Tuesday, March 11, 2014

Laut Biru 1

Chapter I : The Submarine

Situation room,
Pentagon, Washington DC
11.34 EST

Jenderal Albert “Al” McKenna, Joint-Chief-of-Staff Angkatan Bersenjata Amerika Serikat memasuki ruangan dengan gontai. Tentu saja dia tahu apa yang akan dibicarakan dalam rapat ini, karena staf-nya sudah memberikan tembusan agenda rapat kepadanya. Perkembangan situasi di Timur Jauh, dan masalah ini sudah mengganggu tidurnya semenjak beberapa hari.

“Apa lagi sekarang?” tanya Al McKenna setelah duduk di kursinya.
Di hadapannya, adalah sebuah meja dengan berbagai peralatan canggih, serta sebuah layar besar untuk presentasi. Turut bersama dalam rapat itu adalah Direktur CIA, Roland Foster; Penasihat Militer Gedung Putih, Marion Stainer; Panglima Armada Ketujuh, Admiral Phillip Ludowsky; Kepala Staf Angkatan Laut, Admiral-of-The-Fleet Castor Fitzgerald-Burke; Menteri Pertahanan, Gerard Cheynou; dan Penasihat Urusan Luar Negeri Gedung Putih, Brad Paaske.
“Foto ini,” kata Kepala CIA Roland Foster membuka pembicaraan, “dikirimkan oleh Dinas Rahasia Australia,”
Layar di ruangan itupun akhirnya menunjukkan gambar sebuah galangan kapal yang tengah memperlihatkan sebuah kapal selam yang tengah dikonstruksi.
“Kapal selam?” tanya Al McKenna, “apa maksudnya?”
“Dugaan kami, jenis dari hunter-killer,” kata Roland Foster, “sedang dibuat di galangan kapal Surabaya, Indonesia; siapa tahu pada saat kita membicarakan ini, kapal selam ini sudah masuk ke air,”
“Apa pentingnya kapal selam ini? Apa kapal ini memiliki kemampuan untuk meluncurkan rudal balistik?” tanya Marion Stainer.
“Tidak, kapal jenis hunter-killer tidak bisa melakukan hal itu, sepertinya,” kata Roland Foster.
“Lalu kenapa kamu mengumpulkan kita di sini??” tanya Al McKenna dengan jengkel.
Rasanya rasa kejengkelan yang sama diperlihatkan pula oleh seluruh peserta rapat. Kecuali kapal selam yang memiliki kemampuan meluncurkan rudal balistik, Amerika Serikat memang tidak menganggap serius kepemilikan kapal selam buru-bunuh oleh negara-negara lain, karena kapal selam pemburu adalah jenis yang amat umum, serta peruntukannya lebih sebagai elemen defensif daripada elemen serang strategis, kecuali pada waktu Perang Dunia II. Apabila sebuah kapal selam itu bisa membawa rudal nuklir yang memiliki jangkauan hingga ke kota-kota penting Amerika Serikat maupun negara-negara sekutu-nya, maka itu baru layak diberikan perhatian.
“Percayalah, Tuan-tuan, ada alasan kenapa aku kita semua berkumpul di sini,” kata Roland Foster sambil menekan sebuah tombol.
Gambar di layar pun berganti dan pada saat itulah semua orang mulai menunjukkan perhatiannya.
***
Seminggu kemudian
Rumah Alex
Jakarta
06.01 WIB
Kembali Alex membuka mata dengan agak redup pagi ini, ketika suara pagi masuk dari sela-sela korden kamarnya yang masih setengah tertutup. Tubuhnya serasa lelah sekali, tapi sekaligus juga kini ia sudah semakin segar setelah beristirahat semalaman. Alex menarik nafas panjang sejenak, melihat kamarnya yang masih agak kabur akibat ia belum mengenakan kacamatanya. Alex melemparkan tangannya ke samping, dan tertambat pada sebuah gundukan hangat, dan Alex pun menoleh sambil tersenyum.
Terbaring di sisinya adalah istrinya, Lucia, tengah tidur dengan damainya. Ia tampak amat polos seperti bidadari yang tengah terbaring tidur dalam tubuh telanjangnya. Bagaimanapun, semalam, Alex dan Lucia baru saja menunaikan kewajiban mereka sebagai sepasang suami istri. Alex menghadap ke arah Lucia, tersenyum dan mengagumi kecantikan istrinya ini. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra di pipi Lucia, lalu membelai rambut Lucia yang hitam terurai.
Lucia, seolah tahu suaminya tengah memberi perhatian, saat itu juga membuka mata, dan tersenyum. Selimut yang menutupi mereka berdua sudah tersingkap, sehingga mereka benar-benar saling terbuka satu sama lainnya. Lucia tahu kalau Alex tengah mengaguminya, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Pagi…” sapa Lucia dengan nada mesra.
“Am I marry you?” tanya Alex tak kalah manja.
“Haruskah kamu selalu berkata itu setiap pagi?” tanya Lucia sambil menatap Alex dengan lembut.
Alex pun segera mengecup bibir istrinya itu dengan lembut, menciumnya dengan hangat seolah tak ingin membiarkan kedua tubuh ini berpisah. Alex mendekap tubuh Lucia, dan mereka berdua pun bercumbu, saling melemparkan kecupan dan ciuman mesra. Kembali mereka bergumul, meskipun tidak untuk melanjutkan permainan tadi malam, lebih sebagai pelampiasan rasa sayang saja. Nafas Lucia mendesah, karena Alex betul-betul melakukannya dengan lembut dan penuh cinta; dan ini membuat Lucia semakin bergairah. Ia menggigit bibirnya sembari mendekap dan merasakan kehangatan tubuh suaminya itu seolah tak ingin melepasnya; tak peduli meskipun tubuh ini sudah penuh dengan sisa-sisa keringat dan tumpahan rasa cinta semalam.
Sesi itu diakhiri dengan sebuah ciuman yang dalam di bibir mungil Lucia. Alex mendekap tubuh istrinya yang terasa hangat dan lembut di bawahnya, sebuah dekapan mesra yang membuat hati Lucia terasa terlindungi. Alex pun kemudian dengan seksama menatap wajah ayu Lucia, sehingga pipi Lucia pun memerah ranum.
“Jangan dilihatin ah,” kata Lucia pelan.
“Kamu cantik,” rayu Alex.

“Udah pagi…” kata Lucia.
Alex hanya mengangguk gontai.
Saat itulah pintu kamar tidur terbuka, dan masuklah Lani, anak Alex dari perkimpoiannya yang pertama. Di dalam rumah ini, kecuali ada tamu dari luar, pintu kamar memang tak pernah dikunci. Lani dengan cueknya masuk ke dalam kamar dan hendak merebahkan diri di kasur kalau saja tidak dicegah oleh Lucia.
“Lani udah mandi?” tanya Lucia lembut.
“Udah, Tante…” kata Lani.
Alex pun lalu berdehem dengan keras, dan Lani pun tahu kenapa.
“Eh iya, salah… Mama…” kata Lani mengoreksi panggilannya pada Lucia.
Lucia hanya tersenyum saja.
“Kalau udah mandi, jangan tiduran di sini, kalau nggak nurut, ntar kamu kudu mandi lagi,” kata Lucia lembut.
Jelas saja, kan ranjang itu masih “kotor”. Lucia membiarkan saja Lani melihatnya dalam keadaan telanjang seperti ini, dan tidak berusaha untuk menutupinya. Pada hari pertama Alex dan Lucia menikah, mungkin Lucia bakal buru-buru memakai selimut apabila Lani masuk ke kamarnya seperti saat ini, tapi sekarang ia sudah biasa, lagipula Lani juga anak yang pintar dan tentu saja Lani tahu apa yang saat ini Ayahnya dan Mama Lucia-nya ini lakukan.
“Ya udah, Lani, keluar yuk, Mama mau mandi dulu,” kata Lucia.
Lucia pun bangkit, dan mengambil selimut seadanya, dan hanya sekedarnya saja menggunakannya untuk menutup tubuhnya, itupun hanya bagian depan. Bagian belakangnya masih telanjang ketika Lucia mengajak Lani berjalan keluar kamar. Lucia pun, dengan keadaan seperti itu cuek saja berjalan melintasi ruangan menuju ke kamar mandi di sisi lain rumah ini.
