Chapter I : The Submarine
Situation room,
Pentagon, Washington
DC
11.34 EST
Jenderal Albert “Al” McKenna, Joint-Chief-of-Staff Angkatan Bersenjata Amerika Serikat memasuki ruangan dengan gontai. Tentu saja dia tahu apa yang akan dibicarakan dalam rapat ini, karena staf-nya sudah memberikan tembusan agenda rapat kepadanya. Perkembangan situasi di Timur Jauh, dan masalah ini sudah mengganggu tidurnya semenjak beberapa hari.
“Apa lagi sekarang?”
tanya Al McKenna setelah duduk di kursinya.
Di hadapannya,
adalah sebuah meja dengan berbagai peralatan canggih, serta sebuah layar besar
untuk presentasi. Turut bersama dalam rapat itu adalah Direktur CIA, Roland
Foster; Penasihat Militer Gedung Putih, Marion Stainer; Panglima Armada
Ketujuh, Admiral Phillip Ludowsky; Kepala Staf Angkatan Laut,
Admiral-of-The-Fleet Castor Fitzgerald-Burke; Menteri Pertahanan, Gerard
Cheynou; dan Penasihat Urusan Luar Negeri Gedung Putih, Brad Paaske.
“Foto ini,” kata
Kepala CIA Roland Foster membuka pembicaraan, “dikirimkan oleh Dinas Rahasia
Australia,”
Layar di ruangan
itupun akhirnya menunjukkan gambar sebuah galangan kapal yang tengah
memperlihatkan sebuah kapal selam yang tengah dikonstruksi.
“Kapal selam?” tanya
Al McKenna, “apa maksudnya?”
“Dugaan kami, jenis
dari hunter-killer,” kata Roland Foster, “sedang dibuat di galangan kapal
Surabaya, Indonesia; siapa tahu pada saat kita membicarakan ini, kapal selam
ini sudah masuk ke air,”
“Apa pentingnya
kapal selam ini? Apa kapal ini memiliki kemampuan untuk meluncurkan rudal
balistik?” tanya Marion Stainer.
“Tidak, kapal jenis
hunter-killer tidak bisa melakukan hal itu, sepertinya,” kata Roland Foster.
“Lalu kenapa kamu
mengumpulkan kita di sini??” tanya Al McKenna dengan jengkel.
Rasanya rasa
kejengkelan yang sama diperlihatkan pula oleh seluruh peserta rapat. Kecuali
kapal selam yang memiliki kemampuan meluncurkan rudal balistik, Amerika Serikat
memang tidak menganggap serius kepemilikan kapal selam buru-bunuh oleh
negara-negara lain, karena kapal selam pemburu adalah jenis yang amat umum,
serta peruntukannya lebih sebagai elemen defensif daripada elemen serang
strategis, kecuali pada waktu Perang Dunia II. Apabila sebuah kapal selam itu
bisa membawa rudal nuklir yang memiliki jangkauan hingga ke kota-kota penting Amerika
Serikat maupun negara-negara sekutu-nya, maka itu baru layak diberikan
perhatian.
“Percayalah,
Tuan-tuan, ada alasan kenapa aku kita semua berkumpul di sini,” kata Roland
Foster sambil menekan sebuah tombol.
Gambar di layar pun
berganti dan pada saat itulah semua orang mulai menunjukkan perhatiannya.
***
Seminggu kemudian
Rumah Alex
Jakarta
06.01 WIB
06.01 WIB
Kembali Alex membuka
mata dengan agak redup pagi ini, ketika suara pagi masuk dari sela-sela korden
kamarnya yang masih setengah tertutup. Tubuhnya serasa lelah sekali, tapi
sekaligus juga kini ia sudah semakin segar setelah beristirahat semalaman. Alex
menarik nafas panjang sejenak, melihat kamarnya yang masih agak kabur akibat ia
belum mengenakan kacamatanya. Alex melemparkan tangannya ke samping, dan
tertambat pada sebuah gundukan hangat, dan Alex pun menoleh sambil tersenyum.
Terbaring di sisinya
adalah istrinya, Lucia, tengah tidur dengan damainya. Ia tampak amat polos
seperti bidadari yang tengah terbaring tidur dalam tubuh telanjangnya. Bagaimanapun,
semalam, Alex dan Lucia baru saja menunaikan kewajiban mereka sebagai sepasang
suami istri. Alex menghadap ke arah Lucia, tersenyum dan mengagumi kecantikan
istrinya ini. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra di pipi Lucia, lalu
membelai rambut Lucia yang hitam terurai.
Lucia, seolah tahu
suaminya tengah memberi perhatian, saat itu juga membuka mata, dan tersenyum.
Selimut yang menutupi mereka berdua sudah tersingkap, sehingga mereka
benar-benar saling terbuka satu sama lainnya. Lucia tahu kalau Alex tengah
mengaguminya, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Pagi…” sapa Lucia
dengan nada mesra.
“Am I marry you?” tanya Alex tak kalah manja.
“Haruskah kamu selalu berkata itu setiap pagi?” tanya Lucia
sambil menatap Alex dengan lembut.
Alex pun segera mengecup bibir istrinya itu dengan lembut,
menciumnya dengan hangat seolah tak ingin membiarkan kedua tubuh ini berpisah.
Alex mendekap tubuh Lucia, dan mereka berdua pun bercumbu, saling melemparkan
kecupan dan ciuman mesra. Kembali mereka bergumul, meskipun tidak untuk
melanjutkan permainan tadi malam, lebih sebagai pelampiasan rasa sayang saja.
Nafas Lucia mendesah, karena Alex betul-betul melakukannya dengan lembut dan
penuh cinta; dan ini membuat Lucia semakin bergairah. Ia menggigit bibirnya
sembari mendekap dan merasakan kehangatan tubuh suaminya itu seolah tak ingin
melepasnya; tak peduli meskipun tubuh ini sudah penuh dengan sisa-sisa keringat
dan tumpahan rasa cinta semalam.
Sesi itu diakhiri
dengan sebuah ciuman yang dalam di bibir mungil Lucia. Alex mendekap tubuh
istrinya yang terasa hangat dan lembut di bawahnya, sebuah dekapan mesra yang
membuat hati Lucia terasa terlindungi. Alex pun kemudian dengan seksama menatap
wajah ayu Lucia, sehingga pipi Lucia pun memerah ranum.
“Jangan dilihatin
ah,” kata Lucia pelan.
“Kamu cantik,” rayu
Alex.
“Udah pagi…” kata Lucia.
Alex hanya
mengangguk gontai.
Saat itulah pintu
kamar tidur terbuka, dan masuklah Lani, anak Alex dari perkimpoiannya yang
pertama. Di dalam rumah ini, kecuali ada tamu dari luar, pintu kamar memang tak
pernah dikunci. Lani dengan cueknya masuk ke dalam kamar dan hendak merebahkan
diri di kasur kalau saja tidak dicegah oleh Lucia.
“Lani udah mandi?”
tanya Lucia lembut.
“Udah, Tante…” kata
Lani.
Alex pun lalu
berdehem dengan keras, dan Lani pun tahu kenapa.
“Eh iya, salah…
Mama…” kata Lani mengoreksi panggilannya pada Lucia.
Lucia hanya
tersenyum saja.
“Kalau udah mandi,
jangan tiduran di sini, kalau nggak nurut, ntar kamu kudu mandi lagi,” kata
Lucia lembut.
Jelas saja, kan
ranjang itu masih “kotor”. Lucia membiarkan saja Lani melihatnya dalam keadaan
telanjang seperti ini, dan tidak berusaha untuk menutupinya. Pada hari pertama
Alex dan Lucia menikah, mungkin Lucia bakal buru-buru memakai selimut apabila
Lani masuk ke kamarnya seperti saat ini, tapi sekarang ia sudah biasa, lagipula
Lani juga anak yang pintar dan tentu saja Lani tahu apa yang saat ini Ayahnya
dan Mama Lucia-nya ini lakukan.
“Ya udah, Lani,
keluar yuk, Mama mau mandi dulu,” kata Lucia.
Lucia pun bangkit,
dan mengambil selimut seadanya, dan hanya sekedarnya saja menggunakannya untuk
menutup tubuhnya, itupun hanya bagian depan. Bagian belakangnya masih telanjang
ketika Lucia mengajak Lani berjalan keluar kamar. Lucia pun, dengan keadaan
seperti itu cuek saja berjalan melintasi ruangan menuju ke kamar mandi di sisi
lain rumah ini.
