Suatu pagi yang terlihat cukup cerah.
Adelia |
Dering suara ringtone ponsel memenuhi seisi ruangan kamar. Bahkan suararingtone yang merupakan lagu dari salah satu band terkenal tersebut sudah cukup lama terdengar. Namun baru beberapa menit kemudian mampu untuk membangkitkan kesadaran Adel dari tidurnya. Dengan sangat berat Adel mencoba untuk membuka mata dan berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menggapai sumber suara yang terdengar dari bawah ranjang. Dengan kesadaran yang masih sangat minim tangan si gadis terus menggapai-gapai sampai akhirnya ia bisa merogoh ke dalam tas jinjingnya dan berhasil menemukan apa yang dicarinya. Tanpa gadis itu sadari, gerakannya tadi membuat selimut penutup tubuhnya sedikit tersingkap. Celah diantara selimut tersebut cukup jelas memperlihatkan kalau bagian atas tubuh gadis kini dalam keadaan topless.
“Hallo...”, suara gadis tersebut terdengar serak.
“Del... dari tadi gue telponin nggak diangkat-angkat! Lu lagi ngapain sih?”
Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar Adel memijit-mijit kepalanya pelan dan kemudian menggosok-gosokkan tangan kanannya ke kelopak matanya mencoba untuk mengurangi rasa pusing dan pening yang membuat kepalanya terasa begitu berat. Sedangkan di ujung telepon Laras terdengar masih terus mengomel. Larasati Savitri, atau lebih sering dipanggil Laras adalah rekan kerja sekaligus asisten pribadi Adel di kantor. Secara fisik memang tak ada yang berbeda antara Adel dan Laras, selain tinggi badan mereka dimana Adel terlihat sedikit lebih tinggi. Saking miripnya, keduanya sering disebut sebagai kakak dan adik. Keduanya cantik, manis dan menarik. Yang membedakan keduanya adalah sifat Laras yang lebih cuek, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja. Hal ini pula yang membuatnya sangat mudah untuk mencari teman bahkan bergonta-ganti pacar. Sifat seperti ini jelas tidak dimiliki oleh Adel yang cenderung memiliki sifat teliti dan sedikitperfeksionis. Namun perbedaan inilah pula yang membuat keduanya terlihat begitu kompak. Di satu sisi Adel mampu meredam dan mengendalikan sifat Laras yang memiliki emosional meledak-ledak dan moody, sedangkan di sisi lain Laras mampu menceriakan dan membuat Adel rileks dalam menghadapi beban tekanan akibat pekerjaannya sehari-hari.
“Gue… gue baru bangun”.
“Aaahh…! Ya ampun Jeng... Jam segini lu baru bangun? Gue nggak peduli, pokoknya lu musti ke kantor sekarang, inget lu ada meeting jam 10!”
Mendengar kata-kata Laras di ujung telpon Adel langsung tersentak. Ia benar-benar lupa kalau pagi ini ia harus mempresentasikan proposal kerjasamanya dengan Perusahaan *** yang kemarin disusunnya. Presentasi ini benar-benar penting karena nilai kontraknya yang cukup besar jika tercapai kesepakatan antar perusahaannya dengan perusahaan calon rekanan.
“Aduh Ras… Sumpah gue lupa banget! Lu masih dirumah kan?”.
“Iya, emang kenapa?”.
“Ntar tolong lu bawain gue pakaian kerja lu ya, kayaknya gue nggak bakal sempet balik ke apartemen nih”.
“Ah? Lu sekarang nggak lagi di apartemen? Emang lu dimana sih?”.
“Gue nggak tau, ntar deh gue jelasin soalnya gue juga nggak ngerti nih...”.
“Maksud lu?”.
“Udah ntar aja! Inget ntar lu urus dulu ruangan sama semua berkas-berkas yang diperluin di kantor dan inget jangan lupa lu bawain gue pakaian”.
Percakapan itu pun segera diputus Adel secara sepihak. Adel kemudian menyapu pandangannya ke sekeliling untuk memperhatikan secara seksama ruangan dimana saat ini ia berada. Adel baru menyadari kalau saat ini ia sedang berada di sebuah kamar hotel. Gadis cantik itu kemudian menyingkap ujung selimut yang membungkus tubuhnya dan ia pun akhirnya menyadari kalau saat ini tak ada satu helai kain pun yang menutupi tubuhnya selain selimut putih tersebut. Ia lalu menggenggam selimut itu erat-erat sambil berusaha mengingat-ingat apa yang kemarin ia lakukan sepanjang hari sehingga bisa berakhir dalam kondisi telanjang seperti ini. Namun semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat pula rasa pusing dan pening menyerang kepalanya. Ketika mencoba membasahi bibirnya dengan lidah, Adel merasakan rasa yang aneh di permukaan bibirnya. Dengan rasa sakit disekujur tubuhnya, Adel dengan berlahan berusaha beranjak dari ranjang untuk menuju ke meja rias di dekatnya. Di depan kaca ia bisa melihat dirinya yang benar-benar dalam keadaan berantakan. Rambut panjang bergelombang yang ia cat coklat itu biasanya setiap hari selalu tertata rapi dan elegan, namun kini rambut tersebut terlihat acak-acakan sehingga sama sekali jauh dari kesan anggun. Ia kemudian mendekatkan bibirnya ke kaca dan disana terlihat banyak bercak-bercak putih mengering. Tak hanya di bibirnya, ketika ia menurunkan selimut pembungkus tubuhnya bercak-bercak putih itu juga berada di permukaan payudara dan juga sedikit di bagian perutnya. Ia menggosok-gosok bercak-bercak putih yang terasa lengket itu dengan tangannya. Bukannya hilang justru kini bercak-bercak kian menyebar disekujur tubuhnya. Benda di permukaan tubuhnya ini sebenarnya bukan hal asing bagi Adel. Gadis cantik ini tahu kalau bercak-bercak putih itu adalah cairan sperma yang mengering. Yang membuatnya bingung adalah bagaimana cairan sperma ini bisa berada di tubuhnya.
Gadis cantik itu memegang kepalanya yang mulai terasa sakit lagi. Kilasan demi kilasan memory kini mulai bergiliran memenuhi otaknya. Namun sama sekali belum bisa menjawab kenapa saat ini ia bisa berada di dalam kamar hotel ini, dalam keadaan telanjang dengan cairan sperma kering memenuhi sekujur tubuhnya. Yang ia ingat hanyalah kemarin ia diajak oleh Lia, teman satu apartemennya untuk merayakan ulang tahun sahabatnya di sebuah diskotik. Banyak orang yang datang dan tak satupun dikenalnya. Musik terdengar begitu keras dan menghentak. Mereka semua yang ada disana meminum minuman beralkohol, begitu juga dengan dirinya. Sampai disana kemudian Adel benar-benar lupa apa yang selanjutnya terjadi. Yang pasti rupanya saat itu ia pasti sudah sangat mabuk sehingga hilang kesadaran. Rasa sakit kembali menyerang kepalanya ketika ia berusaha semakin keras mengingat-ingat. Adel tahu kalau ia sama sekali tidak memiliki cukup waktu untuk mencari tahu lebih jauh jawaban atas semua pertanyaannya. Jam dinding di kamar itu kini sudah menunjukkan pukul setengah 9. Pada jam dinding itu tertulis Hotel ***, yang berarti berada cukup jauh dari lokasi kantornya. Dengan rasa sakit yang masih terasa menusuk-nusuk di sekujur tubuh dan rasa pusing di kepalanya berlari menuju lemari pakaian dan membukanya. Disambarnya sebuah handuk putih yang terlipat rapi di dalam lemari pakaian dan segera berlari menuju kamar mandi. Sedetik kemudian gemericik air pun terdengar dari dalamnya. Dibawah guyuran air showerkilasan-kilasan kejadian muncul kembali di kepala Adel. Ia ingat kalau ada seseorang yang memapahnya keluar diskotik. Orang tersebut sangat jelas tidak ia kenal, bahkan ia tidak tahu apakah orang itu laki-laki atau wanita. Seingatnya lagi kalau orang tersebut membawa dirinya ke suatu tempat dan setelah itu ia sama sekali tidak ingat lagi. Mungkin setelah itu ia jatuh tertidur. Diantara ketidaksadarannya tersebut, Adel ingat kalau tiba-tiba saja Abi muncul dihadapannya. Tentu saja membuat dirinya sangat bahagia sehingga mereka pun berciuman, bercumbu dan bercinta. Percintaan tersebut berlangsung sedemikian panas dan bergelora. Seakan sama-sama ingin melepaskan rasa rindu yang selama ini selama mereka pendam, percintaan tersebut berlangsung tak hanya sekali bahkan sampai berkali-kali. Rasa sakit dan pening kembali menyerang kepala Adel. Apakah kemarin ia benar-benar telah bercinta dengan Abi kekasihnya? Hal ini tentu tidak mungkin karena malam sebelum berangkat ke diskotik Abi sempat menelponya dan mengatakan ia masih di Ausie. Apa semua bayangannya tadi hanya mimpi? Jika mimpi, lalu kenapa ada sperma yang menempel di tubuhnya? Ini berarti percintaan tersebut adalah nyata? Tapi dengan siapa kemarin ia bercinta? Pertanyaan demi pertanyaan secara bergiliran muncul dalam kepala Adel. Ini membuat kepalanya terasa semakin sakit. Adel lalu memutuskan untuk segera keluar dari kamar mandi.
Dengan tergesa-gesa Adel mengeringkan tubuhnya dan mulai memunguti pakaian dan barang-barangnya yang berserakan di sekitar kamar. Semua pakaian dan barang-barangnya lengkap ia peroleh kecuali bra dan celana dalamnya. Hal ini semakin memperkuat dugaan yang semula sama sekali tidak ingin ia bayangkan terjadi kepada dirinya. Kini mau tidak mau ia harus mengakui kalau semua bayangan percintaan tadi memang benar-benar telah terjadi. Namun Adel tetap berusaha meyakinkan dirinya kalau semuanya adalah tidak nyata, karena jika percintaan itu nyata dan ia tidak melakukannya dengan Abi maka hal itu adalah hal yang paling memalukan yang pernah ia lakukan. Adel pun dengan cepat mengenakan kembali pakaiannya dengan tentunya minus pakaian dalamnya. Sebelum keluar dari kamar Adel memeriksa isi tas jinjingnya guna meyakinkan kalau tidak ada barang-barang lainnya yang hilang, selain pakaian dalamnya. Setelah merasa semuanya masih ti tempatnya ia pun mengenakan sandalnya. Keluar dari lift, kini gadis itu terlihat berlari di sepanjang koridor hotel menuju meja resepsionis. Di resepsionis ia diberitahukan kalau semua pembayaran tagihan sudah terselesaikan tadi pagi, sehingga dengan segera ia bisa memesan taxi dan meluncur menuju kantornya. Turun dari taxi kemudian membayar ongkosnya, Adel segera memacu langkahnya memasuki lobi perusahaan tempatnya bekerja. Beberapa pegawai menyapa ramah kepada Adel dan ia pun membalas dengan senyuman sekedarnya. Ia benar-benar berharap kalau tidak ada seorangpun yang memperhatikan kondisi rambut dan pakaiannya yang acak-acakan. Namun selain itu yang Adel paling harapkan adalah agar orang-orang ini jangan sampai tahu kalau hari ini ia tidak mengenakan pakaian dalam. Untuk menutupi aibnya inilah ia kemudian meletakkan tas jinjingnya di dadanya sambil berlari guna menutupi puting payudaranya yang mungkin saja tercetak dari balik kaosnya.
“Ting…!”, Pintu lift terbuka.
Dari dalam lift tiga orang pegawai nampak keluar dan empat orang lagi hendak masuk. Adel sengaja masuk ke dalam lift duluan sehingga bisa berada di jajaran belakang.
“Pagi Mba Adel”, seorang pegawai laki-laki menyapa ramah ke arahnya.