Maka Lucia pun lalu melemparkan selimut itu ke dalam keranjang cucian, dan tanpa mengenakan baju, ia mengambil sebuah kimono mandi dan handuk lalu masuk ke kamar mandi. Oh ya, bagi mereka yang belum tahu, Lucia adalah istri kedua Alex. Istri pertamanya, Wina, yang juga Ibunya Lani meninggal karena sebuah kecelakaan yang tragis, dan Alex cukup lama menduda hingga ia bertemu Lucia.
Ketika Lucia selesai mandi, ia masih mengenakan kimono mandi itu dan langsung saja bersama dengan Lani menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga, terutama untuk Lani, karena sebentar lagi dia harus berangkat sekolah.
****
Lani pun akhirnya berangkat sekolah kemudian, bareng dengan Kania, tetangga, rekan kerja, sekaligus kakak angkat Alex. Lani memang bersekolah di SD yang sama dengan kedua putri (angkat) kembar Kania, sehingga setiap kali, Kania selalu menyempatkan pula mengantar Lani ke sekolah.
Alex sendiri akhirnya keluar dari kamar mandi setelah Lani pergi, dan segera melangkah gontai ke meja makan. Di sana, istrinya sudah menunggu. Lucia bahkan sekarang sudah memakai seragam biru NewsTV. Memang, mereka berdua sama-sama bekerja di NewsTV, jadi Alex selalu bertemu dengan istrinya, baik di kantor maupun di rumah. Tampak masih agak lemas juga ketika Alex duduk dan mengambil makanan.
“Fifi nggak nelpon?” tanya Alex.
“Belum,” kata Lucia.
“Nggak ada yang gawat berarti,” kata Alex, “udah ah, makan yuk, terus kita berangkat kerja,”
”Apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantumu?” tanya Lucia melihat sang suami yang tidak begitu bersemangat.
Alex memandang istrinya yang cantik itu dan tersenyum, ”Bagaimana kalau kau lepas celanamu?” godanya.
”Kamu ingin lagi?” seru Lucia takjub.
“Kenapa tidak? Toh masih banyak waktu, kita tidak akan terlambat tiba di kantor.” Alex berdiri di samping meja makan sambil mengurut perlahan batang penisnya yang kini sudah terlihat menegang.
“Kamu tidak pernah ada bosan-bosannya ya,” canda Lucia sambil tertawa. Ia letakkan piringnya yang masih berisi makanan ke atas meja dan lekas melepas celana dalam yang membungkus lubang vaginanya. Tampak vagina  itu juga sudah mulai basah.
Alex mendekat dan mengecup keningnya, ”Punya istri secantik dirimu, siapa yang akan pernah bosan!” bisiknya sambil melumat pipi, hidung, dan bibir Lucia.
Karena sudah terbakar nafsu, tak perlu waktu lama bagi Lucia untuk mengimbanginya. Langsung saja lidah mereka bergulat. Tangan kiri Alex dengan terampil melepas kancing baju Lucia, juga BH perempuan cantik itu. Dengan gemas Alex memilin dan meremas puting payudara Lucia saat kedua benda bulat itu terburai dari cup-nya, sambil tangan kanannya merogoh vagina sang istri dari depan.
Lucia pun tak mau tinggal diam, ia raih batang penis Alex yang sudah menegang dengan kedua tangannya dan mulai mengocoknya perlahan, naik turun dengan begitu lembut.
“Punya kamu sudah basah,” kata Alex sambil tersenyum menatap wajah cantik Lucia yang sudah memerah sayu.
“Kalau begitu, cepat lakukan!” seru Lucia tak sabar.
Tapi bukannya menuruti, Alex mendadak menghentikan gulatan lidahnya dan mengarahkan mulutnya ke bawah, ke arah payudara Lucia yang bulat kembar. HAP! Dia langsung mencaplok yang kanan. Disedotnya puting Lucia yang mungil kemerahan kuat-kuat, lidah Alex menari lincah diatas sana. Sungguh sangat geli sekali, tapi Lucia menyukainya. Ia biarkan Alex terus menyusu ke tonjolan buah dadanya.
Tak lama, mulut laki-laki itu pindah ke  yang kiri. HOP! Aghh, kali ini hisapan Alex terasa lebih kuat. Sambil menjilat, beberapa kali giginya ikut bermain dengan menggigit perlahan puting Lucia yang kini mulai terlihat sedikit mengeras.
“Owhh, sssshh!” Lucia hanya bisa mendesis menerima semua perlakuan itu. “Lakukan sekarang, Sayang.” bisiknya lirih. “aku sudah nggak tahan.”
Alex menganggukkan kepala. Dibaliknya tubuh montok Lucia menghadap ke arah meja makan, lalu didekapnya dari belakang. Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuh Lucia, terutama tonjolan buah dadanya yang kini menggantung indah. Alex terus memijit dan meremas-remasnya penuh nafsu. Lucia merasakan penis laki-laki itu berada tepat di belahan bokongnya, Alex menggesek-gesekkan benda itu ke bibir vaginanya dengan penuh perasaan.
“Ayo masukkan! Aku sudah nggak kuat lagi.” rengek Lucia memelas.
Mengerti akan hasrat istrinya yang tak bisa ditahan lagi, dengan perlahan Alex mulai mengarahkan kepala penisnya ke arah vagina Lucia. Digesek-gesekkannya ujung batang penis itu di luar bibir kemaluan Lucia. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vagina Lucia yang membanjir deras. Setelah dirasa cukup basah, barulah Alex mengambil ancang-ancang.
”Siap ya, kumasukkan sekarang!” bisiknya sambil mengecup pelan pundak sang istri.
Lucia merasakan kepala penis Alex berada di antara bulatan bokongnya. Perlahan Alex mulai mendorong hingga batang penis itu lekas menyeruak masuk sedikit demi sedikit. Rasanya begitu hangat, kenyal, namun keras saat batang Alex memenuhi lubang vaginanya. Sambil tetap meremas-remas kedua payudara Lucia, Alex terus mendorong batang penisnya hingga benda itu menancap seluruhnya.
“JLEBB!” kedua alat kelamin mereka kini sudah bertaut erat, saling mengisi satu sama lain.
“Uhh,” Lucia mendesah pelan sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Walau sudah terbiasa dengan ukuran penis Alex, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul. Namun Lucia berusaha mengabaikannya, rasa nyeri itu akan berubah menjadi rasa nikmat kalau Alex sudah menggerakkan pinggulnya.
Sama seperti sekarang, dimana Alex mulai menggeser-geser posisi tubuhnya, berusaha mencari posisi yang paling nikmat dalam persetubuhan mereka pagi itu. Perlahan, batang penisnya mulai ia gerakkan maju-mundur. Lucia merasakan denyut-denyut kejantanan Alex yang membuat organ kewanitaannya menjadi semakin membanjir, beberapa cairannya bahkan mulai turun mengalir ke arah pahanya karena saking basahnya.
“SLEP! SLEP! SLEP!“ tak peduli dengan semua itu, Alex terus menggerakkan pinggulnya maju mundur, bahkan ia terlihat begitu menikmatinya. Malah semakin lama, tusukannya menjadi kian cepat dan dalam.
“Enak, Sayang?” tanya Alex dari belakang sambil terus meremas payudara Lucia.
Saking enaknya, Lucia hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Ia tersenyum mendesis sambil berusaha menganggukkan kepala. Lucia hanya bisa  melenguh keenakan saat gelombang kenikmatan itu perlahan datang, membuat jantungnya berdetak semakin cepat dan nafasnya menderu tak kalah berat.
“Shhhh, aku mau keluar, Sayang. Ayo, tusuk memekku lebih dalam.” seru Lucia menyemangati sang suami.
Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, Alex semakin mempercepat sodokan penisnya. Begitu cepatnya hingga tubuh montok Lucia jadi terhentak-hentak karenanya. Meja tempat mereka menyandarkan tubuh pun seperti ikut merasakan dorongan brutal itu, benda itu berderit-derit keras tiap kali Alex menusukkan penisnya kuat-kuat.
