Cerita
diambil dari novel LAUT BIRU karya stuka1788 di forum Kaskus, ss by
kaskus-addict
Chapter
VI: The Signal
Gedung NewsTV
13.12 WIB
H minus 94:48:00
Laksdya Sihombing, Pak David, dan Prita memapah
Alex menuju ke ruangannya di lantai 2. Walaupun sudah berpangkat Laksamana
Madya, tapi demi persahabatan, Laksdya Sihombing merasa perlu untuk membantu Alex
melalui saat menyedihkan ini. Alex seperti orang linglung saja dan ia terus
menerus menangis, sementara Prita tak henti-hentinya menenangkan Alex, meskipun
airmatanya sendiri tidak berhenti mengalir.
Kejadian itu sontak membuat lantai 2 gempar dan
penasaran. Beberapa di antara mereka adalah para anchor dari program News
Today, juga di bawah Alex, yaitu Fessy, Mutia, dan Tisna. Dengan segera mereka
meninggalkan pekerjaannya dan ikut menyongsong Alex.
“Alex
kenapa, Prit?” tanya Mutia sambil memegangi Alex.
“Lucia… dia…” kata Prita tak kuasa meneruskan perkataannya.
Berita mengenai kematian Lucia memang belum
tersebar. Meskipun begitu, Mutia bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi. Alex
adalah sosok yang cukup dingin, dan seumur hidup, baru sekali saja Mutia
melihat Alex bersedih seperti itu, yaitu ketika istrinya yang terdahulu, Wina,
meninggal dunia. Mutia pun terdiam sambil menunduk dan tidak meneruskan
pertanyaannya. Aura kesedihan dengan cepat menjalar dan Mutia pun menitikkan
airmata pula. Fessy juga begitu, karena sejak sebelum menikah dengan Alex,
Lucia adalah teman karibnya semasa mereka masih sebagai reporter.
Fifi
tentu saja amat terkejut melihat keadaan Alex ketika kembali ke ruangannya.
Buru-buru ia membereskan barang-barang, dan memandu supaya Alex diletakkan di
sebuah bangku panjang yang memang ada di ruangan itu. Alex terus saja menangis,
dan setelah didudukkan, ia memeluk Prita erat-erat, yang tentu saja Prita
langsung menyambut untuk menenangkannya.
Mutia
duduk di sebelah Alex dan membelai pundak Alex, sementara Fessy berjongkok di
hadapan Alex, pun Fifi juga ikut mengitarinya. Kejadian itu membuat semua orang
(yang peduli) menuju ke ruangan Alex, terutama adalah reporter-reporter yang
bekerja di bawah Alex.
“Alex…
Alex…” kata Mutia, “kamu tenang ya, sabar…”
“Tidak… tidak… tidak…” kata Alex sambil terisak di pelukan Prita.
“Mbak Prita, ada apa, sih?” tanya Fifi, yang memang belum mengetahui duduk permasalahannya.
“Ada berita dari Laksdya Sihombing, katanya kapal selam KRI Antasena mengalami insiden di Samudera Indonesia, dan dikhawatirkan…” kata Prita, “…semua awaknya tidak ada yang selamat, termasuk Lucia,”
“Ya Tuhan!” pekik Fessy.
Fessy,
Mutia, dan Fifi pun lalu ikut memegang Alex untuk menenangkannya. Mereka memang bisa menebak bahwa sesuatu yang amat buruk telah terjadi pada
Lucia, tapi mereka baru tahu kejadian sebenarnya seperti apa.
“Lucia…
meninggal?” tanya Fessy kosong.
“TIDAAAK!!!” jerit Alex kembali menangis.
Mulut
Fessy terkatup, dan Prita pun memberi isyarat supaya Fessy tidak meneruskan
kata-katanya lagi. Eva dan beberapa reporter lainnya yang juga sudah hadir di
sana pun tidak kalah terkejutnya, dan mereka seolah tak percaya bahwa salah
seorang rekan mereka sudah meninggal. Mutia akhirnya ikut memeluk Alex dan
menangis. Laksdya Sihombing dan Pak David pun agak menjauh dari sana. Keadaan
sudah menjadi amat emosionil, dan mereka tak ingin kesedihan mereka turut
terlihat.
Bu Isyana
pun akhirnya menyeruak keramaian itu. Tidak ada tampang
angker dari Bu Isyana seperti biasa. Bahkan bagi orang sekeras dan sedingin Bu Isyana
sekalipun, kehilangan seorang reporter masih juga adalah sesuatu hal yang sulit
untuk diterima. Bu Isyana melihat ke arah Fessy, dan memberi isyarat supaya Fessy
mendekatinya. Fessy pun menghapus airmatanya dan menghampiri Bu Isyana.
“Ada
apa?” tanya Fessy, masih agak sesenggukan.
Bu Isyana
lalu membawa Fessy agak menjauh, Laksdya Sihombing pun ikut pula bersama
mereka, dan mereka bertiga segera bercakap-cakap dengan lirih sekali.
“Siapa
yang akan membawakan News Today nanti malam?” tanya Bu Isyana.
“Mutia, Bu.” kata Fessy.
Bu Isyana
lalu memberikan sebuah kertas nota kepada Fessy. Fessy melihat sekilas, dan
ternyata isinya adalah pernyataan turut berbela sungkawa dan berita kematian
atas nama Lucia.
“Berikan
ini ke Mutia,” kata Bu Isyana, “dia akan membacakannya nanti waktu News Today,
atau mungkin bisa lebih cepat lagi,”
“Bu Isyana, kalau boleh saya mohon, supaya pengumuman ini jangan mendahului statement resmi dari Pemerintah,” kata Laksdya Sihombing.
“Tenanglah, Laksamana, saya tahu apa yang harus dilakukan,” kata Bu Isyana, “kamu juga paham kan, Nona Fessy?”
“Paham, Bu,” jawab Fessy, meskipun itu adalah sebuah hal yang tampaknya amat pahit untuk dilakukan.
Bu Isyana
lalu memegang pundak Fessy. Bu Isyana bahkan nyaris tidak bisa menahan
airmatanya meskipun ia tetap berusaha amat keras untuk terlihat anggun.
“Nona
Fessy, biarkan Alex di sini dulu supaya tenang,” kata Bu Isyana, “kalau dia
sudah tenang, tolong salah satu dari kalian, mungkin kamu sendiri, untuk
mengantarkan dia pulang, dan pastikan dia baik-baik saja setelah itu,”
“Baik, Bu,” jawab Fessy.
“Apa Kania ada di tempatnya juga?” tanya Bu Isyana.
“Iya, saya tadi baru saja bertemu dengannya,” kata Fessy.
“Bagus, kamu bilang juga hal itu ke Kania, dia sudah menjadi seperti kakak angkatnya Alex, kan?” kata Bu Isyana, “nasib Alex memang tidak begitu bagus, tapi rasanya tetap tidak adil bagi dirinya, atau juga anaknya; Lucia adalah orang yang baik… takdir tidak adil untuk mereka,”
“Terima kasih, Bu Isyana,” kata Fessy, masih mencoba untuk tidak menangis.
“Menangislah saja, tidak apa-apa,” kata Bu Isyana, “tidak semua airmata itu jahat,” seusai berkata seperti itu, Bu Isyana langsung berlalu, dan Fessy pun akhirnya menangis seorang diri.
***
Samudera Indonesia
Ground Zero
13.23 WIB
H minus 94:37:00
Kapal cepat torpedo KRI Harimau terus melakukan
patroli di sekitar ground zero. Mereka menemukan banyak sekali serpihan hasil
pertempuran tadi malam. Beberapa serpihan bahkan cukup besar, sehingga semua
awak kapal KRI Harimau pun berkesimpulan bahwa KRI Antasena sudah hancur dan
tenggelam.
Regu penyelam kembali muncul sambil membawa
sebuah sonobuoy. Perintah dari Najwa adalah untuk membersihkan semua sonobuoy
yang ada di sini. Disamping untuk diteliti dari mana sonobuoy-sonobuoy itu
berasal, juga untuk “menjernihkan” areal pencarian, karena gelombang aktif dari
sonobuoy-sonobuoy ini sedikit banyak cukup mengganggu pembacaan sensor sonar
dari KRI Harimau. Padahal KRI Harimau membutuhkan sensor ini, setidaknya untuk
memetakan di mana sebenarnya reruntuhan KRI Antasena berada.
“Banyak
bener sonobuoy-nya,” gumam Letkol. Ma’ruf, kapten dari KRI Harimau.
“Siapa
ya, yang kira-kira nyebar semua ini?” tanya XO Mayor Herpavi.
“Dugaanku sih Australia,” kata Letkol. Ma’ruf, “sensor-sensor ini sangat canggih,”
“Australia
lagi memburu kapal kita, yah?” tanya May. Herpavi.
“Lihat aja, kalau sampai aku lihat ada kapal perang Australia masuk ke wilayah kita,” kata Letkol. Ma’ruf, “bakal aku tembak pake torpedo!”
Mayor
Herpavi pun tertawa saja sambil menepuk pundak Kaptennya ini. “Kalem aja, Kep,”
kata May. Herpavi, “wah, tadi malem pasti pertempurannya seru banget, nih;
banyak juga serpihannya,”
“Tadi aja ada bekas selongsong torpedo,” kata Letkol. Ma’ruf, “bekas gelondong depth-charge juga ada, kayaknya aku belom pernah lihat deh, ada kapal tahan kena serangan segini banyak,”
“Coba ketemu ama orangnya, bakal aku bikin jadi rujak, dia!” kata May. Herpavi geram.
Pimpinan
regu penyelam, Letnan Andromeda, segera bergabung dengan Kapten Ma’ruf dan
Letkom Herpavi. “Lapor, Kep!” kata Letnan Andromeda, “semua sonobuoy sudah
berhasil diangkat,”
“Bagus, moga-moga kita bisa temukan KRI Antasena secepatnya sekarang,” kata Letkol. Ma’ruf, “sayang saja apabila orang lain yang dapet lebih dulu,”
“Kalau begitu, saya ke ruang sonar dulu, Kep,” kata Mayor Herpavi, “semoga saja kita bisa menemukan rekan-rekan kita yang malang,”
“Ya, mereka bahkan tidak sempat menyelesaikan pelayaran pertama, ”kata Letkol. Ma’ruf, “kalau sudah ketemu, tolong bilang ke mualim untuk membuat manuver ‘S’ di sana; duh, mana ntar malem mau badai lagi,”
Letkom
Herpavi lalu menghormat ke Kapten Ma’ruf dan berlalu. Manuver ‘S’ adalah
manuver yang biasa dilakukan oleh kapal perang manakala melewati sebuah
perairan dimana diketahui ada kapal (rekan) yang tenggelam. Kapal akan berlayar
berkelok sehingga membuat lintasan berbentuk huruf ‘S’, yang berarti “salut”
(hormat). Manuver ini biasa dilakukan, salah satunya oleh setiap kapal Amerika
yang melewati Ironbottom Sound di Guadalcanal, Pasifik; yaitu lokasi
pertempuran laut paling sengit antara Armada Amerika Serikat dan Jepang di laut
antara Kepulauan Solomon dan Pulau Savo. Manuver ini sedikit banyak sama
seperti “missing man formation” yang biasa dilakukan oleh pilot pesawat tempur
untuk memberi penghormatan pada rekan mereka yang meninggal (karena perang).
“Bagaimana
pembacaannya, Nak?” tanya May. Herpavi pada perwira sonar KRI Harimau.
“Cukup jelas, apalagi sekarang tidak ada gangguan dari sonobuoy,” kata perwira sonar, “banyak sekali serpihan di sini; pasti cukup luar biasa, keren sekali,”
“Hati-hati,
Nak, kamu membicarakan soal rekan-rekan kita yang gugur tadi malam,” ingat May.
Herpavi, “setidaknya tunjukkan sedikit hormat,”
“Maaf, Pak,” kata perwira sonar tadi dengan rasa bersalah.
“Sudahlah, ada yang kamu dapat?” tanya May. Herpavi.
“Sejauh ini baru serpihan kecil-kecil saja, entah punya siapa,” kata perwira sonar, “belum ada potongan atau reruntuk besar sejauh ini, takutnya tekanan air di kedalaman sudah menghancurkan kapal selam itu sampai berkeping-keping,”
Mayor
Herpavi hanya mendengus dengan kesedihan. Cukup banyak pelaut yang ada di dalam
KRI Antasena, dan bagaimanapun, itu adalah rekan-rekan mereka. Perwira sonar
itu, sebaliknya, tampak memasang muka serius, seolah menemukan sesuatu.