“Pagi juga”, Adel hanya menganggukan kepala. Gadis itu pun semakin menempelkan tas jinjingnya ke dadanya. Adel kemudian menundukkan kepalanya agar laki-laki disebelahnya dan juga orang-orang lain yang berada di dalam lift bersamanya saat ini tidak mengajaknya berbicara.
“Ting…!”, Pintu lift kembali terbuka.
Begitu pegawai-pegawai tersebut berjalan keluar lift, Adel pun langsung berlari menuju ruangannya. Ia berusaha berlari sekencang-kencangnya agar bisa secepatnya sampai.
“Braak!” Adel langsung masuk dan menutup pintu, mengunci, dan menutup korden ruangannya. Kehadirannya di ruangan itu yang begitu tiba-tiba tentu membuat Laras tersentak. Laras benar-benar heran dengan kelakuan rekan kerjanya hari ini.
“Ya ampun Jeng, lu kenapa sih? Ngos-ngosan gitu, kayak habis dikejar setan aja? Mana acak-acakan banget lagi!”, Laras beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri rekan kerjanya yang kini terlihat berjalan mondar-mandir sambil berkomat-kamit tak jelas. Laras dan Adel memang berada dalam satu ruang kerja yang sama, dengan meja kerja yang berbeda. Hal ini sengaja Adel lakukan untuk memudahkan dalam mengkoordinasikan tugas-tugas mereka berdua.
“Nggak boleh, ini nggak boleh terjadi, gue mimpi, sumpah gue mimpi, bangun-bangun Del, bangun...”, Adel masih sibuk dengan dirinya sendiri sambil terus berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan tanpa menghiraukan keberadaan Laras.
“Ye ni anak gila kali ya? Eh... sadar Del lu tuh udah di kantor!”
Adel tetap mondar-mandir dan berkomat-kamit mengeluarkan kalimat yang sama berulang-ulang. Laras pun nampak semakin bingung dengan tingkah Adel.
“Duduk Del!”, Laras memegang tubuh Adel dan mendorongnya hingga terhempas di sofa. “Sekarang lu cerita kenapa bisa kayak gini?”.
Adel menghembuskan nafas panjang. Memegang pundak Laras yang berjongkok di depannya.
“Ras... Kayaknya kemarin malem gue having sex with stranger deh”.
“Ahh...! Maksud lu? Jangan bilang lu diperkosa?”.
“Ssstt... Gila lo ya! Pelanin dikit dong, lu mau semua orang kantor denger?”.
Kini Laras sedikit berbisik,”Iya, tapi apa maksud lu ama “stranger” tadi?”
“Kemarin gue diajak ke diskotik ama temen gue di apartemen buat ngerayain ultah temennya, gue sih mau saja sekalian buat ngilangin stress gara-gara seharian buat bahan presentasi, tapi gue malahan jadi mabuk dan waktu sadar tau-tau gue ada di kamar hotel, naked… with all my body full of sprem and the worse part is that I don`t know whose sprem is it”.
“Oh my God… Ini gila Del! Jadi maksudnya kalo lu sama sekali nggak tau semalem lu bercinta ama siapa?”.
Adel hanya mengangguk dan kemudian menunduk sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya.
“Gue kan udah sering ingetin lu, kalo minum jangan ampe mabuk, lu kalo udah mabuk pasti bawaannya horny, kalo udah gini gimana dong? Kalo lu sampai hamil gimana? Lu minta tanggung jawab ama siapa? Kok bisa sih lu ceroboh kayak gini?”, Laras langsung menghujani Adel dengan pertanyaan demi pertanyaan.
“Udah dong Ras, yang harusnya stress tu gue, gue tuh masih shock tau nggak? Lu jangan nakut-nakutin gue kayak gitu dong!”, mata Adel mulai nampak berkaca-kaca.
“Tapi gue nggak habis pikir, kok lu yang biasanya cerdas tapi kali ini bisa sebegitu bodohnya ngejaga tubuh lu sendiri? Kira-kira tu cowok pake pengaman kan?”
“Gue nggak tau!”, Adel menggeleng-gelengkan kepalanya. Walau berusaha untuk tidak menangis namun tetap saja air mata berlahan mulai jatuh membasahi wajah cantik Adel.
Ekspresi wajah Laras menjadi semakin tegang, bahkan lebih tegang dari sebelumnya. Sedangkan Adel pun kembali hanya bisa menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Isak tangis Adel terdengar semakin lirih. Laras lalu menghembuskan nafas panjang mencoba menenangkan diri. Walau ia sendiri sebenarnya tidak tahu harus melakukan apa, namun paling tidak ia mencoba untuk tidak membuat rekan kerja sekaligus sahabatnya ini menjadi makin tertekan. Maka dari itu ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Laras memeluk tubuh sahabatnya ini dan membelai rambutnya. Isak tertahan masih terdengar lirih dari mulut Adel.
“Udah dong jangan nangis, lu kan inget kalau gue pernah cerita pengalaman yang sama kayak lu alamin sekarang?”.
Tanpa berkata apa-apa, Adel hanya mengangguk.
“Semuanya akhirnya baik-baik aja kan? Nggak terjadi apa-apa kan sama gue? Anggep saja semuanya just sex, just one night stand, that’s all OK?”.
Kembali Adel hanya mengangguk di pelukan laras.
“Ya udah, sekarang lu ganti pakaian aja dulu terus tenangin diri, konsen ama presentasi lu setengah jam lagi, ntar kita bahas lagi abis meeting, tuh lu udah gue bawain pakaian”, Laras membantu Adel beranjak dari sofa karena kaki Adel kini terasa benar-benar lemas untuk dapat berdiri sendiri. Setelah Adel cukup kuat untuk menopang tubuhnya sendiri, Laras mengambil pakaian yang terlipat rapi di atas meja dan menyerahkannya bersama sebuah tissue kepada Adel. Kemudian gadis itu pun beranjak menuju pintu dan menguncinya.
“Udah buruan ganti pakaian, waktu udah mepet banget nih”, Laras menyuruh Adel yang masih terlihat berdiri mematung.
Adel menyeka air matanya dengan tissue, kemudian membuka lipatan pakaian yang dipegangnya. “Aduh… Lu bawain gue rok ya?”.
“Emang kenapa Del? Lu kan biasa ke kantor pake rok? Gue juga sekarang pake rok? Ada yang salah?”, ucap Laras dengan nada heran.
“Iya si, tapi masalahnya hari ini gue nggak pake daleman”.
“Aaah... kok bisa?”.
“Kayaknya diambil sama tu cowok deh, abis tadi di kamar hotel gue udah cari-cari bra sama celana dalem gue tapi nggak ketemu, jadi terpaksa sekarang gue nggak make”.
“Ya ampun sial bener lu hari ni Del? Terus ada barang-barang lain yang hilang?”.
Adel menggeleng.
“Sakit jiwa bener tu cowok ya?”, Laras menggaruk-garuk kepalanya. “Ya udah… mau gimana lagi? Kayaknya terpaksa deh lu meeting nggak make daleman hari ini”.
Adel lama terdiam namun tidak juga menemukan alternatif lain untuk masalahnya, selain yang dikatakan Laras tadi. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Adel pun segera membuka pakaiannya dan menggantinya dengan cardigan berwarna putih dan blazer serta rok span berwarna hitam yang dibawakan Laras untuknya. Adel berusaha menarik turun ujung rok span yang dikenakannya, namun usaha Adel tentu saja sia-sia karena ujung rok yang mencapai 5 cm diatas lutut sama sekali tidak menjadi lebih panjang. Rok tersebut tetap saja mengekspos jelas kedua paha Adel yang mulus dan putih. Sebenarnya sehari-hari dalam menjalani aktifitas kerjanya, Adel sudah terbiasa untuk mengenakan rok model seperti ini. Yang tidak biasa dan merupakan pengalaman pertama bagi Adel adalah mengenakan rok sependek ini dengan tanpa mengenakan apapun di baliknya.
”Gimana, keliatan nggak?”, Adel memutar tubuhnya di depan Laras.
Laras memandang rekan kerjanya ini dari atas ke bawah, “Sip! Nggak keliatan kok”. Ia lalu mengambil tumpukan sebuah tas kecil, map dan file yang berada diatas mejanya. “Proposal, laptop ama flashdisk lu biar gue yang bawa deh ke ruangan rapat, lu cuci muka aja dulu di kamar mandi terus pake make up dikitand pake parfum biar keliatan lebih fresh”.
“Thanks ya Ras, you’re the best friend I ever had deh”, Adel memeluk tubuh Laras.
“Eh... Pake meluk-meluk, tadi lu udah sempet mandi kan?”
“Ya udahlah!”
“Syukur deh, gue kan nggak mau klien kita pingsan di ruang meeting gara-gara nyium bau badan lu hehehe…”.
“Dasar lu ada-ada aja!”, Laras berhasil membuat Adel tersenyum. “Udah ah gue bersihin muka dulu”, Adel pun beranjak keluar ruangan.
“Eh Del…”.
“Ada apa?”.
“By the way busway nih, pantat lu keliatan sexy lo kalo nggak pake celana dalem, kayaknya lu musti sering-sering nggak pake celana dalem deh ke kantor buat ngibur cowok-cowok di sini hehehe…”.
“Ih, amit-amit deh!”.
Wajah Adel langsung kembali manyun, sedangkan Laras sendiri keluar dari ruangan dengan tawa tertahan.
********
Di ruang rapat Adel berusaha semampunya untuk berkonsentrasi dengan pemaparan proposal kerjasamanya. Awal-awalnya memang ia merasa agak risih dengan rasa dingin AC yang menusuk diantara selangkangan dan dadanya. Apalagi pada saat presentasi ia beberapa kali harus berdiri mondar-mandir untuk memaparkan slide demi slide yang muncul di layar OHP, dimana disaat yang bersamaan semua mata menuju padanya. Muncul rasa malu dan was-was dalam diri Adel dengan keadaannya saat ini. Pandangan semua laki-laki yang ada di ruangan rapat tersebut seolah-olah sedang menelanjanginya, walaupun semua itu tentunya hanya ada di dalam pikirannya semata. Semua orang di ruangan tersebut tentu sama sekali tidak tahu kalau saat ini dirinya tidak mengenakan apa-apa dibalik pakaian luarnya. Ditambah lagi saat ini Laras tidak bisa menemaninya di dalam ruangan untuk bisa menenangkan dirinya. Hal ini membuat perasaan semakin bercampur aduk. Namun beberapa jam kemudian, seiring berjalannya waktu berlahan semua perasaan tersebut menghilang dan Adel mampu menguasai dirinya dengan baik. Sesi tanya jawab pun bisa dilalui Adel dengan lancar sebelum kemudian ditutup sementara guna beristirahat makan siang.
“Hello miss no undiest, nih gue bawain makanan”, Laras menaruh kotak nasi atas meja kerja Adel. Sedang Adel sendiri masih nampak sibuk dengan laptopnya.
“Eh... sekali lagi lu panggil gue pake sebutan itu, gue bakal nelanjangin lo biar kita sama-sama impas”.
“Iya, iya gitu aja ngambek hehehe… Nih pesenan lo juga udah gue beliin”.
Adel mengambil sesuatu dari dalam plastik yang disodori Laras.
“Aduh, kok modelnya kayak emak-emak gini sih? Kampungan banget!”, Adel berkomentar pedas dengan benda yang ada di dalam plastik yang tak lain adalah sebuah celana dalam.
“Gue kan cuman punya waktu setengah jam buat keluar kantor Del, emang waktu segitu bisa buat ke mall? Paling nggak kan lumayan bisa nutup buat sementara biar nggak masuk angin Hehehe…”.
“Terus bra-nya mana?”.
“Ukuran yang lu pesen lagi nggak ada, jadi yang atas biar dikasi bebas bernafas aja dulu deh hari ini”, tawa usil kembali terdengar dari mulut Laras.