“Shhh... oughh... aku keluar, Sayang! Sshh... arghhh!” erang Lucia dengan tubuh berkedut-kedut pelan. Cairan kental membanjir dari dalam lubang vaginanya. Alex mengimbangi dengan semakin mempercepat goyangannya, dan tak lama kemudian, laki-laki itupun terdiam dengan penis menusuk dalam-dalam ke arah vagina sempit Lucia.
“Ahhhh...“ Alex berteriak lirih saat gumpalan cairan hangat menyemprot dari ujung batang penisnya. Tak begitu banyak karena tadi malam sudah keluar berkali-kali, namun cukup untuk membuat liang rahim Lucia terasa sedikit penuh.
“Aku sayang kamu, Luz.” ucap Alex sambil mengecup bagian belakang leher Lucia, panisnya masih berkedut-kedut, berusaha menguras spermanya hingga tetes terakhir.
“Aku juga sayang kamu, mas.” jawab Lucia lirih.
Tidak sampai lima menit, mereka sudah memuaskan nafsu masing-masing. Lucia cepat membenahi bajunya, begitu juga dengan Alex. Mereka melanjutkan acara sarapan yang sempat tertunda, setelah itu pergi berdua ke kantor NewsTV bersama-sama.

***
Kantor NewsTV
09.12 WIB
Alex tiba di kantornya bersama dengan Lucia. Dan setelah memberikan ciuman mesra di bibir, mereka pun lalu berpisah. Alex akan menuju ke ruangan kerjanya di Lantai 2, sementara Lucia langsung menuju ke reporter’s lounge di Lantai 1. Bagi reporter yang saat itu tidak sedang bertugas atau mengedit berita, memang diusahakan untuk selalu standby di lounge, supaya apabila ada penugasan mendadak, mereka bisa cepat melaksanakan. Lounge ini memiliki peralatan-peralatan yang dibutuhkan oleh reporter dan kameramen atau petugas lapangan lainnya, termasuk logistik penyiaran.
“Lusi!!” teriak beberapa reporter wanita rekan sekerja Lucia ketika Lucia memasuki ruangan itu.
Bisa ditebak, selanjutnya dipenuhi dengan cipika-cipiki, pengucapan selamat, dan pelepasan kerinduan. Maklum lah, berhubung dia menikah, maka Lucia pun harus absen selama 2 minggu untuk you-know-what. Lucia saat ini bernaung di bawah program berita reguler, lebih tepatnya adalah untuk program berita utama News Today, langsung di bawah suaminya sendiri, Alex. Posisi ini sebenarnya agak rawan. Memang di NewsTV tidak melarang adanya pernikahan antar karyawan, namun baru Alex dan Lucia yang posisinya berada pada satu garis komando persis.
Total, ada 14 orang reporter yang berada di bawah komando untuk News Today, plus 7 orang reporter magang. Jumlah ini adalah jumlah reporter paling banyak dari semua program berita di NewsTV (terbanyak kedua adalah reporter program berita pagi Morning News dengan “hanya” 12 reporter plus 6 reporter magang). Dari jumlah ini (reporter tetap) maka 11 orang adalah wanita (plus juga adalah rasio terbanyak). Kebetulan sekali pada saat ini, yang ada di ruangan ini hanya 7 orang, dan kebetulan juga semuanya adalah wanita. Mereka adalah (selain Lucia): Githa, Marissa, Widya, Eva, Aviani, serta Tascha.
“Ehm… yang pengantin baru nih,” goda Eva sembari merangkul Lucia, “gimana main ama Bos? Enak, gak?” tanyanya.
“Ih, apaan sih, kamu, Va,” kata Lucia sambil tersipu malu, “ya jelas enak lah, orang suami sendiri,”
Eva hanya tertawa saja. “Pasti tadi malem habis-habisan nih,” kata Eva yang disambut tawa cekikikan dari teman-temannya.
“Ih… apaan sih,” kata Lucia sambil kembali memerah.
“Enak bener, yah?” goda Eva kembali.
“Ah, kayak kamu nggak tahu aja, Va,” balas Lucia.
“Hehehe…” kekeh Eva.
Memang, semua yang ada di sini sudah pada menikah semua. Kecuali Aviani, dia adalah yang termuda. Tapi jangan salah, riwayat kehidupan seksnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Emang berapa ronde sih, semalem?” tanya Eva lagi.
“Nggak keitung…” jawab Lucia yang disambut dengan gumaman “wow” dari semua orang.
“Enak mana ama yang dulu, Luz?” tanya Eva lagi.
Tiba-tiba Lucia berhenti dan menatap Eva dengan sorot mata yang mengerikan. Seolah-olah ada api kemarahan dalam mata Lucia, dan melihat itu, Eva pun langsung beringsut. Githa hanya memberi isyarat supaya Eva tidak meneruskan perkataannya. Sebelum menikah dengan Alex, Lucia memang pernah menikah dengan suami pertamanya, yaitu Ben. Tapi lalu mereka bercerai (bukan karena Alex). Semua yang ada di NewsTV tentu pasti masih ingat hal-hal mengerikan apa saja yang dibuat oleh Ben pada Lucia, pastinya sangat mengerikan sehingga semua orang pun menyetujui ketika Lucia menikah kembali dengan Alex.
Lucia pun menarik nafas panjang, lalu ia tertunduk lega, seolah sesuatu telah berhasil dikeluarkan. Ia lalu berusaha tersenyum kembali. “Pastinya… yang dua minggu itu lebih berarti daripada yang 6 tahun,” kata Lucia, “Alex memperlakukanku seperti seorang putri, dan itu yang membuatku senang hati nyerahin semuanya ke dia… Aku nggak ngira, ternyata aku bisa juga nemuin kepuasan seks dari Alex, yang nggak pernah aku dapetin dari Ben selama ini,”
“Maaf,” kata Eva sambil menepuk pelan pundak Lucia.
“Dah, nggak papa, koq,” kata Lucia.
“Duh… ngomongin yang lain dong… sebel,” gumam Aviani.
“Weleh, kamu kenapa, Vi?” tanya Eva.
“Ya elah… aku baru tadi malem pulang dari Moskow ya, belum ketemu ama Gilang, sementara di Moskow dua minggu aku nahan kangen… apalagi dinginnya minta ampun,” keluh Aviani.
“Wah, habis ini pasti lepas segel nih kalau udah sampai ubun-ubun kayak gitu,” goda Githa.
“Enak aja lepas segel… belum kali, ntar tunggu nikah, hahaha!” kata Aviani.
Semuanya hanya tertawa-tawa. Yah, rata-rata mereka yang ada di sini memang bukan orang yang awam soal seks. Bagaimanapun, saat semua wanita ini berkumpul, pembicaraan mengenai seks pasti saja ada, dan mereka selalu menceritakan tanpa malu-malu (selama tidak ada orang lain di luar komunitas ini).
“Oh ya, terus penugasan gimana nih? Aku udah dua minggu ini nggak nyentuh kantor,” kata Lucia.
“Pastinya sih kalau ada penugasan keluar lagi, giliran kamu,” kata Githa, “aku udah dapat jatah ngendon di Kejakgung nih, Aviani juga barusan pulang dari Moskow, kan; berarti tugas keluar berikutnya kamu yang dapet,”
“Kira-kira ke mana, yah?” tanya Lucia.
“Ya nggak tahu, Luz, tanyain ama suami lo sana,” kata Githa lagi.
***
Komando Angkatan Laut
Tanjung Priok, Jakarta
09.14 WIB
Dua hari sebelum ini, tengah terjadi sebuah mutasi dalam tubuh TNI Angkatan Laut. Kepala Pusat Penerangan TNI AL kini dijabat oleh Laksamana Madya Sapar Sihombing, dan Panglima Komando Armada Barat sekarang dijabat oleh Laksamana Ardan Sobari. Dua nama ini akan berperan sangat penting dalam kelanjutan cerita ini.
Pagi ini, Kepala Staff Angkatan Laut, Laksamana Danoe Salampessy memanggil seluruh jajaran staffnya untuk berkumpul dan membicarakan sesuatu. Beberapa waktu terakhir ini, semua jajaran di Angkatan Laut tengah sibuk mengurus apa yang disebut sebagai “Proyek Antasena”, yaitu proyek perkuatan Armada Bawah Laut TNI AL. Penjabarannya adalah seperti ini, bahwa ke depannya Armada Bawah Laut akan diperkuat oleh Kapal Selam Patroli Ringan (KSPR) dan Kapal Selam Tempur Utama (KSTU).