“Pak!
Kayaknya aku nemu sesuatu,” kata perwira sonar.
“Kapal selamnya?” tanya May. Herpavi.
“Kayaknya bukan… ini mirip seperti sinyal,” kata perwira sonar.
“Bisa kamu lacak?” tanya May. Herpavi.
“Bisa, tapi aku 100% yakin ini bukan kapal selam, terlalu dangkal, terlalu kecil,” kata perwira sonar.
“Apa sonobuoy lagi?” tanya Letkom Herpavi.
“Bisa jadi, tapi sepertinya koq bukan,” kata perwira sonar, “sinyal sonobuoy dimaksudkan buat cari kapal selam, tapi ini jelas bukan sinyal penjejak; mirip seperti beacon,”
“Coba dianalisa,” kata Letkom Herpavi.
Perwira
sonar lalu memasukkan data-data hasil “pendengaran” ke dalam komputer, dan
komputer segera menganalisa mengenai sinyal misterius itu.
“Pak…”
kata perwira sonar.
“Sudah keluar?” tanya May. Herpavi.
“Ya, Pak…” kata perwira sonar, “katakanlah saya gila, tapi… sinyal itu ditulis pake kode kita!”
“Astaga… laporkan ke Pusat secepatnya!” kata May. Herpavi.
***
Bina
Graha
Jakarta
13.49 WIB
13.49 WIB
H
minus 94:11:00
Najwa
dengan cepat merangsek ke Ruangan Komando Utama yang berada di Bina Graha.
Ruangan ini sejatinya dimaksudkan sebagai markas komando utama apabila terjadi
perang. Namun pada masa damai, ruangan ini berfungsi sebagai Pusat Krisis
Nasional, dilengkapi dengan peralatan-peralatan super-canggih untuk mengatasi
segala macam permasalahan, bencana, atau konflik yang mengancam atau mengganggu
stabilitas nasional.
Berita
dari KRI Harimau diterima dengan baik sekali olehnya, karena ia memang
mendapatkan mandat dari Presiden Chaidir sebagai supervisor dari misi ini,
meskipun pelaksanaannya berada di tangan pihak TNI. Meskipun sebagai orang
sipil (lagipula wanita), para pejabat TNI menaruh hormat pula pada Najwa,
terutama mengenai kejeniusan dan jiwa patriotismenya serta pandangannya atas
kedaulatan teritorial. Itulah sebabnya maka arus informasi ke Najwa harus
diprioritaskan, dan Najwa pun boleh menggunakan semua fasilitas yang dimiliki
oleh TNI sepanjang memungkinkan. Setidaknya, Najwa masih mau menjemput bola,
tidak seperti supervisor sipil lain yang oleh para pejabat TNI sering dinilai
sebagai “terlalu malas” dan “tidak sepenuhnya memahami mengenai militer atau
ketahanan nasional”.
Seorang
ajudan muda, kelihatannya masih berpangkat sebagai perwira muda, segera
memberikan berkas laporan kepada Najwa begitu ia melihat Najwa masuk ruangan.
Ajudan ini memang mengenal cara kerja Najwa yang memang serba cepat.
“Semuanya
ada di sini?” tanya Najwa sambil berjalan cepat.
“Ya, Nn. Najwa, lengkap,” kata ajudan.
“Lalu orang yang aku minta datang?” tanya Najwa lagi.
“Dia sudah menunggu,” kata ajudan.
Saat
mereka berdua mendekati pusat ruangan, seorang pria, sepertinya adalah pakar
yang masih terhitung muda, segera berdiri menyambut Najwa. Orang itu dikawal
oleh empat tentara berpakaian preman.
“Ini
Dr. Syamsu Nurzaman,” kata ajudan.
“Baik, cepat saja, Sam; boleh aku panggil anda begitu?” tanya Najwa, “Sam, Anda pernah bekerja di bawah Dr. Anatoly Sedorenkov ketika membuat KRI Antasena, betul begitu?”
“Betul, Nn. Najwa,” kata Sam, “Saya salah satu supervisor dari desain KRI Antasena, juga bertanggungjawab dalam hal pemasangan sensor serta sistem komputer di KRI Antasena,”
“Baiklah, Sam,” kata Najwa, “sebelumnya saya ingatkan dulu, bahwa begitu Anda memasuki ruangan ini, maka Anda telah disumpah untuk merahasiakan apa yang Anda lihat, baca, lakukan, atau bicarakan di dalam ruangan ini; kalau Anda berani melanggarnya… hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,”
“Saya siap, Nn. Najwa,” kata Sam.
“Bagus,” kata Najwa, “oke, ini situasi kita,”
Najwa
lalu menekan sebuah tombol di atas panel komputer, dan sebuah layar besar
segera membuka dengan mengungkapkan beberapa buah pembacaan sinyal yang tentu
saja membuat Sam mengernyitkan dahi.
“Sam,
apa sudah ada yang memberi tahu Anda soal KRI Antasena?” tanya Najwa.
“Belum, Nn. Najwa, tapi ini apa?” tanya Sam sambil menunjuk ke layar.
“Dini hari tadi, terjadi ledakan nuklir di dekat lokasi KRI Antasena,” kata Najwa, “kami yakin bahwa ledakan itu sudah menghancurkan KRI Antasena,”
“Ya Tuhan!” jerit Sam kaget.
“Tapi barusan ini, kapal kita, KRI Harimau menangkap adanya pembacaan sinyal ini, tak jauh dari ground zero,” kata Najwa, “sinyal ini ditulis dengan kode TNI AL, dan sebuah sinyal beacon; aku harap Anda bisa menjelaskan apa ini; apakah sinyal ini datang dari KRI Antasena almarhum?”
Sam
pun lalu mengamati sinyal itu dengan seksama. Ia tampak berpikir keras dan
terus menerus mengamati pola sinyal itu. Bukan karena dia tidak tahu, tapi
lebih seperti bahwa dia hendak memastikan sesuatu.
“Anda
tahu mengenai ‘floating signal-transmitter’, Nn. Najwa?” tanya Sam, “atau yang
biasa kita sebut FST?”
“Aku pernah mendengarnya, tapi bisakah kau jelaskan lebih rinci?” tanya Najwa.
Sam
segera mengambil sebuah kertas putih dan pulpen, lalu ia mulai menggambar.
Mulanya adalah gambaran kasar sebuah bentuk kapal selam, lalu ia menggambar
sebuah garis dari kapal selam itu, menariknya hingga ke atas dan mengakhirinya
dengan sebuah lingkaran yang digambarkan berada di atas permukaan air laut.
“Ini
adalah sistem yang kami kembangkan bersama dengan Dr. Anatoly Sidorenkov; agak
sulit untuk mengirimkan informasi ke luar ketika kapal selam menyelam dengan
kedalaman yang cukup dalam, di bawah kedalaman radio; tidak tanpa membahayakan
jiwa kapal selam itu,” kata Sam, “secara sederhana, ini seperti sebuah
layang-layang; jadi kapal selam akan ‘melemparkan’ sebuah piranti yang
dilengkapi dengan pelampung, yang dihubungkan dengan sebuah kawat kabel;
piranti ini lalu akan mengapung di atas permukaan air laut, dan pada akhirnya
akan bertindak sebagai antena radio,”
“Anda
pikir piranti itulah yang mengirimkan sinyal?” tanya Najwa.
“Sedikit banyak seperti itu,” kata Sam, “aku melihat adanya pola gelombang yang menjadi signatur bahwa sinyal ini dikirimkan oleh sebuah FST,”
“Apa KRI Antasena masih hidup, kalau begitu?” tanya Najwa.
“Susah dikatakan, tapi piranti itu memang bisa memancarkan sebuah sinyal mandiri, yaitu sinyal khusus yang diprogram sebelumnya,” kata Sam, “jadi misalkan terjadi sesuatu dan kabel penghubungnya putus, maka piranti lacak GPS akan aktif dan FST akan memancarkan sinyal berupa hal yang terakhir kali dimasukkan secara terus menerus dan berulang-ulang,”
“Apa mungkin ketika serangan itu terjadi, piranti itu bisa terpisah dari KRI Antasena dan kemudian secara tidak sengaja aktif dan mulai memancarkan sinyal?” tanya Najwa.
“Tidak mungkin sepertinya; piranti itu, sebelum bisa memancarkan sinyal, harus diaktifkan dulu secara elektronik dari dalam kapal selam,” kata Sam, “benturan, goncangan, bahkan sengatan listrik bertegangan tinggi sekalipun tidak akan bisa mengaktifkan piranti itu; ini seperti TNT atau bom atom yang bisa tidak meledak apabila tidak diaktifkan,”
“Oke, katakanlah piranti itu sudah aktif dan lalu terlepas dari kapal selam,” kata Najwa, “apakah mungkin?”
“Gambaran kasarnya saja, Nn. Najwa?” tanya Sam.
“Silakan,” kata Najwa.
“Pada dasarnya, piranti itu tidak bisa memasok daya secara mandiri, jadi kabel penghubungnya, selain sebagai kabel pemancar sinyal, juga berfungsi sebagai catu daya,” kata Sam, “tapi pada kasus ketika kabelnya lepas, maka ada sebuah kapasitor yang akan menggantikan daya dari kapal selam, seperti sebuah baterai atau UPS,”
“Berapa lama?” tanya Najwa, “sebelum piranti itu kehabisan daya?”
“Pada saat apabila kapasitor terisi penuh?” tanya Sam, “Delapan jam efektif, sepuluh jam maksimal apabila menurut perkiraan kami,”
Najwa
terhenyak mendengar jawaban itu. “Sam… dengarkan aku,” katanya, “APA ANDA
YAKIN?”
“Yakin sekali,” kata Sam, “saya sendiri yang mengerjakan piranti itu; memangnya ada apa, Nn. Najwa?”
Najwa
tidak menjawab, tapi lalu dia segera memberikan kode kepada ajudannya.
***
”Nn. Najwa, apa ini?” tanya Sam kaget saat Najwa
tiba-tiba menciumnya dengan lembut. Semua
orang sudah pergi, hanya tinggal Najwa dan Sam yang berada di Ruangan Komando Utama ini.
”Itu
sebagai tanda terima kasih karena sudah menumbuhkan harapan kami.” kata Najwa.
”Tidak
perlu sampai seperti itu, ini sudah menjadi tugas saya.” sahut Sam, tapi tak
urung mukanya memerah juga setelah merasakan bibir manis Najwa.
Najwa tersenyum, ”Untuk kecakapan anda, saya masih
punya hadiah yang lain.” kata Najwa sambil mulai membuka kancing bajunya.
”Ah, N-Nn. Najwa...” kata Sam dengan tubuh bergetar,
sama sekali tak menyangka kalau akan diberi suguhan seperti ini.
”Ssst... saya hanya punya sedikit waktu, jadi
sebaiknya kita melakukannya dengan sangat cepat.” Dengan tubuh setengah
telanjang, Najwa melangkah menghampiri Sam.
Sam tak bisa berkata apa-apa lagi. Matanya fokus
memandangi tubuh mulus Najwa Shihab yang cuma terbalut rok hitam selutut,
sementara tubuh bagian atas perempuan cantik itu sudah terbuka bebas untuknya.
Memang masih ada bh putih tipis, tapi benda itu seperti tidak mampu untuk
menampung buah dada Najwa yang sintal menggoda. Daging kembar itu seperti ingin
terlontar keluar dari kungkungannya.
Perlahan Sam memberanikan diri menyentuh wajah
Najwa. Dengan dua jari ia membelainya lembut. Najwa menatapnya penuh arti.
Wanita itu terlihat gelisah, tetapi menikmati sentuhan Sam di wajah cantiknya.
Sam menggerakkan kepala, ia perlahan menunduk untuk mencari bibir tipis Najwa.
Dalam sekejap mereka sudah berciuman. Bibir Najwa terasa begitu penuh, juga sangat
hangat.
”Lakukan, Sam. Tubuhku milikmu saat ini,” bisik
Najwa nyaris tak terdengar.
Mendengar itu, Sam yang masih tetap terdiam,
mendadak jadi ingin lebih lagi. Ia pagut mulut Najwa sedikit lebih keras, ia hisap
bibir tipis itu sesuka hati, sambil sesekali memasukkan lidahnya dan menggigit
kecil bibir mungil itu. Mereka bercumbu dengan hasrat membara. Ternyata mereka sama-sama
kehausan.
”Agh...” tak peduli lagi, Sam terus memeluk dan mencumbu
Najwa. Wanita itu memberikannya dan dia juga menerimanya, jadi tunggu apa lagi.
Yang lain dipikirkan nanti saja.