Maka Lucia pun lalu
melemparkan selimut itu ke dalam keranjang cucian, dan tanpa mengenakan baju,
ia mengambil sebuah kimono mandi dan handuk lalu masuk ke kamar mandi. Oh ya,
bagi mereka yang belum tahu, Lucia adalah istri kedua Alex. Istri pertamanya,
Wina, yang juga Ibunya Lani meninggal karena sebuah kecelakaan yang tragis, dan
Alex cukup lama menduda hingga ia bertemu Lucia.
Ketika Lucia selesai
mandi, ia masih mengenakan kimono mandi itu dan langsung saja bersama dengan
Lani menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga, terutama untuk Lani, karena
sebentar lagi dia harus berangkat sekolah.
****
Lani pun akhirnya
berangkat sekolah kemudian, bareng dengan Kania, tetangga, rekan kerja,
sekaligus kakak angkat Alex. Lani memang bersekolah di SD yang sama dengan
kedua putri (angkat) kembar Kania, sehingga setiap kali, Kania selalu
menyempatkan pula mengantar Lani ke sekolah.
Alex sendiri
akhirnya keluar dari kamar mandi setelah Lani pergi, dan segera melangkah
gontai ke meja makan. Di sana, istrinya sudah menunggu. Lucia bahkan sekarang
sudah memakai seragam biru NewsTV. Memang, mereka berdua sama-sama bekerja di
NewsTV, jadi Alex selalu bertemu dengan istrinya, baik di kantor maupun di
rumah. Tampak masih agak lemas juga ketika Alex duduk dan mengambil makanan.
“Fifi nggak nelpon?”
tanya Alex.
“Belum,” kata Lucia.
“Nggak ada yang
gawat berarti,” kata Alex, “udah ah, makan yuk, terus kita berangkat kerja,”
”Apakah ada sesuatu
yang bisa kulakukan untuk membantumu?” tanya Lucia melihat sang suami yang
tidak begitu bersemangat.
Alex memandang
istrinya yang cantik itu dan tersenyum, ”Bagaimana kalau kau lepas celanamu?”
godanya.
”Kamu ingin lagi?”
seru Lucia takjub.
“Kenapa tidak? Toh masih banyak
waktu, kita tidak akan terlambat tiba di kantor.” Alex berdiri di samping meja
makan sambil mengurut perlahan batang penisnya yang kini sudah terlihat
menegang.
“Kamu tidak pernah ada bosan-bosannya ya,” canda Lucia
sambil tertawa. Ia letakkan piringnya yang masih berisi makanan ke atas meja dan
lekas melepas celana dalam yang membungkus lubang vaginanya. Tampak vagina itu juga sudah mulai basah.
Alex mendekat dan mengecup keningnya, ”Punya istri secantik
dirimu, siapa yang akan pernah bosan!” bisiknya sambil melumat pipi, hidung,
dan bibir Lucia.
Karena sudah terbakar nafsu, tak perlu waktu lama bagi
Lucia untuk mengimbanginya. Langsung saja lidah mereka bergulat. Tangan kiri Alex
dengan terampil melepas kancing baju Lucia, juga BH perempuan cantik itu.
Dengan gemas Alex memilin dan meremas puting payudara Lucia saat kedua benda
bulat itu terburai dari cup-nya, sambil tangan kanannya merogoh vagina sang
istri dari depan.
Lucia pun tak mau tinggal diam, ia raih batang penis Alex
yang sudah menegang dengan kedua tangannya dan mulai mengocoknya perlahan, naik
turun dengan begitu lembut.
“Punya kamu sudah basah,” kata Alex sambil tersenyum menatap
wajah cantik Lucia yang sudah memerah sayu.
“Kalau begitu, cepat lakukan!” seru Lucia tak sabar.
Tapi bukannya menuruti, Alex mendadak menghentikan gulatan
lidahnya dan mengarahkan mulutnya ke bawah, ke arah payudara Lucia yang bulat
kembar. HAP! Dia langsung mencaplok yang kanan. Disedotnya puting Lucia yang
mungil kemerahan kuat-kuat, lidah Alex menari lincah diatas sana. Sungguh
sangat geli sekali, tapi Lucia menyukainya. Ia biarkan Alex terus menyusu ke
tonjolan buah dadanya.
Tak lama, mulut laki-laki itu pindah ke yang kiri. HOP! Aghh, kali ini hisapan Alex
terasa lebih kuat. Sambil menjilat, beberapa kali giginya ikut bermain dengan
menggigit perlahan puting Lucia yang kini mulai terlihat sedikit mengeras.
“Owhh, sssshh!” Lucia hanya
bisa mendesis menerima semua perlakuan itu. “Lakukan sekarang, Sayang.” bisiknya lirih. “aku sudah nggak tahan.”
Alex menganggukkan kepala. Dibaliknya tubuh montok Lucia menghadap
ke arah meja makan, lalu didekapnya dari belakang. Walau sudah berubah posisi,
kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuh Lucia, terutama tonjolan buah
dadanya yang kini menggantung indah. Alex terus memijit dan meremas-remasnya
penuh nafsu. Lucia merasakan penis laki-laki itu berada tepat di belahan bokongnya,
Alex menggesek-gesekkan benda itu ke bibir vaginanya dengan penuh perasaan.
“Ayo masukkan! Aku sudah nggak kuat lagi.” rengek Lucia memelas.
Mengerti akan hasrat istrinya yang tak bisa ditahan lagi,
dengan perlahan Alex mulai mengarahkan kepala penisnya ke arah vagina Lucia.
Digesek-gesekkannya ujung batang penis itu di luar bibir kemaluan Lucia. Ia
berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vagina Lucia yang
membanjir deras. Setelah dirasa cukup basah, barulah Alex mengambil ancang-ancang.
”Siap ya, kumasukkan sekarang!” bisiknya sambil mengecup
pelan pundak sang istri.
Lucia merasakan kepala penis Alex berada di antara
bulatan bokongnya. Perlahan Alex mulai mendorong hingga batang penis itu lekas menyeruak
masuk sedikit demi sedikit. Rasanya begitu hangat, kenyal, namun keras saat
batang Alex memenuhi lubang vaginanya. Sambil tetap
meremas-remas kedua payudara Lucia, Alex terus mendorong batang penisnya hingga
benda itu menancap seluruhnya.
“JLEBB!” kedua alat kelamin mereka kini sudah bertaut
erat, saling mengisi satu sama lain.
“Uhh,” Lucia mendesah pelan sambil memejamkan matanya rapat-rapat.
Walau sudah terbiasa dengan ukuran penis Alex, namun tetap saja, ada sedikit
rasa nyeri yang timbul. Namun Lucia berusaha mengabaikannya, rasa nyeri itu
akan berubah menjadi rasa nikmat kalau Alex sudah menggerakkan pinggulnya.
Sama seperti sekarang, dimana Alex mulai menggeser-geser
posisi tubuhnya, berusaha mencari posisi yang paling nikmat dalam persetubuhan
mereka pagi itu. Perlahan, batang penisnya mulai ia gerakkan maju-mundur. Lucia
merasakan denyut-denyut kejantanan Alex yang membuat organ kewanitaannya
menjadi semakin membanjir, beberapa cairannya bahkan mulai turun mengalir ke
arah pahanya karena saking basahnya.
“SLEP! SLEP! SLEP!“ tak peduli dengan semua itu, Alex
terus menggerakkan pinggulnya maju mundur, bahkan ia terlihat begitu
menikmatinya. Malah semakin lama, tusukannya menjadi kian cepat dan dalam.
“Enak, Sayang?” tanya Alex dari belakang sambil terus
meremas payudara Lucia.
Saking enaknya, Lucia hanya bisa menggigit bibir bawahnya.
Ia tersenyum mendesis sambil berusaha menganggukkan kepala. Lucia hanya bisa melenguh keenakan saat gelombang kenikmatan
itu perlahan datang, membuat jantungnya berdetak semakin cepat dan nafasnya
menderu tak kalah berat.
“Shhhh, aku mau keluar, Sayang. Ayo, tusuk memekku lebih
dalam.” seru Lucia menyemangati sang suami.
Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, Alex
semakin mempercepat sodokan penisnya. Begitu cepatnya hingga tubuh montok Lucia
jadi terhentak-hentak karenanya. Meja tempat mereka menyandarkan tubuh pun
seperti ikut merasakan dorongan brutal itu, benda itu berderit-derit keras tiap
kali Alex menusukkan penisnya kuat-kuat.
