Cerita diambil dari LAUT BIRU karya stuka1788 di forum
Kaskus. Sexscene oleh kaskus-addict
Chapter II: The Omen
Washington DC
Pentagon
Jenderal Al McKenna masih termenung sambil menghadapi
file-file CIA soal kapal selam tempur terbaru yang dimiliki oleh Indonesia.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, masalah Indonesia menjadi hal yang paling
sering dikhawatirkan oleh Al McKenna. Setelah Presiden Hariman Chaidir naik
jabatan, kekuatan militer Indonesia
jelas-jelas telah dibangun dengan tingkat yang cukup signifikan.
Hariman Chaidir adalah lulusan Lemhanas dalam Bidang
Kelautan, dan ia sempat menjadi atase di Moskow dan Beijing, dan dengan naiknya
dia sebagai presiden, otomatis merintis kerjasama yang cukup intensif dengan
kedua negara itu. Sebelum menjadi presiden, Hariman Chaidir juga pernah
mempublikasikan cita-citanya untuk membangun kekuatan dan potensi maritim Indonesia
menjadi aspek yang kuat dan profesional. Kapal Selam ini, pastinya adalah salah
satu mercusuar Presiden Chaidir juga. Atau mungkin juga ini dipicu oleh
Amerika?
Dua tahun lalu, AL AS berhasil membuat sebuah kapal perang
bertipe LCS (Littoral Surface Combatant), menyamai korvet, yang dibangun dengan
konsep trimaran. Kapal ini hanya memiliki satu tugas, yaitu untuk memburu dan
menghancurkan kapal selam lawan. Untuk itu, ia pun dilengkapi dengan
senjata-senjata dan sensor untuk menunaikan tugasnya itu. Nama sandinya adalah
“Calypso”. Dioperasikannya kapal ini amatlah sangat efektif, karena ketika
versi patrolinya yang dioperasikan oleh US Coast Guard berhasil menangkap dan
menghancurkan puluhan kapal selam mini pembawa heroin yang digunakan oleh
kartel narkotik Amerika Selatan. Tapi itu baru kesuksesan versi sipilnya.
Versi militer dari
kapal ini malah lebih banyak mendatangkan masalah, justru karena dipandang amat
efektif. Oleh karena itu,
Pentagon memutuskan untuk “meningkatkan” kemampuan kapal ini, yaitu dengan cara
menambah rudal permukaan Tomahawk, yang bisa menghantam sasaran darat dari
jarak yang cukup jauh. Selain itu, kapal ini juga diproyeksikan bisa untuk
keperluan pengangkutan pasukan komando ke wilayah-wilayah musuh, memanfaatkan
sifat silumannya. Israel, sekutu utama Amerika Serikat, yang mendapatkan
konsesi pemakaian pertama kali, langsung saja merasakan kehebatan kapal ini,
dan membombardir wilayah Lebanon yang dicurigai sebagai markas gerilyawan
Hizbullah dari tengah laut, jauh dari jangkauan roket-roket Grad maupun Quds
milik Hizbullah; di samping beberapa kali juga Pasukan Komando Israel, Sayeret
Matkal, keluar masuk wilayah Lebanon, Mesir, Syria, dan Palestina dengan
memanfaatkan kapal ini, yang belum bisa ditangkal oleh kapal-kapal lawannya.
Australia, sekutu Amerika Serikat di Selatan, pun
mendapatkan senjata baru ini. Nah, di sinilah Indonesia merasakan ancaman dari
kehadiran kapal-kapal LCS ini. Saat itu, belum ada 5 bulan Indonesia baru saja
membentuk Satuan Tugas Kapal Selam (Satgassel), yang nantinya akan dikembangkan
menjadi Komando Armada Bawah Laut (Koarbal), dengan kekuatan 5 buah kapal selam
jenis KSPR. Amerika Serikat terkejut pertama kali memergoki kapal selam ini,
karena bentuknya mirip sekali dengan U-Boat Jerman di Perang Dunia II, yaitu
Type VIIB, type yang digunakan oleh Korvetten Kapitan Günther Prien untuk
membobol Scapa Flow. Dahulu, oleh Großadmiral
Karl Dönitz, kapal selam type ini dinilai cocok untuk mengarungi Samudera
Atlantik yang ganas (dan memang terbukti), jadi bagaimana sekarang?
Amerika Serikat memang mencurigai bahwa rancangan dari kapal
selam ini diberikan oleh Jerman (yang mana ini dinilai melanggar perjanjian
kalah perang pada 1945), meskipun secara jelas memang diberitahukan bahwa kapal
selam ini dibuat oleh PT PAL bekerjasama dengan galangan kapal Wilhelmshaven di
Jerman, namun Amerika menduga bahwa Jerman “sudah memberikan lebih banyak dari
yang seharusnya”. Apalagi, meskipun bermuka lama, tapi sejumlah teknologi baru
membuat kapal selam ini cukup mematikan. Taruhlah mesin diesel efisiensi tinggi
buatan PT Texmaco (Tex-M1A1) yang setara dengan mesin diesel MAN buatan Jerman,
baterai yang lebih tahan lama, serta yang paling menakutkan adalah torpedo
buatan dalam negeri PTDI SUT Mark XIII yang kedigdayaannya nyaris menyamai
torpedo canggih dari Amerika Serikat. Hebatnya lagi, apabila dulu U-Boat
diawaki oleh 100 orang, maka kapal selam KSPR ini cukup dengan 20 orang saja,
berkat telah diotomatisasinya sebagian besar sistem di kapal selam ini.
Meskipun hanya mengangkut tidak lebih dari 10 torpedo saja, tapi kapal selam
ini jelas cukup cepat dan menjadi ancaman bawah air yang cukup menakutkan bagi
negara-negara sekitar, meskipun konsep KSPR ini adalah sebagai pengawalan
hingga wilayah terluar ZEE Indonesia.
Sebagai tetangga, tentu saja Australia mengamati terus
perkembangan Armada Bawah Laut ini. Tidak lebih dari 3 bulan kemudian, 5 kapal
selam KSPR baru pun diterima oleh TNI-AL, ditambah 3 buah yang masih dalam
tahap produksi. Pun pada saat yang sama, TNI AL juga membeli 4 buah kapal selam
pemburu kelas Kilo dari Russia dan 2 buah DSME-412 dari Korea Selatan. Ini serta
merta membuat Indonesia memiliki kekuatan kapal selam terhebat di Asia
Tenggara. Oleh karena itu, Australia pun buru-buru mengadopsi kapal-kapal
“Calypso” di jajarannya. Nah, di sinilah awal kekusutan itu berawal…
Saking merasa
terancamnya, Australia pun memaksa untuk menempatkan hingga 10 kapal “Calypso”
pengembangan terbaru di pangkalan mereka di Timor Leste. Langkah ini tentu saja
dikecam oleh Pemerintah RI, karena kapal-kapal itu memiliki kemampuan untuk
menembakkan rudal jelajah ke titik manapun di wilayah RI sekitar pangkalannya,
maupun menyusup untuk memasukkan pasukan khusus ataupun intelijen. Beberapa
kali RI mengajukan nota protes kepada pemerintah Australia, tapi tidak pernah
ditanggapi, hingga akhirnya Presiden Chaidir pun memutuskan untuk memperkuat TNI
AL dengan kapal yang “lebih hebat dari Calypso”. Maka dari sinilah
Proyek Antasena muncul.
Jenderal Al McKenna
pun menarik nafas dalam-dalam. Antasena sudah jadi dibuat, benarkah ini adalah
kapal selam terhebat itu? Siapa yang akan menang apabila ditandingkan antara
KRI Antasena melawan kapal Calypso? Jenderal Al McKenna pun berpikir sejenak
sebelum ia mengangkat telepon. Ia sadar betul, apa yang akan ia katakan di
telepon nantinya, pasti akan diteruskan dan direspon dengan cepat kepada
Angkatan Bersenjata Australia.
***
Jakarta
Rumah Alex
Rumah Alex
10.30 pm
Lucia membetulkan
kacamatanya sambil membaca dengan serius referensi-referensi yang bakal
berkaitan dengan tugasnya. Baru setelah Lani tidur, malam-malam begini,
kegiatan itu bisa ia lakukan, karena tadi ia sibuk membantu Lani mengerjakan
PR-nya. Walaupun bukan anak kandungnya sendiri, tapi Lucia menyayangi Lani
dengan sebesar-besarnya, karena sejak Lani masih kecil, Lucia juga sudah
mengenalnya. Lucia lah yang membantu persalinan Lani, dan setelah itu ia berteman
dekat dengan Wina, istri Alex yang pertama, dan mulai saat itu juga ia amat
dekat dekat Lani, karena dengan suami sebelumnya, Ben, Lucia tidak memiliki
anak.
Mungkin ini juga
karena selama 6 tahun perkimpoiannya dengan Ben tidak pernah harmonis dan Lucia
lebih sering menderita daripada bahagia selama perkimpoiannya itu. Bahkan
dengan adanya Lani, Lucia juga tidak begitu mempedulikan, apakah nanti ia
dengan Alex bakal punya anak atau tidak (selama menikah dengan Ben, Lucia acap
dicap mandul oleh mantan suaminya itu akibat tidak hamil juga meskipun sudah
cukup lama), toh Alex menerima keadaan Lucia apa adanya, juga ada Lani yang
selalu akan menjadi anaknya, pun Alex tak pernah memaksanya, hal-hal yang tidak
pernah ia dapatkan dari Ben.
Rupanya Alex memiliki
koleksi buku dan majalah yang banyak dan menarik sekali. Semua disusun
membentuk sebuah perpustakaan pribadi, peninggalan dari Wina. Rata-rata adalah
buku mengenai militer, strategi, memoir, dan peralatan perang; mulai dari
darat, udara, tapi mayoritas adalah mengenai matra laut, dan beberapa referensi
membahas mengenai kapal selam. Lucia sudah membaca referensi ini semenjak
kemarin, bahkan sampai ia bawa ke kantor dan membacanya setiap waktu, ini
supaya ia bisa mendapatkan gambaran jelas bagaimana nanti kehidupan di dalam
kapal selam, karena Lucia akan mengikuti KRI Antasena sebagai salah satu
awaknya selama seminggu.
Ternyata, Lucia
menemukan bahwa meskipun kapal-kapal selam modern sudah dilengkapi
peralatan-peralatan untuk membuat awaknya merasa lebih nyaman, secara umum,
kualitas kehidupan para awak kapal selam di bawah air nyaris tidak berubah
semenjak kapal selam modern pertama kali diluncurkan hingga kini. Sebuah
kehidupan yang amat keras, dan kadang jarang bersentuhan dengan sinar matahari
secara langsung, di samping tentu saja, harus hidup berdesak-desakan di ruangan
sempit dengan awak kapal yang lain, dan juga tidur ditemani dengan torpedo,
yang walaupun aman, tetap saja mengandung resiko.
“Makan pagi” akan
disajikan pada waktu menjelang maghrib, lalu “makan siang” diberikan sekitar
jam 10 malam, dan “makan malam” bisa-bisa dilakukan pas tengah malam; karena
siang hari lebih digunakan untuk istirahat. Apalagi dalam keadaan siaga perang,
kapal selam akan menyelam sepanjang hari, dan selama itu awaknya dilarang
melakukan gerak badan yang tidak perlu, bahkan untuk berbicara pun harus
berbisik, karena laut bisa menghantarkan bunyi pembicaraan antar awak di kapal
selam, yang mana apabila didengar musuh, adalah alamat kematian, karena sekali
kapal selam terkena torpedo atau mengalami kecelakaan fatal, hampir dipastikan
tidak bakal ada kesempatan untuk menyelamatkan diri!. Betul-betul kehidupan
yang amat keras.