Untuk sekarang, nikmati saja dulu saat-saat indah ini, pikir Sam cepat.
Ia segera menggendong tubuh mulus Najwa dan meletakkannya
duduk di atas meja. Dengan begini ia akan lebih leluasa mencumbu perempuan
cantik itu. Bibir mereka kembali saling melumat, saling bergerak lincah untuk memberi
kenikmatan pada mulut masing-masing. Tangan Sam mulai bergerak ke arah payudara
Najwa. Ia meraba payudara itu dari luar bh, memberi remasan ringan dengan gerakan
memutar lembut yang membuat Najwa jadi sedikit menggelinjang.
Rasanya begitu hangat dan empuk. Ukurannya memang tidak cukup besar, tapi pas
setangkupan tangan. Sam menyukainya. Perlahan ia menyusupkan tangan ke balik bh
Najwa, dengan cepat ia berhasil melepas kait-nya yang tersembunyi. Payudara
Najwa yang terlontar keluar ia tangkap dengan dua tangan, terasa begitu utuh dalam
genggamannya. Benda itu terasa kencang dan sangat padat, juga sangat peka terhadap
rangsangan. Begitu Sam memelintir putingnya, tubuh molek Najwa langsung bergetar
hebat.
”Ah, Sam... nakal juga kamu!” tegur Najwa manja saat
Sam terus merangsang bulatan payudaranya. Ia menerimanya dengan senang hati. Dengus nafasnya yang tadi tertahan kini mulai memburu
cepat, menandakan birahinya telah sangat terpancing. Ia menekuk tubuhnya,
sengaja menyorongkan bulatan payudaranya ke mulut laki-laki itu.
Sam segera bereaksi dengan menunduk dan menyambarnya
rakus. Bagai kehausan ia menjilat dan menghisap puting susu Najwa secara
berulang-ulang, bergantian antara yang kiri dan yang kanan.
“Auhh...” Najwa melenguh panjang. Kedua tangannya
mencengkeram kepala Sam. Ia menciumi rambut laki-laki, sesekali menggigiti
telinganya. Sementara kepala Sam, juga lidahnya, terus bergerak bebas
merangsang bulatan payudaranya. Uh, begitu geli dan nikmat.
Sam bermain cukup lama disana, sambil tangannya
menyusup ke balik rok span Najwa untuk mencari liang vagina perempuan cantik
itu. Saat sudah menemukan, ia lekas membelainya lembut dari luar celana dalam. Sam
merasakan celana dalam Najwa telah basah. Desah nafas staf ahli kepresidenan
itu juga semakin berat.
”Ah, Sam...” Najwa merapatkan kakinya saat perlahan
cumbuan Sam naik ke lehernya. "Ergh," wanita itu melenguh begitu Sam
mengendus dan menjilatinya rakus.
Wah, lehernya sensitif nih, pikir Sam dalam hati. Dengan
penuh semangat ia terus menghisap dan menjilatinya. Cumbuannya bergerak ke
tengkuk, menyapu anak-anak rambut Najwa yang banyak tumbuh disana hingga membuat
si cantik yang jenius itu semakin erat memeluknya.
”Sam...” rintih Najwa saat Sam menjilati telinganya,
rupanya telinganya juga sensitif.
Sam bersorak dalam hati. Begitu banyak titik tubuh
Najwa yang sensitif, semakin banyak semakin bagus, pikirnya. Lalu tangannya meraba
punggung Najwa, membuat gerakan berputar-putar disana, seolah-olah menuliskan
sesuatu di punggung mulus itu. Najwa semakin melenguh, terlihat semakin
bergairah.
”K-kamu nakal, Sam... t-tapi pintar... pintar bikin
aku bergairah...” kata Najwa terputus-putus. Nafasnya semakin memburu.
”Bukan,” Sam menggeleng sambil terus menciumi
telinga Najwa. ”justru tubuh Nn. Najwa yang begitu menggairahkan. Aku sangat
menginginkannya,” bisik Sam.
”Aku juga menginginkanmu, Sam... kumohon puaskan aku!”
jawab Najwa Shihab terus terang.
Mengangguk penuh kepastian, dengan gerakan cepat Sam
kembali mencumbu tubuh perempuan cantik itu. Bisa ia rasakan Najwa merespons
ciumannya dengan lebih kuat. Tangan Sam kembali mencoba merangsang, satu di
dada Najwa dan satunya lagi di vagina. Najwa segera membuka kakinya lebar-lebar,
memberi jalan masuk bagi Sam untuk menyentuh lubang vaginanya. Sementara di
atas, ia biarkan Sam memilin dan memijit-mijit putingnya dengan begitu keras. Bukannya
sakit, Najwa malah jadi semakin terangsang dibuatnya.
”Aahh...” ia mengerang, kakinya terbuka semakin
lebar, membuat Sam jadi semakin leluasa merangsang vaginanya. Jari laki-laki
itu juga masuk untuk membelai pelan biji klitorisnya, Sam menggeseknya lembut, membuat
Najwa makin menggelinjang hebat dilanda api birahi.
Sam terlihat sangat tenang dalam melakukannya. Semakin Najwa berteriak, semakin ia suka. Sam terlihat seperti seorang maestro yang sangat
ahli dalam melakukan tugasnya. Padahal tadinya ia cukup pendiam, ternyata di
balik sikapnya itu, Sam merupakan pecinta yang ulung. Ia berbakat dalam
menyenangkan wanita. Tidak percuma Najwa menggodanya, ia akan mendapatkan
kepuasan hari ini.
”Augh...” Najwa semakin
dilanda birahi. Tangannya kini tidak malu-malu lagi melepas kancing celana Sam
dan mencari penisnya. Setelah menemukan benda itu, ia langsung meremas dan
mengocoknya dengan penuh nafsu.
Sam menatapnya.
Pandangan Najwa tampak nanar, dia terlihat sangat kehausan dan sudah pasrah
menerima apa pun perbuatannya. Pelan Sam melepas celananya dan ikut
menelanjangi diri. Ia menjilati vagina Najwa sejenak sebelum mulai menusukkan penisnya
perlahan untuk menembusnya. Rasanya sungguh nikmat sekali, benar-benar jauh
lebih nikmat dibandingkan semua wanita yang pernah tidur dengannya.
”Tahan ya,” Sam mulai melakukan tugasku. Ia mendorong
masuk, lalu menarik keluar, diulang terus berkali-kali, sambil sesekali memutar,
memompa liang vagina Najwa hingga mereka bisa bercinta dengan sangat dahsyat.
Suara penisnya yang mengocok vagina Najwa terdengar khas di ruangan yang besar
itu.
Sam berusaha mengerahkan segenap kekuatannya untuk
menaklukkan si cantik yang pintar ini, tetapi persetubuhan tanpa kondom benar-benar
membuat penisnya jadi lebih sensitif. Apalagi jepitan kemaluan Najwa juga
begitu nikmat, hingga belum begitu lama, ia sudah merasakan di ambang klimaks.
”Ughh...” Sam segera menghentikan aksinya, ia mencabut
penisnya dan berdiri terdiam untuk menenangkan diri. Hanya tangannya yang
bergerak, terus meremas-remas payudara Najwa yang selalu menggoda birahinya.
Mereka berciuman sekali lagi. Sam tidak mau birahi Najwa jadi surut.
Setelah agak tenang, barulah ia memasukkan kembali penisnya.
Bercinta dengan wanita secantik dan semolek Najwa benar-benar membutuhkan usaha
ekstra. Kali ini Sam tidak menggebu dalam memompa, ia memilih menikmati
kemaluan Najwa secara perlahan-lahan. Setiap sodokannya ia lakukan dengan sepenuh
hati, begitu nyaman dan mesra hingga menghasilkan desahan dan rintihan nikmat dari
mulut manis Najwa yang memang jarang merasakan nikmatnya bercinta.
Gelombang birahi kembali melanda tubuh mereka berdua.
Keringat keduanya bercucuran, lumayan untuk membakar lemak. Bercinta memang sangat
baik untuk tubuh. Tidak hanya tubuh, tetapi pikiran juga jadi fresh. Secara
teoretis, ada semacam zat penenang yang dihasilkan tubuh saat kita bersenggama,
dan zat itu membuat kita jadi nyaman. Itulah yang dirasakan oleh Sam dan Najwa
sekarang, keduanya saling menikmati, tak ingin kenyamanan ini berlalu begitu
saja.
Sam kembali jadi dirinya yang sebenarnya; pria
pendiam yang kuat bercinta. Penisku memang terasa agak panas, tapi ia sanggup
menahan orgasmenya. Dengan santai ia bisa mengimbangi Najwa yang perlahan tapi
pasti semakin menuju puncak birahinya. Muka perempuan cantik itu sudah semakin memerah,
wajahnya yang tirus tampak sangat cantik ketika dilanda api birahi.
”Nn. Najwa cantik sekali... hebat juga ketika
bercinta,” bisik Sam, lidahnya kembali mencumbui payudara Najwa yang terlihat semakin
penuh oleh keringat.
”Arg... kamu juga... penismu enak,” ceracau Najwa.
Ia bolak-balik memejamkan mata, lalu menggigit-gigit bibirnya, seperti ingin
melawan rasa nikmat yang sudah menyelubungi tubuh sintalnya. Nafasnya sangat
tidak teratur, begitu ngos-ngosan, sementara rambutnya yang pendek sebahu sudah
acak-acakan terkena keringat. Sungguh pemandangan yang sangat seksi sekali.
Sebenarnya Sam ingin mengubah posisi, ia ingin lebih
lama menikmati tubuh molek Najwa, tetapi khawatir waktunya tidak cukup.
Bukankah Najwa meminta untuk cepat-cepat tadi? Maka itulah, Sam tetap
mempertahankan posisinya; menggenjot tubuh mulus perempuan cantik itu dari atas
sambil tak hentinya meremas-remas payudara bulat milik Najwa.
Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu. Sam
yakin orgasme Najwa sudah semakin dekat, terlihat dari gerakan tubuhnya yang semakin
cepat. Cengkeramannya di punggung Sam juga semakin erat, sambil sesekali giginya
bergemeretak saat sudah tak kuasa lagi menahan nikmat. Najwa tampak sekali berusaha keras untuk tidak
menjerit saat menjemput orgasmenya. Ia tidak ingin perbuatannya ini diketahui banyak
orang.
”Arghh... Sam... aku sampai...” rintih Najwa
beringas.
Sam segera meraih bra Najwa yang tergeletak di
sampingnya dan meletakkannya di mulut Najwa supaya dia tidak berteriak. Daripada
menjerit, lebih baik menggigit bra sekuatnya. Sementara di bawah, penis Sam
semakin gencar menghunjam. Sodokannya kian kuat dengan tempo yang semakin dipercepat.
Ia ingin sama-sama orgasme di
waktu yang hampir bersamaan.
Sam bisa merasakan lorong vagina Najwa berkedut
kencang saat menyemburkan cairan kenikmatannya, benda itu bagai memijat kuat,
membuat batang penisnya jadi semakin panas. Aliran sperma yang sudah sejak tadi
ia tahan, kini terasa merambat naik menuju ke ujung penisnya, siap menyembur
kapanpun dibutuhkan. Dengan pinggul menyentak-nyentak kuat, Sam pun
melepaskannya.
”Aargghh...” Spermanya yang kental berhamburan
muncrat di belahan vagina Najwa. Nikmat sekali rasanya, perjuangannya jadi
terasa tidak sia-sia.
Saat Sam mencabut penisnya, Najwa buru-buru mencari
tissue untuk digunakan membersihkan ceceran sperma Sam yang banyak sekali.
Setelah itu, kurang dari semenit kemudian, ia sudah memakai bra dan kemejanya kembali.
Celana dalam dan roknya tinggal ia rapikan begitu saja karena memang tidak
dilepas tadi, cuma disingkapkan. Sam juga ikut merapikan celananya.
Beberapa saat mereka saling berpandangan. Ada rona puas di wajah cantik Najwa Shihab, dia tersenyum manis pada Sam. Sinar
matanya yang tegas dan pembawaannya yang mandiri, dikombinasi dengan senyum dan
kelembutannya, terlihat sungguh mempesona. Sam bangga bisa menikmati tubuh
sintal Najwa, perempuan jenius yang jadi orang kepercayaan presiden Chaidir.
***
Gedung
NewsTV
14.02
WIB
H
minus 93:58:00
Suasana
kesedihan masih membalut ruangan lantai 2, tempat Alex bekerja, dan Alex masih
juga belum begitu tenang. Ia masih menangis, dan menolak untuk segera pulang,
sehingga Fessy kehilangan akal untuk membujuknya. Terpaksa ia pun agak menjauh
sebentar, dan orang-orang juga sudah mulai berkerumun di dekat ruangan Alex.