“Shhh... oughh... aku keluar, Sayang! Sshh... arghhh!”
erang Lucia dengan tubuh berkedut-kedut pelan. Cairan kental membanjir dari
dalam lubang vaginanya. Alex mengimbangi dengan semakin mempercepat goyangannya,
dan tak lama kemudian, laki-laki itupun terdiam dengan penis menusuk dalam-dalam
ke arah vagina sempit Lucia.
“Ahhhh...“ Alex berteriak lirih saat gumpalan cairan hangat
menyemprot dari ujung batang penisnya. Tak begitu banyak karena tadi malam
sudah keluar berkali-kali, namun cukup untuk membuat liang rahim Lucia terasa sedikit
penuh.
“Aku sayang kamu, Luz.” ucap Alex sambil mengecup bagian
belakang leher Lucia, panisnya masih berkedut-kedut, berusaha menguras
spermanya hingga tetes terakhir.
“Aku juga sayang kamu, mas.” jawab Lucia lirih.
Tidak sampai lima menit, mereka sudah memuaskan nafsu
masing-masing. Lucia cepat membenahi bajunya, begitu juga dengan Alex. Mereka
melanjutkan acara sarapan yang sempat tertunda, setelah itu pergi berdua ke
kantor NewsTV bersama-sama.
***
Kantor NewsTV
09.12 WIB
Alex tiba di
kantornya bersama dengan Lucia. Dan setelah memberikan ciuman mesra di bibir,
mereka pun lalu berpisah. Alex akan menuju ke ruangan kerjanya di Lantai 2,
sementara Lucia langsung menuju ke reporter’s lounge di Lantai 1. Bagi reporter
yang saat itu tidak sedang bertugas atau mengedit berita, memang diusahakan
untuk selalu standby di lounge, supaya apabila ada penugasan mendadak, mereka
bisa cepat melaksanakan. Lounge ini memiliki peralatan-peralatan yang
dibutuhkan oleh reporter dan kameramen atau petugas lapangan lainnya, termasuk
logistik penyiaran.
“Lusi!!” teriak
beberapa reporter wanita rekan sekerja Lucia ketika Lucia memasuki ruangan itu.
Bisa ditebak,
selanjutnya dipenuhi dengan cipika-cipiki, pengucapan selamat, dan pelepasan
kerinduan. Maklum lah, berhubung dia menikah, maka Lucia pun harus absen selama
2 minggu untuk you-know-what. Lucia saat ini bernaung di bawah program berita
reguler, lebih tepatnya adalah untuk program berita utama News Today, langsung
di bawah suaminya sendiri, Alex. Posisi ini sebenarnya agak rawan. Memang di
NewsTV tidak melarang adanya pernikahan antar karyawan, namun baru Alex dan
Lucia yang posisinya berada pada satu garis komando persis.
Total, ada 14 orang
reporter yang berada di bawah komando untuk News Today, plus 7 orang reporter
magang. Jumlah ini adalah jumlah reporter paling banyak dari semua program
berita di NewsTV (terbanyak kedua adalah reporter program berita pagi Morning
News dengan “hanya” 12 reporter plus 6 reporter magang). Dari jumlah ini
(reporter tetap) maka 11 orang adalah wanita (plus juga adalah rasio
terbanyak). Kebetulan sekali pada saat ini, yang ada di ruangan ini hanya 7
orang, dan kebetulan juga semuanya adalah wanita. Mereka adalah (selain Lucia):
Githa, Marissa, Widya, Eva, Aviani, serta Tascha.
“Ehm… yang pengantin
baru nih,” goda Eva sembari merangkul Lucia, “gimana main ama Bos? Enak, gak?”
tanyanya.
“Ih, apaan sih,
kamu, Va,” kata Lucia sambil tersipu malu, “ya jelas enak lah, orang suami
sendiri,”
Eva hanya tertawa
saja. “Pasti tadi malem habis-habisan nih,” kata Eva yang disambut tawa
cekikikan dari teman-temannya.
“Ih… apaan sih,”
kata Lucia sambil kembali memerah.
“Enak bener, yah?”
goda Eva kembali.
“Ah, kayak kamu
nggak tahu aja, Va,” balas Lucia.
“Hehehe…” kekeh Eva.
Memang, semua yang
ada di sini sudah pada menikah semua. Kecuali Aviani, dia adalah yang termuda.
Tapi jangan salah, riwayat kehidupan seksnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Emang berapa ronde
sih, semalem?” tanya Eva lagi.
“Nggak keitung…”
jawab Lucia yang disambut dengan gumaman “wow” dari semua orang.
“Enak mana ama yang
dulu, Luz?” tanya Eva lagi.
Tiba-tiba Lucia
berhenti dan menatap Eva dengan sorot mata yang mengerikan. Seolah-olah ada api
kemarahan dalam mata Lucia, dan melihat itu, Eva pun langsung beringsut. Githa hanya
memberi isyarat supaya Eva tidak meneruskan perkataannya. Sebelum menikah
dengan Alex, Lucia memang pernah menikah dengan suami pertamanya, yaitu Ben.
Tapi lalu mereka bercerai (bukan karena Alex). Semua yang ada di NewsTV tentu
pasti masih ingat hal-hal mengerikan apa saja yang dibuat oleh Ben pada Lucia,
pastinya sangat mengerikan sehingga semua orang pun menyetujui ketika Lucia
menikah kembali dengan Alex.
Lucia pun menarik
nafas panjang, lalu ia tertunduk lega, seolah sesuatu telah berhasil
dikeluarkan. Ia lalu berusaha tersenyum kembali. “Pastinya… yang dua minggu itu
lebih berarti daripada yang 6 tahun,” kata Lucia, “Alex memperlakukanku seperti
seorang putri, dan itu yang membuatku senang hati nyerahin semuanya ke dia… Aku
nggak ngira, ternyata aku bisa juga nemuin kepuasan seks dari Alex, yang nggak
pernah aku dapetin dari Ben selama ini,”
“Maaf,” kata Eva
sambil menepuk pelan pundak Lucia.
“Dah, nggak papa,
koq,” kata Lucia.
“Duh… ngomongin yang
lain dong… sebel,” gumam Aviani.
“Weleh, kamu kenapa,
Vi?” tanya Eva.
“Ya elah… aku baru
tadi malem pulang dari Moskow ya, belum ketemu ama Gilang, sementara di Moskow
dua minggu aku nahan kangen… apalagi dinginnya minta ampun,” keluh Aviani.
“Wah, habis ini
pasti lepas segel nih kalau udah sampai ubun-ubun kayak gitu,” goda Githa.
“Enak aja lepas
segel… belum kali, ntar tunggu nikah, hahaha!” kata Aviani.
Semuanya hanya tertawa-tawa.
Yah, rata-rata mereka yang ada di sini memang bukan orang yang awam soal seks.
Bagaimanapun, saat semua wanita ini berkumpul, pembicaraan mengenai seks pasti
saja ada, dan mereka selalu menceritakan tanpa malu-malu (selama tidak ada
orang lain di luar komunitas ini).
“Oh ya, terus
penugasan gimana nih? Aku udah dua minggu ini nggak nyentuh kantor,” kata
Lucia.
“Pastinya sih kalau
ada penugasan keluar lagi, giliran kamu,” kata Githa, “aku udah dapat jatah ngendon
di Kejakgung nih, Aviani juga barusan pulang dari Moskow, kan; berarti tugas
keluar berikutnya kamu yang dapet,”
“Kira-kira ke mana,
yah?” tanya Lucia.
“Ya nggak tahu, Luz,
tanyain ama suami lo sana,” kata Githa lagi.
***
Komando Angkatan
Laut
Tanjung Priok,
Jakarta
09.14 WIB
Dua hari sebelum
ini, tengah terjadi sebuah mutasi dalam tubuh TNI Angkatan Laut. Kepala Pusat
Penerangan TNI AL kini dijabat oleh Laksamana Madya Sapar Sihombing, dan
Panglima Komando Armada Barat sekarang dijabat oleh Laksamana Ardan Sobari. Dua nama ini
akan berperan sangat penting dalam kelanjutan cerita ini.
Pagi ini, Kepala
Staff Angkatan Laut, Laksamana Danoe Salampessy memanggil seluruh jajaran
staffnya untuk berkumpul dan membicarakan sesuatu. Beberapa waktu terakhir ini,
semua jajaran di Angkatan Laut tengah sibuk mengurus apa yang disebut sebagai
“Proyek Antasena”, yaitu proyek perkuatan Armada Bawah Laut TNI AL.