Di hadapan Lucia,
selain buku, juga ada sebuah stopmap tanpa hiasan atau tulisan apapun di
sampulnya. Namun Lucia tahu bahwa semua orang pasti rela membayar dengan emas
untuk apa yang ada di dalamnya. Yah, itu adalah manifest yang diberikan oleh Angkatan
Laut hanya kepada Alex dan siapapun nanti yang akan melakukan peliputan di KRI
Antasena. Isinya antara lain adalah spesifikasi singkat KRI Antasena, proses
kronologis pengerjaan, tapi tidak ada lagi spesifikasi-spesifikasi penting
lainnya, seperti berapa kedalaman maksimum, kecepatan berlayar, jumlah kru
maksimum, hingga persenjataan apa yang bisa dibawanya. Pihak Intelijen AL
betul-betul berusaha mengantisipasi semua kemungkinan sepertinya.
Lucia menjerit kecil
ketika suaminya tiba-tiba sudah berada di belakangnya dan mendekapnya dari
belakang. Tahu-tahu juga, Alex sudah melayangkan ciuman-ciuman di sepanjang
pangkal leher dan pundak Lucia, membuatnya kegelian. Satu hal lagi yang Lucia
pelajari adalah bahwa kehidupan intim antara Alex dengan Wina tidaklah melulu
monoton seperti pasangan biasanya. Alex dan Wina dahulu bukanlah jenis pasangan
yang sering “main aman”. Sering juga mereka bercinta di waktu atau tempat yang
agak tidak lazim, hal inilah yang pada hari-hari pertama pernikahannya dengan
Lucia membuat Lucia agak shock.
Bagaimana tidak,
misal siang-siang bolong ketika Lucia sedang menyapu ruang tamu, Alex langsung
saja “menubruknya”, padahal saat itu pintu dan jendela dalam keadaan terbuka.
Sekarang Lucia sudah terbiasa, karena Alex pun tak pernah memaksa harus saat
itu juga dilakukan (jika memang Lucia saat itu tengah tidak berkenan), bahkan
boleh dibilang Lucia menikmati ketegangan yang timbul. Paling gila, dua hari
lalu, ketika ia, Alex, dan Lani pergi ke departement store untuk membeli baju,
tiba-tiba saja Alex mengajaknya “bermain” di kamar pas, dan Lani disuruh
menjadi satpam. Oh, betul-betul gila. Satu waktu yang sama sekali tidak bisa
dilanggar adalah saat bekerja, karena saat itulah biasanya Alex berubah menjadi
Alex yang dingin, seorang bos yang harus dia hormati.
“Lex! Aku lagi
belajar nih…” kata Lucia sambil tertawa kecil agak kewalahan menghadapi cumbuan
suaminya.
“Biarin…” kata Alex masih “menyiksa” istrinya itu, “emangnya sampai mana?”
“Baca-baca aja… ternyata kehidupan kapal selam menarik juga, yah…” kata Lucia.
Alex menghentikan
cumbuannya, lalu mendekap Lucia erat dan menempelkan dagunya di pundak Lucia.
Hembusan hangat nafas Alex terasa menggelitik Lucia. “Nggak semenarik
kenyataannya,” kata Alex, “kudu jadi orang kuat buat bisa jadi pelaut, apalagi
pelaut kapal selam; kudu tahan menderita…”
Lucia menjerit
kembali, karena Alex kembali mencumbu lehernya. Ah, sudahlah, kenapa
tidak? Pikir Lucia. Lucia dengan cepat segera meletakkan dokumen-dokumen itu
agak jauh dari mereka, dan ia pun segera berbalik dan menyambut cumbuan
suaminya itu. Ia gapai bagian belakang kepala Alex dan merangkul leher
laki-laki itu dengan posisi berhadapan. Bibir mereka bertemu dan saling melumat
penuh nafsu. Lucia merapatkan tubuh dan agak menekan pinggulnya sehingga penis
Alex yang tegang terasa terhimpit di pinggangnya. Bibir mereka terus berpautan
dan saling menghisap semakin keras.
Alex menarik dan
mendekap tubuh Lucia semakin erat ke dalam pelukannya. Payudara Lucia terasa
sangat lembut menempel di dadanya yang masih terlapisi oleh baju. Dia mulai
merasakan tangan Lucia bergerilya menelusuri penisnya dari luar celana panjang,
tangan itu meraba secara lembut dan sangat menggairahkan. Sementara di atas,
bibir mereka tetap bertautan satu sama lain, lidah mereka seperti terkunci di
dalam permainan gairah yang sangat panas.
”Ahh... Luz!” rintih
Alex saat merasakan jemari Lucia yang mulai membuka retseleting celananya dan lekas menggenggam
batang penisnya secara langsung. Lucia meremas dan mengocoknya pelan, membuat
benda coklat panjang itu menjadi semakin keras dan berdiri tegak. Alex juga bisa
merasakan kadang buah zakarnya dicengkram oleh jemari Lucia yang halus, yang
mana itu sangat dinikmatinya.
Namun keasyikan itu
harus berhenti sejenak. Tiba-tiba Lani lewat di seberang ruangan, berjalan cuek
dengan mata sedikit mengantuk dan satu tangan menyeret boneka teddy bear yang
ia pakai untuk menemani tidur. Alex dan Lucia melihat Lani sambil terpana.
Sepertinya Lani hendak mengambil minum, dan lampu rumah itu masih menyala
terang, sehingga Lani pasti melihat Ayah dan Mamanya ini saat tengah bercumbu.
Lani hanya menoleh sejenak ke arah mereka berdua, menggelengkan kepala sambil
mendengus panjang, lalu kembali ke kamarnya setelah selesai minum, seolah
melihat sesuatu yang biasa…
“Euleuh… si Lani…”
kata Lucia sambil tertawa.
“Biarin aja…” kata Alex sambil kembali melanjutkan aktivitasnya, ia kini sibuk mempreteli baju yang dikenakan oleh Lucia.
Lucia hanya
berpikir. Wina memang adalah seorang istri dan ibu yang luar biasa. Ia sudah
mengajarkan kepada Lani mengenai pendidikan seks semenjak kecil, hal yang
mungkin masih dianggap tabu oleh sebagian besar orang. Bagaimana Wina bisa
membagi perhatian kepada suami dan anaknya, itulah yang membuat Lucia kagum,
belum lagi jika ditambah dengan pemikiran Wina yang selalu progresif yang
kadang sering dicibir oleh orang lain.
Akibat didikan Wina
itu, maka Lani semenjak kecil memang memiliki pemahaman yang lebih baik soal
seks. Mulai dari pengenalan nama-nama organ intim, cara perawatan, falsafah
seks yang aman dan bertanggung jawab, hingga kepada bahayanya penyakit menular
seksual. Lani pun juga sering melihat dan memergoki ketika Ayah dan Ibunya
sedang bercinta, namun bukannya marah, Wina malah segera memberikan pengertian
dalam bentuk penyampaian yang mudah dipahami kepada Lani.
Lucia pun sempat
juga shock ketika dia bercinta dengan Alex lalu dipergoki oleh Lani, tapi
lama-lama ia pun terbiasa pula. Mengingat itu, Lucia merasa bahwa menggantikan
Wina sebagai istri Alex dan ibu Lani ini bagaikan menempati sepatu yang terlalu
besar; tapi sejauh ini dia sudah menjalankannya dengan baik. Wina pun pastinya
tersenyum di alam sana.
Lani sudah kembali
masuk ke kamarnya, sementara Alex dan Lucia juga sudah sama-sama telanjang di
ruang tengah. Tak berkedip Alex menatap tubuh Lucia yang putih mulus tanpa
cacat. Karena belum pernah hamil, Lucia terlihat begitu menakjubkan.
Payudaranya besar, tapi tidak terlihat turun sama sekali, bahkan cenderung
bulat dan padat. Disanalah Alex menambatkan tangannya dan mulai meremas-remas
pelan. Dikangkanginya perut Lucia yang masih kelihatan ramping dan diendusnya
leher jenjang wanita cantik itu, dijilatinya sebentar sebelum akhirnya bibirnya
mengunci rapat bibir Lucia yang merah tipis. Kembali mereka saling melumat dan
memagut satu sama lain.
”Aghh... Lex!” Lucia
telentang pasrah di atas sofa, menyerahkan sepenuhnya tubuhnya yang sintal pada sang suami. Alex
yang mengerti, terus memberinya kenikmatan sepenuh hati. Ciumannya kini turun
ke dada Lucia. Laki-laki itu memijat halus puting susunya sambil sedikit
menjilati ujungnya yang tumpul. Tentu saja perbuatan itu membuat Lucia merintih
kegelian, suara desahan mulai keluar dari mulut manisnya.
Cukup lama Alex
bermain-main disitu, terus dihisap dan dijilatinya bukit payudara Lucia yang
bulat besar, bergantian kiri dan kanan, sambil tak henti-henti ia remas dengan
dua tangan. Alex seperti ingin menikmati teksturnya yang lembut dan kenyal,
juga kehangatan dan keempukannya yang terasa sangat nyaman dalam genggamannya. Inilah
payudara ternikmat yang pernah ia rasakan setelah milik Wina. Lucia yang
menerimanya, tentu saja merintih makin keras dibuatnya. Untunglah tak lama
kemudian, Alex mengalihkan jilatan dan cumbuan itu. Mulutnya kini turun ke arah
perut Lucia.
”Aduh... Lex! Kamu
ngapain? Ughh...” Tapi alih-alih membuat Lucia diam, perbuatan Alex berikutnya
malah membuat Lucia merintih semakin keras. Secara perlahan Alex memasukkan salah
satu jarinya ke dalam vagina Lucia yang sudah sangat basah, dan mulai mengocok
perlahan disana. Dengan santainya Alex mengeksplorasi celah kenikmatan Lucia yang
tetap terlihat sempit dan terawat itu. Lucia yang menerimanya, sedikit
mengangkat pinggulnya agar jari Alex bisa masuk lebih dalam lagi. Dia baru
mengetahui kalau dikocok seperti itu ternyata nikmat sekali, itu terjadi dua
hari yang lalu saat mereka bercinta di taman belakang. Dan sekarang, begitu Alex
mengulanginya lagi, dengan cepat cairan kenikmatan Lucia mengalir deras
membasahi celah kewanitaannya, menandakan nafsu birahinya yang sudah terpancing
penuh.
Melihat situasi ini,
Alex langsung beranjak mendekatkan mulutnya pada vagina Lucia. Dengan cepat ia
jilat habis semua cairan kewanitaan itu. Sambil menghisap, Alex menggerakkan lidahnya
berputar mengelilingi klitoris Lucia yang terlihat sudah membengkak besar seperti
kacang rebus. Ia cucup benda itu kuat-kuat hingga membuat tubuh Lucia yang
tergolek pasrah di bawah tubuhnya, menggeliat nikmat di atas sofa. Tangannya
mengacak-acak rambut hitam Alex, sementara dari mulutnya terus keluar rintihan
dan desahan nikmat yang sangat merangsang birahi.
”Lex... sudah! Aduh,
geli banget!” Lucia terlihat sangat tersiksa, pinggulnya sampai menghentak
beberapa kali karena saking nikmatnya. Apalagi saat Alex menggigit biji
klitorisnya, tanpa bisa dicegah, Lucia menjerit dan mencakar bahu Alex. Melihat
keadaan Lucia yang seperti itu, bukannya berhenti, Alex malah semakin bernafsu
mengerjainya. Ia hisap lagi vagina Lucia lebih kuat, sambil lidahnya ia tusukkan
dalam-dalam ke celah sempitnya yang membanjir.
”Alex! S-sudah...
arghhh!!” Lucia menjerit keras saat Alex terus menaik-turunkan lidahnya semakin
cepat. Paha Lucia yang terbuka lebar makin memudahkan Alex untuk menggapai perbatasan
antara liang vagina Lucia dengan lubang anusnya. Alex menjilat semakin ke bawah
sampai sedikit terkena lubang anus Lucia… yang merekah kembang kempis seperti
bunga mawar.
“Ooh... Lex, s-sudah… please stop… stop… aku nggak tahan
lagi!” Mendengar perkataan itu, Alex melepas hisapannya dan bergerak pindah berbaring di sebelah Lucia.