“Uuh… Dasar!”, karena tidak ada pilihan lagi Adel pun mengeluarkan sepotong pakaian dalam tersebut dari dalam plastik dan mengenakannya dengan cara menaikkan roknya. Sekilas ketika rok span itu terangkat naik nampak vagina Adel yang tertutupi bulu-bulu tipis serta bongkahan pantatnya yang montok, sampai saat rok itu turun kembali ke posisinya.
“Eh gimana tadi hasil rapatnya? Proposal lu disetujui? “, tanya Laras sambil merapikan rambut panjangnya di depan cermin.
“Belum ada kepastian sih. Pak Bram, Kepala Perwakilan dari perusahaan asing itu masih minta waktu seminggu lagi buat berkonsultasi, semoga saja dia mau menerima tawaran kerja sama kita, kan lumayan gede tuh fee-nya kalo ampe deal. Lagian habis ini rapat juga masih berlanjut kok”.
Adel mengambil kotak nasi, membukanya dan mulai nampak asyik menyantapnya. Laras kemudian duduk di depan Adel sambil menopangkan kedua tangannya di dagu.
“Eh, btw gimana semalem rasanya having sex with stranger?”.
“Udah ah nggak usah dibahas lagi!”, Adel menjawab cetus.
“Sorry… Tapi kan gue pengen tau aja”.
“Bukannya lu udah pernah ngerasain?”.
“Tapi itu kan gue, kalo versi lu kan jelas bakal beda”.
“Ya nggak tau lah Ras, waktu itu kan gue lagi setengah sadar jadi semuanya kayak mimpi gitu”.
“Masa sih nggak ada yang lu inget?”.
“Nggak ada, tapi yang jelas kayaknya gue main nggak cuma sekali deh”.
“Maniak juga ya tu cowok ya? Terus gaya mainnya gimana?”.
“Tulang-tulang gue kayak mau remuk semua Ras, jadi lu bisa bayangin sendiri deh gimana kasarnya tu cowok”.
“Wah, ampe segitunya? Amatiran kali? Jadi mainnya langsung hajar aja”.
“Yang gue takut sih kalo semua ini akhirnya bukan menjadi sekedar one night stand. Kalau seandainya tu cowok masih kenal gue gimana? Mau ditaruh dimana muka gue? Terus gue juga nggak tau dia sudah ngelakuin apa aja ke gue malam itu”.
“Yeah, let`s hope there will be no bad things happen to you”.
“I hope so too, lagian bener juga kata-kata lu kok bisa-bisanya ya gue seteledor ini? Apa ini tanda gue mulai merindukan sentuhan laki-laki ya Ras? Abis kalau dipikir-pikir udah lama juga ya Abi ada di Ausie”.
Idih... jablay nih ceritanya? Napa ga bilang ma tante? Tau gitu daripada bercinta sama cowok yang nggak jelas, kan tante bisa pilihin anak buah tante buat menghilangkan dahaga Jeng Adelia hahaha...”.
“Hahaha... sejak kapan lu kerja sampingan jadi germo?”
“Makanya sekali-kali have fun dong jangan kerja melulu, lu kan udah lama nggak pernah ikut kumpul-kumpul lagi bareng temen-temen buat hang outhunting cowok, emang nggak bosen tuh main sama satu kontol mulu?”, senyum genit Laras pun terkembang.
“Ih, apaan sih lu ngomong jorok! Udah ah kerja lagi sana ngobrol mulu bentar lagi rapat mau mulai lagi nih!”.
Adel mencoba mengalihkan pembicaraan, namun dalam hati ia harus mengakui kebenaran kata-kata Laras tadi. Sejak bersama Abi memang membuat Adel menjadi tertutup dan jarang berkumpul dengan teman-temannya lagi. Ia pun mulai meninggalkan kehidupan malam dan petualangan cintanya demi sang kekasih. Sebelum bersama Abi, Adel memang sama seperti Laras yang identik dengan kehidupan malam dan doyan berganti-ganti pacar. Namun untuk urusan tubuhnya Adel memang sangat protektif. Setelah disakiti oleh kekasih yang memerawaninya ketika kuliah dahulu, praktis hanya Abi yang pernah menikmati kehangatan tubuhnya. Disinilah beda Adel dengan Laras, dimana Laras berpikir lebih simple untuk urusan ranjang, yaitu I like you, you like me so let’s do it!
“Iya, iya Bu nggak usah sewot gitu donk”, sebuah ciuman mendarat di pipi Adel, “Yuk dada bye bye...”.
“Bener-bener sakit nih anak, nih sekalian bawa CD (=compact disc) data hasil rapat sesi pertama terus copy di komputer lu”.
“Apaan Del? CD (=celana dalam)?”, Laras langsung terlihat cekikikan setelah berhasil menggoda rekan kerjanya yang hari ini memang cukup bermasalah dengan pakaian dalam.
“Mulai lagi lu! Beneran gue telanjangin nih!”
“Maaf komandan! Letnan Laras siap bertugas…”, Laras memberi hormat ala militer, namun tetap dengan gaya cengengesannya. Setelah itu Laras pun melakukan balik kanan bubar versinya sendiri dan berjalan dengan langkah tegak maju ala kadarnya memuju meja kerjanya.
Adel tersenyum geli melihat tingkah konyol rekan kerjanya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu ia seharusnya berterima kasih kepada rekan kerjanya ini, karena paling tidak ditengah semua kekacauan ini Laras bisa membuatnya tersenyum. Adel pun kemudian beranjak keluar dari ruangannya dan menuju ruang rapat guna melanjutkan rapat sesi kedua.
********
Di kamar tidur Adel.
Malam ini Adel terbaring di atas ranjang, namun sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih terbayang-bayang kejadian kemarin malam dan pagi tadi. Abi sama sekali belum menelponnya hari ini. Sebenarnya ia ingin memastikan keberadaan Abi saat ini, namun ia tidak berani melakukannya karena itu hanya akan menambah beban pikirannya. Namun jika ia tidak melakukannya maka semuanya akan tetap menjadi sebuah pertanyaan yang mengganjal dalam hatinya. Setelah cukup lama berpikir akhirnya Adel memutuskan untuk tidak menelpon. Ia pun lalu mengambil bantal dan menutupi wajahnya, berharap segera bisa terlelap. Tak berselang beberapa detik ponsel Adel berbunyi. Ia langsung menyambar ponsel tersebut di atas meja. Entah memang karena faktor ikatan batin atau hanya kebetulan semata, ketika Adel membatalkan niatnya menelpon justru ternyata Abi yang menelpon dirinya.
“Hi honey”, suara mesra Abi terdengar di ujung telepon.
“Hai juga”.
“Sorry I just call you to night, because from yesterday I must working my exam”.
“Oh it’s OK, so it’s means that last night you still in Ausie?”.
“Of course, it’s a silly question, why?”.
Ingin sekali rasanya Adel menangis mendengar kata-kata tunangannya ini, namun ia tidak ingin tunangannya ini mendengar isak tangisnya di telepon. Jika Abi masih di Australia berarti kemarin malam benar-benar terlibat one night stand dengan laki-laki lain, dan baginya itu sama dengan sebuah perselingkuhan. Adel sebenarnya ingin sekali mengucapkan maaf kepada Abi saat ini juga atas perbuatannya tersebut, namun itu berarti sama saja ia juga harus menceritakan kejadian malam kemarin kepada tuangannya. Hal yang sama sekali tak bisa ia lakukan.
“Honey, you still there? ”.
“Oh, yeah!”.
“Are you OK?”.
“I’m fine…”, Adel pun berbohong.
“I miss you!”.
“I miss you too”.
“Oh God, I really miss you, I miss your face, I miss your lips, I miss your skin…”,
Air mata tanpa Adel sadari mulai keluar dari kedua mata indahnya. Ia tak bisa lagi mendengar kata-kata Abi, karena semua hal yang dirindukan Abi tersebut kemarin malam tanpa sadar telah ia berikan untuk laki-laki lain. “and you know what?”.
“What?”.
“I miss “little Adelia” so much!”, yang disebut sebagai “little Adelia” oleh Abi tak lain adalah vagina Adel. Ia senang sekali memanggilnya dengan nick nametersebut.
Sebutan ini semakin membuat Adel semakin tidak tahan mendengarnya. Ia terus berusaha untuk tidak menangis, atau paling tidak berusaha untuk tidak terdengar terisak.
“Is it “little Adelia” with you tonight?”.
“Yes…”, suara Adel mulai terdengar serak.
“Oh I wish I can touch it tonight, can you touch it for me?”.
Adel tahu benar dengan kebiasaan kekasihnya ini. Ia tahu kalau saat ini sang kekasih sedang berusaha merangsang dirinya. Sering kali Abi memang berhasil memancing gairah Adel lewat phone sex seperti ini dan kemudian membuat dirinya harus bermasturbasi guna menuntaskan gairahnya tersebut. Namun kali ini Adel sama sekali tidak on the mood untuk bermesraan. Rasa berdosanya kepada sang kekasih membuat dirinya sama sekali kehilangan gairah. Jangankan menyentuh, saat ini melihat tubuhnya sendiri saja Adel benar-benar merasa jijik.
“No, I won’t”.
“Please… please… please Honey touch it for me”.
Adel terus menolak, namun Abi terdengar terus saja merengek dan memelas.
“Honey, please stop it!”, Adel tak kuasa lagi menahan diri dan tangis yang sejak tadi ditahannya pun pecah.
“Why do you crying? Did I do something wrong?”.
“Abi… please go home, I need you so much!”.
Malam itu pun Abi harus bekerja ekstra keras untuk menghentikan tangis sang kekasih. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang membuat malam ini Adel menjadi begitu sedih. Semua itu mungkin akan selalu menjadi pertanyaan dalam hati Abi, karena sang kekasih jelas akan menyimpan jawaban atas pertanyaannya itu untuk selama-lamanya. Sebuah rahasia besar dalam hubungan percintaan mereka.
Beberapa hari pun berlalu. Hubungan Adel dan Abi pun masih berjalan seperti sedia kala. Mereka kembali dengan rutinitas kerja dan keseharian mereka masing-masing. Memang sampai saat ini Adel masih belum bisa melupakan kejadian di malam yang aneh tersebut. Namun Adel berusaha meyakini kalau apa yang dikatakan Laras memang benar adanya. Kejadian malam itu mungkin hanyalah sebuah bentuk one night stand, just sex without relationship. Sebenarnya masih ada sedikit kekhawatiran dalam benak Adel, kalau semua ini ternyata belum berakhir. Seumur hidupnya ia sama sekali belum pernah mengalami pengalaman seperti ini sebelumnya, sehingga rasa was-was tetap hanya mengganjal di hatinya. Adel memang bisa dikatakan sebagai tipe wanitakonservatif dalam urusan percintaan, sehingga mencoba untuk melakukan variasi seks model one night stand jelas sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Bercinta dengan pasangan yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya adalah sebuah hal yang tabu bagi wanita seperti Adel. Namun pengalaman buruk itu pun mulai terkikis seiring berjalannya hari. Adel pun menganggap kejadian malam itu hanyalah sebuah kesalahan terbesar di dalam hidupnya, yang jelas tidak akan pernah ia ulangi lagi.
********
Dua minggu setelah hari itu.
Terdengar suara gelak tawa dari salah satu ruangan di kantor Perusahaan ***. Ruangan itu adalah ruang pantri. Di dalamnya ternyata berkumpul lima orang pegawai yang kesemuanya adalah laki-laki. Memang waktu makan siang sudah beberapa menit yang lalu berakhir, namun beberapa pegawai ini rupanya sedang off sehingga masih nampak berkumpul dan bersantai di ruang pantri ini. Tak lama masuklah dua orang wanita yang tak lain adalah Adel dan Laras.
“Hi, guys lagi pada kumpul nih?”, Adel menyapa mereka ramah.