Penjabarannya adalah seperti ini, bahwa ke depannya Armada Bawah Laut akan
diperkuat oleh Kapal Selam Patroli Ringan (KSPR) dan Kapal Selam Tempur Utama
(KSTU).
KSPR ini adalah
kapal-kapal selam “kecil” yang sebentuk dan sebangun dengan rancangan U-Boat
Type-VIII Jerman di Perang Dunia II, dan akan digunakan untuk patroli di
perairan wilayah, terutama di perbatasan-perbatasan luar. Sementara itu, KSTU
adalah kapal selam yang lebih besar serta lebih dititikberatkan sebagai elemen
tempur. Untuk KSTU ini, maka selain Indonesia membelinya dari luar negeri
(terutama Russia) juga dirintis pula kerjasama untuk membuat sendiri KSTU di
Indonesia. Proyek KSTU inilah yang menjadi titik berat “Proyek Antasena”.
Setelah proses
pengerjaan selama setahun, akhirnya jadi juga apa yang disebut sebagai KRI
Antasena, kapal selam utama buatan dalam negeri. Pengerjaan kapal selam ini
dipimpin oleh arsitek kapal selam dari Russia, yaitu Anatoly Sedorenkov, dan
menghasilkan sebuah kapal selam yang memiliki “banyak keistimewaan”. Tapi itu
adalah untuk nanti, sementara…
“Pers?” tanya
Laksdya Sapar Sihombing tak percaya pendengarannya.
“Iya, Presiden
menginginkan agar peresmian dan pelayaran perdana KRI Antasena bisa diliput
oleh pers, bukan hanya TVRI saja,” kata Laks. Salampessy.
“Tapi, bukannya kita
sudah sepakat untuk pelayaran perdana ini hanya boleh diketahui kalangan
terbatas?” tanya Laksdya Sihombing.
“Iya, saya tahu,”
kata Laks. Salampessy, “mungkin beri saja untuk satu stasiun TV lain selain
TVRI, kamu boleh pilih stasiun TV mana yang kira-kira bisa kamu percaya,”
Laksdya Sihombing
terdiam sejenak dengan mulut terkatup. Belakangan ini, seiring dengan dikembangkannya
proyek-proyek besar Angkatan Laut, otomatis demi menghindari reaksi berlebihan,
Pusat Penerangan Angkatan Laut sengaja menutup diri dari pers, dan dengan ini
pula hubungan antara media dengan AL sedikit renggang. Ini tampak ketika media
dilarang untuk meliput mengenai pengerjaan proyek pembuatan Destroyer dari
kelas Yos Sudarso yang bakal jadi Destroyer murni buatan dalam negeri.
Sekarang, meskipun
proyek Destroyer itu masih dalam tahap pengerjaan, Presiden sudah menitahkan
agar dalam Proyek Antasena kali ini TNI-AL membuka diri pada pers. Tampaknya
Presiden memang menginginkan pemberitaan proyek Antasena ini supaya diketahui
oleh dunia, sehingga negara-negara ataupun pihak-pihak lain yang hendak
menyalahi wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia bakal berpikir dua
kali mengingat kehadiran KRI Antasena.
Tapi memberikan
akses kepada pers bisa jadi permasalahan tersendiri. Orang-orang pers selalu
memiliki naluri keingintahuan yang luar biasa besar. Takutnya, nanti dalam
pemberitaan mereka, secara tak sengaja bisa mengungkapkan sisi-sisi dari proyek
Antasena yang bisa dimanfaatkan oleh lawan-lawan untuk melemahkan proyek ini.
Adakah media yang bisa diajak “bekerjasama”, kalau bisa sih yang sama-sama
mengerti esensi dari proyek ini, sehingga bisa sepaham. Tapi apa ada orang
semacam itu?
Saat itulah Laksdya
Sihombing teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, pertempuran kecil di
Selat Ombai. Yah, betul, orang yang bisa mengenali sebuah hiflskreuzer dari
kapal niaga biasa tentulah mengerti tentang laut dan bisa berbagi visi yang
sama. Maka, Laksdya Sihombing segera menyanggupi permintaan atasannya itu.
***
Gedung NewsTV
Lantai 2
09.18
Alex masuk ke ruang kerjanya di Lantai 2, yaitu di ruang berita untuk program berita utama News Today. Fifi, sahabat sekaligus wakilnya, tampak tidak berekspresi terlalu berlebihan menyambut kedatangan Alex. Memang hari ini adalah hari pertama Lucia masuk kerja, tapi yang jelas bukan hari pertama kerja bagi Alex setelah mereka menikah.
Alex masuk ke ruang kerjanya di Lantai 2, yaitu di ruang berita untuk program berita utama News Today. Fifi, sahabat sekaligus wakilnya, tampak tidak berekspresi terlalu berlebihan menyambut kedatangan Alex. Memang hari ini adalah hari pertama Lucia masuk kerja, tapi yang jelas bukan hari pertama kerja bagi Alex setelah mereka menikah.
“Ada berita apa?”
tanya Alex.
“Banyak,” jawab Fifi
dingin.
Alex duduk di
mejanya dan melihat banyak sekali berkas-berkas kerja, yang ia tinggalkan
selama seminggu terakhir. Alex pun membuka beberapa di antaranya, dan…
“Hei, aku kira kamu
udah ngerjain tugas ini?” tanya Alex, “ini juga…”
“Aku gak berani,
kamu kan yang biasanya jago di sini,” kata Fifi.
“Ya ampun, kamu kan
wakilku, Fi, ambil inisiatif sendiri napa, sih? Untung deadline
masing-masing masih lama,” kata Alex.
“Aku nggak sebagus
kamu dalam hal ini,” kata Fifi.
“Bullshit,” kata
Alex, “kamu harus belajar ambil inisiatif kalau pas aku nggak ada,”
“Tapi sekarang kamu
ada di sini, kan?” kata Fifi.
Alex hanya menghela
nafas panjang. “Tapi aku nggak mungkin selamanya bisa nemenin kamu, Fi,”
sahut Alex.
“Oh ya, Bu Isyana
kasih memo ke aku,” kata Fifi, “kalau kamu datang, harus segera menghadap dia,”
“Nenek sihir itu mau
apa lagi?” tanya Alex.
Fifi hanya
mengangkat bahunya saja. “Mendingan cepetan,” kata gadis itu, “kamu tahu
sendiri kan kalau Bu Isyana ampe marah?”
Alex mendengus
sejenak, meletakkan map yang dibacanya di atas meja, lalu segera meninggalkan
ruangan untuk menemui Isyana. Isyana adalah Pemimpin Redaksi NewsTV saat ini,
dan dengan begitu, berarti dia adalah atasan langsung dari Alex dan Fifi. Cukup
jauh ruangan Isyana, karena ruangan itu terletak di lantai 4, tapi beberapa
tahun lalu, mungkin Alex tidak akan melangkah ke sana dengan langkah biasa
seperti sekarang.
***
Lantai 4
Ruangan Isyana
“Masuk!” kata Isyana dengan dingin ketika mendengar pintu ruangannya diketuk.
“Ibu memanggil
saya?” tanya Alex yang langsung masuk.
“Ya, silakan duduk
dan tutup lagi pintunya,” kata Isyana.
Alex pun menutup
kembali pintu itu dan duduk di hadapan Isyana.
“Bagaimana malam
pengantinnya?” tanya wanita itu.
“Luar biasa,” kata Alex,
“tapi pastinya Ibu tidak ingin membicarakan soal itu, kan?”
“Soal malam
pengantin? Tentu tidak, itu urusan kamu sama istri kamu,” kata Isyana, “tapi
soal istri kamu, Lucia, itu yang mau aku bicarakan,”
“Masih soal itu
lagi, ya?” tanya Alex.
“Belum pernah dalam
sejarah NewsTV ada suami istri atau keluarga dengan posisi pada satu garis
komando seperti kamu,” kata Isyana, “jadi sekali lagi aku tawarkan, pindah
Lucia segera,”
“Dalam aturan
NewsTV, diperbolehkan adanya ikatan keluarga dalam satu korps, dan tidak ada
yang melarang misal itu adalah satu garis komando sekalipun, Bu,” kata Alex,
“dua tahun lalu, state-of-emergency juga belum pernah ada sebelumnya dalam
sejarah, tapi itu terjadi, kan?”