”Gimana, kamu suka?”
tanya Alex sambil membelai mesra puncak payudara Lucia.
”Ahh… itu tadi nikmat
banget, Lex…” Lucia membalas dengan menggenggam dan mengusap penis Alex yang
menempel di belakang pinggulnya.
”Mau dilanjut?”
tanya Alex menggoda.
”Lakukan, Lex! Setubuhi
aku! Benamkan penismu sedalam-dalamnya ke dalam vaginaku… ohh!” sahut Lucia tak
tahan sambil membuka pahanya lebar-lebar.
Alex mengangguk dan mulai
bergerak di antara sepasang paha putih mulus milik Lucia. Diusapnya sebentar liang
kenikmatan Lucia yang sudah sangat basah dan lembab dengan ujung penisnya. Berbaring
di atas tubuh montok sang istri, Alex bisa merasakan jemari Lucia meraih dan
membimbing batang penisnya dengan tidak sabar.
”Luz!” Alex mendesah
saat ujung penisnya perlahan mulai memasuki celah vagina Lucia, terasa sangat
basah dan licin sekali. Alex mendorong sedikit lebih keras, dengan lancar kepala
penisnya mulai menyeruak masuk ke dalam vagina Lucia, dan dibantu dengan
tekanan sekali dorong oleh pinggul Lucia, secara cepat batang itupun amblas
seluruhnya.
”Auw... ahh!!” rintih
keduanya berbarengan sambil berciuman satu sama lain. Setelah terdiam sejenak, Alex pun mulai
menggerakkan pinggulnya. Ia gerakkan penisnya maju mundur secara perlahan, sama
sekali tidak kelihatan buru-buru. Ia seperti ingin menikmati kebersamaan ini selama
mungkin. Penetrasi yang ia lakukan terlihat begitu lembut dan penuh kasih
sayang... tapi terasa sangat indah dan cantik sekali.
“Ohh... Lex, rasanya
enak banget… sshhh!!” rintih Lucia menikmati penis sang suami yang terus keluar
masuk di lubang vaginanya. Ia mulai mengikuti irama gerakan pinggul Alex dengan
membuat goyangan ke atas dan ke bawah. Lucia juga berkali-kali mengangkat
pinggulnya tinggi-tinggi sebelum akhirnya melingkarkan kedua kakinya ke
pinggang Alex. Ia mengunci dan menggunakan pinggang Alex sebagai topangan,
seakan tidak mau laki-laki itu mencabut penisnya dalam waktu dekat.
Tidak menjawab, Alex
sedikit mempercepat tempo gerakannya. Ia tatap wajah Lucia yang cantik dan
manis, melihat ke arah matanya. Alex bisa melihat cinta yang tertuang
sepenuhnya dari dalam jiwa perempuan itu hanya untuknya seorang. Alex tersenyum
dan segera merangkul tubuh Lucia penuh rasa sayang. Ia tahan punggung Lucia
dengan lengannya. Lucia juga ikut memeluknya, seperti tidak mau terlepas satu
sama lain. Sementara di bawah, alat kelamin mereka terus mendesak dan saling
bergesek, semakin lama menjadi kian cepat dan kuat.
”Aku mencintaimu,
Luz!” bisik Alex mesra di telinga sang istri.
”Aku juga, Lex!”
balas Lucia tak kalah mesra. Suaranya mulai terdengar parau, tanda kenikmatan
orgasme yang sudah mulai merongrong tubuh sintalnya.
“Ahh… aku mau keluar, Luz!” rintih Alex merasakan jepitan vagina Lucia yang kian kencang dan ketat.
“Kita sama-sama,
Lex!” sambut Lucia dengan tubuh terkejang-kejang pelan. Tak lama, cairan
kewanitaannya menyembur deras membasahi batang penis Alex.
Alex yang
merasakannya segera merangkul tubuh Lucia dan menghadiahi perempuan cantik itu
ciuman mesra di bibir. Sambil menggeram tertahan, dia ikut melepas spermanya.
Air maninya yang begitu putih dan pekat terlontar memenuhi liang rahim Lucia,
sangat banyak dan kental sekali. ”A-aku k-keluar, Luz! Oughh...” rintih Alex
keenakan. Diremasnya payudara Lucia sebagai pelampiasan rasa nikmatnya.
Mereka terdiam
sejenak, berusaha meresapi nikmatnya orgasme yang masih melanda tubuh
masing-masing. Nafas Lucia masih terdengar berat, sementara Alex dengan
terengah-engah terus menciumi bibir dan pipinya. ”Aku sayang kamu, Luz!” bisik
laki-laki itu. ”Terima kasih.” tambahnya.
”Sama-sama, Lex. Aku
juga sayang banget sama kamu…” sahut Lucia pelan, terdengar mesra dan mendesah
di telinga Alex.
***
Lucia melihat dengan
sayup-sayup, jam sudah menunjukkan bahwa waktunya mereka harus bangun. Entah
kenapa tadi malam bagaikan episode bercinta habis-habisan, karena baik Alex
maupun Lucia bercinta dengan sangat hebat seolah-olah tidak ada lagi hari esok.
Lucia merasa badannya lemas semua, dan bekas-bekas cupangan Alex pun membekas
di hampir seluruh tubuhnya, pastinya jika Eva melihat ini, akan menjadi bahan
olok-olokan lagi.
Ia menggeliat, tapi
Alex mendekapnya dari belakang dengan amat erat, dan tampaknya Alex masih
tertidur. Lucia pun segera bangun, karena ia masih harus menyiapkan sarapan
untuk Lani disamping juga harus bersiap-siap untuk dirinya sendiri. Lucia pun
menggeliat bagaikan ulat yang hendak melepaskan diri dari kepompong, berusaha
untuk bangung, tapi tiba-tiba dia memekik pelan kembali. Dekapan Alex menguat
seolah-olah menahannya supaya tidak pergi.
“Lex! Udah pagi…”
tolak Lucia sedikit setengah hati.
“Biarin…” kata Alex sedikit ogah-ogahan.
“Kamu mau Lani telat sekolah, ya??” ancam Lucia.
Efektif, karena Alex
berhenti, tapi tiba-tiba dekapannya kembali mengencang. “Jangan pergi…” kata Alex
dengan nada penuh kekhawatiran.
Lucia termenung, ya,
karena pagi ini memang dia harus segera terbang ke Surabaya, bahkan tiket
pesawat pun sudah ia siapkan. Lucia pun dengan lembut beringsut kembali, lalu
berbalik menghadap ke arah suaminya. Ia melihat ada pancaran sinar kekhawatiran
dari mata Alex.
“Udah tugas…” kata
Lucia, “kamu sendiri kan, yang bilang supaya jangan pernah meninggalkan tugas?”
“Aku punya firasat nggak enak, kamu mending minta siapa gantiin deh…” kata Alex.
Lucia tersenyum,
lalu ia meletakkan jari telunjuknya di bibir Alex. “Sst!” kata Lucia dengan
lembut dan perlahan, “jangan takut… aku pasti pulang,”
“Gimana kalau…” kata Alex.
“Sst!” kembali potong Lucia sambil menekankan jari telunjuknya dengan lembut ke bibir suaminya. Lucia tersenyum dengan amat manis, lalu ia pun memberikan sebuah ciuman yang hangat dan dalam di bibir suaminya itu, dan dengan begitu seolah melunturkan semua kekhawatiran yang timbul.
***
Bandar Udara Juanda
Surabaya
14.09 WIB
14.09 WIB
Pesawat Boeing 737
Garuda Indonesia jurusan Jakarta-Surabaya mendarat dengan mulus siang ini di
Bandara Juanda Surabaya. Lucia tampak mengamati pemandangan dari luar jendela
kabinnya sambil melamun. Alex tidak sempat mengantarkannya ke bandara tadi,
karena Alex harus bekerja saat itu dan tidak bisa diganggu gugat. Pun, sebelum
Alex berangkat kerja, Lucia sudah memberikannya sebuah salam perpisahan yang
“menyenangkan”. Setidaknya saat itu Alex sudah tak lagi terlihat terlalu
khawatir. Tapi kini giliran Lucia yang pikirannya seolah masih tertinggal di
rumah.
Biro NewsTV Surabaya
bukanlah hal yang baru bagi Lucia. Dulu sebelum dia menikah (dengan Ben), dia
pernah ditempatkan di Biro ini selama sebulan. Tapi itu serasa
sudah lama sekali, lebih dari 6 tahun yang lampau, sepertinya. Setelah itu, ia
jarang sekali ditempatkan jauh-jauh dari Jakarta. Keadaan di Biro Surabaya ini
pastilah sudah sangat berubah, dan Lucia mendengar kini yang menjadi Kepala
Biro adalah Sumi Yang, temannya sesama reporter, tapi Sumi ini adalah salah
satu reporter senior NewsTV yang oleh Alex dijuluki sebagai “The Three
Musketeers”, tiga reporter senior terbaik yang dimiliki oleh NewsTV. Dua
lainnya ada di Jakarta, yaitu Githa dan Tascha, dan mereka berdua ada di bawah
komando Alex.
Tidak sulit bagi
Lucia menemukan liaison-officer nya di Bandara Juanda ini, karena begitu dia
masuk lobby, seseorang sudah menunggu sambil mengacungkan karton besar
bertuliskan “NewsTV-Jakarta”. Maka Lucia pun segera berjalan mendekati orang
itu. Kebetulan sekali dia seorang wanita muda. Dia pun segera mengenali Lucia
ketika Lucia berjalan mendekat.
“Mbak Lucia!” kata
wanita itu.
“Rupanya kamu toh, Erika?” tanya Lucia sambil tersenyum.
Erika adalah salah
satu junior reporter di NewsTV, dan saat ini tengah mendapat jatah penugasan di
Biro Surabaya. Apabila Lucia saat ini tingkatannya adalah “reporter grade
I”, maka Erika adalah “reporter grade III”, alias 2 tingkat di bawah Lucia.
Erika ini selalu murah senyum, wajahnya manis pula dengan kecantikan khas
wanita Tionghoa. Melihat Erika masih memakai seragam biru, sepertinya Erika
memang menyempatkan untuk menjemput Lucia di sela-sela tugasnya.
“Mari, Mbak, saya
bawakan,” kata Erika dengan ramah.
“Nggak usah lah, Rik, cuman sedikit koq,” kata Lucia.
Erika memang agak
heran karena Lucia hanya membawa sebuah tas kopor tarik biasa saja, sepertinya
kopor pakaian, tanpa ada tanda-tanda barang-barang lain. Lebih mengherankan
lagi karena hingga siang ini, Biro Surabaya juga belum menerima kiriman apapun
dari Jakarta, yang artinya semua logistik peliputan harus disediakan sepenuhnya
oleh Biro Surabaya, padahal biasanya untuk setiap penugasan seperti ini, Pusat
pasti selalu mengirimkan sesuatu, entah perlengkapan atau peralatan, yang
menyertai reporternya.
“Sumi gimana?” tanya
Lucia.
“Mbak Sumi baik-baik aja,” jawab Erika.
“Syukur deh,” kata Lucia.
“Oh ya, Mbak Lucia, kalau saya boleh tahu, ini ntar mau penugasan peliputan apa, sih?” tanya Erika.
“Pak Alex nggak ngasih tahu?” tanya Lucia heran.
Erika hanya
menggeleng saja. “Dari Pak Alex cuman kasih tahu, Biro Surabaya harap segera
membentuk tim dan menyiapkan semua tetek bengek penyiaran untuk tugas selama
seminggu penuh,” kata Erika, “tapi nggak disebutin mau peliputan apa, kapan, di
mana; emangnya ada apa sih, Mbak?”
Lucia terdiam,
apabila Alex tidak memberitahukan apa-apa kepada Biro Surabaya, maka Lucia pun
tak berhak pula tanpa izin. Ia lalu mengeluarkan HP-nya. Tidak, ia tidak
sedang ingin menghubungi Alex. Tapi Alex memberikannya sebuah nomor yang harus
segera ia hubungi secepatnya begitu ia sampai di Surabaya. Erika masih bingung
dengan apa yang terjadi.