“Aku
nggak tahu lagi gimana cara ngebujuk Alex buat pulang,” kata Fessy pada Mutia
lirih.
“Dia sedang tertekan,” kata Mutia.
“Aku tahu, aku juga ngerasa kayak gitu,” kata Fessy, “Lucia itu temenku juga,”
“Alex baru aja nikah ama Lucia,” kata Mutia, “inget aja kalau dia kehilangan Wina juga dengan cara yang sama,”
Fessy
lalu menoleh sejenak ke arah kerumunan orang-orang. Beberapa reporter yang
memang berada di bawah Alex tampak ikut pula menangis sesenggukan mendengar
kabar soal Lucia. Tapi suasana memang terlalu ramai untuk
orang yang tengah berduka.
“Apa
Lani sudah dikasih tahu?” tanya Fessy lagi.
“Kayaknya belum,” kata Mutia.
“Kita kasih cara aja ntar buat kasih tahu Lani; kayaknya aku tahu deh gimana,” kata Fessy, “sementara, kita bersihkan dulu ruangan ini; aku nggak suka Alex jadi bahan tontonan,”
“Bilang Fifi aja,” kata Mutia.
“Apa Fifi bakal bisa buat sesuatu?” tanya Fessy, “kayaknya enggak kalau soal ini,”
Mutia
hanya mengangguk saja. Bagaimanapun, ia sendiri juga sedikit meragukan Fifi, dan
di lain pihak, rasanya juga tidak ada orang yang lebih tepat untuk menenangkan
Alex selain Fifi dan Prita. Maka Fessy pun memanggil Eva,
yang memang posisinya lebih dekat dengan mereka. Eva datang sambil menghapus
air mata; Lucia betul-betul memberikan pengaruh bagi semua orang, hingga Eva
yang biasanya tegar dan cuek pun kini ikut pula menangisi Lucia.
“Ada
apa?” tanya Eva.
“Sekarang ini, coba tolong kamu singkirkan dulu orang-orang ini,” kata Fessy, “memang kita semua berkabung buat Lucia, tapi jangan terus seperti ini,”
“Ya, akan saya lakukan,” kata Eva agak serak, “ada lagi?”
“Sementara itu saja dulu; oh ya, Githa sama Aviani mana?” tanya Fessy.
“Githa tugas di Istana Merdeka saat ini, terus Aviani sedang libur,” kata Eva.
“Bagus, sebisa mungkin jangan kasih tahu mereka dulu soal ini,” kata Fessy, “soalnya ada permintaan buat jangan menyebarkan berita ini keluar dari kantor ini sebelum ada pengumuman dan pernyataan resmi dari Pemerintah,”
“Ya,” kata Eva.
Fessy
menepuk perlahan pundak Eva, dan Eva segera menjalankan tugas yang diberikan
kepadanya. Perihal menjaga kerahasiaan, bagaimanapun terasa ganjil untuk Eva,
tapi ia tetap berpegang pada perintahnya. Mutia
dan Fessy pun kembali berbincang-bincang.
“Balik
soal tadi, gimana buat ngasih tahu Lani?” tanya Mutia, “ada cara apa?”
“Bukan soal apa,” kata Fessy, “tapi siapa,”
“Maksud kamu, Ci Kania?” tanya Mutia.
“Kayaknya cuman dia sekarang yang bisa nanganin Alex,” kata Fessy.
Mutia
mengangguk saja tanda setuju, lalu Fessy segera berlalu menuju ke Sayap
Mandarin. Mutia dan Fessy adalah dua newscaster elite di NewsTV, sehingga ke
mana-mana mereka selalu mendapatkan respek. Mutia
terkenal sebagai reporter perang, karena ia sering diterjunkan di daerah-daerah
konflik di seluruh dunia, mulai dari Irak, Afganistan, Palestina, hingga ke
wilayah Afrika Barat. Berbeda dari Aviani yang cenderung impulsif, maka Mutia
meliput wilayah konflik dengan pendekatan yang lebih metodis, hati-hati, dan
selalu mengedepankan safety first, meskipun dia masih juga tetap sering nekat
dalam bertindak demi mendapatkan liputan yang bagus.
Sementara
itu, Fessy, meskipun tidak memiliki reputasi internasional yang mentereng
seperti Mutia, tapi wanita cantik ini sering dianggap sebagai newscaster paling
jenius di NewsTV. Ia pernah memegang posisi sebagai asisten kepala di program
internasional NewsTV: Indonesia Insight, dan kini mengepalai English Sector,
termasuk juga menjadi host dan produser kepala di acara berita pagi Indonesia
Today yang berbahasa Inggris pula. Ketika terjadi bencana banjir raksasa
beberapa waktu lalu, Fessy juga menjadi officer-in-charge dari studio
“pengungsian” NewsTV di Bandara Internasional Jakarta, di bawah komando
langsung dari commander-in-chief Bu Isyana. Orangnya tegas dan tidak suka
berbasa-basi, seorang organisatoris ulung, serta selalu bisa mencari pemecahan
atas setiap permasalahan meskipun metode yang diambil seringkali terlalu radikal.
Tambahan lagi, menurut Alex, Fessy adalah english-speaker terbaik di seluruh
NewsTV.
Lalu,
siapakah Kania yang akan ditemui oleh Fessy? Mengapa Kania adalah satu-satunya
yang bisa menenangkan Alex saat ini? Kania adalah anchor senior di Sayap
Mandarin NewsTV, kelahiran Beijing, RRC. Boleh dibilang, dialah anchor “asing”
pertama yang dimiliki oleh NewsTV, jauh sebelum Kaori Miyazawa di Indonesia
Insight. Sebagai sebuah prestasi, maka Kania turut andil dalam membangun divisi
berita berbahasa mandarin NewsTV hingga berkibar seperti sekarang. Dari semua
“komplotan” Alex, maka Kania adalah yang paling tua, sehingga semua orang
memanggilnya sebagai “Cici” alias “Kakak”.
Namun
hubungan “kakak-adik” antara Alex dengan Kania memang amat spesial, karena Alex
dan Kania sudah mengangkat sumpah dan saling mengangkat saudara. Hubungan
mereka semakin erat setelah Alex sekeluarga pindah dekat dengan rumah Kania,
apalagi Kania juga memiliki putri angkat kembar yang seumuran dengan Lani. Kania
sendiri, setelah kematian suaminya, memilih untuk tidak menikah kembali dan
hanya hidup bersama dengan dua putri kembarnya dan Mamanya yang sudah berusia
lanjut (yang oleh Alex juga dianggap sebagai Ibu sendiri).
Ketika
Fessy sampai di ruangan Kania, Kania tengah duduk bersila sambil memainkan
musik dengan guqin-nya, seperti biasa. Guqin adalah sejenis
alat musik petik tradisional Cina yang mirip dengan kecapi berdawai tujuh. Kania
memang selalu membawa guqin ke kantor (persis seperti mereka yang membawa
gitar) sekedar untuk menghibur diri di saat tidak ada kerjaan. Kadang-kadang
memang Kania turut menyanyi, tapi lebih sering hanya mendentangkan guqin-nya
mengikuti irama-irama lagu Cina tradisional maupun klasik yang isinya rata-rata
adalah mengenai rumah (Cina), keindahan alam, serta cinta. Meskipun Kania sudah
menjadi WNI dan mencintai Indonesia, naluri tentang kampung halaman tidak
pernah lenyap.
“Sheme?”
tanya Kania tanpa menghentikan permainan guqin-nya.
“Cici, saya butuh bantuan,” jawab Fessy.
“Soal Alex?” tanya Kania.
“Cici tahu?” tanya Fessy.
“Kantor ini tidak seluas Taklamakan,” kata Kania, “kasihan Lucia,”
Rupanya
Kania sudah mengetahui soal Lucia. Pantas saja lagu yang
dimainkan olehnya terdengar amat sedih dan menyayat hati. Fessy bahkan melihat
tetesan air mata Kania jatuh ke atas guqin sambil Kania terus memainkannya.
“Kalau
gitu, Cici tahu kenapa aku ke sini,” kata Fessy.
Kania
hanya mengangguk saja, masih tanpa menghentikan permainannya. “Seorang kakak
harus melakukan tugas seorang kakak,” kata Kania setengah berpuisi, “ketika
sang adik datang, maka sang kakak harus menyambutnya; dan jika dia menangis,
sang kakak harus menghiburnya; tapi siapa yang akan menghiburku ketika aku
menangis?”
“Saya tidak tahu jawaban pertanyaan itu,” kata Fessy.
Kania
tersenyum, kemudian menghentikan musiknya di salah satu nada, lalu bangkit dari
duduknya. Fessy hanya mengangguk saja, lalu mereka berdua segera meninggalkan
tempat itu. Baik Kania maupun Fessy tidak berkata apapun sepanjang perjalanan.
Sesampainya
di tempat Alex, Kania langsung saja duduk di dekat Alex yang masih menangis.
Dengan lembut, Kania pun menenangkan Alex, dengan cara yang berbeda dari Prita.
Kania membiarkan kepala Alex tergeletak di pangkuannya, dan dengan penuh rasa
keibuan dia membelai rambut Alex.
“Cici…
Lucia…” kata Alex.
“Cici tahu,” kata Kania, “tapi sekarang kamu kudu kuat, demi Lani; panjang masih jalan kalian tanpa Lucia,”
Ajaibnya,
tangis Alex mulai mereda, tidak lagi menderu-deru seperti sebelumnya. Alex
sekarang hanya sesenggukan saja seperti anak kecil yang sudah habis airmatanya.
Ia menggelendot manja di pangkuan Kania, dan Kania pun mendendangkan lagu semacam
nina bobo. Prita dan Fifi pun undur diri dengan segera, untuk memberi
kesempatan Alex supaya benar-benar tenang. Mereka lalu bergabung dengan Mutia
dan Fessy yang memang sudah menunggu di luar ruangan.
“Banyak
yang kudu dikerjakan,” kata Fessy, “kita harus mengurus upacara pemakaman,
walaupun jasadnya Lucia mungkin nggak bakal ketemu,”
“Aku ntar coba ke rumahnya Alex, mungkin bisa bikin persiapan,” kata Prita.
“Aku bantuin kamu, yah,” kata Mutia.
“Tapi jangan sekarang, kita tunggu pengumuman Pemerintah dulu,” kata Fessy.
“Hhh… ngurus aja koq jadi malah repot,” kata Fifi, “kudu nunggu pengumuman segala,”
“Mau gimana lagi, soalnya ini bukan kejadian kematian biasa,” kata Fessy.
***
Wilayah
Udara Jakarta
14.28
WIB
H
minus 93:32:00
Helikopter
Bell-412 yang mengangkut Laksdya Sapar Sihombing terbang dengan gontai
melintasi langit Jakarta menuju ke markas Komando Angkatan Laut. Di dalamnya,
Laksdya Sihombing masih murung. Ia memang tidak begitu menyukai untuk
menyampaikan berita kematian, sungguh pun kematian itu adalah dalam rangka
tugas kenegaraan.
Laksdya
Sihombing memang tidak ingin cepat-cepat kembali ke Markas, dan ia nanti hanya
ingin menunggu pengumuman resmi dari Pemerintah, sehingga ia akhirnya bisa
mengurus segala sesuatunya. Tangisan duka Alex betul-betul menghantuinya, dan
sekali lagi ia mengusap kepalanya yang hanya ditumbuhi rambut tipis. Andai saja
kejadian ini tidak terjadi. Bukan hanya ini tidak adil bagi Alex, tapi juga
bagi keluarga awak kapal selam yang lain.
“Laksamana,”
kata co-pilot helikopter, “ada sambungan radio dari Dr. Najwa Shihab,”
“Nona Najwa?” tanya Laksdya Sihombing, “cepat sambungkan,”
Laksdya
Sihombing cepat-cepat segera mengaktifkan radionya, dan sejenak kemudian
terdengarlah suara wanita di seberang. “Laksamana Sihombing,” kata Najwa, “batalkan segera penyampaian berita
kematian!”
Tentu
saja perkataan Najwa itu membuat Laksdya Sihombing terkejut hingga hampir
melompat dari tempat duduknya. “Batalkan, Nn. Najwa?!” tanya Laksdya Sihombing, “tapi kenapa? Saya tidak mengerti,”
“KRI Harimau menangkap sebuah sinyal beacon yang berasal dari salah satu piranti KRI Antasena yang terlepas,” kata Najwa, “mungkin masih secara kasar saja yah, tapi ada kemungkinan KRI Antasena MASIH HIDUP!”