“Demi Tuhan, kamu
selama ini selalu saja berusaha untuk menekan peraturan hingga ke batasnya,
Tuan Alex,” kata Isyana dengan galak, “untuk sekali ini saja, mengalahlah! Aku
tidak yakin kamu bisa menghadapi ini dengan tetap objektif,”
“Kalau begitu mari
kita coba, Bu!” kata Alex tak kalah sengit, “aku akan melindungi Istriku apapun
yang terjadi,”
“Justru itu yang
membuatku khawatir, Tuan Alex,” kata Isyana.
Wanita itu lalu
terdiam sejenak. Alex pun lalu melangkah untuk keluar, sesuatu yang akhir-akhir
ini biasa dia lakukan tiap kali berdebat dengan Isyana.
“Sebelum kamu
keluar, Tuan Alex,” kata Isyana, “kejadian ini membuatku sadar bahwa mungkin
ada beberapa peraturan yang harus diamandemen,”
“Jadi anda akan
memaksakan batas, Bu?” tanya Alex.
“Kalau harus,” kata Isyana.
“Amandemen tidak
bisa dilaksanakan dalam waktu singkat, dan membutuhkan kebulatan oleh semua
suara dari Dewan Redaksi,” kata Alex, “dan jangan lupa, Bu, aku punya hak veto
dalam Dewan,”
“Tidak perlu kau
ingatkan lagi, Tuan Alex,” kata Isyana, “aku akan tetap mencari cara, tapi sementara
itu, kau boleh pergi… kudengar pekerjaanmu menumpuk, andai saja Fifi bisa
betul-betul bertindak menggantikanmu selama kamu pergi,”
“Fifi aku pilih
karena dia memiliki potensi untuk itu, Bu,” kata Alex, “dan aku mempercayai
dia,”
“Kalau begitu dia harus
segera menunjukkan bahwa dia memang memilikinya,” kata Isyana, “atau
jangan-jangan dia sudah terlalu lama hidup di bawah bayang-bayangmu, sehingga
potensinya itu mulai memudar?”
“Selamat siang, Bu!”
kata Alex tak mau melanjutkan perdebatan itu.
Isyana hanya
mendengus saja mengiringi kepergian Alex. Namun sepeninggalnya,
telepon di ruangan Isyana berdering…
***
Lantai 2
Ruangan Alex
Alex pun, sekembalinya dari ruangan Isyana, segera tenggelam ke dalam pekerjaannya kembali. Bahkan Fifi sedikit pun tak digubrisnya. Fifi sendiri merasa agak bersalah dengan keadaan ini, karena sebenarnya ia memang bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk itu. Namun Fifi merasa ia tidak ingin melangkahi tugas dan wewenang Alex. Bagaimanapun ini memang bukan tugas di mana ada standar baku untuk melaksanakannya, dan gaya masing-masing individu amatlah berpengaruh. Inilah yang membuat Fifi selalu hampir “bermain aman” setiap kali Alex absen. Oleh beberapa orang, Fifi bahkan disebut sebagai “anjing penjaga”-nya Alex. Tapi Fifi tak pernah menggubris perkataan itu.
“Makanlah dulu,”
kata Fifi, “ayuk, katanya Café punya menu baru, lho,”
“Bawa aja ke sini,
aku mau selesaiin yang ini dulu,” kata Alex.
“Kamu marah, ya?”
tanya Fifi.
“Kalau aku marah,
kamu pasti tahu,” kata Alex.
Fifi pun hanya
mendengus saja, tak berani protes. Alex tidak pernah marah, jarang sekali
marah, tapi sekali ia marah, biasanya akibatnya cukup mengerikan. Oleh karena
itu, Fifi cukup lega mengetahui bahwa Alex tidak sedang marah kepadanya.
Saat itu telepon
kembali berdering. Alex dan Fifi sudah bisa menebak siapa yang menelepon,
karena memang jarang yang menggunakan telepon tersebut.
“Ya?” jawab Alex
ketika mengangkat telepon.
“Ke ruanganku,
sekarang,” kata Isyana.
“Masih soal yang
tadi lagi?” tanya Alex.
“Bawa Fifi sekalian!”
kata Isyana sambil langsung menutup teleponnya. Pastinya itu berarti ada hal
lain lagi yang harus dibicarakan. Apalagi kalau Fifi ikut-ikutan dipanggil,
pastilah sangat penting.
Meskipun sudah
berkali-kali masuk ke ruangan Bu Isyana, tapi setiap kali Fifi masih saja
merasa merinding, berbeda dengan Alex yang tampaknya sudah terbiasa. Fifi masih
saja berjalan sambil menggamit erat tangan Alex, membuat semua orang bisa
menebak ke mana Alex dan Fifi hendak pergi.
“Masuk!” kata Isyana
seolah tak perlu melihat lagi siapa yang mengetuk pintunya.
Maka masuklah Alex
dan Fifi. Tapi segera mereka terkejut setelah mengetahui bahwa ada orang lain
di sana: Laksdya Sapar Sihombing, yang langsung menyalami Alex.
“Laksmana?” kata Alex.
“Lama tidak bertemu,
Saudara Alex,” kata Laksdya Sihombing, “semenjak tragedi di Selat Ombai,”
“Iya, lama sekali,”
kata Alex.
“Tutup pintunya,
Tuan Alex,” kata Isyana menyela, “dinding di sini punya telinga,”
Fifi pun dengan
sigap menutup pintu, lalu barulah setelah itu Laksdya Sihombing mau untuk
berbicara. Benar saja, apa yang diberitahukan amatlah sangat mengejutkan.
“Proyek Antasena?”
tanya Alex tak percaya pendengarannya.
“Iya, dan aku yakin,
orang yang bisa membedakan sebuah hiflskreuzer dari kapal dagang biasa pastilah
tahu apa dan bagaimana pentingnya proyek ini, kan?” kata Laksdya Sihombing.
Tentu saja. Sebelum
ini pun Alex sudah berupaya mengirimkan reporternya untuk meliput soal “proyek
Antasena”, namun kebijakan tertutup dari Kapuspen AL sebelum ini membuat semua
usaha itu mental. Kini, sebagai Kapuspen yang baru, Laksdya Sihombing malah
menawarakan sesuatu yang amat diidam-idamkan.
“Tunggu, tapi siapa
saja yang akan melakukan peliputan? Apa ada stasiun TV lain?” tanya Alex.
“Tidak ada,” kata
Laksdya Sihombing, “ini khusus aku tawarkan untuk NewsTV,”
“Khusus NewsTV? Tapi
kenapa?” tanya Alex.
“Karena aku percaya
kamu tahu apa yang dipertaruhkan,” kata Laksdya Sihombing.
Alex hanya termenung
saja mendengar kata-kata itu. Tak mungkin pula dia menolaknya, karena ini
memang sebuah kesempatan emas yang bisa jadi hanya sekali saja muncul.
“Tawaran yang sulit
buat ditolak,” kata Alex, “aku terima,”
“Baik,” kata Laksdya
Sihombing sambil kembali menyalami Alex dengan gembira, “mungkin kau bisa kirim
Prita untuk meliputnya?”
“Maaf, Prita tidak
berada di bawahku,” kata Alex, “tapi aku janji, reporter yang aku kirim tidak
akan mengecewakan,”
“Baiklah, aku tunggu
di Surabaya,” kata Laksda Sihombing.
***
Lantai 1
Reporter’s Lounge
Kelompok pembicaraan
kecil itu masih ada, meskipun jumlah pesertanya sudah berkurang. Beberapa
reporter sudah pergi untuk menunaikan “misi” masing-masing. Hanya Githa,
Aviani, dan Lucia yang masih ada di sana. Pembicaraan pun
berubah, dan kali ini Lucia lebih banyak mendengarkan, apa yang dia lewatkan
selama ini.
“Jadi aku sudah
dikasih tahu juga,” kata Aviani, “enam hari lagi, bakal ada kapal Angkatan Laut
Russia datang; kunjungan muhibah, gitu deh,”
“Pastinya kamu juga
kan, yang disuruh ngeliput?” tanya Lucia.
“Yup, paling gitu,”
kata Aviani, “jadi paling enggak masih ada waktu buat nyantai,”
“Tapi omong-omong,
bisa tahu gitu dari siapa, sih?” tanya Lucia.
“Namanya Konstantin
Valinov; Panglima Armada Baltik,” kata Aviani, “jadi pas ada acara makan malam
di Kementrian Luar Negeri di Moskow, aku ikut nemenin Pak Dubes, nah ketemu
deh, terus dibilangin kayak gitu,”
“Dah bilang ama Bos,
kan, tapi?” tanya Lucia.
“Idih, ama suami
sendiri koq manggilnya ‘Bos’, sih?” goda Githa.