KSPR ini adalah kapal-kapal selam “kecil” yang sebentuk dan sebangun dengan rancangan U-Boat Type-VIII Jerman di Perang Dunia II, dan akan digunakan untuk patroli di perairan wilayah, terutama di perbatasan-perbatasan luar. Sementara itu, KSTU adalah kapal selam yang lebih besar serta lebih dititikberatkan sebagai elemen tempur. Untuk KSTU ini, maka selain Indonesia membelinya dari luar negeri (terutama Russia) juga dirintis pula kerjasama untuk membuat sendiri KSTU di Indonesia. Proyek KSTU inilah yang menjadi titik berat “Proyek Antasena”.
Setelah proses pengerjaan selama setahun, akhirnya jadi juga apa yang disebut sebagai KRI Antasena, kapal selam utama buatan dalam negeri. Pengerjaan kapal selam ini dipimpin oleh arsitek kapal selam dari Russia, yaitu Anatoly Sedorenkov, dan menghasilkan sebuah kapal selam yang memiliki “banyak keistimewaan”. Tapi itu adalah untuk nanti, sementara…
“Pers?” tanya Laksdya Sapar Sihombing tak percaya pendengarannya.
“Iya, Presiden menginginkan agar peresmian dan pelayaran perdana KRI Antasena bisa diliput oleh pers, bukan hanya TVRI saja,” kata Laks. Salampessy.
“Tapi, bukannya kita sudah sepakat untuk pelayaran perdana ini hanya boleh diketahui kalangan terbatas?” tanya Laksdya Sihombing.
“Iya, saya tahu,” kata Laks. Salampessy, “mungkin beri saja untuk satu stasiun TV lain selain TVRI, kamu boleh pilih stasiun TV mana yang kira-kira bisa kamu percaya,”
Laksdya Sihombing terdiam sejenak dengan mulut terkatup. Belakangan ini, seiring dengan dikembangkannya proyek-proyek besar Angkatan Laut, otomatis demi menghindari reaksi berlebihan, Pusat Penerangan Angkatan Laut sengaja menutup diri dari pers, dan dengan ini pula hubungan antara media dengan AL sedikit renggang. Ini tampak ketika media dilarang untuk meliput mengenai pengerjaan proyek pembuatan Destroyer dari kelas Yos Sudarso yang bakal jadi Destroyer murni buatan dalam negeri.
Sekarang, meskipun proyek Destroyer itu masih dalam tahap pengerjaan, Presiden sudah menitahkan agar dalam Proyek Antasena kali ini TNI-AL membuka diri pada pers. Tampaknya Presiden memang menginginkan pemberitaan proyek Antasena ini supaya diketahui oleh dunia, sehingga negara-negara ataupun pihak-pihak lain yang hendak menyalahi wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia bakal berpikir dua kali mengingat kehadiran KRI Antasena.
Tapi memberikan akses kepada pers bisa jadi permasalahan tersendiri. Orang-orang pers selalu memiliki naluri keingintahuan yang luar biasa besar. Takutnya, nanti dalam pemberitaan mereka, secara tak sengaja bisa mengungkapkan sisi-sisi dari proyek Antasena yang bisa dimanfaatkan oleh lawan-lawan untuk melemahkan proyek ini. Adakah media yang bisa diajak “bekerjasama”, kalau bisa sih yang sama-sama mengerti esensi dari proyek ini, sehingga bisa sepaham. Tapi apa ada orang semacam itu?
Saat itulah Laksdya Sihombing teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, pertempuran kecil di Selat Ombai. Yah, betul, orang yang bisa mengenali sebuah hiflskreuzer dari kapal niaga biasa tentulah mengerti tentang laut dan bisa berbagi visi yang sama. Maka, Laksdya Sihombing segera menyanggupi permintaan atasannya itu.
***
Gedung NewsTV
Lantai 2
09.18

Alex masuk ke ruang kerjanya di Lantai 2, yaitu di ruang berita untuk program berita utama News Today. Fifi, sahabat sekaligus wakilnya, tampak tidak berekspresi terlalu berlebihan menyambut kedatangan Alex. Memang hari ini adalah hari pertama Lucia masuk kerja, tapi yang jelas bukan hari pertama kerja bagi Alex setelah mereka menikah.
“Ada berita apa?” tanya Alex.
“Banyak,” jawab Fifi dingin.
Alex duduk di mejanya dan melihat banyak sekali berkas-berkas kerja, yang ia tinggalkan selama seminggu terakhir. Alex pun membuka beberapa di antaranya, dan…
“Hei, aku kira kamu udah ngerjain tugas ini?” tanya Alex, “ini juga…”
“Aku gak berani, kamu kan yang biasanya jago di sini,” kata Fifi.
“Ya ampun, kamu kan wakilku, Fi, ambil inisiatif sendiri napa, sih? Untung deadline masing-masing masih lama,” kata Alex.
“Aku nggak sebagus kamu dalam hal ini,” kata Fifi.
“Bullshit,” kata Alex, “kamu harus belajar ambil inisiatif kalau pas aku nggak ada,”
“Tapi sekarang kamu ada di sini, kan?” kata Fifi.
Alex hanya menghela nafas panjang. “Tapi aku nggak mungkin selamanya bisa nemenin kamu, Fi,” sahut Alex.
“Oh ya, Bu Isyana kasih memo ke aku,” kata Fifi, “kalau kamu datang, harus segera menghadap dia,”
“Nenek sihir itu mau apa lagi?” tanya Alex.
Fifi hanya mengangkat bahunya saja. “Mendingan cepetan,” kata gadis itu, “kamu tahu sendiri kan kalau Bu Isyana ampe marah?”
Alex mendengus sejenak, meletakkan map yang dibacanya di atas meja, lalu segera meninggalkan ruangan untuk menemui Isyana. Isyana adalah Pemimpin Redaksi NewsTV saat ini, dan dengan begitu, berarti dia adalah atasan langsung dari Alex dan Fifi. Cukup jauh ruangan Isyana, karena ruangan itu terletak di lantai 4, tapi beberapa tahun lalu, mungkin Alex tidak akan melangkah ke sana dengan langkah biasa seperti sekarang.
***
Lantai 4
Ruangan Isyana

“Masuk!” kata Isyana dengan dingin ketika mendengar pintu ruangannya diketuk.
“Ibu memanggil saya?” tanya Alex yang langsung masuk.
“Ya, silakan duduk dan tutup lagi pintunya,” kata Isyana.
Alex pun menutup kembali pintu itu dan duduk di hadapan Isyana.
“Bagaimana malam pengantinnya?” tanya wanita itu.
“Luar biasa,” kata Alex, “tapi pastinya Ibu tidak ingin membicarakan soal itu, kan?”
“Soal malam pengantin? Tentu tidak, itu urusan kamu sama istri kamu,” kata Isyana, “tapi soal istri kamu, Lucia, itu yang mau aku bicarakan,”
“Masih soal itu lagi, ya?” tanya Alex.
“Belum pernah dalam sejarah NewsTV ada suami istri atau keluarga dengan posisi pada satu garis komando seperti kamu,” kata Isyana, “jadi sekali lagi aku tawarkan, pindah Lucia segera,”
“Dalam aturan NewsTV, diperbolehkan adanya ikatan keluarga dalam satu korps, dan tidak ada yang melarang misal itu adalah satu garis komando sekalipun, Bu,” kata Alex, “dua tahun lalu, state-of-emergency juga belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah, tapi itu terjadi, kan?”
“Demi Tuhan, kamu selama ini selalu saja berusaha untuk menekan peraturan hingga ke batasnya, Tuan Alex,” kata Isyana dengan galak, “untuk sekali ini saja, mengalahlah! Aku tidak yakin kamu bisa menghadapi ini dengan tetap objektif,”
“Kalau begitu mari kita coba, Bu!” kata Alex tak kalah sengit, “aku akan melindungi Istriku apapun yang terjadi,”
“Justru itu yang membuatku khawatir, Tuan Alex,” kata Isyana.