Kali
ini Laksdya Sihombing betul-betul melompat dari tempat duduknya. Perkataan dari
Najwa itu membuatnya betul-betul tidak tahu harus merespon apa.
“Masih
hidup, Nn. Najwa?!!” kata Laksdya Sihombing terkejut bercampur senang, “tapi
bukankah Anda bilang…”
“Makanya aku bilang kalau ini masih kemungkinan,” kata Najwa, “aku akan meminta KRI Ternate untuk mengepak semua peralatan sensor tercanggih kita yang bisa kita manfaatkan, dan sebelum matahari terbenam, KRI Ternate harus sudah berangkat ke ground zero,"
“Apakah KRI Antasena betul-betul…” kata Laksdya Sihombing.
“Masih perkiraan saja, Laksamana,” kata Najwa, “bagaimanapun, sekarang sudah ada harapan, kan? Meskipun ini adalah harapan yang amat kecil,”
“Terima kasih, Nn. Najwa,” kata Laksdya Sihombing dengan nada penuh kegembiraan.
Najwa
lalu menutup komunikasi. Najwa memang bukan dikenal sebagai orang yang suka
berbohong, apalagi demi berita sepenting ini. Kenapa Najwa lalu berkesimpulan
seperti itu? Ini karena Najwa melakukan penghitungan kasar antara waktu hidup
FST dengan ketika saat ledakan itu terjadi. Mengenai waktu peledakan, memang
hanya segelintir orang saja yang tahu, termasuk Najwa.
“Pilot,
sekarang juga berbalik kembali ke NewsTV!” perintah Laksdya Sihombing.
“Sekarang, Laksamana?” tanya pilot.
“Bukan, KEMARIN! Ya sekarang, goblok!!” hardik Laksdya Sihombing.
Maka
buru-buru helikopter Bell-412 itu berbalik kembali ke NewsTV.
***
Bina
Graha
14.31
WIB
H
minus 93:29:00
Laksamana
Danoe Salampessy dengan gusar memasuki Ruangan Komando Utama di Bina Graha, di
sana Najwa tampaknya sudah menanti benar kedatangan Laksamana itu.
“Apa
ini, Nn. Najwa?” tanya Laks.
Salampessy.
“Sinyal, diidentifikasi berasal dari KRI Antasena,” kata Najwa.
“Jadi sudah positif ditemukan?” tanya Laks. Salampessy.
“Secara teknis? Belum,” kata Najwa, “sinyal itu berasal dari peralatan FST yang terlepas dari KRI Antasena, dan baru tertangkap oleh KRI Harimau beberapa waktu ini,”
“Berarti KRI Antasena masih hidup??” tanya Laks. Salampessy.
“Tidak tahu, ada kemungkinan seperti itu,” kata Najwa, “aku meminta Anda perintahkan KRI Ternate untuk secepatnya buang sauh ke ground zero,”
Perkataan Najwa itu membuat Laksamana Salampessy terhenyak. “Apa? Sekarang?!” tanya Laks. Salampessy.
“Ya, sebelum ini KRI Ternate sudah dimuati sensor bawah air terbaik yang bisa kita berikan,” kata Najwa, “aku tidak mau buang waktu,”
“Jadi KRI Antasena benar-benar masih hidup??” tanya Laks. Salampessy lagi.
“Kalau
boleh jujur, kemungkinannya kecil sekali, tapi pastinya sinyal itu diluncurkan
tidak lebih dari 8 jam lalu; itu berarti sampai saat itu masih ada kehidupan di
KRI Antasena,” kata Najwa.
“Kalau sekarang bagaimana?” tanya Laks. Salampessy, “apa sinyal itu memberi tahu keadaan KRI Antasena sekarang?”
“Aku tidak tahu bagaimana kerusakannya, jadi tidak bisa memprediksi,” kata Najwa, “tetap saja ada kemungkinan bahwa semua awak KRI Antasena sudah mati pada saat ini,”
Laskamana
Salampessy pun terdiam sejenak. “Jadi, Nn. Najwa, Anda belum bisa memastikan
keadaan semua awak di KRI Antasena, pun tidak bisa dengan sinyal itu lalu
memastikan keadaan apakah KRI Antasena masih hidup atau sudah hancur?” tanya
Laks. Salampessy.
“Ya, seperti itulah,” kata Najwa, “kalaupun ini adalah sebuah harapan, pastinya mendekati harapan kosong,”
“Nona Najwa, ada badai di Samudera Indonesia, mendekati ground zero,” kata Laks. Salampessy, “kalau Anda memang tidak yakin bahwa KRI Antasena masih hidup, kenapa mengambil resiko mempertaruhkan KRI Ternate?”
“Aku
tidak bisa berlama-lama, Laksamana, setelah mengetahui bahwa ada sinyal dari
KRI Antasena,” kata Najwa, “kemungkinannya memang amat kecil, tapi kita harus
mengambilnya; dan aku tahu kekuatan KRI Ternate, Laksamana, badai ini pasti
bisa ditaklukkannya,”
“KRI Antasena diserang musuh, Nn. Najwa! Keadaannya masih berbahaya, kenapa tidak menunggu pengawalan dari gugus tugas yang akan tiba sekitar sehari lagi?” tanya Laks. Salampessy, “aku tidak suka mengirim KRI Ternate ke Perbatasan hanya dengan bertemankan KRI Harimau saja,”
“Aku tidak mau membuang waktu, Laksamana, karena mereka di sana mungkin saja tidak punya sehari lagi,” kata Najwa, “sekarang, saya minta dengan sangat, Anda tolong perintahkan KRI Ternate untuk secepatnya buang sauh, kalau bisa sekarang malah lebih baik; dengan atau tanpa pengawalan,”
Laksamana
Salampessy mendengus sejenak, kemudian mengangguk. Bagaimana pun, dia memahami
permintaan ini, dan dia juga sadar bahwa kalau memang KRI Antasena masih hidup,
maka mereka harus berpacu melawan waktu. Najwa juga balas
mengangguk ringan. Ini tampaknya pertaruhan terbesar Najwa dalam kariernya.
“Dan…
tolong sampaikan kepada Marsekal Kambu,” kata Najwa, “Aku ingin skuadron
pemburu di Kalijati, Yogyakarta, dan Madiun, untuk dipersiapkan sewaktu-waktu
kita butuh payung udara untuk KRI Ternate,”
“Akan saya lakukan,” kata Laks. Salampessy, “Tuhan memberkati Anda, Nn. Najwa,”
***
Gedung News TV
14.48 WIB
H minus 93:12:00
Helikopter
Bell-412 yang ditumpangi oleh Laksdya Sihombing kembali mendarat di atas Gedung
NewsTV. Kembalinya helikopter ini bahkan mengagetkan petugas pendarat di sana.
Apalagi tanpa berkata apa-apa lagi, Laksdya Sihombing segera berlari dan masuk
ke dalam gedung.
Di
lain tempat, Alex tengah dipapah oleh Kania berjalan perlahan-lahan untuk
meninggalkan gedung. Akhirnya setelah dibujuk oleh Kania, Alex pun bersedia
untuk pulang, dan ia sekarang sudah cukup tenang untuk menerima berita
menyedihkan itu. Satu-satunya kekhawatiran adalah Lani, karena tidak ada yang
memberitahukan soal Lucia pada Lani. Kania sendiri baru akan memberitahukannya
setelah ia yakin bahwa Alex akan pulang ke rumah. Mutia,
Fifi, Fessy, dan Prita pun mengikuti Alex dan Kania, juga dengan Eva dan
beberapa reporter lain.
“Biar
aku aja yang nanti nganter Alex pulang,” kata Fessy, “Cici ntar jemput si Lani
aja,”
“Yakin kamu nggak papa?” tanya Kania.
“Tenang aja,” kata Fessy, “tapi masih belum ada pengumuman dari Pemerintah, aku nggak tahu kalau ntar sudah sampai rumah tetep belum ada juga, kudu bikin apa,”
“Paling ntar udah ada,” kata Mutia, “yakin aja lah; kalau nggak ada, ya kepaksa kita umumin sendiri,”
Hampir
saja mereka turun dari tangga menuju Lantai 1 ketika Laksdya Sihombing dengan
tergopoh-gopoh berhasil menyusul mereka. Alex tentu saja cukup terkejut dengan
kehadiran kembali Laksdya Sihombing itu.
“Laksamana?”
tanya Alex.
“Tuan Alex… ada sesuatu…” kata Laksdya Sihombing sembari tersengal-sengal.
“Kalau
ini soal merahasiakan demi negara… jangan khawatir, kami sekeluarga bisa
mengerti…” kata Alex.
“Bukan… saya kemari bukan untuk itu…” kata Laksdya Sihombing, “perintah dari Istana… menarik kembali untuk sementara semua berita kematian untuk awak KRI Antasena… termasuk untuk Istri Anda…”
Perkataan
Laksdya Sihombing ini betul-betul membuat semua orang di sana amat sangat
terkejut. Menarik kembali berita kematian?
“Laksamana,
apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Alex.
“Bisa kita bicara berdua?” tanya Laksdya Sihombing.
Alex
mengangguk, lalu ia dan Laksdya Sihombing segera kembali ke ruangannya.
Walaupun toh diberitahukan bahwa itu pembicaraan empat mata, toh macam Prita,
Mutia, dan lain-lain tetap saja menguping, apalagi ruangan Alex memang tidak
kedap suara, beda dengan ruangannya dulu di editing. Laksdya Sihombing lalu
menjelaskan duduk perkaranya kepada Alex, termasuk kemungkinan kecil bahwa KRI
Antasena mungkin masih hidup.
“Jadi,
KRI Antasena tidak hancur?” tanya Alex.
“Bisa jadi seperti itu,” kata Laksdya Sihombing.
“Istri saya juga masih hidup?” tanya Alex.
“Itu yang kami belum bisa pastikan,” kata Laksdya Sihombing, “serahkanlah semua masalah ini pada kami, Tuan Alex, kami akan mencari kapal selam itu sekuat tenaga; jika ada apa-apa, Anda adalah yang pertama kali kami beritahu,”
Alex
menarik nafas lega sejenak. Tentu saja ia gembira
sekali bahwa Lucia kemungkinan besar masih hidup. Bagaimanapun, ia tetap tidak
bisa menggantungkan harapannya ke sana, karena memang kemungkinannya cukup
kecil.
“Kalau
begitu… saya permisi… lagi…” kata Laksdya Sihombing, “kalau ada apa-apa akan
saya…”
“Laksamana, tunggu…” kata Alex.
Laksdya
Sihombing pun berhenti sejenak. “Ada apa?” tanya Laksdya Sihombing.
“Anda
bilang ada kapal yang akan melacak KRI Antasena?” tanya Alex.
“Ya, KRI Ternate, saat ini sudah berada di Cilacap, mungkin juga sudah berangkat,” kata Laksdya Sihombing.
“Saya ingin berada di kapal itu,” kata Alex.
Laksdya
Sihombing jelas terkejut mendengar perkataan Alex itu. “Maaf, Tuan Alex?” tanya
Laksdya Sihombing.
“Saya ingin naik ke KRI Ternate dan ikut mencari keberadaan Istri saya,” kata Alex lagi, “saya hanya ingin mendengarkan langsung setiap berita mengenai Istri saya,”
“Tapi Tuan Alex…” kata Laksdya Sihombing.
“Laksamana, tolonglah!” kata Alex, “saya mau ikut,”
Alex
menghiba bahkan hampir saja bersujud kalau tidak dicegah oleh Laksdya
Sihombing. Bagaimanapun, Laksdya Sihombing bisa mengerti permintaan dari Alex
ini.
“Akan
saya usahakan,” kata Laksdya Sihombing, “tapi keputusan tidak di tangan saya,”
“Terima kasih!” kata Alex sembari memegang tangan Laksdya Sihombing.
Laksdya
Sihombing lalu segera meraih telepon dan menghubungi seseorang. Lama sekali Laksdya Sihombing dalam menelepon, dan menjelaskan duduk
perkaranya. Setelah itu, telepon pun ditutup. Laksdya Sihombing mendekati Alex
untuk membicarakan keputusannya.
“Jadi,
Anda boleh ikut,” kata Laksdya Sihombing, “saya harus sudah ada di Markas dalam
satu jam lagi, saya tunggu di helikopter,”
“Terima kasih sekali, Laksamana!” kata Alex dengan mata berkaca-kaca.
“Semoga beruntung, Tuan Alex,” kata Laksdya Sihombing sambil menepuk pundak Alex.