“Halo?” sapa Lucia.
Setelah itu komunikasi lebih sering diberikan dari seberang, dan Lucia hanya
menggumam setuju saja. Tidak sampai setengah menit, telepon pun
ditutup.
“Ada apa?” tanya
Erika.
“Kita mulai nanti malam,” kata Lucia.
“Nanti malam?!!” jerit Erika kaget.
“Iya, timnya disiapin makanya,” kata Lucia, “oh ya, Erika, aku nggak usah kamu bookingin kamar hotel yah, kayaknya aku nggak bakal sempet ke hotel ntar,”
Erika lalu mengikuti
langkah Lucia sambil matanya menunjukkan pancaran sinar kebingungan.
Seumur-umur dia bekerja di NewsTV, sepertinya baru saat ini NewsTV bermain
rahasia dalam tugas peliputannya sendiri.
***
Biro NewsTV Surabaya
Ruangan Kepala Biro
15.22 WIB
Lucia akhirnya
sampai juga di kantor NewsTV Biro Surabaya, dan yang pertama-tama ia lakukan adalah
segera menghadap ke Sumi Yang, kepala Biro. Selain untuk permisi, juga karena
Erika tadi sudah mengatakan, sesampainya di Biro, Sumi memang ingin sekali
bertemu. Dan…
“Maksudmu
gimana!!??” teriak Sumi dengan cukup keras.
Lucia hanya diam
saja, tapi ia paham sekali mengapa Sumi marah, bagaimanapun, amanatnya, adalah
supaya mulutnya terus terkatup hingga “saatnya tiba”.
“Luz, kita udah
temenan lama, kan?” tanya Sumi, “masa kamu juga nggak mau bilang sih, ada apa
aku disuruh nyiapin tim peliputan? Nggak biasanya kayak gini?”
“Maaf, Mi, tapi saat ini aku nggak bisa ngomong,” kata Lucia.
“Jadi ntar itu tim aku kamu bawa juga, aku nggak bakal kamu kasih tahu soal apa?” tanya Sumi yang tampaknya masih tidak sreg dengan ide itu.
“Kalau emang udah saatnya tahu, kamu pasti aku kasih tahu,” kata Lucia.
“Kenapa nggak sekarang aja??” tanya Sumi, “nyiapin tim itu bukan perkara enteng lho, apalagi Jakarta maunya selama seminggu penuh; terus buat apa? Jujur kalau nggak ada surat perintah langsung ditandatangani ama Isyana, aku pasti nggak bakal ngasih selama nggak jelas…”
Lucia lalu mendekati
Sumi dan menepuk pundaknya. “Mi… percaya deh, ini masalah yang amat penting dan
esensial,” kata Lucia.
Sumi hanya mendengus
saja. Sinar mata Lucia tidak mengisyaratkan adanya kebohongan, sehingga Sumi
yakin bahwa Lucia betul-betul datang dan meminta timnya memang untuk sesuatu
yang sangat penting yang mungkin belum boleh dibuka sekarang. Bagaimanapun
juga, dia sudah berteman dengan Lucia semenjak mereka masih sama-sama masuk
sebagai reporter junior, sehingga sikap Lucia ini bagi Sumi sedikit tidak bisa
ia terima, dan pastinya Sumi menduga bahwa masalah apapun ini, pasti melibatkan
“tangan yang lebih besar” daripada sekedar tangan-tangan yang ada di NewsTV.
“Kamu mau nemuin tim
kamu?” tanya Sumi setelah menenangkan diri.
“Ya,” jawab Lucia.
“Oke, ayo kita temui sama-sama, aku juga mau tahu…” kata Sumi.
“Sendiri,” kata Lucia.
Sumi lalu melihat
Lucia dengan pandangan mata yang aneh, seolah baru saja mendengar sesuatu hal
yang tidak bisa ia terima. “Apa maksudmu??” tanya Sumi.
“Aku akan menemui
mereka… sendiri,” kata Lucia.
“Kamu nggak percaya ama aku??” tanya Sumi lagi.
“Ini perintah,” kata Lucia.
“Hanya karena suami kamu itu udah jadi petinggi di NewsTV, nggak berarti lalu kamu bisa maen perintah gitu aja, Luz!” hardik Sumi.
Lucia berusaha untuk
tenang, lalu ia pun mengambil telepon yang ada di dekatnya. “Telepon Bu Isyana,”
kata Lucia, “dia akan menjelaskan hal yang sama,”
Sumi pun menatap
tajam mata Lucia.
“Terlepas dari
persahabatan kita yang udah lama, ada parameter tugas yang nggak bisa kita
langgar,” kata Lucia, “tugas kamu cuman nyiapin tim buat aku, selebihnya, itu
semua tanggung jawabku; aku mau aja kalau bisa cerita ama kamu, tapi sayangnya
aku nggak bisa; dan ini bukan karena aku nikah ama Alex!”
Sumi pun menarik
nafas panjang dan menatap mata Lucia. Sumi memang sudah mengenal Lucia dengan
amat baik. Di mata Sumi, Lucia dari dulu sampai sekarang tidak lalu
menjadikannya orang yang berbeda. Lucia masih sosok reporter yang lugu dan
polos. Rasanya kalau memang ini bukan perintah dari atas, tidak mungkin Lucia
berani bermain rahasia semacam gini.
“Aku nggak tahu
sekarang ini kamu terlibat dengan apa, Luz,” kata Sumi.
“Ya,” kata Lucia, “andai aja aku juga tahu,”
“Sudahlah, semoga berhasil,” kata Sumi, “temui Erika, dia salah satu dari tim kamu; dia akan ngenalin ke anggota yang lain,”
“Makasih,” kata Lucia, “pada saatnya nanti, kamu pasti akan aku kasih tahu, tapi nggak bisa sekarang,”
“Hati-hati,” kata Sumi, “aku koq merasa ini bakal jadi nggak terkendali,”
***
Australian Naval
Headquarter
Canberra
15.03
15.03
Suasana gaduh
menyelimuti ruang kerja di NHQ, komando tertinggi Angkatan Laut Australia.
Alexander McCowe, Naval Minister, dan Vice Admiral Kieran Shaw, Chief of Navy,
tampak tegang berjaga-jaga menunggu sesuatu. Sebelum ini, seperti halnya sekutu
mereka di Utara, yaitu Amerika Serikat dan Inggris, mereka sudah mendapat
peringatan mengenai Proyek Antasena yang tengah dibuat oleh Indonesia.
Intelejen Australia bahkan berusaha untuk menempel terus perkembangan dari
proyek yang lumayan membahayakan ini. Sekarang, ketakutan mereka pun menjadi
kenyataan.
Melalui komando
Armada Ketujuh Amerika Serikat di Pasifik, Royal Australian Navy sudah diperingatkan
untuk segera bersiap-siap menyambut kedatangan kapal selam KRI Antasena. Berita
datang dari Joint-Chief-of-Staff Amerika Serikat mengenai soal potensi
berbahaya dari kapal selam ini, karena kapal ini bisa menghancurkan kapal
perang terbesar yang dimiliki oleh Australia. Kini pihak Australia mengetahui
bahwa kapal ini sudah siap untuk diluncurkan.
Tanggapan Canberra
mengenai KRI Antasena cukup beragam, namun lebih pada pendekatan politik.
Alexander McCowe dan Adm. Kieran Shaw berpendapat bahwa Australia sebaiknya
menggunakan kesempatan pertama untuk segera menangkap dan atau menghancurkan
saja kapal selam itu, sehingga Indonesia tidak bisa memanfaatkannya. Pendapat
ini, bagaimanapun ditentang oleh PM Australia, Phillip Andrews, yang
mengingatkan bahwa Indonesia pun, seperti halnya Australia, berhak untuk
memperkuat Armada maritimnya.
Namun dari awal
kebijakan-kebijakan Phillip Andrews memang lebih pro Asia daripada kepada
Barat, sehingga mayoritas kabinet Australia sedikit kurang sreg dengan usul
ini. “Bagaikan memberi cakar pada harimau lapar”, begitu kata mereka. Meskipun
begitu, Andrews mengatakan bahwa tindakan penangkapan ini bisa saja memicu
konflik dengan Indonesia, sesuatu konflik yang “sebaiknya dihindari”. Akibat
perbedaan pendapat ini, maka NHQ pun akhirnya memohon petunjuk kepada induk
mereka, Admiralty Kerajaan di London. Jawaban dari Admiralty London inilah yang
tengah mereka nantikan…
Ketika akhirnya
jawaban itu betul-betul datang, mulut kedua petinggi AL Australia itupun
serentak terkatup. Tangan mereka gemetaran membaca pesan dari Admiralty London
itu.
“Semoga Tuhan
menyelamatkan kita…” bisik Alex McCowe.
***
Perjalanan ke Lokasi
X
Surabaya
18.44
18.44
Lucia membuka HP-nya
dan menelepon rumah. Pada saat ini, Alex juga pasti masih di kantor, karena dia
masih harus men-supervisi program berita utama News Today. Tidak masalah,
karena ia hanya ingin bicara dengan Lani. Seperti biasa, Lucia pasti menelepon
Lani dulu, baru menelepon Alex.
“Halo?” sapa
seseorang dari seberang.
Bukan Lani jelasnya,
karena itu suara wanita dewasa. Itu adalah Kania, kakak angkat Alex, yang juga
bekerja sebagai presenter di section Berita Pagi di NewsTV.
“Halo… Ci Kania,
Lani ada?” tanya Lucia.
“Lusi, yah?” tanya Kania,
“ada tuh…”
Kalau Alex atau
Lucia sedang tidak ada di tempat, biasanya Kania dan dua putri kembarnya selalu
main ke rumah Lani untuk menemaninya, atau sebaliknya, Lani yang ada di rumah Kania.
Jarak antara rumah mereka berdua sangat dekat, nyaris tidak ada satu blok.
Dahulu Kania malah sering berangkat kerja bersama dengan Alex, sebelum Alex
menikah dengan Lucia.
“Mama!” teriak Lani
kemudian.
“Halo, Sayang! Gimana kabarnya?” tanya Lucia sambil tersenyum senang.
“Baik-baik aja,” kata Lani, “Mama di mana, nih?”
“Masih di Surabaya, Sayang,” kata Lucia, “ini Mama lagi mau ngeliput,”
“Kapan pulang, Ma?” tanya Lani.
“Seminggu lagi, Insya Allah,” kata Lucia, “Lani nggak nakal, kan?”
“Nggak koq,” kata Lani, “tapi Lani banyak PR nih, Ma,”
“Ya udah, Lani ama Ci Kania aja dulu ngerjain PR nya, yah,” kata Lucia, “Ayah kamu masih sibuk?”
“Masih,” kata Lani, “biasa lah,”
“Oh ya, Sayang, Mama ntar mungkin abis ini nggak bisa telepon-telepon kamu,” kata Lucia, “soalnya tahu sendiri kan…”
“Tempat liputannya nggak ada sinyal yah, Ma?” tanya Lani.
“Iya,” jawab Lucia berbohong. Padahal aslinya ia tidak akan diperbolehkan untuk menggunakan sarana komunikasi apapun.
“Email juga nggak bisa, yah?” tanya Lani dengan nada kecewa.
“Maaf ya, Sayang, abisnya emang keadaannya kayak gini..” kata Lucia, “kamu Mama tinggal seminggu nggak papa, kan? Ntar deh, kalau Mama udah bisa telepon lagi, kamu pasti Mama telepon,”
“Iya,” kata Lani, “oh ya, ntar kalau pulang beliin oleh-oleh ya, Ma!”
“Pasti, Sayang,” kata Lucia tertawa, “ya udah ya, Mama mau pergi dulu, dadah Sayang,”
“Dadah Mama,” kata Lani, “I love you, Mama.”