“Suami kan di rumah,
Tha, kalau di sini kan tetep Bos, kali,” jawab Lucia.
“Anyway, pastinya
udah lah, trus Pak Alex juga nyuruh aku buat siap-siap kalau-kalau beneran
datang,” kata Aviani, “kayaknya sih ada kapal besar yang mau datang, Penjelajah
Tempur, mungkin kalau nggak dari kelas Kirov ya kelas Ushakov; soalnya juga kan
TNI AL sudah menjajaki kemungkinan beli alutsista laut dari Russia… ya bukan
Kapal Penjelajah sih, tapi paling gak buat display lah,”
“Duh, pusing… Bos
tuh, yang apal soal gitu-gituan,” kata Lucia.
“Ah, masa sih kamu
nggak pernah diajarin ama Bos?” tanya Aviani.
“Pasti kelewatan,
abisnya kalau Bos udah ngobrol soal itu pasti panjang lebar,” kata Lucia,
“kayaknya cuman Fifi ama Gilang aja deh, yang tahan ndengerin kalau Bos dah
ngomong soal itu,”
Saat itulah, telepon
di ruangan berdering dengan kencang. Airphone, dan ini berarti ada sebuah
penugasan untuk para reporter. Lucia dengan cepat segera mengangkat telepon
itu.
“Reporter’s Lounge,”
kata Lucia.
“Luz?” tanya Alex
dari balik telepon.
“Hai! Ada apa, Bos?”
tanya Lucia.
Jika menggunakan
airphone, pastinya pembicaraan profesional, sehingga Lucia pun memanggil
suaminya dengan sebutan ‘Bos’. Karena Lucia juga tahu, kalau masalah pribadi, Alex
pasti akan meneleponnya dari HP.
“Di situ siapa aja
yang ada?” tanya Alex.
“Aku, Githa, Aviani,
udah kayaknya,” kata Lucia.
“Udah? Itu aja?”
tanya Alex.
“Iya,” jawab Lucia.
“Oke, semuanya ke
sini, cepetan,” kata Alex.
“Oke,” kata Lucia.
Telepon pun ditutup,
dan tanpa perlu berkata apa-apa, Githa dan Aviani pun segera beranjak, karena
hanya melihat air muka Lucia, mereka sudah tahu bahwa semua orang sedang
dipanggil. Soal apa? Bahkan mereka bertiga pun tidak tahu menahu.
***
Ruangan Isyana
Sepeninggal Alex, Laksdya Sihombing tidak langsung pamit. Ia
masih ada ’urusan’ dengan Isyana, Pemimpin Redaksi NewsTV yang cantik ini.
"Kamu makin cantik aja, Na," kata Laksdya Sihombing mencoba mencairkan suasana.
"Ah, bapak bisa aja,” Isyana yang biasanya keras dan lugas langsung
tersipu malu mendengarnya. Tapi memang benar, ia cantik sekali. Di usianya yang
baru melewati tiga puluhan, bodi dan kemulusan wajahnya tidak kalah dibanding
para reporter NewsTV yang rata-rata masih 20’an.
Laksdya Sihombing
berusaha berkesan sopan dan ramah, walau
matanya sedari tadi terus memandang ke arah lekuk-lekuk tubuh Isyana yang sintal
menggoda. Terutama ke arah kemeja Isyana yang dua kancing atasnya terbuka,
sehingga nampaklah belahan payudaranya yang mengintip keluar, begitu putih dan
mulus sekali.
Laksdya Sihombing duduk di meja kerja, sementara Isyana duduk di
kursi kerjanya. "Wah, panas sekali di sini... AC-nya kurang bagus
yah?" kata Laksdya Sihombing sambil menggulung lengan bajunya ke atas dan membuka dua kancing di dadanya.
Isyana berusaha menahan diri untuk tidak melihat ke arah rambut-rambut di dada
laki-laki itu. Bagaimanapun, ia harus sedikit jual mahal meski sekarang
memeknya sudah mulai basah.
"Na, kamu nggak panas pakai blazer di ruang kaya gini?" tanya Laksdya
Sihombing dengan nada yang terkesan
wajar, meski mungkin saja tujuannya nakal.
"Well, sebenarnya iya sih... boleh nggak aku copot blazernya?"
tanya Isyana menggoda.
"Hahaha, kok pakai minta izin segala sih? Memangnya aku suami kamu!"
kata Laksdya Sihombing.
Humornya membuat Isyana tertawa geli, tapi juga sekaligus membuatnya
ingin berbuat lebih jauh. Maka wanita itu berdiri dari kursi dan melepaskan
blazernya dengan gaya yang sedikit dibuat-buat agar nampak seksi di depan mata Laksdya
Sihombing. Isyana menunggu apa reaksi laki-laki
itu kalau mengetahui bahwa ternyata kemeja yang ia kenakan ini ternyata tidak
berlengan, sehingga kehalusan bahunya jadi terlihat jelas.
"Wah, ternyata nggak ada lengannya toh?” Laksdya Sihombing mengomentari sambil berdecak kagum.
"Gimana, aku seksi nggak?" sergah Isyana menggoda.
"Hah? Wah, kalau itu sih... apa kamu masih kurang yakin,
sampai-sampai aku perlu meyakinkan dirimu lagi?" tanya Laksdya
Sihombing menantang.
"Hihihi, ada-ada saja. Tapi thanks
lho!" kata Isyana sambil mengedipkan mata.
Lalu dengan gaya yang kocak, Laksdya Sihombing melanjutkan, "Kamu nggak minta dipijitin sekalian? Kan
kalau di film-film semi, adegan cewek buka blazer dilanjut dengan adegan pijit,
trus berlanjut dengan adegan yang biasanya disensor?"
Ya ampun, caranya bicara begitu jantan dan sama sekali tidak kurang ajar.
Isyana jadi luluh dibuatnya, maka tanpa berpikir panjang, ia pun rela untuk menyerahkan
tubuh montoknya kepada laki-laki itu. "Terserah deh, tapi nggak usah
disensor juga nggak apa-apa kok." jawab Isyana sambil tersenyum geli.
"OK, itu berarti adegan yang disensor itu bisa kita lakukan nanti,"
kata Laksdya Sihombing sambil berdiri dan
berjalan memutar menuju belakang kursi Isyana dan mulai memijit bahu perempuan
cantik itu.
Mereka terdiam sejenak, Laksdya Sihombing memijit bahu Isyana lewat kemejanya. Rasanya mantap juga, tapi tali bra yang Isyana kenakan terasa sedikit
menyakitkan. Dan seperti mengetahuinya, Laksdya Sihombing segera menyingkap kemeja Isyana ke bawah sehingga
kini pundak perempuan cantik itu terpampang jelas di hadapannya.
"Huh, tali ini mengganggu saja!" kata Laksdya Sihombing sambil menyingkirkan tali bra Isyana ke
samping. Isyana jadi merasa begitu seksi, ditelanjangi perlahan-lahan seperti
ini membuat pikirannya jadi ngeres dan aneh-aneh.
"Hmm... nikmat sekali, Pak." kata Isyana menikmati pijitan Laksdya
Sihombing yang memang nikmat hingga membuatnya
menggeliat-geliat sedikit.
Tangan laki-laki itu dengan mantap memijiti pundak dan lehernya, membuat
Isyana merasa begitu rileks, dan terus terang saja... terangsang! Tiap kali
jemari Laksdya Sihombing yang hangat itu
menyentuh pundaknya, rasanya begitu nikmat hingga Isyana mengerang-erang keenakan
tanpa sungkan.
"Hmm... mmm... aduh, enak banget, Pak! Boleh juga pijitan bapak!"
desah Isyana menggoda.
"Eh, rintihannya jangan dibuat-buat gitu dong! Nanti aku jadi pingin
mijit yang lain nih!" sahut Laksdya Sihombing sambil tertawa.
"Mijit apa, Pak? Aahh... mmhh... ohh..." rintih Isyana semakin
dibuat-buat, niatnya dia ingin bercanda.
Tapi di luar dugaan, tiba-tiba tangan Laksdya Sihombing langsung turun ke bawah dan menangkup
tonjolan buah dadanya. ”Mijit ini!” kata laki-laki itu sambil meremas-remas
kedua payudara Isyana yang masih terbungkus bra. Tangan Laksdya Sihombing terus bergerak
disitu, dan Isyana tidak berusaha menepisnya, karena di luar dugaan, ternyata
ia juga menikmatinya.