Laksdya
Sihombing lalu segera beranjak dan meninggalkan tempat itu. Ia melewati Mutia,
Prita, juga yang lain, hanya mengangguk sejenak lalu berlalu tanpa berkata
apa-apa. Semua orang lalu masuk menghampiri Alex.
“Ada
apa?” tanya Mutia.
“Aku harus segera pergi,” kata Alex, “mereka menemukan sinyal dari KRI Antasena; kemungkinannya kecil sekali, tapi bisa jadi Lucia masih hidup,”
Semua
orang terkejut sambil menarik nafas lega. Sekecil apapun harapannya, fakta
bahwa ada kemungkinan Lucia masih hidup tampaknya cukup menenangkan semua
orang.
“Tunggu,
‘pergi’ itu maksudmu bagaimana?” tanya Fifi.
“Aku mau ikut mencari Lucia,” kata Alex.
“Jadi, kamu mau ninggalin kita semua di sini?” tanya Fifi lagi. Suasana pun kembali murung.
“Aku
harus melakukannya,” kata Alex, “aku nggak mau kehilangan Istriku lagi; kalau
ada satu kesempatan aku bisa membantu, aku akan membantu,”
“Tapi… di sini…” kata Fifi.
“Aku serahin semuanya sama kamu, sama kalian semua,” kata Alex.
“Terus aku kudu ngapain tanpa kamu?” tanya Fifi.
“Lakukan apa yang kamu bisa,” kata Alex, “dan aku yakin kamu bisa,”
“Ini gila, Bu Isyana pasti tidak akan mengizinkan,” kata Mutia.
“Dengan atau tanpa izin Bu Isyana, aku akan pergi,” kata Alex, “Ci Kania, aku titip Lani yah,”
Kania
hanya mengangguk saja. Memang biasanya Lani sering berada di rumahnya, dan
apabila ‘upacara pemakaman’ itu jadi dilaksanakan, ia sudah berencana untuk
membawa Lani menginap untuk beberapa hari di rumahnya. Tapi ia cukup lega bahwa
ia kali ini tidak harus menyampaikan kabar duka pada Lani; setidaknya tidak
sekarang.
Alex
pun melangkah pergi, Mutia memegang tangan Alex, mencoba menghentikannya.
Begitu pula Fessy dan juga Fifi.
“Lepasin,
Mut,” kata Alex, “ini sesuatu yang harus aku lakuin,”
“Tunggu sebentar!” cegah Mutia.
Terhadap
Mutia, memang Alex memiliki sedikit perhatian, begitu pula antara Mutia ke Alex.
Alex dahulu pernah menyelamatkan nyawa Mutia, dan sejak saat itu Mutia
bersumpah untuk membalas jasa Alex, apapun bentuknya. Dan sepertinya, sekarang
saat itu telah tiba.
”Aku
tidak ingin mencegah kamu pergi, Lex,” kata Mutia. ”aku cuma ingin sedikit memberikan
kado perpisahan.”
Alex
menaikkan alis matanya, ”Aku harus cepat pergi, Mut.” sergahnya tak sabar.
Tapi
tidak menjawab, Mutia malah menggelandang Alex masuk ke satu ruangan, lalu
mengunci pintunya. ”Hanya ini yang bisa kulakukan untuk meringankan bebanmu,
Lex. Mudah-mudahan kamu bisa menerimanya.” kata Mutia sambil memagut bibir Alex
dengan tiba-tiba.
Alex
yang diserang seperti itu, awalnya ingin menolak. Selain sedang risau oleh
kondisi Lucia, ia juga sudah ditunggu oleh Laksdya Sihombing. Tapi aroma tubuh
Mutia, juga rangsangan dari perempuan itu cantik itu, mustahil untuk diabaikan
begitu saja. Apalagi Mutia juga sudah melepas pakaiannya sekarang, sengaja
memamerkan tubuhnya yang sintal menggoda pada Alex.
”M-Mut,
a-aku harus pergi.” gagap Alex, matanya nanar menatap payudara Mutia yang bulat
menggoda.
”Sebentar
saja, Lex.” Mutia memohon. ”Agar aku bisa membalas jasamu.”
”I-ini
bukan waktu yang tepat,” Alex mencoba menepis tangan Mutia yang ingin meraba
selangkangannya.
”Tidak
ada waktu lagi, Lex. Bagaimana kalau kamu nggak kembali?” tanya Mutia dengan
pandangan menghiba.
Alex
jadi luluh. Apalagi penolakannya tadi sebenarnya juga tidak sungguh-sungguh,
hanya sebagai pemanis agar tidak dianggap lelaki gampangan. Bagaimana pun ia
penasaran juga ingin merasakan tubuh molek Mutia yang sekarang terpampang bebas
di depannya. Sambil mengangguk, Alex pun menarik tubuh Mutia ke dalam
pelukannya.
”Cepat
aja ya, aku sudah diburu waktu.” bisiknya lembut sambil mulai membelai lembut gundukan
daging kembar yang tubuh di dada Mutia.
Mutia
mengangguk lemah, ”Terserah kamu, Lex.” ia berkata, dan pasrah saja saat Alex
membaringkan tubuhnya di atas meja.
Cepat
Alex melepas celananya lalu memberikan penisnya yang sudah setengah menegang
pada Mutia, ”Emut, Mut.” ia meminta.
Mutia
dengan rakus segera mengulum dan menjilatinya. Dia menunjukkan kesungguhan,
caranya memperlakukan penis Alex benar-benar istimewa. Sambil mengulum
perlahan, jari-jemarinya menari-nari di sepanjang penis Alex yang mulai
menegang, mengikuti alur urat-uratnya yang semakin terlihat menonjol, sambil
sesekali meremas-remas dengan kuat.
”Ahh...”
Alex melenguh, dirabanya payudara Mutia yang terlihat sangat menantang dan
diremas-remasnya gemas sebagai balasan. Ia merasakan aliran darah mengalir
deras di sepanjang urat kemaluannya, membuat benda itu menegang keras tak lama
kemudian; kepalanya membesar seperti helm tentara, warnanya kemerah-merahan dan
berdenyut-denyut nikmat sekali.
Mutia
terus melumat dan memasukkan batang penis Alex ke dalam mulutnya. Meski sudah berusaha keras, namun masih ada sisa sekitar 5cm di luar
bibirnya.
”Masukin
semua dong,” Alex meminta.
”Gimana
mau masuk lagi, punya kamu terlalu panjang buat mulutku,” kata Mutia sambil
melepaskan kulumannya. Wajahnya terlihat begitu merangsang;
dengan mata berbinar dan bibir merah tipis yang indah mereka.
Tidak
ingin membuang waktu, Alex segera menciumi wajah cantik Mutia, juga bibirnya,
sebelum kemudian ciumannya turun ke bawah. Dikulumnya puting susu Mutia sejenak,
ia menjilatinya rakus kiri dan kanan sambil terus meraba-raba tonjolannya yang
empuk dan hangat. Setelah puas, Alex meneruskan jelajahannya ke paha mulus
Mutia yang hanya bisa mendesah-desah menikmati serangan cepat itu.
Pelan
Alex menyibak bulu-bulu halus yang menutupi vagina Mutia, terlihat bibir vaginanya
masih tertutup rapat, namun disitu sudah ada cairan bening yang mulai menetes
keluar, tanda kalau Mutia sudah cukup basah. Kelentitnya yang berwarna merah
jambu, terlihat kecil dan menonjol kaku.
Mutia
langsung melenguh keras sambil menggoyangkan pantatnya tinggi-tinggi saat Alex
mulai menjilatinya. ”Auw! S-sudah, Lex, cepat masukkan punyamu!” pintanya
dengan setengah meringis. ”biar cepet selesai.” tambahnya sambil mulai menarik penis
Alex ke arah vaginanya yang membasah.
Sadar
dengan waktu yang terus memburu, Alex segera menghentikan jilatannya. ”Tahan
ya, kumasukkan sekarang.” Penisnya yang sudah agak menurun, mulai bangkit lagi
begitu menyentuh bibir vagina Mutia, kembali tegang dan mengeras penuh.
Sambil
menahan nafas, Alex sedikit demi sedikit mulai mendorong. Vagina Mutia terasa
sesak sekali membungkus batang penisnya, dilihatnya Mutia sedikit meringis saat
menerimanya.
”Teruskan,
lex. Tapi pelan-pelan aja,” kata perempuan cantik itu.
Alex kembali menusuk, penisnya sudah terbenam sebagian, kehangatan lorong vagina Mutia sudah mulai bisa ia rasakan. ”Ahh... Mut!” rintihnya dengan tangan kembali meraih dan membelai mesra gundukan payudara Mutia.
Mutia
sendiri meneteskan air mata, entah karena sakit atau bahagia. Namun tiba-tiba
ia menggoyangkan pinggulnya hingga akhirnya penis Alex pun bisa tertanam semua
di rongga vaginanya. ”Ouhh...” mereka melenguh secara berbarengan.
Mutia
merasa kemaluannya jadi begitu penuh, sementara Alex merasa penisnya seperti digigit
bibir yang sangat kenyal, juga hangat dan agak lembab, sungguh nikmat sekali.
Setelah
terdiam sejenak, mereka pun akhirnya mulai mengayun, menikmati hubungan badan yang
sebenarnya sangat terlarang dan tidak tepat waktu ini. Namun justru itu yang
bikin nikmat. Apalagi saat rasa nyeri yang dirasakan Mutia mulai sedikit berkurang,
berganti dengan rasa nikmat yang amat sangat, jadilah wanita itu berteriak-teriak
dan menggeleng-gelengkan kepala sambil tangannya menarik kuat-kuat tubuh kekar
Alex.
”Ohh,
Lex... ahh... ahh... ahh…” rintih Mutia dengan kaki menjepit kuat pantat Alex
yang terus bergerak maju-mundur menyetubuhinya. Alex bisa merasakan payudara Mutia
yang besar tergencet di dadanya, rasanya sungguh hangat dan kenyal sekali.
Di
bawah, lorong vagina Mutia terasa berdenyut semakin kencang, dan tak lama
kemudian menyemburkan cairan kenikmatannya, dia orgasme. ”Ahhh...!!!” teriak
Mutia sambil merangkul tubuh Alex semakin kencang. Tubuhnya terkejang-kejang
beberapa kali sebelum akhirnya terdiam setelah kenikmatan itu berlalu.
Sementara
itu Alex terus menggerakkan pinggulnya, ia juga merasa penisnya mulai berdenyut-denyut
pelan. Aliran darah terasa mengalir kencang di sekujur batangnya, mengumpul
tepat di ujung penisnya, dan tanpa berniat untuk menahannya lebih lama, iapun
menyemburkannya.
Ada
mungkin delapan sampai sembilan kali tembakan yang mengisi lorong vagina Mutia,
sebagian yang tidak tertampung meluber ke atas meja. Alex terus mencium dan
meremas-remas payudara perempuan cantik itu saat batang penisnya mengangguk-angguk menguras
segala isinya.
Sambil
tetap saling bertindihan, Alex memeluk mesra Mutia sambil membelai lembut rambut
pendeknya. Mutia sendiri terpejam, matanya terlihat sembab.
”Sudah
ya, aku harus pergi.” kata Alex sambil mencabut pelan penisnya dan memakai
kembali pakaiannya.
Mutia
mengangguk. ”Milikku yang paling berharga sudah kupersembahkan untukmu.” lirih
Mutia. ”Jangan lupakan aku!”
Alex
tersenyum, dan lekas meninggalkan ruangan itu setelah memberi Mutia ciuman
perpisahan. Di luar, Fessy dan yang lain menunggu dengan tidak sabar.
”Ngapain
aja sih,” tanya Prita, tapi langsung terdiam begitu melihat Mutia yang masih
tergolek kelelahan di atas meja.
Alex
bergegas melangkah menjauh.
”Masih
tetap ingin pergi?” tanya Fessy.
”Iya,
aku sudah sangat terlambat.” Alex melirik arlojinya.
“Di
sini aja, Lex. Kami semua akan menemanimu!” kata Fessy.
“Iya, Bos, jangan pergi!” pinta Eva, yang juga diikuti oleh para reporter di bawah Alex.
Semua
orang memegangi Alex, dan Alex pun terharu dengan perhatian mereka. Akan
tetapi, tekadnya sudah bulat. Jelas bahwa Lucia bukanlah sesuatu yang bisa Alex
urus hanya dengan duduk di sini. Alex pun berusaha melepaskan diri dari mereka
yang menahannya.
“Biarkan
dia pergi!” perintah Kania dengan suara yang berwibawa.