“I love you too, Sweetie,” kata Lucia.
Lucia lalu mencium
corong telepon sebagai salam perpisahan dengan Lani. Setelah menutup telepon,
entah kenapa Lucia tiba-tiba merasa kosong dan menitikkan air mata. Hampir saja
dia membuka telepon lagi untuk menelepon Lani, tapi semua itu ia urungkan.
“Anaknya Pak Alex,
yah?” tanya Erika.
“Ya anakku juga, lah,” jawab Lucia sambil menghapus air mata yang terlanjur menitik, “emang bukan anak kandung, tapi aku udah sayang kayak anak sendiri, Rik,”
“Ya, ntar abis seminggu kan ketemu lagi, Mbak,” kata Erika sambil tersenyum.
Kegelapan malam
menyeruak pada saat mobil yang mengangkut para awak NewsTV bergerak menuju ke
Lokasi X, satu titik di Selat Madura. Jalan rahasia ini hanya diketahui oleh
segelintir orang, dan siapapun yang hendak melewatinya, biasanya sudah disumpah
terlebih dahulu untuk tidak membocorkannya kepada siapapun, atau konsekuensinya
amat mengerikan. Ujung jalan ini akan menuju ke sebuah galangan kapal rahasia,
yang selama ini digunakan untuk meluncurkan perdana kapal-kapal tempur terbaru
milik TNI AL. Dari galangan kapal ini, biasanya kapal-kapal tempur baru akan
dibawa ke Pelabuhan Tanjung Perak untuk “grand launching”. Tapi untuk
semacam kapal selam, tidak ada hal semacam itu.
Saking rahasianya,
bahkan Sumi Yang, Kepala Biro Surabaya, sama sekali tak tahu menahu ke mana tim
yang dibentuknya ini akan dibawa oleh Lucia. Mobil yang membawa mereka pun
bahkan menggunakan sebuah mobil tanpa decal NewsTV, sehingga dari luar,
mustahil untuk mengetahui apakah ini mobil peliputan atau bukan. Lucia sendiri
sebenarnya tidak nyaman dengan keadaan ini, ia merasa bersalah, terutama untuk Sumi,
yang sudah menjadi temannya sejak lama. Bagaimanapun, ia tidak punya banyak
pilihan. Lebih baik begini, karena dengan ini dia akan bisa menjauhkan Sumi
dari masalah. Lucia menarik nafas panjang, mungkin memang lebih baik kalau Eva,
Aviani, atau Githa saja yang membawakan tugas ini, karena mereka memang lebih
pandai dalam bermain rahasia.
“Hampir sampai,
Mbak,” kata Adnan, sang driver.
Lucia lalu melihat
ke depan, dan dari balik kegelapan malam, tiba-tiba langit lembayung muncul dan
terlihatlah sebuah titik area yang dikelilingi oleh nyala penerangan yang
minimum. Itulah Lokasi X. Dari jauh, Lucia tidak dapat melihat apa-apa, karena
memang pencahayaannya tidak mencukupi untuk bisa melihat dengan jelas.
Gedung-gedungnya tampak gelap dan suram. Perancah-perancah untuk membuat kapal
pun tampak tinggi dan mengancam, tapi pastinya ada kegiatan manusia di sana.
“Waduh, HP-ku koq
tiba-tiba nggak ada sinyal, yah?” kata Erika sambil melihat pada teleponnya.
Lucia tidak
menjawab. Ia pasti tahu bahwa HP-nya sendiri pun pasti sudah kehilangan sinyal.
Pastinya bukan hanya karena wilayah ini sinyalnya memang cukup lemah, akan
tetapi juga pasti ada sesuatu yang menginterupsi semua sinyal komunikasi.
Sebuah jammer, dan itu tandanya mereka memang menuju ke arah yang tepat. Mulai
saat ini, Lucia sadar bahwa mereka sudah seorang diri.
Untunglah, Sumi
sudah memilihkan beberapa orang yang memang terbaik sebagai bagian dari tim. Ia
memang tidak menyetujui dengan keputusan Jakarta untuk menjalankan sebuah misi
tanpa ia sendiri tahu detail jelasnya, tapi bagaimanapun, ia tidak bisa juga
lalu bertindak sembarangan dan memilih tim sesukanya. Sumi sadar bahwa apabila
memang keadaannya harus seperti ini, pastinya misi yang akan diemban oleh
Lucia, kalau tidak sensitif ya pasti berbahaya, maka ia berkewajiban untuk
memberikan tim terbaik yang bisa ia berikan. Apabila bukan untuk sebuah
profesionalisme, Sumi melakukannya demi persahabatan mereka yang sudah lama.
Total tim ada 7
orang, termasuk Lucia sendiri, dan hanya Lucia dan Erika saja yang perempuan
dalam tim itu. Total ada 2 campers, 2 reporter (Lucia dan Erika), 2
field-technician, dan 1 driver, plus perlengkapan seperlunya. Lucia sudah
mewanti-wanti supaya perlengkapan yang dibawa lebih untuk perlengkapan pribadi
saja dan perlengkapan peliputan semacam cakram optik, tidak perlu membawa tetek
bengek yang tidak perlu. Bagi Erika dan yang lain, jelas saja mereka agak
bersungut-sungut. Bagaimana tidak, tadinya mereka mengira misi akan dijalankan
dalam satu atau dua hari ke depan; tidak tahunya, hanya beberapa jam setelah
Lucia mendarat, mereka sudah harus berangkat. Jadi, mereka tentu tidak bisa
mempersiapkan diri mereka dengan layak, hanya membawa pakaian beberapa potong
saja, pun beberapa bahkan belum berpamitan dengan orang-orang yang mereka
kasihi.
Mobil itu berhenti di pintu gerbang. Dito, salah seorang campers hendak menyalakan kamera, tapi segera dicegah oleh Lucia. Pintu gerbang itu dijaga oleh beberapa orang berpakaian militer dan masing-masing menyandang senapan serbu jenis SS-2 buatan Pindad. Dari lorengnya, Lucia bisa menduga bahwa pasti ini adalah dari satuan Marinir. Tidak hanya sebuah pos, di situ juga ada bunker dari karung pasir yang dibaliknya menyembul pucuk senapan mesin jenis Pindad SMB-2HB, kaliber 12,7mm. Dan tak jauh juga ada sebuah tank AMX-13 yang sepertinya di-entrenched untuk platform artileri statis.
Salah seorang dari
mereka pun mendekati mobil. Lucia yakin, seandainya AL tidak memberitahukan
bahwa mereka akan datang, pasti tanpa peringatan, mereka sudah akan ditembaki
pada saat ini. Ia tahu, karena meskipun di balik kegelapan, ia melihat dari
tadi moncong meriam tank itu terus menerus mengarah ke mobil. Entah berapa buah
pucuk senapan lagi yang mengarah ke mereka tapi tidak bisa mereka lihat.
“Selamat malam!”
sapa Marinir tadi, “maaf, ini area terlarang, mohon Anda silakan berbalik
sekarang juga,”
Semua orang di mobil
itu tampak sangat ketakutan, meskipun rata-rata tidak menunjukkannya. Jelas
saja, karena saat ini seluruh moncong senapan mengarah ke mereka. Adnan bahkan
sudah menyiapkan tangannya di kopling, apabila memang harus berbalik, ia pun
bersiap untuk meninggalkan tempat ini tanpa menoleh. Erika tidak bisa
menyembunyikan ketakutannya dan gemetaran sambil mencengkeram erat lengan
Lucia, tapi Lucia sendiri berusaha untuk tenang, lalu ia segera mengambil
sebuah dokumen, sepertinya semacam dokumen identitas, dan memberikannya kepada
petugas itu.
Petugas itu pun
menerimanya dengan hati-hati, dan sepanjang proses itu, semua penjaga di sana
tetap mengacungkan senjata ke mobil. Tak ada di dalam mobil yang berani
melakukan gerakan mendadak, karena resikonya adalah nyawa. Semua melihat dengan
tegang ketika petugas itu menscan dokumen tadi dengan semacam alat laser. Ia
kemudian meraih radio yang ia cangklongkan di dada.
“Mereka sudah
datang,” kata Petugas itu.
Kemudian, petugas itu,
tanpa ekspresi, segera memberikan kembali dokumen itu kepada Lucia, dan pintu
gerbang pun dibuka, tanda mereka boleh masuk. Semua pucuk senapan pun
diturunkan dan semua orang di mobil itu mengambil nafas lega. Mobil pun
berjalan perlahan memasuki instalasi galangan kapal itu. Beberapa orang di
beberapa sudut menggunakan tongkat bercahaya untuk memberitahukan kepada
pengemudi mobil kemana mereka harus menuju. Ketegangan pun memuncak kembali,
dan mobil digiring masuk ke dalam sebuah gudang. Di sana, mereka disuruh
berhenti, dan Lucia melihat bahwa gudang berpenerangan redup itu ternyata
dipenuhi oleh prajurit bersenjata.
Pintu dibuka, dan
salah seorang prajurit melongokkan kepalanya untuk melihat keadaan di dalam
mobil. Senapan serbu tidak lepas dari tangannya yang siaga. Setelah itu, ia
keluar lagi dan memberikan sebuah isyarat kepada rekan-rekannya.
“Semua turun!” kata
prajurit itu.
Dengan gemetaran,
semua orang pun turun, dan langsung saja mereka dikumpulkan tidak jauh dari
mobil. Mereka tidak diperbolehkan membawa apapun, bahkan tas tangan mereka
sekalipun. Di sekeliling mereka, para prajurit menjaga dengan senjata siap
tembak, membuat suasana semakin menegangkan. Kemudian dua orang perwira,
mendekat ke mereka. Salah satu adalah perempuan.
“Yang perempuan,
ikut saya,” kata perwira perempuan itu, “yang lainnya, ikut kapten ini,”
Erika semakin
ketakutan, tapi ia pun mengikuti Lucia yang segera mengikuti sang perwira
perempuan itu. Sementara yang lainnya ikut “kapten” ke arah yang berbeda.
Mereka pun masuk ke ruangan yang cukup jauh dari ruangan rekan-rekan mereka
yang lain. Di ruangan itu, Erika dan Lucia menemukan bahwa itu seperti sebuah
barak, tapi di sini yang berjaga adalah semuanya wanita, masih prajurit tentu
saja. Semua prajurit itu tampak bersiap sedia begitu Lucia masuk.
“Ini yang dari
NewsTV itu,” kata sang perwira, “proses mereka,”
“Siap!” sahut para prajurit wanita itu.
Kemudian
jendela-jendela segera ditutup, termasuk semua lubang angin. Erika dan Lucia
tidak mengerti apa yang akan dilakukan. Semua wanita di sana berjaga-jaga
sambil menyiapkan senjata mereka, seolah mencegah supaya tidak ada yang masuk.
Salah seorang prajurit mendekati Lucia dan Erika. Ia lalu menyuruh Lucia dan
Erika untuk menaruh semua barang-barang di kantong baju dan celana ke dalam
baki yang ia bawa. Erika dan Lucia pun menurut saja. Tidak hanya dompet atau
telepon, bahkan jepit rambut pun wajib dilepas semuanya, termasuk Lucia
merelakan cincin kimpoinya pula untuk dilepas. Setelah itu, mereka pun disuruh
untuk mengangkat tangan dan masing-masing seorang prajurit wanita menggeledah
semuanya.
“Aman!” lapor
mereka.
“Bagus, sekarang lepas baju kalian,” kata prajurit kepala.
“Apa?!!!” Lucia dan Erika tidak bisa mengerti perkataan itu.
“Kalian mau lepas sendiri, atau prajurit saya yang akan saya suruh melepas paksa,” perintahnya.