Wanita itu lalu terdiam sejenak. Alex pun lalu melangkah untuk keluar, sesuatu yang akhir-akhir ini biasa dia lakukan tiap kali berdebat dengan Isyana.
“Sebelum kamu keluar, Tuan Alex,” kata Isyana, “kejadian ini membuatku sadar bahwa mungkin ada beberapa peraturan yang harus diamandemen,”
“Jadi anda akan memaksakan batas, Bu?” tanya Alex.
“Kalau harus,” kata Isyana.
“Amandemen tidak bisa dilaksanakan dalam waktu singkat, dan membutuhkan kebulatan oleh semua suara dari Dewan Redaksi,” kata Alex, “dan jangan lupa, Bu, aku punya hak veto dalam Dewan,”
“Tidak perlu kau ingatkan lagi, Tuan Alex,” kata Isyana, “aku akan tetap mencari cara, tapi sementara itu, kau boleh pergi… kudengar pekerjaanmu menumpuk, andai saja Fifi bisa betul-betul bertindak menggantikanmu selama kamu pergi,”
“Fifi aku pilih karena dia memiliki potensi untuk itu, Bu,” kata Alex, “dan aku mempercayai dia,”
“Kalau begitu dia harus segera menunjukkan bahwa dia memang memilikinya,” kata Isyana, “atau jangan-jangan dia sudah terlalu lama hidup di bawah bayang-bayangmu, sehingga potensinya itu mulai memudar?”
“Selamat siang, Bu!” kata Alex tak mau melanjutkan perdebatan itu.
Isyana hanya mendengus saja mengiringi kepergian Alex. Namun sepeninggalnya, telepon di ruangan Isyana berdering…
***
Lantai 2
Ruangan Alex

Alex pun, sekembalinya dari ruangan Isyana, segera tenggelam ke dalam pekerjaannya kembali. Bahkan Fifi sedikit pun tak digubrisnya. Fifi sendiri merasa agak bersalah dengan keadaan ini, karena sebenarnya ia memang bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk itu. Namun Fifi merasa ia tidak ingin melangkahi tugas dan wewenang Alex. Bagaimanapun ini memang bukan tugas di mana ada standar baku untuk melaksanakannya, dan gaya masing-masing individu amatlah berpengaruh. Inilah yang membuat Fifi selalu hampir “bermain aman” setiap kali Alex absen. Oleh beberapa orang, Fifi bahkan disebut sebagai “anjing penjaga”-nya Alex. Tapi Fifi tak pernah menggubris perkataan itu.
“Makanlah dulu,” kata Fifi, “ayuk, katanya Café punya menu baru, lho,”
“Bawa aja ke sini, aku mau selesaiin yang ini dulu,” kata Alex.
“Kamu marah, ya?” tanya Fifi.
“Kalau aku marah, kamu pasti tahu,” kata Alex.
Fifi pun hanya mendengus saja, tak berani protes. Alex tidak pernah marah, jarang sekali marah, tapi sekali ia marah, biasanya akibatnya cukup mengerikan. Oleh karena itu, Fifi cukup lega mengetahui bahwa Alex tidak sedang marah kepadanya.
Saat itu telepon kembali berdering. Alex dan Fifi sudah bisa menebak siapa yang menelepon, karena memang jarang yang menggunakan telepon tersebut.
“Ya?” jawab Alex ketika mengangkat telepon.
“Ke ruanganku, sekarang,” kata Isyana.
“Masih soal yang tadi lagi?” tanya Alex.
“Bawa Fifi sekalian!” kata Isyana sambil langsung menutup teleponnya. Pastinya itu berarti ada hal lain lagi yang harus dibicarakan. Apalagi kalau Fifi ikut-ikutan dipanggil, pastilah sangat penting.
Meskipun sudah berkali-kali masuk ke ruangan Bu Isyana, tapi setiap kali Fifi masih saja merasa merinding, berbeda dengan Alex yang tampaknya sudah terbiasa. Fifi masih saja berjalan sambil menggamit erat tangan Alex, membuat semua orang bisa menebak ke mana Alex dan Fifi hendak pergi.
“Masuk!” kata Isyana seolah tak perlu melihat lagi siapa yang mengetuk pintunya.
Maka masuklah Alex dan Fifi. Tapi segera mereka terkejut setelah mengetahui bahwa ada orang lain di sana: Laksdya Sapar Sihombing, yang langsung menyalami Alex.
“Laksmana?” kata Alex.
“Lama tidak bertemu, Saudara Alex,” kata Laksdya Sihombing, “semenjak tragedi di Selat Ombai,”
“Iya, lama sekali,” kata Alex.
“Tutup pintunya, Tuan Alex,” kata Isyana menyela, “dinding di sini punya telinga,”
Fifi pun dengan sigap menutup pintu, lalu barulah setelah itu Laksdya Sihombing mau untuk berbicara. Benar saja, apa yang diberitahukan amatlah sangat mengejutkan.
“Proyek Antasena?” tanya Alex tak percaya pendengarannya.
“Iya, dan aku yakin, orang yang bisa membedakan sebuah hiflskreuzer dari kapal dagang biasa pastilah tahu apa dan bagaimana pentingnya proyek ini, kan?” kata Laksdya Sihombing.
Tentu saja. Sebelum ini pun Alex sudah berupaya mengirimkan reporternya untuk meliput soal “proyek Antasena”, namun kebijakan tertutup dari Kapuspen AL sebelum ini membuat semua usaha itu mental. Kini, sebagai Kapuspen yang baru, Laksdya Sihombing malah menawarakan sesuatu yang amat diidam-idamkan.
“Tunggu, tapi siapa saja yang akan melakukan peliputan? Apa ada stasiun TV lain?” tanya Alex.
“Tidak ada,” kata Laksdya Sihombing, “ini khusus aku tawarkan untuk NewsTV,”
“Khusus NewsTV? Tapi kenapa?” tanya Alex.
“Karena aku percaya kamu tahu apa yang dipertaruhkan,” kata Laksdya Sihombing.
Alex hanya termenung saja mendengar kata-kata itu. Tak mungkin pula dia menolaknya, karena ini memang sebuah kesempatan emas yang bisa jadi hanya sekali saja muncul.
“Tawaran yang sulit buat ditolak,” kata Alex, “aku terima,”
“Baik,” kata Laksdya Sihombing sambil kembali menyalami Alex dengan gembira, “mungkin kau bisa kirim Prita untuk meliputnya?”
“Maaf, Prita tidak berada di bawahku,” kata Alex, “tapi aku janji, reporter yang aku kirim tidak akan mengecewakan,”
“Baiklah, aku tunggu di Surabaya,” kata Laksda Sihombing.
***
Lantai 1
Reporter’s Lounge
Kelompok pembicaraan kecil itu masih ada, meskipun jumlah pesertanya sudah berkurang. Beberapa reporter sudah pergi untuk menunaikan “misi” masing-masing. Hanya Githa, Aviani, dan Lucia yang masih ada di sana. Pembicaraan pun berubah, dan kali ini Lucia lebih banyak mendengarkan, apa yang dia lewatkan selama ini.
“Jadi aku sudah dikasih tahu juga,” kata Aviani, “enam hari lagi, bakal ada kapal Angkatan Laut Russia datang; kunjungan muhibah, gitu deh,”
“Pastinya kamu juga kan, yang disuruh ngeliput?” tanya Lucia.
“Yup, paling gitu,” kata Aviani, “jadi paling enggak masih ada waktu buat nyantai,”
“Tapi omong-omong, bisa tahu gitu dari siapa, sih?” tanya Lucia.
“Namanya Konstantin Valinov; Panglima Armada Baltik,” kata Aviani, “jadi pas ada acara makan malam di Kementrian Luar Negeri di Moskow, aku ikut nemenin Pak Dubes, nah ketemu deh, terus dibilangin kayak gitu,”
“Dah bilang ama Bos, kan, tapi?” tanya Lucia.
“Idih, ama suami sendiri koq manggilnya ‘Bos’, sih?” goda Githa.
“Suami kan di rumah, Tha, kalau di sini kan tetep Bos, kali,” jawab Lucia.