Entah
dapat kekuatan magis apa, tiba-tiba semua orang pun tertegun dan melepaskan
pegangannya dari Alex. Dari Kania tampak seperti sebuah aura api yang
menyala-nyala, dan dari semua orang, tampaknya hanya Kania lah yang bisa
memahami alasan mengapa Alex harus pergi.
“Ini
bukan sesuatu yang bisa kalian semua mengerti,” kata Kania, “tapi terkadang
seorang pria harus menempuh jalan ini, dan dia tidak boleh dihalang-halangi,”
Alex
menatap ke arah Kania dengan takzim, lalu ia menyatukan tangannya dan
membungkuk hormat pada Kania. “Cici… dou xie,” kata Alex.
Kembali
Alex melangkah pergi, diiringi tatapan berpisah untuk semua orang. Namun begitu
Alex berbalik, Bu Isyana sudah ada di hadapannya. Alex terkejut dan sedikit
bergetar. Tatapan mata Bu isyana selalu saja sama, dingin dan menakutkan. Tapi
untuk kali ini, Alex berusaha melawan tatapan mata itu.
“Mau
pergi ke mana, Tuan Alex?” tanya Bu Isyana dengan dingin.
“Aku harus pergi, ini soal Lucia,” kata Alex.
“Pergilah kalau begitu,” kata Bu Isyana.
Jawaban
Bu Isyana ini jelas amat ganjil bagi Alex. Mungkin Alex berharap Bu Isyana akan
menjawab sebaliknya, dan dengan itu ia akan berkonfrontasi.
“Aku
sudah mendengar dari Laksdya Sihombing; dan meskipun ini berarti desersi, tapi
aku tidak bisa menghentikanmu,” kata Bu Isyana, “ini soal Lucia, dan kamu
memang punya alasan untuk pergi,”
“Terima kasih, Bu Isyana,” kata Alex.
“Jangan berterima kasih dulu,” kata Bu Isyana, “kita akan bicarakan ini nanti sekembalinya kamu,”
“Aku janji, aku akan menanggung resikonya,” kata Alex.
Alex
pun segera berlari pergi, takut kalau-kalau ada yang akan menghadangnya lagi.
Semua orang jelas saja tidak mengerti mengapa Bu Isyana membiarkan Alex pergi.
Padahal dengan kehadiran Bu Isyana di sini, mereka berharap Beliau bisa menahan
Alex, karena memang Bu Isyana lebih berkuasa daripada Alex.
“Kenapa
Anda biarkan dia pergi, Bu?” tanya Fessy.
“Dia memang punya alasan untuk pergi,” kata Bu Isyana, “walaupun aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa; tidak etis untuk itu; betul kan, Nona Kania?”
Kania
hanya mengangguk saja.
***
Dalam
sekejap, Alex sudah sampai di atas helipad. Matahari bersinar amat terik,
membakar suasana di atas helipad ini. Tanpa mempedulikan panas yang membakar,
Laksdya Sihombing berdiri di samping helikopter menunggu Alex. Sementara itu,
angin dari baling-baling helikopter yang berputar menghembus keras sehingga Alex
harus membungkuk untuk berjalan melawan angin.
“Anda
sudah siap, Tuan Alex?” tanya Laksdya Sihombing.
“Sudah siap, bisakah kita berangkat sekarang juga?” tanya Alex.
“Kalau memang Anda menginginkannya,” kata Laksdya Sihombing.
Ketika
Alex hendak naik ke atas helikopter, seseorang tiba-tiba memanggilnya. Alex
berhenti dan menoleh. Itu ternyata adalah Prita, dan ia berlari menghampiri Alex.
“Alex,
tunggu!” kata Prita.
“Aku nggak bakal ngebatalin niat buat pergi, Prita!” kata Alex berteriak berpacu dengan kencangnya suara rotor helikopter.
“Siapa yang minta kamu batal?” tanya Prita, “aku mau ikut,”
“Apa!? Kamu gila!?” tanya Alex.
“Kalau aku gila, lalu kamu apa??” tanya Prita, “Laksamana, minta izin buat ikut!”
“Kalau begitu cepatlah kalian naik,” kata Laksdya Sihombing, “sebelum yang lain minta ikut juga!”
“Makasih!” kata Prita.
Prita
tersenyum, lalu bersama Alex ia ikut naik dan duduk di atas helikopter. Begitu
semua orang selesai memasang sabuk pengamannya, pilot helikopter segera tinggal
landas. Prita duduk disamping Alex, dan mereka berdua berhadapan dengan Laksdya
Sihombing.
“Kamu
nggak perlu melakukan ini, Prit!” kata Alex.
“Harus ada yang jagain kamu, Lex!” kata Prita, “lagian aku juga mau ikut, aku ada libur dan pastinya bakal bosan di rumah terus,”
Alex
pun tersenyum kepada Prita. “Makasih ya, udah mau ikut,” kata Alex.
Prita
mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu memegang tangan Alex dengan erat, dan
mereka berdua pun terus berpegangan tangan sementara helikopter melaju menuju
cakrawala.
***
Beberapa Jam Sebelumnya…
Samudera Indonesia
Depth not-yet-known
Time not-yet-known
Lucia merasakan ia seperti melayang,
terombang-ambing di tengah kegelapan. Telinganya mendengar banyak sekali suara,
kebanyakan suara yang dikenal, suara dari masa lalunya. Ia pun juga serasa
berada di sebuah bioskop yang memutarbalik ingatannya di masa lalu: derap kaki
kecilnya yang tengah bermain, senyum almarhum kedua orang tuanya, rumah masa
kecil di kampung halamannya di Ternate, bau laut dan angin semilir,
teman-temannya pada saat sekolah, cinta pertamanya, kekasih pertamanya, ciuman
pertamanya, semuanya mengalir begitu saja seolah tengah diperlihatkan kepada
Lucia. Remang-remang, ia pun merasa dikelilingi
cahaya yang menenangkan. Di manakah dia sekarang?
Konon
ketika seorang manusia sudah mendekati akhir hidupnya, maka ia akan
diperlihatkan semua perjalanan hidupnya mulai dari lahir hingga saat terakhir
hidupnya. Apakah ia memang sudah mati dan berada di alam lain? Memori pun
mengalir terus, pertama kali dia bekerja di NewsTV, teman-temannya di sana,
juga pernikahan pertamanya yang penuh penderitaan. Lucia
pun tanpa sadar menitikkan airmata, itu hal yang selama ini ingin ia lupakan.
Kemudian bayangan terakhir pun muncul, Alex dan Lani, yang sangat ia sayangi.
Lani si kecil yang selalu memanggilnya dengan “Mama” betapapun Lucia bukanlah
ibu kandungnya.
Lucia
menangis karena ia merasa tak akan bisa memegang tangan Lani lagi, tak bisa
menggendongnya, menenangkannya ketika Lani menangis. Siapa nanti yang akan
memasak sarapan untuk Lani? Siapa pula yang akan menemani Alex? Yang akan
berbagi kehangatan di tengah malam yang dingin, yang akan memberikannya kecupan
hangat di pagi hari dan sebelum tidur, dan Lucia merasakan kedinginan sembari
mengingat ketika kedua tubuh telanjang mereka berpelukan dan bercumbu mesra
hingga dinginnya udara terkalahkan oleh hangatnya cinta.
Cahaya
putih pun terlihat, dan Lucia terpaku. Inikah jalan ke
surga? Mula-mula redup, lalu menjadi temaram menyilaukan. Sesosok wajah yang
tersenyum tampak samar-samar terlihat di balik cahaya itu. Lucia menarik nafas,
mungkin inilah saatnya ia meninggalkan semuanya, meninggalkan Lani dan Alex,
juga semua di NewsTV. Dengan suatu dorongan, Lucia pun mengulurkan tangannya ke
arah cahaya itu, dan tiba-tiba… ia pun merasa ditarik dengan sangat kuat ke
atas.
“Masih
hidup!!” teriak Letkol. Ari La Masa.
Lucia
segera tersadar, dan tahu-tahu ia sudah basah kuyup. Suasana gelap, dan
beberapa berkas cahaya terlihat, berkas cahaya dari senter-senter darurat, dan
salah satunya sangat terang menerpa wajahnya, senter yang dipegang oleh Letkol.
La Masa. Ia pun segera menarik nafas panjang dan terbatuk-batuk mengeluarkan
air dari mulut dan lubang hidungnya. Sedetik kemudian, seluruh tubuhnya,
terutama kepalanya, terasa amat sakit.
“Di
mana aku?” tanya Lucia sambil masih terbatuk-batuk.
“Apa maksudnya di mana?” tanya Letkol. La Masa, “masih di sini tentu saja, di dalam kapal,”
Lucia
tercengang. Berarti ia tadi tengah bermimpi indah dan kini sudah dibangunkan ke
dalam realita pahit. Ia hampir tidak mengenali ruangan ini, gelap dan penuh
puing-puing. Dari atas, air pun mengucur dengan deras, sehingga terasa seperti
tengah berteduh di sebuah gubuk yang bocor ketika hujan deras. Bunga api dari
instalasi listrik masih memancar, dan suasana menjadi sesak tiba-tiba. Lucia
juga akhirnya baru menyadari kalau lantai di bawahnya sudah terendam air.
“Banjir?”
tanya Lucia, “apa kita tenggelam?”
“Pertanyaan yang aneh,” kata Letkol. La Masa, “jelas saja kita tenggelam, namanya juga kapal selam,”
“Maksudku…” kata Lucia.
“Aku tahu… tenang saja, cuma pipa yang bocor; akibat benturan mungkin,” kata Letkol. La Masa, “kalau kebocorannya sudah diatasi, kami akan menyalakan bilge pump untuk memompa airnya keluar; astaga, aku tadinya takut kalau kau sudah mati, mengingat tadi kepalamu hampir terbenam seluruhnya,”
Pantas
saja ia merasa seperti air tengah memenuhi paru-parunya. Baju yang dikenakan
Lucia kini sudah koyak dan berlubang di beberapa tempat. Ia pun menderita
beberapa luka ringan, kecuali luka di kepala yang kini mulai membiru, serta di
lengannya pun terdapat luka sobek yang cukup panjang. Perih sekali, bercampur
dengan air laut.
Keadaan
Letkol. La Masa sendiri pun tidak lebih baik, mukanya menghitam belepotan
jelaga, dan luka-luka serta darah kering pun terlihat di sana-sini. Setidaknya
mereka masih hidup, karena tepat di sebelah Lucia, ada awak yang sudah jadi
mayat, itu si perwira senjata yang malang.
“Di
mana Laksamana?” tanya Lucia, “Erika? Iwan?”
“Semua selamat, di ruang medis,” kata Letkol. La Masa, “sepertinya kau juga harus segera ke sana; lukamu sepertinya parah,”
Lucia
mencoba berdiri, tapi kepalanya sakit luar biasa hingga ia terduduk kembali. Karena tangannya juga sakit, maka ia hampir tidak bisa berpegangan.
Akhirnya Letkol. La Masa terpaksa harus memapah Lucia ke ruangan medis. Kapal
selam ini menjadi gelap, hanya lampu darurat saja yang bisa menyala, dan
keadaannya cukup mengenaskan, ini apabila Lucia membandingkannya dengan keadaan
seperti sebelum enkonter dengan kapal musuh tadi.
Sepanjang
perjalanan, Lucia melihat banyak sekali awak kapal bekerja dengan giat, tapi
rata-rata adalah menambal kebocoran. Padahal keadaan mereka juga penuh luka dan
memar. Beberapa kali mereka menemukan awak yang sudah menjadi mayat, tergeletak
begitu saja, belum sempat untuk diurus. Saking sempitnya koridor di kapal selam
ini, Lucia bahkan sampai harus melangkahi beberapa mayat.
Ruang
medis sendiri amat ramai dan dipenuhi oleh mereka-mereka yang luka-luka. Dokter
kapal bekerja dengan amat keras untuk merawat masing-masing, dan beberapa orang
kelasi yang “cukup sehat” hilir mudik melayani mereka yang membutuhkan. Tidak
ada tempat tidur kosong, jadi Lucia terpaksa didudukkan di atas meja. Laksma. Mahan ada di sana, seorang kelasi tampak sedang merawat luka
Laksma. Mahan. Ia hanya tersenyum sejenak kepada Lucia, lalu kembali muram.
Salah satu tangannya terpaksa harus dibebat dan digantungkan di leher.
“Mbak
Lucia!!” teriak Erika tiba-tiba.