Dengan enggan, Lucia
dan Erika pun melepas baju mereka hingga akhirnya mereka telanjang, dan dalam
keadaan telanjang itu, mereka digeledah sekali lagi, seolah-olah ada yang bisa
ditemukan dari orang yang sudah telanjang. Mimik muka Erika dan Lucia pun
tampak tidak senang. Apalagi pada penggeledahan kali ini, sang juru geledah
memeriksa dengan seksama secara inchi tubuh mereka berdua, sehingga menjadi
agak lama dibandingkan penggeledahan yang pertama. Namun segera setelah
dinyatakan aman, Lucia dan Erika segera diberi selimut untuk menutup tubuh
mereka. Mereka belum boleh memakai pakaian dulu untuk sementara waktu, tapi
mereka dipersilakan untuk duduk di kursi supaya tidak lelah. Tidak beberapa lama
kemudian, sang perwira yang tadi membawa Lucia dan Erika ke sini, kembali dan
memberikan dua cangkir kopi hangat kepada Lucia dan Erika.
“Maaf soal perlakuan
ini, tapi kami harus berhati-hati,” kata perwira itu, “ini adalah dunia di mana
implan pelacak atau penyadap bisa dibuat setipis benang dan dimasukkan ke dalam
tubuh, makanya kami masih harus memeriksa kalian meski kalian sudah telanjang,”
“Pakaian kami?” tanya Lucia memberanikan diri.
“Masih diperiksa oleh ahli-ahli kami,” kata perwira itu, “oh ya, sebelum semuanya menjadi aneh, saya Kapten Pratiwi, saya akan menjadi escort kalian di pangkalan ini; apabila kalian sudah dinyatakan aman, maka kalian boleh bebas bergerak di pangkalan ini, dalam pengawasan saya tentu saja,”
Lucia hanya
mengangguk saja, lalu ia menghirup kopi hangat itu untuk menenangkan diri.
Kapten Pratiwi tidak terlalu banyak mengajak bicara, sehingga suasana jadi agak
canggung. Apalagi Lucia dan Erika pun masih tidak nyaman harus telanjang di
ruangan ini, meskipun semua yang ada di sini adalah wanita.
Pemeriksaan
berlangsung selama hampir satu jam sebelum akhirnya mereka diberikan kembali
pakaian mereka. Dompet, perhiasan, termasuk cincin kimpoi pun diberikan juga,
tapi HP atau peralatan elektronik lainnya tidak. Alih-alih, HP mereka berdua
masing-masing dimasukkan ke dalam amplop, dan akan diberikan nanti di “tujuan
akhir”. Setelah mereka selesai berpakaian, barulah Kapten Pratiwi mengantar
mereka menuju ke lokasi berikutnya.
Kali ini tidak ada
lagi pemeriksaan lanjutan. Rupanya mobil dan barang bawaan mereka pun tak luput
dari pemeriksaan juga, dan para pemeriksa ini memeriksa dengan amat teliti.
Tim, tentu saja hanya bisa menggerutu panjang. Lucia dan Erika pun lalu
dipertemukan dengan rekan-rekan mereka yang lain. Tidak perlu banyak bicara,
tampaknya semua mengalami perlakuan yang sama. Sementara barang mereka
diperiksa, mereka tidak boleh melebihi perimeter yang ditentukan, dan Kapten
Pratiwi betul-betul menjaga mereka dengan ketat. Tak lama kemudian, Lucia pun
mendengar suara deru mesin helikopter yang tengah mendekat… ada tiga atau empat
helikopter sepertinya. Wah, ramai sekali.
Akhirnya setelah
pemeriksa memberi kode aman, Kapten Pratiwi memberi tanda bahwa mereka boleh
mengambil kembali barang-barang mereka, yang pastinya dilakukan dengan
bersungut-sungut. Lucia sendiri hanya membawa kopornya saja, karena ia memang
hanya membawa itu dari Jakarta. Bagaimanapun, pengawalan atas mereka masih saja
ketat.
“Kayak lagi ngawal
tahanan teroris aja,” gerutu Dito, sang kameramen.
Mereka pun terus
bekerja seperti semut, mengeluarkan barang-barang dan perlengkapan yang
sekiranya dibutuhkan. Untunglah, meskipun diperiksa secara seksama, tidak ada
peralatan yang rusak. Seandainya rusak, sudah terbayang berapa uang yang harus
diperlukan untuk memperbaiki atau menggantinya. Sementara mereka bekerja itu,
suara langkah kaki yang mantap terdengar mendekat menggema di ruangan gudang
itu. Sayup-sayup Lucia bisa melihat sosok orang yang datang: wanita, tampaknya
masih dari Angkatan Laut, dan pastinya, apabila dilihat dari pakaiannya, dia
memiliki jabatan yang cukup tinggi.
Kapten Pratiwi pun
segera tegap dan memberikan hormat kepada wanita itu. Semua orang juga
melakukan hal yang sama. Lucia menduga usia wanita itu masih medio
30-an, karena dia cukup muda. Ia pun mendekat ke arah Lucia.
“Siapa yang
berwenang di sini?” tanya wanita itu dengan nada lembut tapi tegas.
“Saya,” kata Lucia
berdiri.
“Saya Kolonel Frida Lidwina, dari Intelejen Angkatan Laut,” kata wanita itu, “aku minta tolong ikuti semua petunjuk dari Kapten Pratiwi dengan baik, supaya kita bisa sama-sama enak,”
“Baik,” kata Lucia.
“Ada banyak orang penting nanti di sana, dan aku tahu kalian orang pers pasti akan tergoda untuk mewawancarai mereka, tapi aku sarankan, jangan pernah berpikir untuk itu,” kata Kol. Frida, “satu-satunya yang boleh Anda tanyai hanyalah Kapuspen kami, Laks. Sihombing, dan tidak yang lainnya; atau konsekuensinya bisa buruk, mengerti?”
“Ya, saya mengerti,” kata Lucia sambil menelan ludah.
“Aku akan bertanggungjawab atas pangkalan ini selama seremoni, jadi aku tidak mau ada apa-apa; semua hal yang diperlukan sudah aku berikan pada Kapten Pratiwi, jadi patuhi dia,” kata Kol. Frida, “apa ada pertanyaan?”
“Oh… tidak, tapi kapan seremoni ini akan berlangsung, dan bagaimana kami bisa melaporkan secara langsung…” kata Lucia.
“Tidak,” kata Kol. Frida, “tidak ada siaran langsung,”
“Tapi…”
“Tidak ada siaran
langsung, Nona!” hardik Kol. Frida, “seremoni ini akan berlangsung tidak lama
lagi, dan kalian akan meliput hanya dari titik yang aku perbolehkan; rekam, dan
salah seorang dari Intelijen akan membantu kalian dalam pengeditan saat itu
juga, dan baru kalian boleh mengirim hasilnya ke kantor kalian, pada saat yang
juga aku tentukan,”
“Tapi ini tidak adil!” protes Lucia.
“Memang! Dan aku tak mau membahasnya,” kata Kol. Frida, “kalian orang pers mungkin punya tatacara sendiri di luar, tapi sekarang kalian ada di rumah kami, dan di sini yang berlaku adalah aturan kami; Nah, apa kalian bisa paham perkataanku?”
“Paham, Kolonel,” kata Lucia, meski sedikit mendongkol.
“Baik, kalau begitu silakan bersiap-siap karena acara akan mulai sebentar lagi,” kata Kol. Frida, “dan ingat perkataanku baik-baik,”
Aturan ini jelas
sekali membuat semua tim NewsTV mendongkol. Bagaimana tidak, biasanya mereka
bebas untuk meliput dengan cara mereka sendiri, tapi sekarang, bahkan untuk
sudut kamera pun harus diatur oleh perwira Intelijen. Bagaimanapun, mereka tak
berani protes, karena orang-orang ini punya senjata. Apalagi, Kol. Frida benar,
bahwa saat ini mereka adalah tamu, dan Angkatan Laut adalah tuan rumahnya.
***
Rumah Alex
Jakarta
20.08 WIB
Duduk di balik meja
kerjanya, Alex berusaha menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Kepergian
Lucia benar-benar membuat suasana jadi sepi, tidak ada lagi yang menemaninya
saat lembur begini. Di luar, suara Lani yang sedang belajar bersama Kania sudah
tidak terdengar lagi, mungkin anak itu sudah pergi tidur. Alex menyeruput lagi
kopinya yang mulai mendingin. Diperhatikannya berkas di meja, pekerjaannya
masih menumpuk banyak, tapi dia tidak memiliki semangat untuk mengerjakannya.
Pikirannya lebih tersita pada keberadaan Lucia, sedang apakah dia sekarang?
Lamunan Alex sudah akan
semakin mengembara saat tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamar. ”Lex,
boleh aku masuk?” itu suara Kania.
Alex cepat membenahi ekspresi
mukanya, ia tidak ingin disebut lelaki lemah oleh kakak angkatnya itu. ”Masuk
aja, nggak dikunci kok.” sahut Alex.
“Hai, maaf menganggu.” kata
Kania sambil tersenyum.
”Nggak juga, ini aku udah
hampir selesai. Emang ada apa, Lani nakal ya?” tanya Alex, matanya nanar
menatap baju terusan Kania yang tanpa kerah. Pada kenyatannya, baju itu agak
sedikit menonjolkan dada Kania yang bulat membusung.
“Bukan, Lani pintar kok. Aku hanya ingin menemanimu, itupun kalau kau tidak keberatan.” Kania melangkahkan kakinya mendekati Alex.
”Tidak, tentu saja aku
tidak keberatan.” Alex berkata sambil memperhatikan lenggokan pinggul Kania yang
terlihat begitu memukau. Ia tidak bisa menahan untuk tidak memandangi tubuh Kania
dari pojok matanya sewaktu kakak angkatnya itu duduk di sofa.
Untuk beberapa menit mereka
mulai berbicara basa-basi; tentang Lucia yang pergi seminggu, Lani dan juga pekerjaan
Alex yang banyak menyita waktu. Sementara mereka berbicara, Alex mengalami
kehilangan kontrol pada matanya, ia sangat susah untuk mencegah matanya agar
tidak memperhatikan tubuh Kania yang sangat mengundang birahi. Pandangannya terus
tertuju ke arah garis payudara dan lekukan tubuh Kania yang tercetak jelas pada
pakaiannya yang ketat, juga pinggang Kania yang ramping dan seksi, serta belahan
pinggulnya yang sangat montok nan bahenol. Ditambah kaki dan tungkai yang
sangat bagus, mulus terawat dengan sangat baik, serta betisnya yang sangat
menggoda, sempurnalah Kania menjadi ’setan penggoda’ bagi Alex malam itu.
“Mmmm...” Alex bergumam
dalam hati, berfantasi seandainya ia bisa mendapatkan Kania malam itu, hal yang
sudah lama tidak ia lakukan sejak menikah dengan Lucia.
Seperti mengerti, Kania
tersenyum kepadanya dan berkata, ”Apa kamu akan jemput Lucia di airport,
sepulangnya istrimu itu?”
Alex menyeruput kopinya sambil menyahut, ”Tidak, biar dia naik taksi saja. Lagipula, dibayarin koq sama kantor.”
“Dan Lucia pulangnya hari Kamis ya, katamu tadi?” tanya Kania lagi.
“Ya, kalau nggak molor.”
Alex tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya dari tubuh montok Kania.
“Ooh... kasian banget kamu, tidur sendirian di tempat tidur sebesar itu untuk beberapa malam... pasti kamu akan merasa kesepian banget.” kata Kania sambil menyilangkan pahanya bertumpu ke paha yang lain dengan gerakan yang sungguh menggoda.
Sedikit kaget dengan komentar itu, dengan nada rendah Alex menjawab, “Iya, memang sudah seharusnya seperti itu.”
”Nggak ingin ditemani?”
tanya Kania sambil menyandarkan punggungnya di sofa. “Udah lama kayaknya kita
tidak bobok bareng.” tambahnya sambil sedikit tersenyum nakal.
“Emm... baru kemarin aku melakukannya dengan Lusi, hari ini masih nggak mood.” Alex membalas pertanyaan Kania sambil ikut menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, ia ingin terlihat sedikit santai akibat pertanyaan Kania yang frontal.