“Eh, Neng Adel cayang sama Neng Laras cayang, tumben nih mampir, kangen ama kita-kita ya?”, ujar salah satu OB (=Office Boy) yang bertubuh gempal. Sedang pegawai lain yang bertubuh kerempeng bernama Sugi seakan tak mau kalah langsung berdiri menghampiri mereka berdua, “Ye enak aja lu, mereka tuh mau nyari gue bukan lu-lu pada, betul kan cewek-cewek manis?”, ucapan itu pun langsung disambut teriakan “Huuu...” yang panjang dari pegawai lainnya yang berada di dalam ruangan tersebut.
“Ye jangan pada ge er ya, kita kesini tuh cuma mau bikin kopi aja kok”, Laras langsung mentoel hitung laki-laki kerempeng di depannya dan dengan gaya genit berjalan menuju rak tempat penyimpanan mug.
“Ih, Neng Laras ini bikin gemes aja, mau dibantuin buatin kopi nggak?”
“Oh, Pak Roni mau buatin saya kopi nih? Bole-bole aja tapi gulanya jangan banyak-banyak ya”.
Ketika Roni hendak beranjak mendekati Laras, dari belakang Sugi langsung berlari mendahuluinya, ”Eh, ini urusan orang cakep, orang-orang jelek duduk aja jangan ganggu”.
Roni langsung menyunggingkan senyum masam, dan menjauh dari keduanya.
“Neng, Adel mau dibuatin juga?”, tawar Roni kepada Adel setelah baru saja kehilangan mangsa utamanya.
“Nggak usah Pak Roni, saya bisa buat sendiri kok”.
“Nah, ini kopinya Neng Laras”, Sugi menyodorkan sebuah mug.
Laras mengambil mug berisi kopi tersebut, “Makasi ya Pak Sugi”.
“Aduh jangan panggil Pak dong Neng”.
“Terus saya harus manggil apa dong?”.
Laki-laki yang menjabat sopir itu lalu tersenyum malu-malu, “Panggil Aa aja he…”.
“O gitu, kalau gitu makasi ya Aa Sugi”.
“Oh jangan sungkan-sungkan Neng, jangankan buatin kopi, nyeberang laut juga Aa Sugi mau kok demi Neng Laras”. Kembali teriakan “Huuuu….” panjang bergema di dalam ruangan tersebut.
“Wih kayak ikan donk!”, teriak salah satu pegawai.
“Iya ikan Lohan, jidatnya aja mirip tuh”, gelak tawa pun terdengar kencang.
“Uuuh... Sirik amat! Lu-lu pada bisa diem nggak sih?”, Sugi lalu kembali berpaling pada Laras. “Neng Laras, kan Aa udah buatin kopi buat neng, bole dong Aa minta sun”.
“Ah! Sun? Bole aja…”, Laras langsung memberikan kecupan jauh ke arah Sugi.
“Yaaaa... nggak kena Neng, nggak kerasa dong?”, ekspresi kekecewaan langsung menghiasi wajah Sugi, dan kembali gelak tawa riuh terdengar di belakangnya.
“Ya segitu aja dulu ya Aa, nanti kalau Aa sudah buatin saya kopi yang ke-1000 baru deh saya cium beneran”.
“Kok kayak dongeng Candi Prambanan sih Non?”.
Gelak tawa riuh terdengar semakin kencang saat si Sugi hanya bisa menggaruk-garuk kepala mendengar syarat yang diajukan oleh sang pujaan hati.
“Permisi ya bapak-bapak kita berdua harus buru-buru kerja lagi nih, kita tinggal dulu ya? Yuk Del”, Laras menggandeng tangan Adel dan keluar ruangan sambil tak lupa melambaikan tangan bak Miss Universe kepada para laki-laki tersebut. Para laki-laki itu pun hanya bisa menatap mupeng ke arahnya. Laras dan Adel memang primadona di kantor tersebut. Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion dan modeling, tentunya setiap hari kantor ini hampir selalu dipenuhi oleh gadis-gadis muda, cantik, manis dan sexy. Namun tetap saja Adel maupun Laras memiliki daya tarik sendiri bagi laki-laki yang melihatnya. Keduanya pun cantik, muda, fashionable dan masih singlesehingga mereka layaknya bunga yang selalu menyegarkan untuk dipandang mata. Tak hanya sedap untuk dipandang, bagi laki-laki yang kebetulan berotak sedikit mesum dan porno pasti menganggap mereka berdua juga “sedap” untuk dinikmati. Dimata laki-laki seperti ini, lekuk tubuh indah dari keduanya pasti akan terlihat lebih indah ketika tak berbalut busana sama sekali. Dan tentunya akan lebih indah lagi apabila tubuh tersebut bergelinjang di atas ranjang ditengah kobaran birahi yang membara. Namun karena kedudukan Laras dan Adel di kantor tersebut termasuk jajaran staf tinggi, sehingga sebagai pegawai bawahan tentunya mereka harus sadar diri kalau fantasi jorok mereka mungkin selamanya hanya akan menjadi sebuah fantasi. Bahkan laki-laki berkedudukan tinggi pun harus merasakan nasib yang sama ketika keduanya selalu menolak ajakan kencan mereka secara halus.
********
“Gila lo Ras, asal udah ketemu cowok aja pasti deh langsung heboh”, Adel memasuki ruangan kerjanya diikuti Laras.
“Hehehe... abis mereka duluan, gue kan cuma mengikuti arus”, Laras menghempaskan pantatnya di sofa lalu ia pun kemudian nampak sibuk meniup-niup kopi yang dibawanya.
“Yealah pake alasan ngikutin arus? Lo aja yang emang dasarnya ganjen hehehe”, Adel berjalan menuju meja kerjanya, meletakkan mug kopinya dan menghidupkan kembali komputernya.
“Habis udah bawaan insting sih, mau gimana dong Del? Hehehe”, akhirnya satu siupan kopi berhasil masuk kerongkongan Laras, setelah sedari tadi ia berusaha mendinginkan kopi di dalam mug yang sedang dipegangnya tersebut.
Kemudian terdengar suara ketokan dari luar pintu ruangan.
“Masuk!”, teriak Adel.
Rupanya Pak Darmin, si pesuruh di kantor yang hendak mengambil gelas bekas teh yang selalu dihidangkan kepada para pegawai setiap paginya.
“Silakan Pak, gelas-gelasnya diambil aja”, Adel mempersilakan laki-laki paruh baya itu masuk.
Pak Darmin sedikit membungkukkan badan seolah meminta permisi pada Adel dan Laras sebelum memasuk ke dalam ruangan. Sekilas ia menatap ke arah Laras yang sedang duduk sambil masih sibuk dengan aktifitasnya meniup-niup kopi di dalam mug. Sambil mengambil gelas-gelas di atas meja Pak Darmin mencuri-curi pandang ke arah Laras. Sebuah pandangan tajam yang seolah-olah menyiratkan sesuatu. Pandangan itu seperti pandangan tajam harimau yang sedang menatap mangsanya yang ranum dan terlihat begitu lezat. Insting kewanitaan Laras terusik seolah bisa merasakan kalau saat ini ada sepasang mata yang menatap kearahnya. Gadis itu pun balik menatap ke arah laki-laki paruh baya itu. Pandangan mereka sempat beradu, namun kemudian cepat-cepat Pak Darmin menundukan kepalanya. Sedikit perasaan curiga sekaligus risih menyeruak di dalam hati Laras atas tatapan tersebut, namun tak lama ia pun kemudian cuek dan melanjutkan kegiatannya meniup kopi digenggamnya. Laki-laki paruh baya itu pun tak berani lagi menatap Laras.
“Permisi Mbak”, Pak Darmin meminta ijin keluar setelah selesai menaruh gelas-gelas tersebut di atas baki.
“Silakan Pak”, Adel berbicara tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer.
“Permisi Mbak”, Pak Darmin meminta diri kepada Laras. Laras pun hanya tersenyum kecil mencoba tetap sopan walau ia sendiri masih menaruh curiga terhadap laki-laki tersebut.
Tak lama Pak Darmin pun keluar dari ruangan Adel.
“Eh Del, lu ngerasa ada yang aneh nggak dengan Pak Darmin?”.
“Aneh? Maksud lu?”, Adel masih tetap tidak melepaskan pandangannya dari layar komputer.
“Hhhmmm… Cara ngeliatnya itu lo misterius banget, selain itu orangnya kan tertutup, kadang gue merinding lo deket-deket dia”.
“Perasaan lu aja yang terlalu sensitif kali”.
“Nggak gitu kali Del, biasanya insting gue bener lo, tadi aja Pak Darmin ngeliatin gue tajam banget kayak mau makan gue gitu”.
Adel lalu mengalihkan pandangannya dari layar komputer hendak mengambil mug kopi di atas mejanya. Dari posisinya saat ini, yang sama dengan posisi berdiri Pak Darmin tadi ia bisa melihat ke arah Laras yang sedang duduk sofa.
“Nah wajar dong Pak Darmin mandangin lu tajam barusan, rok lu kebuka tuh!”
Laras menatap ke ujung roknya, “Aduh... keliatan ya?”. Dengan segera Laras merapatkan kedua pahanya. “Tidak… tidak… tidak…”, Laras menggeleng-gelengkan kepalanya dan terlihat begitu kesal.
“Makanya tau make rok pendek duduk musti ati-ati dong”.
“Pantes Pak Darmin tadi ngelirik-lirik terus ke gue, sebeeel...!”, Laras meletakkan mug diatas meja tamu di depannya. Ia lalu berdiri dan merapikan ujung roknya, kemudian kembali duduk. Kali ini Laras benar-benar berusaha meyakinkan kalau posisi duduknya tidak lagi menimbulkan celah diantara kedua pahanya. “Sialan… mana tu Bapak ngeliatnya gratisan lagi”.
Ketika Laras masih bergelut dengan umpatan dan caci maki atas keteledorannya tadi, kembali terdengar suara ketukan dari balik pintu.
“Masuk!”, teriak Adel lagi.
Pintu pun terbuka dan nampak Heri, salah satu pegawai tata usaha mendongokkan kepalanya.
“Eh Her, masuk-masuk, ada apa nih?”, Adel menyapa ramah, sedang Laras langsung menghentikan omelannya dan segera berdiri.
“Maaf saya mengganggu Mbak Adel, saya mau mencari Laras nih tadi kita janjian habis makan siang mau keluar beli alat-alat tulis kantor”. Lalu Heri memandang ke arah Laras, “Gimana Ras? Jadi nggak?”.
Sekilas Laras mengerlingkan matanya nakal ke arah Adel dan Adel pun langsung mengerti maksudnya. Rupanya rekannya yang satu ini kembali menemukan calon korbannya untuk dijadikan “sopir” pribadinya. Dasar Laras! Sudah punya gebetan berjibun masih saja gebet sana gebet sini, pikir Adel dalam hati.
“Jadi dong, tapi nggak ngerepotin kan?”, Laras memasang ekspresi wajahnya yang paling imut.
“Nggak kok, yuk sekarang aja biar nggak telat nanti balik ke kantornya”
“Yuk!”
“Mbak Adel mau ada yang mau dititip sekalian?”
“Nggak deh Her, kamu jagain aja tuh si Laras biar nggak hilang di Mall, kalau perlu kamu iket aja sekalian”. Adel tersenyum simpul.
“Enak aja! Emang gue anjing pake diiket-iket waktu jalan-jalan”, semprot Laras.
Heri dan Adel tertawa berbarengan mendengarnya.