“Anyway, pastinya udah lah, trus Pak Alex juga nyuruh aku buat siap-siap kalau-kalau beneran datang,” kata Aviani, “kayaknya sih ada kapal besar yang mau datang, Penjelajah Tempur, mungkin kalau nggak dari kelas Kirov ya kelas Ushakov; soalnya juga kan TNI AL sudah menjajaki kemungkinan beli alutsista laut dari Russia… ya bukan Kapal Penjelajah sih, tapi paling gak buat display lah,”
“Duh, pusing… Bos tuh, yang apal soal gitu-gituan,” kata Lucia.
“Ah, masa sih kamu nggak pernah diajarin ama Bos?” tanya Aviani.
“Pasti kelewatan, abisnya kalau Bos udah ngobrol soal itu pasti panjang lebar,” kata Lucia, “kayaknya cuman Fifi ama Gilang aja deh, yang tahan ndengerin kalau Bos dah ngomong soal itu,”
Saat itulah, telepon di ruangan berdering dengan kencang. Airphone, dan ini berarti ada sebuah penugasan untuk para reporter. Lucia dengan cepat segera mengangkat telepon itu.
“Reporter’s Lounge,” kata Lucia.
“Luz?” tanya Alex dari balik telepon.
“Hai! Ada apa, Bos?” tanya Lucia.
Jika menggunakan airphone, pastinya pembicaraan profesional, sehingga Lucia pun memanggil suaminya dengan sebutan ‘Bos’. Karena Lucia juga tahu, kalau masalah pribadi, Alex pasti akan meneleponnya dari HP.
“Di situ siapa aja yang ada?” tanya Alex.
“Aku, Githa, Aviani, udah kayaknya,” kata Lucia.
“Udah? Itu aja?” tanya Alex.
“Iya,” jawab Lucia.
“Oke, semuanya ke sini, cepetan,” kata Alex.
“Oke,” kata Lucia.
Telepon pun ditutup, dan tanpa perlu berkata apa-apa, Githa dan Aviani pun segera beranjak, karena hanya melihat air muka Lucia, mereka sudah tahu bahwa semua orang sedang dipanggil. Soal apa? Bahkan mereka bertiga pun tidak tahu menahu.
***
Lantai 4
Ruangan Isyana
Sepeninggal Alex, Laksdya Sihombing tidak langsung pamit. Ia masih ada ’urusan’ dengan Isyana, Pemimpin Redaksi NewsTV yang cantik ini.
"Kamu makin cantik aja, Na," kata Laksdya Sihombing mencoba mencairkan suasana.
"Ah, bapak bisa aja,” Isyana yang biasanya keras dan lugas langsung tersipu malu mendengarnya. Tapi memang benar, ia cantik sekali. Di usianya yang baru melewati tiga puluhan, bodi dan kemulusan wajahnya tidak kalah dibanding para reporter NewsTV yang rata-rata masih 20’an.
Laksdya Sihombing berusaha berkesan sopan dan ramah, walau matanya sedari tadi terus memandang ke arah lekuk-lekuk tubuh Isyana yang sintal menggoda. Terutama ke arah kemeja Isyana yang dua kancing atasnya terbuka, sehingga nampaklah belahan payudaranya yang mengintip keluar, begitu putih dan mulus sekali.
Laksdya Sihombing duduk di meja kerja, sementara Isyana duduk di kursi kerjanya. "Wah, panas sekali di sini... AC-nya kurang bagus yah?" kata Laksdya Sihombing sambil menggulung lengan bajunya ke atas dan membuka dua kancing di dadanya. Isyana berusaha menahan diri untuk tidak melihat ke arah rambut-rambut di dada laki-laki itu. Bagaimanapun, ia harus sedikit jual mahal meski sekarang memeknya sudah mulai basah.
"Na, kamu nggak panas pakai blazer di ruang kaya gini?" tanya Laksdya Sihombing dengan nada yang terkesan wajar, meski mungkin saja tujuannya nakal.
"Well, sebenarnya iya sih... boleh nggak aku copot blazernya?" tanya Isyana menggoda.
"Hahaha, kok pakai minta izin segala sih? Memangnya aku suami kamu!" kata Laksdya Sihombing.
Humornya membuat Isyana tertawa geli, tapi juga sekaligus membuatnya ingin berbuat lebih jauh. Maka wanita itu berdiri dari kursi dan melepaskan blazernya dengan gaya yang sedikit dibuat-buat agar nampak seksi di depan mata Laksdya Sihombing. Isyana menunggu apa reaksi laki-laki itu kalau mengetahui bahwa ternyata kemeja yang ia kenakan ini ternyata tidak berlengan, sehingga kehalusan bahunya jadi terlihat jelas.
"Wah, ternyata nggak ada lengannya toh?” Laksdya Sihombing mengomentari sambil berdecak kagum.
"Gimana, aku seksi nggak?" sergah Isyana menggoda.
"Hah? Wah, kalau itu sih... apa kamu masih kurang yakin, sampai-sampai aku perlu meyakinkan dirimu lagi?" tanya Laksdya Sihombing menantang.
"Hihihi, ada-ada saja. Tapi thanks lho!" kata Isyana sambil mengedipkan mata.
Lalu dengan gaya yang kocak, Laksdya Sihombing melanjutkan, "Kamu nggak minta dipijitin sekalian? Kan kalau di film-film semi, adegan cewek buka blazer dilanjut dengan adegan pijit, trus berlanjut dengan adegan yang biasanya disensor?"
Ya ampun, caranya bicara begitu jantan dan sama sekali tidak kurang ajar. Isyana jadi luluh dibuatnya, maka tanpa berpikir panjang, ia pun rela untuk menyerahkan tubuh montoknya kepada laki-laki itu. "Terserah deh, tapi nggak usah disensor juga nggak apa-apa kok." jawab Isyana sambil tersenyum geli.
"OK, itu berarti adegan yang disensor itu bisa kita lakukan nanti," kata Laksdya Sihombing sambil berdiri dan berjalan memutar menuju belakang kursi Isyana dan mulai memijit bahu perempuan cantik itu.
Mereka terdiam sejenak, Laksdya Sihombing memijit bahu Isyana lewat kemejanya. Rasanya mantap juga, tapi tali bra yang Isyana kenakan terasa sedikit menyakitkan. Dan seperti mengetahuinya, Laksdya Sihombing segera  menyingkap kemeja Isyana ke bawah sehingga kini pundak perempuan cantik itu terpampang jelas di hadapannya.
"Huh, tali ini mengganggu saja!" kata Laksdya Sihombing sambil menyingkirkan tali bra Isyana ke samping. Isyana jadi merasa begitu seksi, ditelanjangi perlahan-lahan seperti ini membuat pikirannya jadi ngeres dan aneh-aneh.
"Hmm... nikmat sekali, Pak." kata Isyana menikmati pijitan Laksdya Sihombing yang memang nikmat hingga membuatnya menggeliat-geliat sedikit.
Tangan laki-laki itu dengan mantap memijiti pundak dan lehernya, membuat Isyana merasa begitu rileks, dan terus terang saja... terangsang! Tiap kali jemari Laksdya Sihombing yang hangat itu menyentuh pundaknya, rasanya begitu nikmat hingga Isyana mengerang-erang keenakan tanpa sungkan.
"Hmm... mmm... aduh, enak banget, Pak! Boleh juga pijitan bapak!" desah Isyana menggoda.
"Eh, rintihannya jangan dibuat-buat gitu dong! Nanti aku jadi pingin mijit yang lain nih!" sahut Laksdya Sihombing sambil tertawa.
"Mijit apa, Pak? Aahh... mmhh... ohh..." rintih Isyana semakin dibuat-buat, niatnya dia ingin bercanda.
Tapi di luar dugaan, tiba-tiba tangan Laksdya Sihombing langsung turun ke bawah dan menangkup tonjolan buah dadanya. ”Mijit ini!” kata laki-laki itu sambil meremas-remas kedua payudara Isyana yang masih terbungkus bra.  Tangan Laksdya Sihombing terus bergerak disitu, dan Isyana tidak berusaha menepisnya, karena di luar dugaan, ternyata ia juga menikmatinya.
”Bapak suka?” tanya Isyana dengan tubuh menggeliat-geliat kegelian.