”Bapak suka?” tanya Isyana dengan tubuh menggeliat-geliat kegelian.
”Susumu empuk, aku suka.” kata Laksdya Sihombing sambil tangannya terus memijit-mijit payudara Isyana. Bahkan ia sudah
menurunkan bra Isyana ke bawah hingga kedua susu perempuan cantik itu kini terbuka
lebar, tepat berada di dalam genggaman tangannya.
Laksdya Sihombing memutar kursi Isyana hingga kini mereka duduk
berhadapan. Ia berlutut di depan Isyana, matanya menatap mata Isyana yang telah
sayu terlanda birahi. Tanpa banyak kata, ia lalu memajukan kepalanya dan
mengulum bibir Isyana.
”Hmmp...” mata Isyana terpejam ketika merasakan lidah Laksdya
Sihombing menerobos mulutnya. Ia agak
terkejut ketika merasakan jilatan lidah laki-laki itu turun untuk membasahi
lehernya yang jenjang, merambat menyusuri bahunya... dan terus turun hingga
tiba di puncak payudaranya. Hangat dan nikmat sekali rasanya.
"Nngg..." Isyana merintih pelan sambil menengadahkan kepala
saat merasakan lidah Laksdya Sihombing yang melingkar-lingkar mengolesi putingnya, bergantian kiri dan kanan, sambil
sesekali mencucup dan menghisap belahan dadanya... terus menari-nari di situ...
uhh, membuat Isyana jadi semakin tak karuan rasanya.
"Augh, hisap yang kuat, Pak!" Isyana meracau tak jelas.
tubuhnya menggelinjang-gelinjang akibat menahan geli yang begitu luar biasa. Begitu
gelinya hingga punggung Isyana terlepas dari sandaran kursi dan melengkung
seperti busur panah. Entah kenapa, jilatan Laksdya Sihombing rasanya begitu berbeda, benar-benar membuat
Isyana seperti melayang kegelian. Rasanya seluruh badannya kehilangan energi, lemas
sekali, tapi terasa begitu nikmat. Dengan suaminya, Isyana tidak pernah
merasakan yang seperti ini.
”Uhhfff...” kedua puting susunya yang sensitif terus menjadi
bulan-bulanan mulut rakus Laksdya Sihombing. Isyana hanya bisa merintih dan mengerang sebisanya, keringat mulai
menetes membasahi tubuh sintalnya. Rasanya sulit sekali untuk bernafas teratur,
tiap kali menarik nafas, selalu terhenti oleh rasa geli yang menyengat puting
susunya.
"Na, sekarang naik ke meja," kata Laksdya Sihombing sambil membimbing Isyana berdiri. Karena
sudah terangsang tak karuan, Isyana menurut saja. Laksdya Sihombing menelentangkan tubuhnya di meja kantor, kancing
kemejanya telah terbuka semua, namun Laksdya Sihombing tidak melepasnya, ia hanya menyingkirkannya
ke kiri dan ke kanan, yang penting susu bulat Isyana tetap terlihat jelas.
Isyana kembali memejamkan mata ketika mulut rakus Laksdya Sihombing menyerang
kedua puting susunya. Benda bulat mungil itu dijilat, dihisap dan digigit-gigit
laki-laki itu berulang kali. Rasanya sungguh geli luar biasa, tapi juga begitu nikmat.
Isyana hanya bisa telentang di meja sambil terengah-engah dan menggelinjang
menahan serbuan birahi yang diberikan oleh Laksdya Sihombing.
"Ahh... ssh... mmh..." Isyana mendesah dan meracau tak karuan
manakala merasakan tangan kanan Laksdya Sihombing yang kini mulai gatal menyusup ke balik rok mini dan celana
dalamnya. Laki-laki itu menggosok-gosok bibir kemaluannya yang telah lembab dan
basah sekali dari tadi, sementara ciuman dan lidahnya bergerak turun menyusuri
perut Isyana yang langsing, menjilati pusarnya. Lidah Laksdya Sihombing mendarat di tempat-tempat tak terduga yang
memberi Isyana sensasi yang luar biasa selain pilinan jari laki-laki itu pada
puting susunya.
Paha bagian dalamnya tak luput dari jilatan-jilatan Laksdya Sihombing yang mesra dan hangat. Laki-laki itu menyingkap
rok Isyana ke atas, lalu jemarinya kembali ke puting susu Isyana, seolah tak
ingin membiarkan mereka menganggur lama-lama. Digigitnya celana dalam Isyana, dan
entah dengan cara apa, Laksdya Sihombing berhasil melepasnya. Dengan sukarela Isyana mengangkangkan kedua
tungkaiku lebar-lebar agar Laksdya Sihombing bisa memandangi lubang kewanitaannya puas-puas.
"Ahhgg..." Isyana menjerit dan menggelinjang hebat ketika lidah Laksdya
Sihombing tiba-tiba menyayat klitorisnya
dengan cepat dan tajam. Lalu kewanitaannya seperti diselimuti oleh sesuatu yang
basah, panas, dan lunak, serta klitorisnya seperti terhisap-hisap dan
tersayat-sayat oleh sesuatu. Karuan saja Isyana makin tak tahan, ia semakin menggeliat-geliat
tak karuan, bahkan punggungnya sampai terangkat-angkat dari meja.
"Ooh... Pak... uugh... enak sekali... sshh... Bapak apain saya...
aduuhh!!" rintih Isyana tak terkendali. Matanya tak mampu terbuka, nafasnya
kian terasa berat. Rasanya geli sekali, namun nikmat tak terkira. Ia segera memelintir-lintir
kedua puting susunya untuk menambah kenikmatan. Isyana juga meremas-remas kedua
tonjolan buah dadanya yang empuk dan kenyal, sementara Laksdya Sihombing tak henti mengirimkan kehangatan birahi lewat
jilatan lidahnya.
Aduh, benar-benar tak terperi nikmatnya. Tusukan lidah laki-laki itu menyentuh tempat yang tepat, berkali-kali. Terasa
seluruh energi Isyana seperti terhisap ke tempat itu, terkumpul di sana, lalu
meledak. "Arghh... Pak! Ughhh..." ia pun mencapai klimaks. Orgasme
yang sungguh luar biasa hingga kesadaran Isyana sebagian terenggut lepas. Tubuhnya terkulai lemas, kenikmatan ini benar-benar membuatnya terbang
melayang. Isyana memejamkan matanya, mencoba merasakan nikmatnya
terombang-ambing di alam bawah sadar.
"Kamu mau istirahat dulu?" tanya Laksdya Sihombing
dengan sabar, sedikit mengejutkannya.
"Ngghh... nggak, langsung aja, Pak. Goyang yang cepat ya! Saya tidak
punya banyak waktu!" Isyana menyahut.
"Well, baik kalau begitu." Itu kata terakhir yang diucapkan
oleh Laksdya Sihombing, karena selanjutnya... slepp! Kejantanannya sudah mengisi tiap rongga kewanitaan Isyana.
"Aduh... ohh... terus, Pak! Ughh..." Isyana merintih ketika ia
mulai merasakan gerakan tubuh Laksdya Sihombing. Laki-laki berdiri sementara ia telentang di meja, jelas itu membuat Laksdya
Sihombing sangat leluasa menggerakkan
tubuhnya. Kejantanannya terasa menyodok dan menggerus-gerus seluruh bagian
dalam kewanitaan Isyana dengan buas dan garang.
Isyana tak mampu membalas karena masih lemas oleh orgasmenya yang pertama
tadi, ia hanya bisa memejamkan mata sambil menggeliat dan merintih keenakan.
"Uhh... terus, Pak!" Isyana menggumam. Tusukan Laksdya Sihombing terasa kian dalam menerobos dasar kewanitaannya.
Telapak tangan laki-laki itu henti meremas dan
memegangi bulatan payudaranya.
Beberapa menit kemudian, Laksdya Sihombing tiba-tiba menarik kejantanannya dari kewanitaan Isyana, lalu dengan
begitu cepat membalikkan tubuh Isyana hingga kini badan Isyana tengkurap di
meja, namum kakinya menjuntai ke lantai. Isyana hanya terengah menerimanya saat
Laksdya Sihombing kembali menikamkan
kejantanannya, kali ini dari arah belakang.
"Uffhh..." sensasi yang berbeda lagi, tapi Isyana menyukainya. Laksdya
Sihombing mengocok tubuhnya keras
sekali hingga meja tempat mereka bersandar jadi bergoyang-goyang. Saat itulah,
Isyana merasakan klimaks kembali menyambar tubuh sintalnya. Kewanitaannya mengejang,
menggigit kejantanan Laksdya Sihombing. Dengan tangan mencengkeram ujung meja kuat-kuat, ia menyemburkan cairan
kewanitaannya.