“Kalau gitu kita berangkat dulu Mbak”, Heri keluar pun dari kantor tersebut. Sebelum mengikuti Heri keluar ruangan Laras sempat melambaikan tangannya ke arah Adel, lengkap dengan senyum genit dan ciuman jauhnya. Adel pun hanya tersenyum simpul. Selepas kepergian Laras dan Heri, Adel yang kini duduk di belakang meja kerja kembali melanjutkan kegiatannya di depan komputer. Selain acara rapat dengan salah satu perusahaan tekstil pagi tadi, Adel memang tidak memiliki jadwal penting lain hari ini. Mungkin yang akan sedikit menyita waktunya adalah rencana lembur pembuatan laporan triwulan sore nanti, namun itupun kalau bagian keuangan sudah selesai menyusun neraca keuangan akhir. Beberapa menit kemudian perhatian Adel tidak lagi ditujukan ke layar komputernya, ia kemudian mengambil sebuah majalah di laci bawah meja kerjanya. Dengan posisi duduk bersandar di kursinya, Adel mulai membolak-balikkan halaman demi halaman dari majalah wanita tersebut sambil beberapa kali berhenti untuk membaca artikel yang menarik perhatiannya.
Di tengah keheningan ruangan tersebut tiba-tiba ponsel Adel berbunyi. Ia pun mengambil ponselnya tersebut diatas meja. Sebuah senyuman manis pun terkembang di wajahnya yang cantik ketika melihat nama yang muncul di layar ponselnya.
“Hi cinta…”, suara Adel terdengar mesra dan manja.
“Aduh kayaknya ada yang lagi happy nih?”.
“Ya dong, kan lagi ditelpon sama pacar he… Ada apa nih?”.
“Oh I just want to hear your voice”.
“And…?”.
“And also I want to kiss my lovely Adelia muaaacch…”.
“Thank You Honey”.
“OK, I must go to the class now”.
“That’s it?”.
“Yes, so bye for now, love you…”.
“Love you too”.
Raut bahagia masih terlihat di wajah cantik Adel. Setelah penghiatanan cinta yang ia lakukan beberapa hari yang lalu, perasaan cinta Adel menjadi semakin dalam kepada diri sang kekasih. Seolah-olah ia ingin mengobati perasaan bersalah dengan mencoba mencurahkan seluruh cintanya untuk Abi. Namun walau demikian, ia tidak bisa membohongi diri kalau jarak yang terpisah sedemikian jauh tetap saja mempengaruhi hubungan mereka. Secara batiniah mungkin saja hubungan mereka masih terjaga dengan baik, namun tanpa adanya kontak secara ragawi tetap saja menimbulkan sebuah ruang kosong dalam diri Adel. Kekosongan dalam bentuk sentuhan, rabaan dan belaian yang nyata, yang sudah lama tidak ia peroleh dari sang kekasih. Namun Adel berusaha menampikkan perasaan kosong tersebut, dan menyakinkan dirinya kalau saat ini hubungan mereka masih baik-baik saja. Senyum masih menghiasi wajah Adel ketika ia meletakkannya kembali ponselnya di atas meja untuk kemudian melanjutkan kembali kegiatan membacanya. Beberapa menit kemudian kembali ponsel Adel berbunyi, namun kali ini nada ponselnya menandakan sebuah pesan masuk ke dalam inbox-nya. Tanpa melepaskan pandangannya dari artikel di dalam majalah, Adel mengambil ponselnya di atas meja. Adel melihat nomor yang tertera di layar ponselnya adalah nomor asing yang tak terdaftar. Dibukanya pesan yang masuk tersebut dan ternyata adalah sebuah MMS (=Multimedia Message Service). Hal ini cukup mengherankan, karena sudah cukup lama juga dirinya tidak pernah menerima pesan dalam bentuk MMS. Ia lalu memencel tombol guna men-download isi MMS tersebut ke dalam ponselnya. Setelah proses download selesai, file tersebut muncul dalam bentuk sebuah video dengan format 3gp. Adel membuka video tersebut dan betapa terkejutnya ia ketika yang muncul adalah sebuah adegan layak sensor dimana seorang laki-laki terlihat sedang menyetubuhi seorang wanita diatas sebuah ranjang. Adegan ini jelas sangat menjijikkan bagi Adel untuk disaksikan, namun ia tetap membiarkan video itu berjalan dengan harapan bisa menduga siapa yang kira-kira mengirimkan video mesum tersebut ke ponselnya.
Setelah beberapa menit video itu berjalan, majalah di tangan Adel langsung terjatuh ketika wajah wanita di dalam video tersebut ter-zoom dan terpampang jelas di layar ponselnya. Wajah Adel langsung terlihat pucat pasi ketika melihat wajah wanita yang sedang disetubuhi tersebut tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri. Di dalam video tersebut terlihat sekali ekspresi horny di wajahnya dan jelas sekali terdengar suara desahan dan rintihan bergantian keluar dari mulutnya. Ia tahu benar kalau adegan ini jelas diambil di malam ketika ia sedang mabuk waktu itu. Adel sama sekali tidak bisa berkata-kata apa-apa, ia hanya mematung menatap ke arah layar ponselnya. Rupanya Adel benar-benar salah telah menggangap semuanya berakhir di malam itu, karena justru saat ini semuanya baru saja dimulai. Belum sampai durasi video tersebut selesai berjalan, ponsel Adel bergetar. Nomor pengirim MMS tersebut terpampang di layar dengan tulisan memanggil. Dengan gemetar Adel menjawab panggilan tersebut, “Siapa ini!”.
“Sudah menonton videonya? Bagus kan? Pemeran utamanya benar-benar menggairahkan”.
“Tega benar kamu berbuat seperti ini!”
“Denger! Kalau kamu tidak mau video tersebut tersebar di internet, sekarang juga kamu datang ke Hotel *** dan cari kamar nomor 478, ingat kamu harus dateng sendiri dan jangan sampai menceritakan kejadian ini kepada seorang pun kalau kamu tidak ingin semua orang tahu skandal seks kamu ini lewat internet”.
“Tapi aku sedang di kantor sekarang, aku tidak bisa pergi begitu saja”
“Kamu bukan diposisi untuk bisa melakukan tawar-menawar, jadi lakukan apa yang aku perintahkan tadi. Sekarang juga ke Hotel *** dan tunggu aku di kamar nomor 478, sebaiknya kamu datang secepatnya atau video ini akan tersebar malam ini juga!”.
Si penelpon langsung menghentikan pembicaraan. Telepon pun terputus. Adel terlihat shock. Tatapan matanya terlihat kosong. Ia seakan masih tidak percaya kalau masalah malam itu akan berlanjut dan bahkan mungkin saja bisa berlanjut menjadi semakin parah. Ia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa lagi kecuali mengikuti kata-kata laki-laki yang menelponnya tadi. Segera saja Adel beranjak dari kursinya dan menyambar tas jinjingnya. Sebelum meninggalkan kantor ia sempat menitipkan pesan kepada Mita, salah satu pegawainya di bagian Humas kalau ia harus buru-buru pergi karena ada telepon penting dari klein. Adel juga menitipkan pesan untuk disampaikan kepada Laras agar melanjutkan pembuatan laporan selama ia pergi, karena dirinya mungkin akan pergi cukup lama. Dan kini Adel pun sudah berada di dalam mobilnya. Berbagai macam perasaan kini bergejolak dalam hati Adel. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya sesampainya ia di Hotel ***, yang jelas perasaan ini sangatlah tidak mengenakkan. Bayangan bagaimana ketika pagi-pagi ia terbangun dalam kondisi memalukan dan harus bergegas check out dari hotel tersebut kembali muncul dalam ingatannya. Setelah sekian hari ia berusaha untuk menghapus memory buruk tersebut, kini ia justru harus kembali ke hotel itu lagi. Batin Adel mengatakan kalau sesuatu yang jahat sedang menunggunya saat ini.
********
Turun dari mobil, dalam keadaan setengah berlari Adel langsung menuju lobi hotel dan menghampiri meja resepsionis. Ia diberitahukan kalau kamar yang ditujunya berada di lantai 3. Di dalam lift perasaan Adel semakin bercampur aduk. Ketika pintu lift terbuka di lantai 3, Adel langsung keluar diikuti beberapa orang yang juga menuju lantai yang sama. Setelah berjalan beberapa langkah akhirnya Adel berdiri di depan pintu yang bertuliskan nomor 478. Dengan perasaan bergejolak Adel menghembuskan nafas panjang dan mengetuknya beberapa kali. Lama tidak ada jawaban dari dalam akhirnya Adel memberanikan diri untuk membuka pintu kamar itu dengan menggunakan kunci yang diberikan oleh resepsionis. Ternyata di dalam kamar itu tak ada seorang pun. Adel menyapu pandangannya sekeliling kamar tersebut. Adel baru sadar ini adalah kamar dimana kejadian malam itu terjadi. Di pagi hari, di saat kejadian itu terjadi Adel memang terburu-buru untuk meninggalkan kamar ini, namun ia cukup bisa mengingat posisi dan situasi di dalam kamar ini. Ia benar-benar yakin kalau ini adalah kamar tempat ia terbangun dalam keadaan telanjang telanjang, pusing, sakit kepala dan belepotan sperma di sekujur tubuhnya. Kalau rekaman video itu benar adanya, maka semua itu pastilah diambil di dalam kamar ini dan juga diatas ranjang ini. Dada Adel terasa begitu sesak ketika ia harus kembali berada di dalam kamar maksiat ini. Pintu kamar tiba-tiba terbuka ketika Adel masih termenung dalam bayang-bayang pikirannya. Adel melihat sesosok laki-laki masuk ke dalam kamar. Laki-laki tersebut lalu menutup pintu dan tersenyum ke arahnya. Di depannya kini berdiri sosok seorang laki-laki yang usianya mungkin tidak berbeda jauh dengan dirinya. Dengan perawakan tubuh yang sedikit lebih tinggi dari dirinya dan rambut yang tercukur pendek, laki-laki itu terlihat begitu jantan. Tubuh tegap itu terbalut kaos berwarna putih dan jeans. Ia kemudian hanya berdiri di depan pintu dan menatap tajam kearah Adel dari ujung atas sampai ujung bawah. Adel bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ini laki-laki yang terlibat one night stand dengan dirinya di malam itu?
“Akhirnya kamu datang juga Adelia Pramesti Devi, itu nama kamu kan?”
“I… Iya, apa kamu yang menelpon tadi?”
“Begitulah kira-kira”, Laki-laki itu kini dengan santainya duduk di sofa di dekat tempat tidur.
“Tolong katakan apa yang kamu mau, kamu mau uang?”
Laki-laki itu sama sekali tidak memperhatikan pertanyaan Adel, ia terlihat sibuk menyapu pandangannya sekeliling kamar.
“Kamu masih ingat kamar ini kan? Kamar ini benar-benar nampak luar biasa malam itu. Begitu hangat dan begitu menggairahkan. Sungguh malam yang tak terlupakan”.
“Please... aku tidak punya banyak waktu, berapa jumlah yang kamu mau?”
Laki-laki itu kemudian berdiri dan bergerak mendekati Adel. “Jadi kamu pikir aku melakukan semua ini dan menyuruh kamu datang kesini hanya untuk uang? Maaf aku tidak butuh uangmu”.
“Lalu kamu mau apa?”, tubuh Adel terlihat bergetar, ia mencoba menutupi perasaan takut yang saat ini sedang menyelimutinya.
“Ok, kalau memang kamu ingin tahu tujuan semua ini, aku akan mengatakannya sekarang”. Laki-laki itu lalu berjalan mengitari Adel dengan pandangan tajam menatap setiap lekuk tubuh Adel yang hari itu terbalut kemeja biru muda dan rok span warna biru tua. “Ternyata wangi tubuhmu sama sekali tidak berubah, sungguh tubuh yang luar biasa sempurna dan tidak terlupakan”, Laki-laki itu kemudian berhenti di belakang Adel. “Aku sebenarnya mengundangmu kemari hanya ingin mengulang kejadian malam itu di tempat yang sama namun dengan kondisi yang sedikit berbeda”.