”Susumu empuk, aku suka.” kata Laksdya Sihombing sambil tangannya terus  memijit-mijit payudara Isyana. Bahkan ia sudah menurunkan bra Isyana ke bawah hingga kedua susu perempuan cantik itu kini terbuka lebar, tepat berada di dalam genggaman tangannya.
Laksdya Sihombing memutar kursi Isyana hingga kini mereka duduk berhadapan. Ia berlutut di depan Isyana, matanya menatap mata Isyana yang telah sayu terlanda birahi. Tanpa banyak kata, ia lalu memajukan kepalanya dan mengulum bibir Isyana.
”Hmmp...” mata Isyana terpejam ketika merasakan lidah Laksdya Sihombing menerobos mulutnya. Ia agak terkejut ketika merasakan jilatan lidah laki-laki itu turun untuk membasahi lehernya yang jenjang, merambat menyusuri bahunya... dan terus turun hingga tiba di puncak payudaranya. Hangat dan nikmat sekali rasanya.
"Nngg..." Isyana merintih pelan sambil menengadahkan kepala saat merasakan lidah Laksdya Sihombing yang melingkar-lingkar mengolesi putingnya, bergantian kiri dan kanan, sambil sesekali mencucup dan menghisap belahan dadanya... terus menari-nari di situ... uhh, membuat Isyana jadi semakin tak karuan rasanya.
"Augh, hisap yang kuat, Pak!" Isyana meracau tak jelas. tubuhnya menggelinjang-gelinjang akibat menahan geli yang begitu luar biasa. Begitu gelinya hingga punggung Isyana terlepas dari sandaran kursi dan melengkung seperti busur panah. Entah kenapa, jilatan Laksdya Sihombing rasanya begitu berbeda, benar-benar membuat Isyana seperti melayang kegelian. Rasanya seluruh badannya kehilangan energi, lemas sekali, tapi terasa begitu nikmat. Dengan suaminya, Isyana tidak pernah merasakan yang seperti ini.
”Uhhfff...” kedua puting susunya yang sensitif terus menjadi bulan-bulanan mulut rakus Laksdya Sihombing. Isyana hanya bisa merintih dan mengerang sebisanya, keringat mulai menetes membasahi tubuh sintalnya. Rasanya sulit sekali untuk bernafas teratur, tiap kali menarik nafas, selalu terhenti oleh rasa geli yang menyengat puting susunya.
"Na, sekarang naik ke meja," kata Laksdya Sihombing sambil membimbing Isyana berdiri. Karena sudah terangsang tak karuan, Isyana menurut saja. Laksdya Sihombing menelentangkan tubuhnya di meja kantor, kancing kemejanya telah terbuka semua, namun Laksdya Sihombing tidak melepasnya, ia hanya menyingkirkannya ke kiri dan ke kanan, yang penting susu bulat Isyana tetap terlihat jelas.
Isyana kembali memejamkan mata ketika mulut rakus Laksdya Sihombing  menyerang kedua puting susunya. Benda bulat mungil itu dijilat, dihisap dan digigit-gigit laki-laki itu berulang kali. Rasanya sungguh geli luar biasa, tapi juga begitu nikmat. Isyana hanya bisa telentang di meja sambil terengah-engah dan menggelinjang menahan serbuan birahi yang diberikan oleh Laksdya Sihombing.
"Ahh... ssh... mmh..." Isyana mendesah dan meracau tak karuan manakala merasakan tangan kanan Laksdya Sihombing yang kini mulai gatal menyusup ke balik rok mini dan celana dalamnya. Laki-laki itu menggosok-gosok bibir kemaluannya yang telah lembab dan basah sekali dari tadi, sementara ciuman dan lidahnya bergerak turun menyusuri perut Isyana yang langsing, menjilati pusarnya. Lidah Laksdya Sihombing mendarat di tempat-tempat tak terduga yang memberi Isyana sensasi yang luar biasa selain pilinan jari laki-laki itu pada puting susunya.
Paha bagian dalamnya tak luput dari jilatan-jilatan Laksdya Sihombing yang mesra dan hangat. Laki-laki itu menyingkap rok Isyana ke atas, lalu jemarinya kembali ke puting susu Isyana, seolah tak ingin membiarkan mereka menganggur lama-lama. Digigitnya celana dalam Isyana, dan entah dengan cara apa, Laksdya Sihombing berhasil melepasnya. Dengan sukarela Isyana mengangkangkan kedua tungkaiku lebar-lebar agar Laksdya Sihombing bisa memandangi lubang kewanitaannya puas-puas.
"Ahhgg..." Isyana menjerit dan menggelinjang hebat ketika lidah Laksdya Sihombing tiba-tiba menyayat klitorisnya dengan cepat dan tajam. Lalu kewanitaannya seperti diselimuti oleh sesuatu yang basah, panas, dan lunak, serta klitorisnya seperti terhisap-hisap dan tersayat-sayat oleh sesuatu. Karuan saja Isyana makin tak tahan, ia semakin menggeliat-geliat tak karuan, bahkan punggungnya sampai terangkat-angkat dari meja.
"Ooh... Pak... uugh... enak sekali... sshh... Bapak apain saya... aduuhh!!" rintih Isyana tak terkendali. Matanya tak mampu terbuka, nafasnya kian terasa berat. Rasanya geli sekali, namun nikmat tak terkira. Ia segera memelintir-lintir kedua puting susunya untuk menambah kenikmatan. Isyana juga meremas-remas kedua tonjolan buah dadanya yang empuk dan kenyal, sementara Laksdya Sihombing tak henti mengirimkan kehangatan birahi lewat jilatan lidahnya.
Aduh, benar-benar tak terperi nikmatnya. Tusukan lidah laki-laki itu  menyentuh tempat yang tepat, berkali-kali. Terasa seluruh energi Isyana seperti terhisap ke tempat itu, terkumpul di sana, lalu meledak. "Arghh... Pak! Ughhh..." ia pun mencapai klimaks. Orgasme yang sungguh luar biasa hingga kesadaran Isyana sebagian terenggut lepas. Tubuhnya terkulai lemas, kenikmatan ini benar-benar membuatnya terbang melayang. Isyana memejamkan matanya, mencoba merasakan nikmatnya terombang-ambing di alam bawah sadar.
"Kamu mau istirahat dulu?" tanya Laksdya Sihombing dengan sabar, sedikit mengejutkannya.
"Ngghh... nggak, langsung aja, Pak. Goyang yang cepat ya! Saya tidak punya banyak waktu!" Isyana menyahut.
"Well, baik kalau begitu." Itu kata terakhir yang diucapkan oleh Laksdya Sihombing, karena selanjutnya... slepp! Kejantanannya sudah mengisi tiap rongga kewanitaan Isyana.
"Aduh... ohh... terus, Pak! Ughh..." Isyana merintih ketika ia mulai merasakan gerakan tubuh Laksdya Sihombing. Laki-laki berdiri sementara ia telentang di meja, jelas itu membuat Laksdya Sihombing sangat leluasa menggerakkan tubuhnya. Kejantanannya terasa menyodok dan menggerus-gerus seluruh bagian dalam kewanitaan Isyana dengan buas dan garang.
Isyana tak mampu membalas karena masih lemas oleh orgasmenya yang pertama tadi, ia hanya bisa memejamkan mata sambil menggeliat dan merintih keenakan. "Uhh... terus, Pak!" Isyana menggumam. Tusukan Laksdya Sihombing terasa kian dalam menerobos dasar kewanitaannya. Telapak tangan laki-laki itu henti meremas dan memegangi bulatan payudaranya.
Beberapa menit kemudian, Laksdya Sihombing tiba-tiba menarik kejantanannya dari kewanitaan Isyana, lalu dengan begitu cepat membalikkan tubuh Isyana hingga kini badan Isyana tengkurap di meja, namum kakinya menjuntai ke lantai. Isyana hanya terengah menerimanya saat Laksdya Sihombing kembali menikamkan kejantanannya, kali ini dari arah belakang.
"Uffhh..." sensasi yang berbeda lagi, tapi Isyana menyukainya. Laksdya Sihombing mengocok tubuhnya keras sekali hingga meja tempat mereka bersandar jadi bergoyang-goyang. Saat itulah, Isyana merasakan klimaks kembali menyambar tubuh sintalnya. Kewanitaannya mengejang, menggigit kejantanan Laksdya Sihombing. Dengan tangan mencengkeram ujung meja kuat-kuat, ia menyemburkan cairan kewanitaannya.