”Arghhh!!” Isyana menjerit tertahan merasakan gelombang kenikmatan yang menyapu
jiwanya, merenggut tenaganya, hingga membuat tubuhnya jadi terasa lemas sekali.
"Aduh, Pak... enak sekali." lenguh Isyana.
"Tahan sebentar, ya... bisa kan?" jawab Laksdya Sihombing sambil mempercepat gerakannya.
"Ohh... uhh... ngg..." Isyana mengerang-erang
menahan nikmat yang masih melanda. Saat itulah, terasa kehangatan mengalir di
celah kewanitaannya. Rupanya Laksdya Sihombing juga sudah mencapai puncak,
spermanya menyembur deras mengisi sudut-sudut
liang kewanitaan Isyana.
Cukup lama mereka telungkup di meja sambil terus berpelukan erat. Setelah
penisnya mengkerut dan mengecil, barulah Laksdya Sihombing mencabutnya lalu melemparkan tubuhnya ke
kursi. Dengan sisa-sisa tenaga, Isyana mencoba berdiri dan merapikan kemejanya
yang telah kusut tak karuan. Ia tidak mengenakan kembali celana dalamnya karena
telah basah oleh cairan ketika foreplay tadi. Isyana melihat Laksdya
Sihombing sedang berdiri untuk
merapikan kembali celananya, wajah laki-laki itu tampak berseri-seri.
"Udah siang, aku harus pamit!" kata Laksdya Sihombing.
"Maaf tidak bisa mengantar, aku benar-benar capek.” Isyana berusaha
untuk tersenyum.
”Tidak apa-apa, kamu sudah memberiku yang terbaik.”
***
Lantai 2
News Room
Ketiga reporter ini
akhirnya sampai ke News Room, di mana Alex dan Fifi sudah menunggu di sana. Alex
mengerling sejenak kepada Lucia, yang disambut dengan senyuman tersipu dari
istrinya itu, tapi tak ada bahasa yang lain. Sekarang mereka
tengah bekerja, bukan untuk berasyik masyuk.
“Ada apa, Bos?”
tanya Githa.
“Angkatan Laut,
secara pribadi, meminta NewsTV untuk melakukan peliputan atas proyek Antasena,”
kata Alex langsung ke pokok sasaran.
“Apa? Proyek
Antasena?” kata Githa sedikit terperanjat.
Githa cukup lama
melakukan peliputan di DPR, juga Departemen Pertahanan, jadi dia tentu paham
mengenai Proyek Antasena. Ia pun tahu bahwa selama ini Proyek Antasena menjadi
salah satu rahasia yang ditutup rapat oleh Angkatan Laut, sehingga tugas ini
membuatnya amat terkejut.
“Simpel saja,
penugasan selama seminggu penuh, mengikuti perjalanan KRI Antasena dari dalam,
laporkan apa saja, ikut petunjuk dari AL, dan semua harus sudah siap di Surabaya
dalam 3 hari,” kata Alex.
“Tiga hari??” tanya
Lucia.
“Aku sudah
menghubungi Biro Surabaya, dan mereka bersedia menyiapkan semua akomodasi,
perlengkapan, termasuk juga tim peliputan. Dari Jakarta, kita
cukup tinggal mengirimkan reporter ke sana,” kata Alex, “yang mana itu artinya
salah satu dari kalian,”
Githa, Lucia, dan Aviani
saling berpandangan sejenak.
“Maaf, Bos, aku kan
baru aja pulang dari Moskow,” kata Aviani, “aku juga masih harus bikin laporan,
jadi paling siap seminggu lagi aku baru bisa, jadi aku nggak bisa ke Surabaya
sekarang,”
“Oke, aku tahu,
gimana kalau Githa?” tanya Alex.
“Waduh, salah orang
kayaknya ya, Bos, aku kan dapat priority-task di Kejakgung,” kata Githa.
“Nggak bisa
dialihkan?” tanya Alex.
“Maaf, nggak bisa,
kalaupun bisa kudu pake izin tertulis dari atas dulu, mana Bu Desi bilang, aku
kudu selesaiin tugas ini sebelum bisa liputan ke tempat lain,” kata Githa,
“nggak bisa diganggu gugat, kan? Dan kayaknya dulu Bos deh, yang mesen kayak
gitu?”
Alex tidak menjawab,
hanya saja dengan enggan ia melirik ke istrinya.
“Oke, aku aja yang
berangkat,” kata Lucia sambil tersenyum dengan penuh semangat.
Tapi antusiasme itu
malah ditanggapi dengan dingin oleh Alex, yang lalu memalingkan pandangan
kembali ke arah Githa.
“Tiga hari,” kata
Alex.
“Nggak bisa, lima
hari,” kata Githa.
“Aku bilang aku
bisa!” kata Lucia mencoba menarik perhatian, namun sayangnya Alex tetap
mengacuhkannya.
“Tiga hari, aku
kasih bonus ekstra,” kata Alex.
“Nggak bisa, lima
hari paling cepat, atau Bos Anton mau coba melanggar kewenangannya Bu Desi?”
ancam Githa.
Alex hanya terdiam.
Selama ini dia dan Desi, koordinator reporter, memiliki hubungan yang cukup
baik, dan juga setiap kali Desi hampir selalu memprioritaskan permintaan Alex
akan tim peliputan. Walaupun begitu, memang ada beberapa wilayah kerja Desi
yang tidak bisa diganggu gugat, oleh Alex sekalipun, dan Alex jelas sekali
enggan untuk mencoba memaksakannya. Jelas senjata yang dilepaskan oleh Githa
ini betul-betul maut.
“Sudahlah, Bos, pake
Luz aja kenapa, sih??” tanya Aviani setengah memaksa.
Aviani memang agak
jengkel dengan “diskusi” ini. Di matanya, sudah jelas-jelas hanya Lucia
satu-satunya reporter yang available untuk tugas ini, tapi Bos-nya ini
seolah-olah ingin menahan untuk tidak memakai Lucia, terlepas bahwa Lucia
adalah istri Alex.
“Lucia sudah balik
dari cuti, dan secara rotasi, sekarang gilirannya dia buat maju,” kata Githa
mendukung, “semua yang lain udah punya tugas masing-masing; tinggal Lucia aja
yang belum. Apa mentang-mentang Lucia ini istrinya Bos terus mau
dikecualikan, gitu?”
Githa menantang Alex,
kali ini Lucia pun juga. Sudah lama sekali Lucia absen akibat cuti, dan ia
sangat tidak sabar untuk bisa bertugas kembali ke lapangan, apalagi tugas ini
lumayan besar. Alex pun beringsut, karena meskipun Lucia adalah istrinya
sendiri, tapi secara profesional, Alex tidak punya alasan untuk menahan Lucia
kali ini. Dengan enggan, akhirnya Alex pun menyetujuinya, yang disambut dengan
tawa gembira Lucia.
“Aku kasih semua
rinciannya nanti,” kata Alex, “sebaiknya ntar malam kamu mulai siap-siap,
soalnya rencana launching-nya 3 hari lagi, jadi lusa kamu kudu sudah ada di Surabaya,”
“Oke!” kata Lucia.
Karena tidak ada
lagi yang harus dibicarakan, maka mereka bertiga pun segera pamit keluar.
Sebelum keluar, Lucia sempat memberikan ciuman mesra di pipi kiri dan kanan
suaminya, yang hanya bisa mendengus murung. Baru setelah agak
sepi, Fifi mulai bertanya pada Alex.
“Apa kamu pikir
Lucia nggak mampu ngejalanin tugas itu?” tanya Fifi.
“Oh nggak, aku yakin
Lucia bisa,” kata Alex, “waktu banjir raksasa tempo hari dia udah ngejalanin
tugas di BMG dengan baik; aku yakin, tugas kali ini pun juga bakal diselesaikan
dengan baik,”
“Terus? Kalau gitu
kenapa?” tanya Fifi lagi.
“Aku nggak pernah
menilai ide mengirimkan istri sendiri 6 kaki di bawah permukaan laut di dalam
sebuah kaleng baja raksasa adalah ide yang baik,” kata Alex, “aku punya
perasaan nggak enak soal ini,”
Fifi hanya bisa menepuk dan mengelus pelan pundak Alex yang terasa berat
oleh pikiran.
No comments:
Post a Comment