Adel sontak terkejut. Nafasnya mulai terlihat tidak teratur. Dadanya terasa sesak. Wajahnya pucat pasi mendengar kata-kata laki-laki didekatnya ini. Jika ia benar menangkap maksud si laki-laki berarti ia harus kembali bersetubuh dengan laki-laki ini, disini dan saat ini juga.
“Malam itu kamu begitu menggairahkan. Kamu mendesah dan bergelinjang liar sepanjang malam, bahkan ketika kita mengulangi untuk ketiga kalinya kamu masih saja liar, sungguh luar biasa!”. Laki-laki itu kini berani meraba rambut Adel dengan tangannya, menyeka rambutnya, menyentuh telinganya kemudian turun ke leher dan pundaknya.
Adel menepis tangan itu dan bergerak menjauh. “Jangan kurang ajar ya! Malam itu aku sama sekali tidak tahu apa yang aku lakukan, jika aku sadar tentu kejadian itu tidak akan terjadi!”, Adel berteriak lantang.
“Terserah apa katamu, yang jelas saat ini kamu tidak berada di posisi yang kuat untuk menolak, aku hanya ingin tahu apa jika dalam keadaan tidak mabuk kamu akan sama menggairahkannya seperti malam itu”.
Tubuh Adel nampak semakin bergetar menahan rasa geram dalam dirinya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa ia sadari air mata mulai keluar dari kelopak matanya. Ia pun kini hanya bisa berdiri membisu di depan pintu kamar mandi di seberang laki-laki tersebut. Ia sadar apa yang dikatakan oleh laki-laki ini adalah benar kalau posisinya saat ini sangatlah lemah. Namun jika ia menuruti kemauan laki-laki tersebut maka akan sama artinya dengan menyerahkan diri untuk kedua kalinya. Ia sama sekali tidak mengenal laki-laki di hadapannya ini. Adel tentunya tidak mungkin akan menyerahkan tubuhnya begitu saja kepada laki-laki ini, walaupun sebelumnya secara tidak sadar ia memang pernah melakukannya.
“Kenapa menangis? Aku tahu malam itu kamu juga menikmatinya, lalu apa salahnya kalau kita mengulanginya lagi?”.
“Tolong serahkan rekaman itu, aku mohon…”, ucapan Adel terdengar memelas. Isak tangis Adel pun mulai terdengar lirih.
“Rekaman ini sangat berharga untukku, apa kamu pikir aku akan menyerahkannya begitu saja tanpa konpensasi?”.
“Tapi aku tidak bisa melakukan apa yang kamu mau”.
“Hahaha… tidak usah sok suci! Malam itu aku tahu kalau kamu sudah tidak perawan lagi artinya bukan hanya aku yang pernah menidurimu, bukan begitu?”.
“Ta… tapi…”.
Laki-laki itu lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Sedangkan Adel sendiri masih tetap berdiri mematung di posisinya semula.
“Baiklah… aku tidak akan memaksamu, pintu ini kini sudah terbuka dan kamu bisa keluar sekarang, namun aku ingatkan begitu kamu keluar berarti kamu memilih konsekuensi kalau video itu akan tersebar”. Laki-laki itu lalu berjalan ke arah ranjang kemudian duduk. Dengan tenang ia lalu membuka baju kaos yang dikenakan serta mulai melepaskan sepatu ketsnya. “Namun jika kamu tidak mau hal itu sampai terjadi, sebaiknya kamu menutup pintu itu, menguncinya”.
Adel benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya. Laki-laki itu telah memberikan dua pilihan untuk ia pilih. Ia tahu saat ini ia sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit. Beberapa saat kesunyian menyelimuti ruangan tersebut.
“Bagaimana? Sudah kamu putuskan?”.
“A… apakah kamu akan menyerahkan rekaman itu jika aku memenuhi permintaanmu?”, setelah lama membisu akhirnya sebuah kalimat keluar dari mulut Adel.
“Kita lihat saja nanti apakah kamu bisa memuaskan aku atau tidak”, Laki-laki itu kini berdiri kemudian melepaskan jeans yang dikenakannya sehingga kini hanya menyisakan boxer hitam yang melekat di tubuhnya. Dari kata-kata Adel tadi rupanya laki-laki itu sudah bisa memperkirakan kalau sang gadis cantik di hadapannya akan memilih untuk melayaninya ketimbang harus kehilangan nama baik akibat skandal video mesum.
Adel mengepalkan kedua tangannya. Ia benar-benar marah mendengar kata-kata laki-laki itu. Ingin rasanya ia bisa memukul wajah yang kini sedang tersenyum mesum kearahnya tersebut, namun ia tahu itu tidak akan ada gunanya dan hanya akan memperkeruh suasana. Kata-kata laki-laki itu memang benar kalau ia sudah pernah melakukan persetubuhan sebelumnya, namun itu ia lakukan berdasarkan cinta dan ketulusan. Sedangkan kali ini ia harus menyerahkan tubuhnya dalam kondisi dibawah tekanan dan paksaan.
Harus diakuinya kalau saat ini memang sama sekali tidak ada pilihan lain baginya. Pikiran putus asa pun kian kuat menguasai diri Adel. Toh, sebelumnya laki-laki dihadapannya ini sudah pernah menyetubuhinya lalu apa salahnya kalau ia melakukannya lagi. Hal ini coba dijadikan pembenar oleh Adel atas pilihan yang mungkin akan segera ia ambil. Akhirnya dengan langkah berat Adel pun melangkah ke arah pintu, menutup dan lalu menguncinya. Dibandingkan dengan pilihan membiarkan video itu tersebar sehingga membuat karier, nama baik dan hidupnya hancur berantakan, maka ia merasa menyerahkan tubuhnya adalah pilihan terbaik saat ini.
“Pilihan yang bagus”, senyum mesum makin lebar tersungging dari bibir laki-laki tersebut. “Sekarang buka pakaianmu!”.
Adel meletakkan tas jinjingnya diatas meja rias. Berlahan ia melepaskan ikat rambutnya sehingga kini rambut panjang tersebut jatuh tergerai lurus. Adel menatap tajam ke arah laki-laki yang kini duduk santai di pinggir ranjang menunggu dirinya untuk melakukan perintah tadi. Dengan posisi berdiri Adel melepaskan sepatu hak tinggi yang dikenakannya secara bergantian. Kemudian dengan masih diselimuti perasaan ragu, berlahan satu per satu gadis cantik ini melepaskan kancing kemejanya. Setelah semua kancingnya terbuka Adel nampak enggan untuk melepaskan kemeja itu dari tubuhnya. Rupanya Adel masih tidak sepenuhnya yakin atas pilihannya ini.
“Tunggu apa lagi? Bukankah tadi kamu mengatakan tidak punya banyak waktu?”.
Setelah menguatkan kembali batinnya yang sempat bimbang, Adel pun melepaskan kemeja tersebut dan meletakkannya di atas kursi. Namun setelah itu, dengan cepat Adel menutup bagian atas tubuhnya yang kini hanya tertutupi bra berwarna krem dengan kedua tangannya. Bagaimana pun sebagai wanita tentunya tetap saja ada perasaan risih untuk memperlihatkan tubuhnya di depan seorang laki-laki. Pandangan nanar mulai terlihat dari sorot mata laki-laki tersebut. Walaupun sebelumnya ia sudah pernah melihat tubuh telanjang gadis cantik dihadapannya ini, namun tentunya sensasi yang ditimbulkan akan terasa jauh lebih nikmat ketika melihat si gadislah yang melepaskan pakaiannya sendiri.
“Tolong jangan menguji kesabaranku, sekarang cepat buka rokmu!”.
Air mata kembali mengalir membasahi wajah manis Adel. Semua ini terasa begitu memalukan bagi dirinya. Kini Adel merasa tak lebih seperti seorang pelacur sehingga bisa begitu saja diperintah oleh laki-laki yang telah mem-booking-nya.
Ingin rasanya ia melawan, namun ketidakberdayaan justru membuat tangannya bergerak sendiri melepaskan resleting belakang roknya sehingga sedetik kemudian rok itu pun meluncur turun ke lantai. Kini tubuh bawah Adel pun hanya terbalut celana dalam mini berwarna krem. Tubuh yang kini dalam keadaan setengah telanjang ini terlihat benar-benar luar biasa dan begitu mempesona. Dengan tinggi hampir 170 cm, berat 58 kg, dan ukuran dada 34 B, tentu akan membuat banyak laki-laki bersedia mengorbankan apapun untuk bisa memiliki dan menikmati keindahan ciptaan yang maha kuasa ini. Adel masih tetap berusaha untuk menutupi telanjangannya dengan kedua tangannya. Ia menundukkan kepalanya menahan rasa malu. Isak tangis masih terdengar dari gadis cantik tersebut. Berkali-laki Adel mengucapkan maaf dalam hati kepada Abi tunangannya, karena sebentar lagi mungkin ia akan kembali melakukan penghianatan terhadap cinta mereka.
“Cukup sudah! Sekarang cepat kemari”. Nada suara laki-laki itu terdengar begitu keras.
Gadis cantik itu pun menurut dan dengan langkah berat mendekati laki-laki itu, kemudian berdiri polos dihadapannya.
“Ah... kamu benar-benar tercipta sempurna”. Laki-laki itu mulai menyentuh kedua paha Adel, turun ke betis dan naik lagi ke pantat Adel. Adel sendiri mulai merinding menerima rabaan tersebut. Tangan laki-laki itu kini meremas-remas pantat Adel. Bongkahan pantat gadis itu terasa begitu halus dan padat. Lalu tangan itu menyusup masuk ke dalam celana dalam yang dikenakan sang gadis.
“Ini yang selalu aku ingat!”, laki-laki itu meremas-remas selangkangan Adel, sambil diikuti desahan lembut sang pemilik. Terasa bulu-bulu lembut menyentuh permukaan tangannya, namun sama sekali belum terasa adanya cairan yang keluar dari dalamnya.
Laki-laki itu lalu berdiri dan mencium bibir Adel dengan lembut, kemudian mulai memainkan lidahnya di permukaan bibir lalu masuk dalam mulut Adel. Sementara tangan laki-laki itu nampak sibuk menjelajahi setiap lekuk tubuh Adel. Tak lama tangan laki-laki itu pun menyusup ke dalam cup bra yang dikenakan Adel dan meremas payudara montok milik gadis tersebut. Ditengah remasan tangan laki-laki itu pada payudara Adel, cup bra yang tersingkap tadi menjadi sedikit mengganggu sehingga laki-laki itu memutuskan untuk melepaskan kaitan bra tersebut. Akhirnya penutup payudara itu pun tergeletak di lantai. Kini tangan laki-laki itu bisa dengan bebas menyerang payudara Adel dengan remasan demi remasan, sambil diatas sana ciuman dan pagutan tetap menyerang bibir lembut si gadis.
