seperti seolah-olah ini adalah terakhir kalinya untuk dia, sebelum akhirnya semua gelap karena palka ditutup. Sirine dalam kapal berbunyi beberapa kali dengan keras; dan dari luar, terlihat bahwa perlahan-lahan kapal KRI Antasena mulai masuk ke dalam air, kemudian sejenak kemudian menghilang seluruhnya dengan hanya meninggalkan buih putih di laut.
BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment

Musim Panas di Los Angeles - 3

  Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sa...