”Kamu yakin? Aku siap lho kalau kamu memintanya.” Kania terus tersenyum, sama sekali
tidak merasa bersalah telah menggoda Alex.
Alex menghela nafas. ”Hmm,
sebenarnya... jujur, aku juga mengiinginkannya. Tapi, aku tidak ingin
menghianati perkawinanku dengan Lucia.”
Kania tertawa lepas, “Kamu berpikir terlalu serius, Adikku sayang... kamu tidak akan menghianati siapa-siapa! Kita hanya bersenang-senang mengisi waktu luang, aku tidak akan merebutmu dari Lucia, aku hanya ingin menemanimu. Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini.” terang Kania.
Alex terdiam, tampak
berpikir sejenak.
”Daripada kamu mencari
wanita di luar, yang mana itu bisa menggoda cintamu, bukankah lebih baik kalau
kau melakukannya denganku? Toh selama ini aku juga bisa memuaskanmu, bukankah
begitu?” Kania mendesak terus, membuat Alex bingung harus menjawab apa.
“Mmm... aku nggak tahu deh, Kak. Aku...” Alex menjawab berantakan karena begitu bingung.
”Udah lah, nggak usah kebanyakan mikir. Ayo sini!” Kania memanggil Alex untuk mengajaknya pindah ke sofa dan duduk bersamanya.
Dengan tersenyum kikuk, malu tapi mau, Alex melangkah ke sofa sambil menaruh gelas minumannya di meja. Ia duduk di sebelah Kania, tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.
”Kak, apakah ini benar?”
tanya Alex masih ragu.
”Kenapa tidak?!” sahut Kania sambil sedikit meluruskan kakinya ke depan. Otomatis mata Alex
langsung tertuju menelusuri lutut dan betis kakak angkatnya itu, terlihat
begitu mulus dan menggoda.
“Bukankah kita sudah
berjanji untuk tidak melakukannya lagi setelah aku menikah...” kata Alex.
”Ah kamu, janji itu dibuat
untuk dilanggar, Lex!” sahut Kania sambil tertawa dan mengedipkan satu matanya.
Alex jadi tak tahu harus berkata apa, “Iya, tapi...”
“Sudahlah, jangan banyak omong... kita nikmati saja malam indah ini, ok?” kata Kania sambil bangkit dan berdiri tepat di depan Alex. Perlahan, ia mulai mengangkat baju terusannya sampai sebatas paha, agak naik sedikit. Kania lalu menaikkan salah satu kakinya menginjak sofa. Kini pahanya yang putih mulus tepat berada di muka Alex.
”Kamu mau melewatkan yang
seperti ini?” tanya Kania menggoda. Alex tidak bisa berkata apa-apa, matanya
asyik menikmati keindahan betis dan paha sang kakak angkat yang sangat mudah
sekali untuk disentuh kalau dia mau.
”Aku... emm, indah sekali, Kak!” desah Alex sedikit terpana.
”Peganglah, Lex! Ini milikmu sekarang,” kata Kania.
Sedikit gemetar, Alex menggerakkan tangannya dan menempatkannya di paha Kania. Ia belai pelan permukaannya yang halus dan putih mulus, terasa sangat lembut dan licin sekali.
“Mmppff... rasanya enak
sekali, sayang, jika dibelai seperti itu.” Kania mendesah.
Tidak lagi bisa untuk kembali, Alex pun meneruskan aksinya. Ia raih pinggiran pakaian terusan yang dikenakan Kania dan perlahan menaikkannya ke atas. Dalam beberapa detik, terlihatlah pangkal paha Kania yang mulus dan indah. Alex berdecak kagum saat menatap pinggul Kania yang ternyata tidak berbalut celana dalam. Vaginanya yang berwarna merah jambu terlihat jelas di depan matanya.
“Gila! Kapan kakak melepasnya?” tanya Alex surprise, sama sekali tak menyangka
kalau Kania akan senakal itu.
”Tadi, waktu mau masuk
kesini.” sahut Kania tanpa rasa malu, malah seperti bangga ia memamerkan
vaginanya yang tercukur rapi pada Alex.
”Kakak memang sengaja ya
ingin menggodaku?” tanya Alex sambil meraih kedua pantat Kania yang bulat montok
dan mulai meremas-remasnya pelan. Sementara di depan, ia memajukan kepalanya, dan
dengan lincah mulai menjilati vagina Kania yang basah dan licin.
”Ughh... Lex!” sedikit
merintih, Kania meraih kepala Alex dan menempelkannya kuat-kuat ke celah lubang
vaginanya, seperti meminta agar Alex menghisap dan menyapukan lidahnya semakin
cepat.
Dengan senang hati Alex
menghirup dalam-dalam aroma vagina Kania, mulutnya terus menelusuri bibir vagina
perempuan cantik itu. Sambil menjilat, Alex menggoyangkan lidahnya keluar masuk
di celahnya yang sempit, sambil sesekali mencucupi klitorisnya yang kini terasa
semakin kaku dan menegang.
“Ooh sayang... yah, terus seperti
itu... hisap yang kuat... tunjukkan kehebatanmu padaku, Lex!” rintih Kania
dengan mata terpejam rapat. Dirasakannya tangan Alex
yang tertambat di bulatan pantatnya terus bergerilya dengan remasan-remasannya yang lembut
dan mesra. Alex seperti ingin merasakan kehalusan kulit pantat
Kania hingga puas.
“Ooh... aduh! Geli banget,
Lex! Aku nggak tahan...” Kania merintih semakin keras saat Alex makin
mempercepat jilatannya. Nafasnya mulai terlihat tidak teratur, sementara vaginanya
terasa sangat basah dan licin, siap untuk menyemburkan cairan kewanitaannya.
Alex yang mengetahui keadaan itu terus menjejalkan lidahnya semakin dalam, sesekali ia juga menekan klitoris Kania dengan ujung lidahnya. Kania yang menerimanya menjerit semakin keras, dan tak lama kemudian, dia pun terkejang-kejang, dari lorong vaginanya menyembur cairan kewanitaan yang sangat banyak, mengguyur dan membasahi kepala Alex hingga kuyup.
“Luar biasa, Sayang, enak
banget.” desah Kania sambil berlutut di lantai, tubuhnya terasa lemas, namun
terlihat sangat puas. Dari vaginanya yang
memerah masih terlihat cairan bening mengalir pelan. Alex mengusapnya dengan
ujung jari dan meratakannya ke seluruh selangkangan Kania.
”Kakak suka?” tanya Alex
sambil mengusap paha mulus Kania pelan-pelan.
Kania mengangguk
mengiyakan, ”Kamu masih belum menyerah kan?” tanyanya mesra.
Alex menggeleng, ”Sekarang giliranku kan?” tanyanya sambil meremas halus salah satu bulatan payudara Kania yang bulat besar, terasa sangat empuk dan kenyal sekali.
“Tentu saja!! Malam ini kita harus sama-sama puas.” Kania menyeringai genit, ia rogoh batang penis Alex yang sudah tegak tercetak di balik celana panjangnya.
Alex lekas menelanjangi diri, begitu juga dengan Kania. Alex sudah akan menunduk untuk mencium dan mencumbu payudara Kania yang bulat besar, saat Kania mendorongnya hingga terjengkang di sofa. ”Kak, aku ingin memegang payudaramu!” Alex protes.
”Boleh saja... tapi untuk
sekarang, ijinkan aku untuk sedikit memuaskanmu, Sayang,” sambil berkata, Kania
mulai jongkok dan memegang penis Alex. Ia kocok benda itu pelan-pelan dengan
kedua tangannya, seperti ingin merasakan ke-ereksian dan kekerasannya yang begitu
menggugah birahi.
Alex yang menerimanya jadi sedikit
mengerang dibuatnya. ”Kak, ough... nikmat sekali.” Dirabanya payudara Kania
yang mendesak lembut di lututnya dan diremas-remasnya dengan penuh nafsu secara
bergantian. Putingnya yang merah mungil dipencetnya beberapa kali sambil
sesekali memilin dan menjepitnya dengan dua jari.
“Sepertinya makin besar aja
nih barang... Lucia pasti puas bercinta denganmu!” kata Kania sambil terus
mengocok penis Alex.
Alex menaikkan salah satu alisnya dan sedikit tersenyum simpul. ”Pastinya... begitu juga dengan kakak, bukan?” jawabnya sambil menahan nikmat kocokan demi kocokan yang dilakukan oleh kakak angkatnya ini.
Kania tertawa lepas, ”Aku selalu ketagihan dengan punyamu, Lex!” bisiknya dengan tersenyum lebar penuh kenakalan. Dia meremas batang penis Alex sedikit agak keras.
”Arghhh...!!” Alex melenguh panjang, kocokan Kania membuatnya seperti berada pada surga kenikmatan yang sangat indah. Penisnya sudah benar-benar tegak dan sangat keras. Tak tahan, ia pun mendorong tubuh Kania ke lantai. Kania jatuh telentang dengan kaki terbuka lebar, terlihatlah lubang senggamanya yang sudah basah dan terkuak lebar. Lekas Alex menindihnya. Tanpa memberi kesempatan bagi Kania untuk protes, ia tempelkan pinggulnya ke selangkangan perempuan cantik itu. Dengan sekali gesek, Alex bisa merasakan kepala penisnya menyentuh bibir memek Kania yang sudah sangat licin dan basah.
”Kakak sudah siap?” tanya
Alex sambil menggerakkan penisnya naik-turun, menggesek klitoris Kania yang
bulat mungil. Sementara di atas, tangannya memenceti payudara Kania yang empuk
dan besar berulang kali, bergantian kiri dan kanan, sambil sesekali menjilat
dan menciumi putingnya yang mungil kemerahan kuat-kuat.
”Aghhh... lakukan, Lex!
Lakukan! Setubuhi aku! Puaskan aku malam ini!” rintih Kania tak sabar, pinggulnya
berputar-putar mengejar batang penis Alex, memintanya agar segera dimasuki.
”Tahan, Kak, kumasukkan
sekarang!” Alex mendorong maju pinggulnya, dengan sekali hentak ia tusukkan
batang penisnya. Benda itu langsung meluncur dan terbenam seluruhnya dengan
sangat mudah sekali karena vagina Kania yang sudah sangat licin dan basah.
”Auwghh...!” Kania menjerit
kaget, tapi terlihat sangat menyukainya. Ia mencakar dan mencengkram karpet
yang menjadi alas persetubuhan mereka di lantai.
Dengan lembut Alex meraup
tubuh mulus Kania dan menaruhnya dalam dekapan. Ia lumat bibir tipis perempuan
cantik itu sambil mulai menggerakkan pinggulnya pelan-pelan. Dipompanya memek
Kania dengan hujaman lembut namun sangat terasa, membuat Kania menjerit keenakan
di setiap hentakannya. Tubuhnya dengan sigap mengikuti irama penetrasi yang
dilakukan oleh Alex. Tiap gerakannya menciptakan bunyi tepukan hasil pertemuan
pinggul mereka berdua, menambah sensasi persetubuhan yang terlarang ini menjadi
semakin nikmat dan tidak ternilai keindahannya.
Melihat ke bawah, Alex
kembali mengecup bibir Kania yang bergincu merah, ia lumat habis bibir yang
terasa lembut itu dengan hisapan dan jilatan penuh nafsu. Kania bereaksi dengan
membalas tiap ciuman yang dilakukan oleh Alex. Diterimanya dengan senang hati saat
lidah Alex berusaha menerobos ke dalam mulutnya, ia mengimbangi dengan
menghisap lidah itu penuh kegilaan. Dengan cepat mereka saling menghisap dan menjilat
satu sama lain. Gairah birahi mereka berdua sepertinya sudah memuncak, ditandai
dengan suara desahan dan jeritan mereka yang memenuhi seluruh ruangan.