Masih tetap perpagutan bahkan kini dengan intensitas yang lebih tinggi, laki-laki itu merebahkan tubuh Adel di ranjang. Adel kini sudah tidak lagi pasif menerima pagutan di bibirnya, namun mulai ikut membalas permainan lidah laki-laki tersebut. Rupanya gairah birahi mulai mengusai akal sehat Adel. Ciuman laki-laki lalu beralih ke telinga, pipi, leher dan payudara Adel. Dengan bergantian secara lembut dan kasar laki-laki itu mengulum puting payudara Adel kemudian menjilatnya, menggigit dan menyupangi payudara padat yang kini mulai nampak makin padat dan tegang tersebut. Si gadis pun kini tak malu-malu lagi untuk mendesah dan merintih menandakan kalau ia sangat menikmati aksi-aksi nakal laki-laki tersebut di areal dada dan perutnya. Tangan kiri laki-laki itu kini kembali mengincar daerah selangkangan, sambil tetap melanjutkan ciuman, jilatan dan sedotannya pada payudara Adel. Berbeda dengan sentuhan tangannya tadi, kini celana dalam Adel terasa basah tepat di gundukan yang berada di tengah daerah selangkangan tersebut. Rupanya gairah mulai kian membakar diri si gadis cantik. Memang harus diakui Adel, sejak kepergian Abi ke Ausie sudah hampir 6 bulan lamanya ia tidak pernah merasakan lagi sentuhan laki-laki di tubuhnya. Sebagai wanita normal tentunya waktu selama itu membuat tubuhnya bergejolak terus menerus menahan gairah yang kadang menyerang di waktu-waktu tertentu. Masturbasi mungkin bisa sedikit mengurangi gejolak tersebut, namun tetap saja tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dari sentuhan langsung dari lawan jenis. Sehingga kini ketika ada seorang laki-laki menyerang setiap titik-titik sensitif di tubuhnya, maka dengan cepat tubuh Adel beraksi dan logika pun segera berganti dengan lesakan nafsu yang bergelora. Bahkan kini Adel seakan lupa kalau laki-laki yang kini sedang menjilati vaginanya bukanlah siapa-siapa dalam kehidupannya. Ia juga seakan lupa kalau saat ini ia sudah terikat pertunangan dengan laki-laki lain. Sebuah hubungan yang seharusnya ia hormati sebagai sesuatu yang sakral. Namun kini justru dirinyalah yang terlihat memegang kepala laki-laki tersebut seakan ingin mengatakan teruskan jilatanmu dan berikan aku kenikmatan. Adel bahkan tidak sadar kapan kain mungil pelindung terakhir selangkangannya terlepas, yang jelas kini ia nampak membuka kedua pahanya lebar-lebar dan memberikan akses penuh kepada lidah dan mulut laki-laki tersebut. Kenikmatan yang dirasakannya membuat Adel hanya bisa pasrah memejamkan mata, mendesah, mengerang serta berteriak sepuas-puasnya.
“Aaah… aahh… oohh…”, desahan makin sering terdengar dari mulut Adel ketika laki-laki tersebut memasukkan dua jari tangan kanannya ke dalam vaginanya dan kemudian mengocoknya dengan kencang.
“Awalnya nolak akhirnya konak juga!”, Laki-laki itu tertawa sambil terus melanjutkan kocokan tangannya.
Adel tak peduli dengan ejekan laki-laki itu. Memang ia tadi sempat menolak dan mencoba bertahan untuk tidak larut dalam percintaan terlarang ini, namun sebagai wanita normal tentu rangsangan demi rangsangan yang menghujani tubuhnya secara terus menerus mau tidak mau membangkitkan alam bawah sadar sekaligus sisi liarnya. Sampai titik tertentu laki-laki itu rupanya mulai menyadari kalau ia telah berhasil membuat si gadis cantik takluk dengan gelora nafsunya sendiri. Ia pun lalu menghentikan kocokan tangannya kemudian beranjak dari ranjang dan berdiri dipinggirnya. Laki-laki itu lalu mengangkat kepala Adel yang masih nampak terlentang dan terbuai gelora birahi.
“Sepong kontolku!”.
Adel menurut lalu beranjak dari posisinya. Nafasnya masih terlihat memburu walaupun tidak sekencang ketika tadi laki-laki itu masih merangsang tubuhnya. Adel lalu berlutut di hadapan laki-laki itu dan mulai meremas tonjolan di balikboxer-nya. Berlahan tangan Adel masuk ke dalam boxer tersebut dan mengeluarkan batang tegang dari dalamnya. Adel tersentak melihat batang penis milik laki-laki tersebut. Batang itu begitu besar dan panjang, dengan urat-urat pada permukaannya. Ukuran penis ini jelas 2 kali bahkan 5 kali lipat lebih besar dari penis milik laki-laki yang pernah bercinta dengannya. Bahkan jari-jari lentik Adel tak cukup untuk menggenggam batang tegang tersebut. Melihat batang tegang tersebut, Adel pun menjadi tidak heran kalau malam itu ia bisa bermain sampai 3 kali dengan laki-laki tersebut. Sisi liar dirinya seakan berteriak kegirangan dan tak sabar untuk bisa merasakan kenikmatan yang akan menyerangnya seandainya batang penis di genggamannya ini mengaduk-aduk vaginanya. Setelah beberapa menit mengocok-ngocok batang penis itu dengan tangannya, Adel kemudian melepaskan boxer yang dikenakan laki-laki itu. Berlahan Adel pun mulai menjilati ujung penis tersebut, bergiliran dengan batang dan buah zakarnya. Tak lama batang penis itupun amblas ke dalam mulut Adel yang dengan telaten mulai mengulum dan mengoralnya. Adel berusaha sehati-hati mungkin memasukkan dan mengeluarkan batang penis tersebut dari dalam mulutnya. Hal ini karena saking panjangnya batang penis tersebut, ujungnya sampai beberapa kali menyentuh tenggorokan Adel sehingga ia tak ingin tersedak karenanya.
“Berhenti sebentar”.
Laki-laki itu sejenak menghentikan kuluman Adel, untuk kemudian mengambil posisi bersandar di ujung tempat tidur sehingga kini ia dapat menyaksikan bagaimana aksi kuluman Adel pada penisnya dengan nyaman. “Ayo lanjutkan!”.
Adel pun menurut dan mengambil posisi menungging untuk kemudian kembali dengan kegiatannya menjilat, mengulum dan mengoral batang penis laki-laki itu.
“Oooh… ternyata tak hanya memeknya yang nikmat, lidahnya juga ternyata nikmat!”, Laki-laki itu mengelus-elus kepala Adel yang kini sedang mengoral penisnya. Memang ketika percintaannya di malam itu dengan Adel, laki-laki itu tidak merasakan kenikmatan lidah dan mulut si gadis karena saat itu Adel sedang dalam keadaan mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar seperti itu tentunya sama sekali tidak mungkin menyuruh si gadis melakukan oral seks.
Sambil menikmati layanan Adel di selangkangannya, tangan laki-laki itu meremas-remas payudara gadis tersebut yang terlihat menggantung dan menggoda. Sedangkan Adel sendiri sambil melakukan oral, ia nampak merabai vaginanya sendiri yang kini mulai terasa semakin gatal. Ia juga merabai klitorisnya agar kondisi vaginanya tetap dalam keadaan lembab dan basah sehingga nantinya akan siap untuk dimasuki setiap saat. Cukup lama Adel men-servis penis laki-laki itu dengan mulut dan lidahnya. Akhirnya si laki-laki menghentikan aksinya tersebut dan merubah kembali posisi Adel kembali menjadi terlentang. Laki-laki itu lalu membuka kedua paha Adel sehingga vagina ranum berwarna merah muda itu menjadi terpampang jelas di depannya. Tanpa basa-basi langsung saja laki-laki itu memasukkan ujung penisnya ke dalam vagina Adel diikuti oleh teriakan panjang Adel.
“Aaakkh…!”, Adel berteriak lantang ketika batang penis itu pertama kali merangsek masuk ke dalam lubang vaginanya. Besarnya diameter batang penis itu membuat otot-otot dinding vagina Adel berkontraksi dengan maksimal, hal ini tentu cukup menimbulkan rasa sakit karena ia belum terbiasa menghadapi batang penis berdiameter sebesar itu.
Laki-laki itu pun ikut mendesah panjang ketika memasukkan batang penisnya. Ia merasakan jepitan yang luar biasa dari dinding-dinding vagina Adel. Jangka waktu 6 bulan rupanya cukup membuat lubang vagina Adel terasa sempit kembali. Tak lama laki-laki itu pun telah mulai nampak sibuk menggenjoti vagina Adel sambil meremas-remas kedua payudaranya bergiliran. Berlahan keringat mulai membasahi tubuh kedua insan berlainan jenis tersebut. Mendengar desahan dan teriakan Adel seiring sodokan penisnya membuat laki-laki itu semakin bernafsu., sehingga laki-laki itu pun semakin mempercepat intensitas genjotannya.
“Aahh… biar sedang mabuk ataupun tidak sedang mabuk ternyata kamu tetap saja menggairahkan”.
Adel sama sekali tidak bisa berkonsentrasi mendengar perkataan laki-laki itu. Saat ini ia hanya berkonsentrasi merasakan kenikmatan di sekujur tubuhnya setiap kali penis tersebut masuk dan keluar di dalam vaginanya. Saat ini Adel seakan-akan menikmati sekali setiap detik persetubuhannya dengan laki-laki ini. Sudah cukup lama Adel tidak merasakan sensasi kenikmatan ragawi seperti ini, karena itulah ia sangat ingin di ujung percintaannya saat ini ia bisa mencapai klimaks yang luar biasa. Klimaks yang memuaskan. Kepuasan yang sudah lama sekali tidak ia rasakan.
“Jepitan memekmu benar-benar luar biasa! Ooohh…”.
Setelah sekitar lima belas menitan bercinta, kini laki-laki itu nampak menggenjoti vagina Adel dalam posisi dogie style. Permainan laki-laki ini hampir sama sekali tidak berbeda dengan permainannya di malam percintaan pertama mereka. Permainan yang cenderung kasar dan menjurus brutal. Namun mau tidak mau Adel harus mengakui kalau sensasi seperti ini tidak pernah ia alami bersama dengan pacar dan tunangannya. Tidak seperti malam itu, saat ini Adel benar-benar dalam keadaan sadar menikmati persetubuhan mereka ini. Apalagi memang telah lama Adel haus dengan sentuhan laki-laki dan ingin merasakan kembali hujaman penis di vaginanya. Ia ingin penis laki-laki itu menghujam vaginanya selama dan sedalam mungkin di dalam vaginanya. Bahkan beberapa kali suara ponsel Adel yang terdengar dari dalam tasnya sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Perhatian Adel kini telah sepenuhnya terfokus pada kenikmatan yang dirasakan di sekujur tubuhnya. Isak tangis yang diawal permainan keluar dari mulut adel kini berganti desahan dan teriakan mengiringi genjotan demi genjotan yang menghujam vaginanya.
“Kamu suka?”, laki-laki itu menampar-nampar bongkahan pantat Adel.
Adel tak menjawab. Hanya desahan dan teriakan yang terdengar keluar dari mulutnya.
“Ayo jawab! Kamu suka ngentot tidak?”.
“I… iya su… suka banget Oooh…!”.
“Suka apa…?”, sebuah tamparan kembali mendarat di pantat Adel.
“Aaakh… suka… suka ngentot”.
Laki-laki itu lalu merubah posisi kembali sehingga kini Adel berada di atas dengan posisi woman on top. Rupanya si laki-laki ingin melihat aksi goyangan pinggul Adel pada penisnya sambil melihat ekspresi horny pada wajah Adel. Adel pun nampak memejamkan matanya ketika menggoyang-goyangnya pinggulnya. Payudara gadis itu pun terlihat terguncang-guncang menambah nuansa erotis dari persetubuhan mereka. Desahan nafsu kedua insan tersebut makin memenuhi seisi ruangan kamar. Adel benar-benar memanfaatkan posisi ini, ia bergoyang liar sehingga membuat penis laki-laki itu benar-benar menghujam dan mengaduk-aduk hingga ke ujung dinding vaginanya. “Aaakkh… Oohh… Aaakh…”, desahan dan teriakan Adel makin merancau tak karuan, begitu juga dengan si laki-laki.
Keduanya seakan menikmati benar aksi-aksi dari lawan mainnya. Mereka kembali berganti posisi menjadi conventional style. Adel bisa merasakan sebentar lagi dirinya akan mencapai klimaks yang sudah sejak lama diidam-idamkannya. Sehingga ketika genjotan penis laki-laki itu semakin kencang, ia pun mengangkat pantatnya dan membuka lebar kedua kakinya. Dengan posisi seperti ini membuat kenikmatan yang diperolehnya akan semakin besar dan klimaks akan bisa ia capai semakin cepat.
“Rasain nih kontol gue perek!”, rancauan dengan kata-kata kasar mulai terdengar dari mulut laki-laki itu. Biasanya ini adalah pertanda kalau sebentar lagi ia akan mencapai klimaks. “Mampus lu lonte! Mampus lu gue entotin!”.
Umpatan dan kata-kata laki-laki itu kalau dalam keadaan sadar mungkin akan terdengar begitu kasar di telinga. Mungkin kata-kata itu lebih menyerupai hinaan terhadap dirinya. Namun dalam keadaan terbakar gairah birahi seperti ini, kata-kata dan umpatan seperti itu justru membuat Adel semakin liar. Desahan dan teriakan penuh nafsu pun semakin sering terdengar dari mulut Adel. Akhirnya setelah sekian lama terlarut dalam kenikmatan duniawi Adel akhirnya terlebih dahulu mencapai puncak permainan. “Aaakh…!”, cairan kenikmatan mengalir deras dari dalam vaginanya. Teriakan keras mengiringi pencapaian Adel. Sebuah teriakan yang menunjukkan kepuasan luar biasa, seakan bisa ia terbebas dari belenggu nafsu tertahannya selama ini. Hal ini berbeda dengan si laki-laki. Rupanya ia masih ingin merasakan nikmatnya jepitan lubang kenikmatan Adel sehingga ia berusaha menahan luapan yang hendak keluar dari dalam tubuhnya. Dengan begini laki-laki itu masih mampu bertahan menggenjot vagina Adel untuk beberapa saat lagi. Beberapa menit kemudian akhirnya laki-laki itu pun mencabut penisnya dari dalam vagina Adel dan menyemprotkan cairan putih beberapa kali ke dada, wajah dan mulut Adel. Adel yang sesungguhnya telah merasa lemas hanya bisa pasrah menerima semprotan demi semprotan sperma di dada dan wajahnya. Ia terlalu lelah untuk menolak. Bahkan ia pun tak bisa berbuat apa-apa ketika laki-laki itu memasukkan penisnya ke mulutnya dan menyemprotkan sisa-sisa cairan sperma terakhir ke dalamnya. Mulut Adel kini dipenuhi oleh sperma si laki-laki tersebut. Bahkan Adel sampai terbatuk-batuk karena ada cairan sperma yang tak sengaja tertelan olehnya. Sisa cairan sperma yang tak tertelan pun kini nampak meleleh keluar dari mulut Adel. Keduanya akhirnya ambruk terlentang bersebelahan di atas ranjang dalam keadaan telanjang. Keduanya masih terlihat menikmati sisa-sisa kenikmatan dari permainan cinta mereka tadi. Adel berlahan mulai mengatur nafasnya. Matanya terpejam memancarkan kepuasan luar biasa layaknya seseorang musafir yang baru menemukan oase di tengah padang pasir gersang. Bahkan ketika laki-laki itu kembali menindih tubuhnya dan menciumi sekujur tubuh telanjangnya ia hanya pasrah menikmati sensasi panas yang ditinggalkan lidah kasar laki-laki itu di setiap inci tubuhnya. Sama sekali tidak terlihat kalau awalnya ia justru dipaksa untuk melakukan semua ini.
“Kamu benar-benar luar biasa!”, Laki-laki itu merabai setiap inci tubuh Adel yang masih berusaha mengatur nafasnya, sehingga mengakibatkan sperma kini tersebar rata di sekujur tubuhnya.
Adel sendiri nampaknya masih terbuai dalam kenikmatan dan kepuasan seksual yang baru saja ia alami. Setelah sekian lama hanya bergulat dengan dirinya sendiri dengan cara masturbasi, persetubuhan tadi menjadi terasa begitu luar biasa. Namun kesadaran tiba-tiba Adel bangkit kembali ketika mendengar suara ponselnya berbunyi. Ia pun mendorong tubuh laki-laki itu dari atas tubuhnya sehingga terguling ke pinggir. Ia berlari masih dengan keadaan telanjang menuju ke meja rias dan mengambil ponselnya.
“Halo”, di depan cermin Adel melihat dirinya yang terlihat benar-benar berantakan dan acak-acakan. Ceceran cairan putih kental terlihat merata hampir di sekujur tubuhnya, sehingga mengakibatkan tubuhnya nampak mengkilap. Ia berusaha merapikan rambutnya sambil melihat si laki-laki duduk bersandar di ujung ranjang. Dari pantulan cermin, Adel sekilas bisa melihat sebuah senyuman puas tersungging dari bibir laki-laki tersebut.
“Del lu kemana sih? Mita bilang lu tadi keluar buru-buru dari kantor? Gue telpon-telpon nggak diangkat-angkat?”, terdengar suara Laras dengan nada suara khawatir.
“Gue nggak apa-apa kok Ras, tadi gue di telpon sama klien dan minta ketemu segera, jadi gue buru-buru deh”.
“Oh gitu…”, terdengar sedikit nada curiga dari suara Laras. “Ya udah, gue cuma mau bilang ke lu kalau sampai sore ini bagian akunting belum juga selesai nyusun neraca akhir jadi kita nggak bisa deh nyusun laporannya hari ini “.
“Tapi temen-temen lain gimana?”.
“Udah pada pulang kecuali bagian akunting yang katanya mau lembur, nih gue juga lagi dalam perjalanan pulang kok jadi kalau urusan lu udah selesai mending nggak usah balik ke kantor lagi deh”.
Di tengah percakapannya, tiba-tiba saja Adel merasakan laki-laki itu meremas payudaranya dari belakang. Adel langsung menepis tangan tersebut.
“Ya udah kalau gitu ntar gue langsung pulang aja, thanks ya infonya Ras kalau gitu sampai besok deh”.
“Ok deh Del, sampai besok juga”.
Begitu Adel mematikan ponselnya, laki-laki itu tiba-tiba saja membekap dan melempar tubuhnya ke ranjang. Tubuh Adel mendarat cukup keras di atas ranjang dengan posisi tertelungkup. Ponsel yang tadi dipegangnya pun terpelanting entah kemana. Sedetik kemudian Adel berteriak kesakitan karena laki-laki itu menindih dan menjambak rambutnya.
“Eh! Jangan pernah kamu sekali lagi berani menepis tanganku seperti tadi, inget rahasia kamu ada ditanganku sekarang jadi aku bisa melakukan apa saja yang aku mau, kamu ngerti?”.
Adel hanya kembali bisa terisak sambil berusaha menahan sakit.
“Kamu mengerti tidak?!”, laki-laki itu kembali menjambak rambut Adel.
“Aaaakhhh… sakit!”.
“Ditanya itu jawab!”.
“Iya… iya ngerti”.
“Bagus! Jadi harap kamu ingat kalau kamu itu sekarang milikku, apa yang aku perintahkan harus kamu turuti kalau tidak ingin menyesal, mengerti?”.
“Ngerti…”.
Laki-laki itu kemudian melepaskan jambakannya. Ia lalu beranjak menjauh dari Adel yang masih tertelungkup sambil menangis. Terlihat ia kemudian memunguti pakaiannya dan mulai mengenakannya kembali. Laki-laki itu lalu mendekati kembali Adel dan membalikkan tubuh gadis itu sehingga terlentang. Ia lalu memegang wajah Adel sehingga membuat pandangan mereka beradu.
“Masukkan nomor ponselku ke dalam HP-mu karena dalam waktu dekat ini sepertinya aku masih ingin menikmati tubuh indahmu ini”.
“A… apa maksudmu? Ka…kamu tadi bilang aku hanya harus melayanimu saat ini saja”.
Laki-laki itu tertawa. Ia kemudian dengan berlahan merabai tubuh telanjang Adel. Kali ini Adel tidak berani menepis tangan itu dan membiarkan saja laki-laki itu menyentuh setiap bagian tubuhnya yang diinginkannya. Ia tidak ingin mendapatkan kekerasan fisik seperti tadi lagi.
“Adel, Adel, aku tadi bilang aku janji tidak akan menyebarkan videomu kalau kamu bisa memuaskan aku, dan tentunya bercinta denganmu saat ini saja tidak akan membuatku puas hahaha… Jadi kalau kamu masih ingin namamu bersih demi kariermu maka mulai sekarang setiap kali aku menelponmu kamu harus datang untuk memuaskan aku”. Laki-laki itu kembali tertawa.
“Dasar maniak… Serahkan rekaman itu!”.
“Hahaha… Terserah apa katamu, yang jelas kamu tak bisa mengelak dari nasibmu, kamu adalah milikku sekarang!”. Tanpa menghiraukan permintaan Adel, ia lalu berdiri di pinggir ranjang dan menyalakan rokok. “Namaku Prasetyo, kamu bisa memanggil aku Pras”.
Laki-laki itu kemudian beranjak menuju pintu. “Beberapa hari lagi aku akan menelpon, jadi jangan pernah mematikan HP-mu hahaha…”. Setelah mengucapkan pesan terakhirnya tersebut, laki-laki yang mengaku bernama Prasetyo itu pun kemudian menghilang dari balik pintu meninggalkan Adel sendirian di kamar ini.
Sepeninggal laki-laki itu Adel masih terbaring lemah di atas ranjang. Ia terlihat menangis sambil memeluk guling masih dalam keadaan telanjang. Akal sehat Adel rupanya sudah kembali mengganti birahinya yang tadi berkecambuk. Ia masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi kepadanya. Ia baru saja kembali melakukan sebuah perselingkuhan. Apa kata Abi jika ia tahu. Tapi laki-laki itulah memaksanya. Menikmati tubuhnya tanpa ia inginkan. Ia telah diperkosa. Namun apakah Adel bisa mengatakan dirinya habis diperkosa? Memang benar ia tidak ingin melakukannya dan dipaksa untuk melakukannya, tapi bukankah tadi ia juga menikmatinya dan mencapai kepuasan seksual dari persetubuhan tersebut? Hari ini ia merasa telah melakukan dosa karena mengkhianati cinta tunangannya.Kini ia baru menyesali diri kenapa memilih untuk kembali menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki tadi. Ia merasa dibohongi mentah-mentah oleh laki-laki bejat tersebut. Kini tak hanya tubuhnya yang terasa sakit, hatinya pun terasa lebih sakit lagi. Beberapa lama larut dalam kesedihan dan penyesalan dirinya, Adel akhirnya beranjak dari atas ranjang. Ia tahu semuanya telah terjadi dan rasa sesal pun seakan sudah tidak ada gunanya lagi saat ini. Adel mengumpulkan pakaiannya satu persatu. Seperti halnya kejadian waktu itu Adel juga tidak bisa menemukan bra dan celana dalamnya kembali. Ternyata laki-laki itu benar-benar maniak makinya dalam hati. Namun Adel sama sekali tidak ingin memperdulikannya lagi karena sehabis ini ia tak perlu datang lagi ke kantor. Ia pun segera mengenakan pakaiannya yang masih tersisa, memungut ponsel, kemudian menyambar tas jinjingnya. Gadis itu pun bergegas meninggalkan kamar maksiat tersebut. Tak ada lagi yang paling penting dalam pikiran Adel saat ini selain pulang dan membersihkan tubuhnya.
********
Di apartemennya, Adel sedang terduduk di lantai kamar mandi di bawah pancuran yang sedang menyala. Ia menangis walau tanpa air mata. Pandangan gadis itu kosong. Ia membiarkan saja tubuh telanjangnya disirami air yang terus mengucur berharap semua kotoran karena persetubuhan tadi akan terhanyut. Bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan namun remasan, jilatan, rabaan dan genjotan yang menghujani tubuhnya beberapa jam yang lalu sampai kini masih terasa begitu nyata. Masih dengan tatapan kosong, Adel beranjak berdiri dan mematikan pancuran. Ia lalu berjalan gontai menuju ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya disana. Bulir-bulir air mengalir sepanjang permukaan kulit dan tubuh Adel yang lembut, kemudian turun membasahi sprei dan ranjang. Adel sama sekali tidak memperdulikannya. Bahkan beberapa saat kemudian semuanya pun menjadi gelap.
No comments:
Post a Comment