Lucia
pun terkaget ketika Erika langsung memeluknya. Rupanya Erika sudah selamat, dan
beberapa perban serta plester telah menutup luka-lukanya, kecuali beberapa
titik di wajahnya saja yang coreng hitam akibat jelaga. Di sudut lain, Iwan
juga selamat, ia hanya memberi lambaian tangan, sementara kepalanya tengah
dibungkus perban oleh kelasi yang lain.
“Pelan-pelan,
Erika.. sakit…” kata Lucia, memaksakan diri tersenyum walaupun kepalanya sakit
bukan main.
“Nona Erika kebetulan saja pingsan dekat pintu, termasuk yang pertama diselamatkan,” kata Letkol. La Masa.
“Aku udah khawatir lho, Mbak, aku kirain Mbak nggak selamat,” kata Erika.
“Agak sulit juga nemukannya, soalnya ketutupan puing,” kata Letkol. La Masa, “belum lagi gelap,”
Listrik
kapal selam memang masih mati, dan tak terkecuali di ruang medis ini. Sebagai
ganti penerangan, beberapa buah senter darurat ditaruh di sudut-sudut ruangan
ini; salah satunya bahkan sinarnya sudah mulai berkedip-kedip. Dokter kapal,
Letnan Sulaiman, segera menghampiri Lucia dan memeriksa luka-lukanya.
“Tahan
sebentar, yah,” kata Lt. Sulaiman.
Lucia
memekik kesakitan ketika Lt. Sulaiman memegang luka di kepalanya. Dengan
cekatan, Lt. Sulaiman pun mengobati dan menutup luka di kepala itu.
“Yang
di kepala nggak parah,” kata Lt. Sulaiman, “tapi yang di tangan harus dijahit,”
“Kalau
emang nggak parah, tolong yang lain aja dulu, Dok, yang lebih parah,” pinta
Lucia.
Lucia
memang masih menilai luka-luka yang deritanya ini “tidak begitu parah”. Ini
juga karena Lucia melihat beberapa orang kelasi tengah terbaring di ranjang,
merintih kesakitan, dengan luka-luka yang amat parah. Herannya, perawatan atas
mereka tampaknya hanya dilakukan sederhana saja. Normalnya, Lucia berpendapat
bahwa yang terluka paling parah lazimnya harus didahulukan, bila dibandingkan
dengan dirinya.
“Ya,
nanti, kalau memang mereka masih bertahan,” kata Lt. Sulaiman.
“Tapi, mereka bisa…” protes Lucia.
“Mati? Memang kemungkinan besar seperti itu…” jawab Lt. Sulaiman dingin.
“Lalu kenapa Anda koq tidak…” protes Lucia lagi.
“Dengar, Nona, mungkin ini hal yang tidak bisa Anda terima, tapi sekarang ini adalah keadaan perang, dan banyak orang terluka,” kata Lt. Sulaiman, “mengobati orang yang mati hanya akan membuang-buang obat yang berharga; ini sekarang di dalam laut, bukan dekat apotek 24 jam, persediaan obat kami terbatas; kalau mereka bertahan, pasti akan saya tolong… tapi tidak sekarang,”
Lucia
jelas tidak bisa menerima keadaan itu, tapi ia diam saja. Bagaimanapun Lt.
Sulaiman benar, ini adalah keadaan pertempuran, sesuatu hal yang mungkin tidak
bisa dibayangkan oleh orang sipil yang sudah terbiasa hidup di alam damai.
Mungkin di alam damai, orang yang terluka parah akan mendapat prioritas
pengobatan, tapi di saat perang seperti ini, maka justru yang terluka tidak
terlalu parah lah yang akan diobati lebih dulu, sementara yang parah akan
diobservasi. Jika ia bisa bertahan melewati saat kritis,
maka barulah ia akan diobati.
Jarum
jahit yang dipegang oleh Lt. Sulaiman menusuk lengan Lucia setelah sebelumnya
Lt. Sulaiman memberi pemati rasa lokal. Bagaimanapun, rasa sakit akibat ketika
jarum itu masuk dan keluar sambil menarik benang, masih cukup sakit dirasakan
oleh Lucia, sehingga ia pun berusaha menahan rasa sakit itu hingga menitikkan
airmata. Namun Lucia tetap tidak menjerit. Karena sikap tenang itulah maka
proses penjahitan itu berlangsung dengan cepat dan rapi. Lucia bernafas lega
ketika Lt. Sulaiman menyimpulkan jahitan di tangannya itu.
“Posisi
kita di mana, Letkol?” tanya Laksma. Mahan pada Ari La Masa.
“Belum diketahui, Kep,” kata Letkol. La Masa, “teknisi masih berusaha mengembalikan sistem kelistrikan kapal; posisi kedalaman juga tidak diketahui,”
Tiba-tiba
terdengar suara logam berderak dengan amat keras, terasa seperti kapal selam
itu tengah menggeliat. Suara ini tentu saja amat menakutkan bagi siapa saja
yang mendengarnya, karena ini terjadi akibat badan kapal selam ditekan oleh
tekanan air yang mahadahsyat di kedalaman; prosesnya sama seperti kalau kita
meremas kaleng minuman ringan. Apabila badan kapal sudah tidak mampu menahan
tekanan air, maka kapal selam itu akan patah dan hancur dalam tekanan mahabesar
itu, dan tidak meninggalkan apapun kecuali hanya serpihan-serpihan kecil. Air pun mulai menetas dari pipa-pipa saluran di atas ruangan.
“Sebaiknya
kamu suruh mereka bekerja lebih cepat,” kata Laksma. Mahan, “sebelum kita jadi
kapal selam penyet di sini,”
Kalau maksudnya adalah sebuah candaan, maka ini adalah candaan yang tidak lucu. Letkol. La Masa pun meninggalkan tempat dengan raut muka yang amat serius.
“Reza
mana?” tanya Lucia pada Erika.
“Dia nggak papa, cuman memar-memar dikit,” kata Erika, “dia ikut bantuin awak kapal buat nambal kebocoran; aku aja ikut bantu-bantu di sini,”
Erika
memang dari tadi tampak mondar-mandir membawakan obat bagi siapa yang
memerlukan. Dalam keadaan seperti ini, maka sudah tidak ada lagi pembeda mana
sipil mana militer, semua kini dianggap sebagai prajurit. Erika dan Reza memang
cukup cekatan dalam menghadapi situasi, Lucia pun jadi maklum ketika Sumi
mengatakan bahwa kru yang ikut dalam peliputannya adalah sebagai “yang
terbaik”.
Saat
itulah lampu utama kembali menyala, dan disusul dengan lampu-lampu lain di
koridor. Semua orang berteriak senang, ini tandanya sistem kelistrikan sudah
kembali online di kapal selam ini. Seorang kelasi buru-buru masuk ke ruang
medis dan langsung memberitahukan sesuatu pada Laksma. Mahan.
“Kep,
lapor! Semua kebocoran sudah berhasil diatasi,” kata kelasi itu, “sistem juga
sudah online,”
“Bagus,” kata Laksma. Mahan, “perintahkan untuk menyalakan bilge pump dan pompa air keluar dari kapal selam, aku ke anjungan segera,”
Kelasi
itu lalu menghormat dan segera meninggalkan tempat. Laksma.
Mahan pun bangkit dan memasang topinya kembali. Ia terlebih dahulu menghampiri
Lucia. “Masih tertarik mengikuti dari anjungan, Nn. Lucia?” tanya Laksma.
Mahan, “kalau kamu sudah baik-baik saja, tentunya,”
“Saya tidak apa-apa, Laksamana,” kata Lucia, “tentu saja saya akan ikut ke anjungan,”
Lalu
Lucia segera mengikuti Laksma. Mahan menuju ke anjungan. Setelah listrik
menyala, barulah Lucia bisa melihat dengan jelas segala kerusakan di sini. Tidak bisa dikatakan dengan pasti, cukup bahwa suasana betul-betul
berantakan. Air masih saja menetes dari pipa-pipa di atas, tapi setidaknya
sudah tidak sederas sebelumnya. Setibanya di anjungan, Letkol. La Masa sudah
ada di sana, berdiri, namun wajahnya tampak tidak begitu senang.
“Bagaimana
keadaan kapal ini?” tanya Laksma. Mahan.
“Berita buruk, Kep,” kata Letkol. La Masa, “kita bisa memompa air keluar dari kabin, tapi kita kehilangan daya pada pompa balast,”
“Astaga!” jerit Laksma. Mahan, “jadi maksudnya kita tidak akan bisa ke permukaan?? Apa bisa diperbaiki?”
“Saya tidak bisa menjamin,” kata Letkol. La Masa, “cukup sulit kalau dilakukan di sini, hampir mustahil malahan,”
“Berapa kedalaman kita?” tanya Laksma. Mahan.
“Sekitar 250 meter, lebih dalam daripada jangkauan DSRV kita,” kata Letkol. La Masa, “tapi kalau kita berhasil memompa semua massa air bocor keluar, mungkin kita bisa kembali ke kedalaman 200 meter,”
“Baiklah, apa lagi?” tanya Laksma. Mahan.
“Hampir semua sistem, termasuk komunikasi mati, selama kita tidak bisa ke permukaan, kita tidak bisa mengirim kabar apa-apa; posisi tidak diketahui,” kata Letkol. La Masa, “tapi tampaknya sinyal SOS kita tadi sudah berhasil terkirim, semoga saja Markas menerimanya dengan baik,”
Lucia
hanya tercengang saja mendengar penuturan Letkol. La Masa. Tidak ada berita
baik, terutama adalah fakta bahwa kapal selam ini tidak bisa ke permukaan.
Biasanya ini adalah alamat maut, dan apabila tidak dapat segera ditolong, maka
ini adalah alamat semuanya akan mengalami mati akibat kehabisan udara, jenis
kematian yang paling ditakuti oleh awak kapal selam, lebih daripada mati akibat
tenggelam atau hal lain.
“Masih
ada harapan,” kata perwira radio tiba-tiba.
“Jelaskan,” kata Laksma. Mahan.
“Kita masih punya floating signal-transmitter, mungkin bisa kita pakai untuk mengirim berita SOS ke Markas, memberitahukan posisi kita, dan meminta penyelamatan segera,” kata perwira, “tapi aku tidak tahu apakah alat itu, setelah dihantam ledakan bertubi-tubi, masih bisa berfungsi atau tidak,”
“Lakukan saja,” kata Laksma. Mahan, “kita nggak punya banyak pilihan sekarang,”
Perwira
radio mengangguk, lalu ia kembali ke mejanya. Dengan
hati-hati ia menuliskan sebuah pesan. Ia tahu kalau FST akan mengirimkan sebuah
pesan yang diprogramkan secara terus menerus.
“FST
siap diluncurkan!” kata perwira radio.
“Luncurkan!” kata Laksma. Mahan.
Perwira
radio pun mengaktifkan FST, kemudian dengan sekali menekan tombol, ia
meluncurkan piranti pengirim signal itu. Sebuah lampu indikator berkedip-kedip
menunjukkan bahwa FST tengah menjalankan tugasnya, sementara perwira radio dengan
hati-hati mengatur penguluran kabel supaya FST bisa menuju ke permukaan.
Tiba-tiba, lampu indikator mendadak mati, dan perwira radio berteriak panik.
“TIDAK!!”
jerit perwira radio.
“Ada apa?” tanya Laksma. Mahan.
“Kabel pengaitnya putus!” kata perwira radio.
“Astaga…” gumam Lucia.
“Kita masih punya harapan, FST masih akan bisa mengirim sinyal itu meskipun sudah terlepas dari kapal selam…” kata perwira sonar, “tapi itu nanti berarti…”
“Seperti sebuah pesan di dalam botol…” sambung Lucia, “kita tidak bisa tahu ke mana dia akan pergi,”
Semua
menarik nafas panjang sembari mendesah.
“Berapa
cadangan udara kita?” tanya Laksma. Mahan.
“Sistem atmosfer masih menyala, jadi kemungkinan kita masih punya waktu sekitar 96 jam,” kata Letkol. La Masa, “menghitung sudah ada korban mati, mungkin saja bisa lebih, sekitar 100 jam mungkin,”
“Jam berapa sekarang?” tanya Laksma. Mahan.
“Jam 8 pagi, Kep,” kata Letkol. La Masa.
“Kalau begitu, nikmati 100 jam terakhir kalian,” kata Laksma. Mahan, “dan berdoalah,”
Lucia hanya mematung, seolah bahwa ia bukannya
selamat, tapi menunda kematian 100 jam lagi.
***
Samudera Indonesia
250 meter kedalaman
08.00 WIB
Countdown started
H minus 100:00:00
No comments:
Post a Comment