”Arghhh!!” Isyana menjerit tertahan merasakan gelombang kenikmatan yang menyapu jiwanya, merenggut tenaganya, hingga membuat tubuhnya jadi terasa lemas sekali. "Aduh, Pak... enak sekali." lenguh Isyana.
"Tahan sebentar, ya... bisa kan?" jawab Laksdya Sihombing sambil mempercepat gerakannya.
"Ohh... uhh... ngg..." Isyana mengerang-erang menahan nikmat yang masih melanda. Saat itulah, terasa kehangatan mengalir di celah kewanitaannya. Rupanya Laksdya Sihombing juga sudah mencapai puncak, spermanya menyembur deras mengisi sudut-sudut liang kewanitaan Isyana.
Cukup lama mereka telungkup di meja sambil terus berpelukan erat. Setelah penisnya mengkerut dan mengecil, barulah Laksdya Sihombing mencabutnya lalu melemparkan tubuhnya ke kursi. Dengan sisa-sisa tenaga, Isyana mencoba berdiri dan merapikan kemejanya yang telah kusut tak karuan. Ia tidak mengenakan kembali celana dalamnya karena telah basah oleh cairan ketika foreplay tadi. Isyana melihat Laksdya Sihombing sedang berdiri untuk merapikan kembali celananya, wajah laki-laki itu tampak berseri-seri.
"Udah siang, aku harus pamit!" kata Laksdya Sihombing.
"Maaf tidak bisa mengantar, aku benar-benar capek.” Isyana berusaha untuk tersenyum.
”Tidak apa-apa, kamu sudah memberiku yang terbaik.”
***
Lantai 2
News Room
Ketiga reporter ini akhirnya sampai ke News Room, di mana Alex dan Fifi sudah menunggu di sana. Alex mengerling sejenak kepada Lucia, yang disambut dengan senyuman tersipu dari istrinya itu, tapi tak ada bahasa yang lain. Sekarang mereka tengah bekerja, bukan untuk berasyik masyuk.
“Ada apa, Bos?” tanya Githa.
“Angkatan Laut, secara pribadi, meminta NewsTV untuk melakukan peliputan atas proyek Antasena,” kata Alex langsung ke pokok sasaran.
“Apa? Proyek Antasena?” kata Githa sedikit terperanjat.
Githa cukup lama melakukan peliputan di DPR, juga Departemen Pertahanan, jadi dia tentu paham mengenai Proyek Antasena. Ia pun tahu bahwa selama ini Proyek Antasena menjadi salah satu rahasia yang ditutup rapat oleh Angkatan Laut, sehingga tugas ini membuatnya amat terkejut.
“Simpel saja, penugasan selama seminggu penuh, mengikuti perjalanan KRI Antasena dari dalam, laporkan apa saja, ikut petunjuk dari AL, dan semua harus sudah siap di Surabaya dalam 3 hari,” kata Alex.
“Tiga hari??” tanya Lucia.
“Aku sudah menghubungi Biro Surabaya, dan mereka bersedia menyiapkan semua akomodasi, perlengkapan, termasuk juga tim peliputan. Dari Jakarta, kita cukup tinggal mengirimkan reporter ke sana,” kata Alex, “yang mana itu artinya salah satu dari kalian,”
Githa, Lucia, dan Aviani saling berpandangan sejenak.
“Maaf, Bos, aku kan baru aja pulang dari Moskow,” kata Aviani, “aku juga masih harus bikin laporan, jadi paling siap seminggu lagi aku baru bisa, jadi aku nggak bisa ke Surabaya sekarang,”
“Oke, aku tahu, gimana kalau Githa?” tanya Alex.
“Waduh, salah orang kayaknya ya, Bos, aku kan dapat priority-task di Kejakgung,” kata Githa.
“Nggak bisa dialihkan?” tanya Alex.
“Maaf, nggak bisa, kalaupun bisa kudu pake izin tertulis dari atas dulu, mana Bu Desi bilang, aku kudu selesaiin tugas ini sebelum bisa liputan ke tempat lain,” kata Githa, “nggak bisa diganggu gugat, kan? Dan kayaknya dulu Bos deh, yang mesen kayak gitu?”
Alex tidak menjawab, hanya saja dengan enggan ia melirik ke istrinya.
“Oke, aku aja yang berangkat,” kata Lucia sambil tersenyum dengan penuh semangat.
Tapi antusiasme itu malah ditanggapi dengan dingin oleh Alex, yang lalu memalingkan pandangan kembali ke arah Githa.
“Tiga hari,” kata Alex.
“Nggak bisa, lima hari,” kata Githa.
“Aku bilang aku bisa!” kata Lucia mencoba menarik perhatian, namun sayangnya Alex tetap mengacuhkannya.
“Tiga hari, aku kasih bonus ekstra,” kata Alex.
“Nggak bisa, lima hari paling cepat, atau Bos Anton mau coba melanggar kewenangannya Bu Desi?” ancam Githa.
Alex hanya terdiam. Selama ini dia dan Desi, koordinator reporter, memiliki hubungan yang cukup baik, dan juga setiap kali Desi hampir selalu memprioritaskan permintaan Alex akan tim peliputan. Walaupun begitu, memang ada beberapa wilayah kerja Desi yang tidak bisa diganggu gugat, oleh Alex sekalipun, dan Alex jelas sekali enggan untuk mencoba memaksakannya. Jelas senjata yang dilepaskan oleh Githa ini betul-betul maut.
“Sudahlah, Bos, pake Luz aja kenapa, sih??” tanya Aviani setengah memaksa.
Aviani memang agak jengkel dengan “diskusi” ini. Di matanya, sudah jelas-jelas hanya Lucia satu-satunya reporter yang available untuk tugas ini, tapi Bos-nya ini seolah-olah ingin menahan untuk tidak memakai Lucia, terlepas bahwa Lucia adalah istri Alex.
“Lucia sudah balik dari cuti, dan secara rotasi, sekarang gilirannya dia buat maju,” kata Githa mendukung, “semua yang lain udah punya tugas masing-masing; tinggal Lucia aja yang belum. Apa mentang-mentang Lucia ini istrinya Bos terus mau dikecualikan, gitu?”
Githa menantang Alex, kali ini Lucia pun juga. Sudah lama sekali Lucia absen akibat cuti, dan ia sangat tidak sabar untuk bisa bertugas kembali ke lapangan, apalagi tugas ini lumayan besar. Alex pun beringsut, karena meskipun Lucia adalah istrinya sendiri, tapi secara profesional, Alex tidak punya alasan untuk menahan Lucia kali ini. Dengan enggan, akhirnya Alex pun menyetujuinya, yang disambut dengan tawa gembira Lucia.
“Aku kasih semua rinciannya nanti,” kata Alex, “sebaiknya ntar malam kamu mulai siap-siap, soalnya rencana launching-nya 3 hari lagi, jadi lusa kamu kudu sudah ada di Surabaya,”
“Oke!” kata Lucia.
Karena tidak ada lagi yang harus dibicarakan, maka mereka bertiga pun segera pamit keluar. Sebelum keluar, Lucia sempat memberikan ciuman mesra di pipi kiri dan kanan suaminya, yang hanya bisa mendengus murung. Baru setelah agak sepi, Fifi mulai bertanya pada Alex.
“Apa kamu pikir Lucia nggak mampu ngejalanin tugas itu?” tanya Fifi.
“Oh nggak, aku yakin Lucia bisa,” kata Alex, “waktu banjir raksasa tempo hari dia udah ngejalanin tugas di BMG dengan baik; aku yakin, tugas kali ini pun juga bakal diselesaikan dengan baik,”
“Terus? Kalau gitu kenapa?” tanya Fifi lagi.
“Aku nggak pernah menilai ide mengirimkan istri sendiri 6 kaki di bawah permukaan laut di dalam sebuah kaleng baja raksasa adalah ide yang baik,” kata Alex, “aku punya perasaan nggak enak soal ini,”
Fifi hanya bisa menepuk dan mengelus pelan pundak Alex yang terasa berat oleh pikiran.
BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment

Musim Panas di Los Angeles - 3

  Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sa...