”Ahhh... Kak!” Alex meraih payudara
Kania yang bergerak naik turun seiring goyangannya. Diremasnya benda itu dengan
dua tangan, terasa sangat padat dan empuk sekali. Alex menikmatinya, ia begitu
menyukai payudara yang masih sangat indah itu, terlihat seperti punya wanita
yang sedang menyusui, masing-masing begitu montok dan sangat natural.
“Terus, Lex... kaya gitu, pegang terus payudaraku, selagi kamu menyetubuhi aku... ahh!!” rintih Kania seperti akan mencapai klimaksnya, tubuhnya menegang dan bergoyang semakin liar seperti binatang. Pinggulnya berputar cepat, sangat menggebu dan agak kasar. Sementara nafasnya mulai tidak teratur seiring dengan kocokan Alex pada liang vaginanya yang memang rasanya sangat luar biasa. Nikmat sekali!
Alex meremas dan menjepit puting Kania dengan dua jari, lalu memilinnya cepat penuh nafsu, yang mengakibatkan kakak angkatnya itu menjerit nikmat semakin keras. ”Oughhh... Lex, aku nggak tahan. Sebentar lagi... tinggal sedikit lagi... ahhh... a-aku mau keluar!”
“Iya, Kak... aku juga. Kita sama-sa...”
Belum selesai Alex
berbicara, Kania sudah terkejang kaku seperti kesetrum. Matanya terpejam rapat,
sementara vaginanya mengejang sangat hebat. Mulutnya yang tipis terbuka, menceracau
tidak karuan dan beberapa detik kemudian, ia mendesah, lalu mengerang hebat
dengan tubuh bergetar. Alex bisa merasakan cairan vagina Kania hangat menyiram
batang penisnya, begitu banyaknya hingga beberapa mengalir keluar melewati
celah antara alat kelamin mereka berdua yang masih bertaut erat.
“Ohh... Lex, ya ampun...
itu tadi bener-bener surga! Aku merasa seperti di surga!” desah Kania dengan tubuh
merosot tumbang di lantai. Ia masih sedikit gemetar akibat dari klimaks yang baru
dialaminya tadi.
Alex yang juga hampir
mencapai puncak, setelah mencium bibir Kania, kembali menggerakkan penisnya
pelan-pelan. Ia tidak peduli meski tubuh Kania sudah sangat lemah dan lunglai,
yang penting memek perempuan cantik itu masih menjepit erat batang penisnya.
Itulah yang ia cari, dan itu sudah lebih dari cukup untuk mengantarnya ke
nikmatnya persetubuhan. Apalagi ditambah payudara Kania yang kembali ia
remas-remas, semakin cepatlah Alex menuju puncak birahinya.
Dengan mendekap erat tubuh
montok sang kakak ipar, Alex menekan penisnya dalam-dalam dan melepas
spermanya. Berkali-kali cairan kental itu berhamburan
mengisi liang rahim Kania yang licin dan basah, membuatnya makin lengket dan
semakin penuh saja.
”Ahhh…” menggeram keenakan,
tubuh Alex mulai melemas. Otot-ototnya kembali
relaks seiring cairannya yang sudah berhenti mengalir. Terengah-engah, ia
mencabut penisnya dan merosot rebah di sebelah Kania. ”Trims, Kak... nikmat
sekali.” Alex memberi Kania ciuman ringan di bibir.
”Sama-sama, aku cuma berusaha
menghiburmu selama Lucia pergi!” Kania tersenyum lembut.
”Kakak mau tidur dengan
Lani?” tanya Alex, tangannya asyik memenceti payudara Kania yang bulat besar
secara bergantian.
”Sepertinya dia berani
tidur sendiri.” Kania nyengir, ia lalu
bergidik saat Alex memilin putingnya yang mungil kemerahan secara perlahan-lahan.
”Tidurlah denganku malam
ini, temani aku!” Alex meminta.
”Tentu saja, Sayang. Itulah
tujuanku datang kemari.” Kania mengangguk mengiyakan.
”Dan juga malam-malam
selanjutnya.” tambah Alex.
”Tidak masalah, tentunya selama
Lucia tidak ada.” Kania tersenyum dan menyambut penis Alex yang terasa kembali
menerobos celah vaginanya, bersiap untuk memulai ronde yang kedua.
***
Lokasi X
Surabaya
21.03 WIB
Tim pun akhirnya keluar
ke sisi dalam pelabuhan dipandu oleh Kapten Pratiwi, dan pada saat itulah
mereka takjub dengan apa yang mereka lihat. Para pekerja pangkalan ini dengan
cekatan menumpuk barang-barang dan perlengkapan yang hendak dibawa ke dekat
salah satu jetty di galangan itu. Rombongan pelaut, marinir, juga beberapa
pejabat lain pun ikut serta ada di sana. Lucia melihat, acara ini pasti bukan
main-main, karena ia melihat Menhan dan Menkopolhukkam pun ada di sana, di
samping pejabat-pejabat tinggi TNI.
Namun pada bagian
tengah, tepat di bawah sebuah perancah raksasa, terlihatlah bintang utama dari
semua perhelatan ini. KRI Antasena. Mulut Lucia sampai ternganga melihat kapal
selam itu secara langsung, sebelum dia menyentuh air untuk pertama kalinya.
Sepintas, bentuknya mirip dengan beluga, ikan paus putih yang pertunjukannya
biasa ia lihat di Ancol, hanya saja warnanya bukan putih melainkan hitam dengan
aksen hijau lumut dan…
Hei… Lucia pun
mengucek matanya memastikan ia tak salah lihat, tapi memang benar, seolah-olah
pola-pola tak beraturan di sepanjang badan kapal itu berubah-ubah bentuknya,
seolah menari di atas pancaran sinar-sinar lampu sorot yang memang diarahkan ke
kapal selam itu. Satu hal yang menakjubkan adalah betapa besarnya kapal
selam ini. Ia memang pernah mengunjungi monumen kapal selam di Surabaya, yang
memajang bekas kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet yang lalu dibeli
oleh AL menjadi KRI Nenggala, tapi pastinya kapal ini berlipat kali lebih besar
daripada kapal selam kelas Whiskey itu. Mungkin hampir sebesar kapal dagang.
Tapi mereka pun
terus berjalan dan akhirnya sampai di spot yang telah ditentukan. Tadinya Lucia
tak mengerti kenapa dipilihkan spot itu, tapi setelah mengecek view kamera,
barulah ia tahu jawabannya. Ternyata dari sudut ini, pemandangan yang
tertangkap kamera mirip sekali dengan salah satu bagian di Pelabuhan Tanjung
Perak. Jadi siapapun yang akan melihat rekamannya, pasti akan mengira bahwa
gambar ini diambil di Tanjung Perak, bukan di Lokasi X. Sepanjang kru NewsTV
menyiapkan tetek bengeknya di spot itu, para prajurit masih menjaga mereka
dengan senjata lengkap. Akan tetapi kru NewsTV kali ini tidak begitu
menggubrisnya.
“Gimana, Dit? Udah?”
tanya Lucia, “kalau udah, aku mau kasih lead-in nih,”
“Bentar lagi yah, Mbak Lucia,” kata Dito sambil membetulkan posisi kameranya.
“Mbak Lucia, nih
udah aku cek,” kata Erika sambil memberikan sebuah kertas sebagai pedoman
Lucia.
“Oke deh, makasih ya, Rik,” kata Lucia, “Dit, udah belum??”
“Oke, udah, Mbak Lucia,” kata Dito sambil mengacungkan jempol.
“Ayo, Lucia, siap-siap,” kata Elman, seorang field-technician.
“Bentar, bentar,” kata Lucia sambil mengikat rambutnya ke belakang dengan sebuah karet gelang. Sia-sia saja mencoba menyisir, karena angin laut malam itu kencang sekali dan pasti akan membuyarkan semua hasil sisiran.
“Oke?” tanya Elman lagi.
“Sip!” kata Lucia sambil tersenyum. Kali ini ia sudah siap, mikrofon di tangan kanan, dan teks di tangan kiri.
“Camera, rolling?” tanya Elman.
“Rolling!” kata Dito sambil melihat Lucia dari viewfinder kameranya.
“Sound?” tanya Elman.
“Ready!” kata Reza, field-technician yang lain.
“On three… two… one… action!” kata Elman.
Kamera pun mulai merekam dan Lucia berdehem sejenak sebelum
membacakan lead-in nya.
“Pemirsa, malam ini adalah malam yang amat bersejarah,
karena pada malam hari ini akan diluncurkan untuk pertama kalinya kapal selam
murni buatan dalam negeri, yaitu KRI Antasena, yang boleh kita anggap sebagai
salah satu kapal selam paling canggih di dunia,” kata Lucia dengan lancar.
“And cut!” teriak Elman.
Lucia pun lalu
menarik nafas lega.
“Bagus sekali
Lucia!” kata Elman memberikan dua jempol. Lucia pun lalu mendekat ke timnya.
“Gimana?” tanya Lucia.
“Bagus koq, lancar,” kata Dito.
“Ntar abis ini pas acara kita pake kamera aja, nggak usah pake narasi,” kata Lucia, “ntar biar di VO aja kalau dah jadi; anginnya kenceng banget, suaranya pecah,”
“Beres,” kata Dito.
“Terus kita ngapain, Mbak?” tanya Erika.
“Ya, ikut upacara pastinya,” kata Lucia.
***
Upacara itu pun lalu
segera mulai, dan seperti yang telah disepakati, hanya kamera yang bermain,
tidak ada narasi, ataupun suara-suara. Upacara ini memang agak unik dan tidak
seperti biasanya upacara di Indonesia. Setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya”
dimainkan oleh korps marching band, hanya Menhan yang memberi sambutan.
Rata-rata memuji kemampuan insinyur-insinyur Indonesia dalam membangun kapal
selam ini. Setelah sambutan singkat itu, lalu diperkenalkan bahwa kapal ini
akan dikapteni oleh Laksma. Dino Mahan, salah seorang perwira muda di TNI AL
yang dulu bekas komandan Satgassel II, dan oleh koleganya dipandang sebagai
ahli taktis kapal selam terbaik. Kepada Laksma. Mahan inilah nanti Lucia akan menggantungkan
hidupnya.
Sekarang tibalah
saat yang dinanti-nantikan. Pemecahan kendi, sekaligus untuk meresmikan KRI
Antasena. Marching band pun memainkan lagu semangat ketika pejabat terhormat,
yaitu Kasal Laks. Danoe Salampessy naik ke atas tangga untuk memecahkan kendi
ke badan kapal selam yang baru itu. Lucia menyuruh para campers untuk tidak
melewatkan momen ini, karena ini adalah momen paling sakral dari setiap
peluncuran kapal baru. Laks. Salampessy pun sampai di atas dan akhirnya meraih
sebuah kendi berisi air yang terikat dengan tali. Ia mengangkat kendi itu
tinggi-tinggi dan disambut oleh tepuk tangan meriah semua orang, termasuk
Lucia. Kemudian, dengan mantap ia pun mengayunkan kendi itu supaya menghantam
badan kapal… namun…
“KLANG!!”
Semua terdiam. Lucia
tidak percaya pengelihatannya, tapi kendi itu setelah meluncur dan menghantam
badan kapal, bukannya pecah tapi malah hanya melenting saja dan cuma
retak-retak. Meskipun bocor, kendi itu sendiri masih utuh. Laksamana Salampessy
tampak terkejut dan tertunduk diam beberapa saat. Sementara itu di bawah, para
pelaut yang akan menjadi awak kapal dari KRI Antasena melihat dengan tatapan
mata ketakutan dan semua menelan ludah. Bisik-bisik pun terdengar di antara
para peserta upacara. Lucia pun gemetaran karena ia tahu apa artinya ini. Erika
langsung saja memegang tangan Lucia, dan baru menyadari bahwa Lucia tengah
gemetar, dan sekejap saja Erika bisa merasakan bahwa itu adalah getaran rasa
takut dan kekhawatiran.
“Ada
apa?” tanya Erika lirih.
“Ini pertanda sial,” kata Lucia dengan nada ketakutan,
“pelayaran ini dikutuk!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment