Suara ringtone berupa lagu dari salah satu grup band papan atas terdengar memenuhi kamar. Entah sudah berapa lama ponsel tersebut berbunyi, namun yang jelas sudah cukup lama untuk membuat pemiliknya terbangun dari tidurnya yang lelap. Laras berlahan membuka matanya. Gadis manis itu terlihat begitu terpaksa untuk melepaskan dirinya dari kenyamanan dunia mimpi. Rasa kantuk sebenarnya masih kuat membelenggu gadis manis ini. Bahkan kepalanya terasa begitu berat akibat kuatnya pengaruh rasa kantuk tersebut. Namun Laras berusaha untuk bangun, karena ia tahu siapa pun yang menelponnya pagi-pagi buta seperti ini pastilah memiliki tujuan yang sangat penting. Berlahan kesadaran Laras mulai bangkit dengan sempurna. Dengan berlahan pula ia mulai semakin jelas mendengar sumber suara yang membuatnya terbangun. Ketika hendak beranjak dari atas ranjang, Laras baru menyadari kalau saat ini Glen sedang memeluk tubuhnya. Laki-laki itu terbaring di belakangnya dan terlihat masih terlelap. Gadis manis itu baru sadar kalau saat ini dirinya sedang terbaring di atas ranjang Glen. Ia pun kini tidak heran kalau saat terbangun tadi ia dalam kondisi lelah yang teramat sangat. Kemarin malam Glen mencumbuinya berkali-kali sampai akhirnya ia baru bisa terlelap menjelang dini hari. Laras pun terpaksa harus memberikan pelayanan ekstra, karena bagaimanapun kemarin adalah hari spesial untuk kekasihnya ini. Beberapa plastik kondom bekas pakai yang tergeletak di lantai seakan menjadi saksi bisu jumlah ronde yang harus dilalui oleh gadis manis tersebut sepanjang permainan cinta mereka kemarin malam. Tentunya pemberian pelayanan ekstra seperti ini berarti ia harus menanggung resiko untuk rela menguras tenaga sampai ke titik maksimal yang mampu ditahan oleh tubuhnya. Laras perlahan menggeser tangan Glen yang memeluk tubuhnya. Ia melakukannya dengan hati-hati agar kekasihnya ini tidak sampai terbangun. Setelah berhasil melakukannya, Laras lalu dengan perlahan menggeser selimut yang menutup tubuh mereka berdua dan beranjak turun dari ranjang. Tubuh Laras kini menjadi terekspos bebas karena tak ada satu helaipun benang yang melekat pada tubuh molek tersebut. Bercak-bercak merah bekas cupangan terlihat hampir di seluruh permukaan payudara montok gadis manis tersebut. Noda-noda putih bekas sperma yang mengering juga terlihat pada bagian tersebut, selain beberapa pula terlihat menempel di perut, pinggang dan pahanya. Laras nampaknya tidak memperdulikan hal tersebut, ia hanya berkonsentrasi pada nada ponsel miliknya. Hawa dingin AC (=air conditioner) yang langsung mengenai pori-pori kulitnya tanpa penghalang membuat gadis manis itu sedikit menggigil. Laras melihat kemeja lengan panjang warna biru muda milik Glen tergeletak di lantai. Ia pun menyambar kemeja tersebut dan mengenakannya. Sambil berjalan, Laras hanya mengancingkan dua kancing terbawah dan membiarkan kancing-kancing di atasnya tetap terbuka. Hal ini jelas membuat belahan payudara indah miliknya tetap terekspos. Tujuan awal gadis manis itu mengenakan kemeja memang hanya untuk mengusir rasa dingin, bukan menutupi tubuhnya. Toh, di dalam kamar itu hanya ada dirinya dan Glen saja, sehingga Laras pun merasa sama sekali tidak perlu untuk menutupi ketelanjangannya.
“Pagi banget, Jeng?”, suara Laras terdengar serak khas orang yang baru bangun tidur.
“Sorry Ras, gue ganggu lu pagi-pagi gini”.
“Nggak apa-apa Del, emang ada apa?”.
Penelpon tersebut ternyata adalah Adelia.
“Hari ini gue nggak masuk kerja, gue sakit, lu gantiin gue sementara di kantor ya”.
“Lu sakit apa? Perasaan kemarin lu baik-baik aja?”.
“Nggak tau nih, tiba-tiba aja gue nggak enak badan”.
Bagi yang mengetahui apa yang menimpa Adel kemarin, tentu akan mengetahui kalau saat ini Adel jelas sedang berbohong. Laras sama sekali tidak menyadari kalau nada suara sahabatnya ini terdengar seperti suara tangis yang tertahan.
“Ya udah, kalau gitu lu istirahat aja”.
“Makasi ya Ras, tolong bilangin sama temen-temen lain”.
“OK! Cepet sembuh ya Jeng”.
Laras mematikan ponselnya. Adel hari ini tidak masuk, berarti ia harus meng-handle semua tugas-tugas Humas dan Marketing seorang diri. Apalagi pergelaran fashion show akan segera memasuki hari-H dan masih banyak hal yang harus dipersiapkan. Laras pun tahu kalau hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan.
“Siapa yang nelpon pagi-pagi gini honey?”.
Laras membalikkan tubuhnya. Ia melihat Glen sudah terbangun dan kini nampak duduk di pinggir ranjang sambil mengusap-usap kepalanya. Bagian tubuh atas laki-laki itu kini terlihat dalam keadaan telanjang, sementara bagian bawahnya tertutupi oleh selimut.
“Aduh… Sorry say jadi bikin kamu kebangun, tadi itu Adel, dia bilang nggak bisa kerja hari ini soalnya lagi nggak enak badan”.
“Oh gitu”.
Laras tersenyum simpul ke arah Glen yang masih terlihat belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Laki-laki itu kini nampak mengucek-ucek kedua matanya yang masih terlihat mengantuk. Gadis manis itu lalu berjalan mendekati kekasihnya tersebut. Sambil berjalan ia sempat mengambil gaun model terusan warna merah yang terlihat tergeletak di lantai, berikut dengan celana dalam sexy dan bra renda tanpa tali pundak berwarna senada dengan gaun tersebut. Gaun terusan itulah yang kemarin ia kenakan sewaktu acara ulang tahun Glen. Gadis itu kemudian menaruh pakaian tersebut di atas meja di dekat tas besar yang dibawanya kemarin. Begitu sampai di depan kekasihnya, sebuah ciuman pun mendarat lembut di bibir lelaki itu.
“Hhhmm… bau iih!”.
“Bau tapi kamu suka kan? Hehe…”, tiba-tiba Glen langsung menarik tubuh Laras sehingga gadis manis itu jatuh terduduk dipangkuannya.
“Aaoow…!”, Laras berteriak lirih. “Ini perlu ditertibkan dulu hehe…”, Gadis manis itu lalu menggenggam sesuatu yang keras yang terasa mengganjal pantatnya. Benda keras itu adalah batang penis Glen yang mengacung tegak. Ia lalu mengatur posisi penis Glen agar tidak mengganggu posisi duduknya. Setelah itu Laras menggelayut manja di pundak Glen. Keduanya pun kembali berciuman, dan kali ini berlangsung cukup lama.
“Kamu nggak usah ke kantor juga hari ini ya”.
“Kok gitu?”.
“Masih pengen nih hehehe…”.
“Ya ampun, kemarin kan udah sampai pagi”, Laras langsung memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. “Untung ortu kamu milih nginep di hotel, kalau nggak bisa-bisa mereka bakalan nggak bisa tidur denger kamu teriak-teriak semaleman hehehe…”.
“Hehehe… Habis hadiah ulang tahunnya OK banget sih”.
“Suka ya? Hehehe…”.
“Suka banget!”, tangan Glen kemudian dengan nakal masuk ke dalam kemeja yang dikenakan Laras. Dalam sekejap payudara kanan gadis itu pun langsung berada dalam remasan tangannya.
“Udah dong Say, mau mandi nih”, Laras berusaha menghentikan aksi nakal Glen pada payudaranya, namun sia-sia karena Glen tetap saja meremas-remas bongkahan daging kenyal tersebut sambil sesekali memainkan puting kecilnya.
“Satu kali lagi ya? Please…”.
“Tapi aku udah capek banget nih”, suara gadis manis itu terdengar memelas.
Bagaimana pun kemarin Laras telah benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya melayani hasrat kekasihnya yang begitu kesetanan mengeksploitasi tubuhnya. Maka dari itu sangatlah wajar kalau pagi ini Laras ingin bersantai dan memulihkan kondisi tubuhnya kembali. Walaupun kemarin bukanlah percintaan mereka yang pertama, namun mungkin karena momen yang memang terasa spesial membuat gairah Glen begitu membara.
“Please…”, Glen memasang ekspresi wajah yang tak kalah memelas.
Laras hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sementara tangan Glen yang sejak tadi meremasi payudara, kini berpindah memasuki sela-sela paha mulus Laras mengincar selangkangan Laras yang tertutupi bulu-bulu pendek halus.
“Glen… ooh…”, Laras pun menggeliat dibuatnya. “Aduh…”, gadis manis itu kembali harus berusaha menghentikan aksi tangan kekasihnya yang kini telah berhasil menyentuh permukaan vaginanya.
“Please honey…”.
Laras kembali menggeleng.
“Sekali… aja”.
Laras tahu penolakannya sama sekali tidak akan mampu menghentikan rengekan kekasihnya ini. Bahkan kini untuk sekedar menghentikan tangan Glen yang tengah bermain-main di daerah kewanitaannya pun ia sama sekali tak mampu. Laras kemudian melirik ke arah ponselnya. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul setengah tujuh kurang beberapa menit, berarti masih ada waktu sekitar sejaman untuk bersiap-siap sebelum berangkat ke kantor.
“OK deh, tapi sambil mandi ya?”, ucap Laras pasrah.
Senyum sumringah langsung terpancar di wajah Glen. “Thanks ya honey!”.
********
Adel
Adel terlihat berbaring di atas ranjangnya. Gadis cantik itu terbaring dengan posisi tertelungkup. Ia terlihat mengenakan gaun tidurnya yang berbahan dasar sutera berwarna putih. Suara isak tangis pelan terdengar memenuhi ruangan kamar tersebut. Kedua mata Adel terlihat lebam dan bantal yang menjadi sandaran kepalanya terlihat basah oleh air mata. Nampak sekali kalau Adel sudah menangis cukup lama, bahkan mungkin sejak ia tiba di apartemennya kemarin. Gadis cantik itu benar-benar menyesali nasib buruk yang menimpa dirinya. Rasa sakit masih terasa hampir di sekujur tubuhnya, terutama di daerah selangkangannya. Pipi Adel masih terlihat memerah akibat tamparan demi tamparan yang ia terima kemarin. Begitu juga dengan tulang-tulang di tubuhnya yang masih terasa nyeri. Namun semua sakit yang mendera tubuhnya saat ini, jauh tidak sebanding dengan rasa sakit di dalam hatinya. Saat ini Adel benar-benar merasa sudah tidak memiliki harga diri sama sekali. Mengingat perkosaan yang dialaminya kemarin, Adel benar-benar merasa tubuhnya begitu kotor. Kotoran itu seakan-akan tidak bisa menghilang walaupun ia telah menggosok tubuhnya dengan sabun berkali-kali. Tak hanya itu, Adel juga kini semakin merasa telah semakin mengkhiati cinta Abi. Adel tahu kalau Abi dari kemarin telah beberapa kali menelpon dirinya. Namun dalam kondisi seperti ini jelas ia sama sekali tidak mampu untuk berbicara dengan kekasihnya tersebut. Adel tidak ingin membuat Abi khawatir karena pastilah ia tidak akan mampu menahan tangisnya ditengah-tengah pembicaraan mereka nanti. Adel benar-benar mengutuk Prasetyo yang telah menghancurkan hidup sekaligus cintanya. Cinta yang seharusnya bisa ia jaga hanya untuk kekasihnya, sampai akhirnya cinta mereka berlabuh di pelaminan. Entah sampai kapan Adel harus terus menangis seperti ini. Mungkin sampai seluruh air matanya mengering atau mungkin sampai tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk menangis? Atau mungkin sampai semua mimpi buruknya ini berakhir? Namun itu pun kalau semua ini memiliki akhir, karena yang Adel rasakan kini justru semua mimpi buruk ini terasa menjadi semakin buruk dan menakutkan. Yang jelas sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan Adel untuk mengurangi rasa gundah dan sesal di dalam hatinya. Di tengah isak tangisnya, ponsel yang tergeletak di samping tubuhnya tiba-tiba berbunyi. Kini tidak ada lagi perasaan was-was di hati Adel ketika mendengar suara ponselnya sendiri. Gadis cantik ini kini telah benar-benar tidak tahu lagi harus merasa takut, gundah atau khawatir. Semuanya sudah terasa begitu hampa. Adel melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia lalu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Ia pun berusaha untuk tidak terisak lagi.
“Hai…”.
“Hi honey, yesterday night I call you so many time, but you didn’t peak up”.
“Sorry honey, yesterday I’m so tired so I slept early”.
“Are you sick? Your voice sound not so good”.
“I’m OK, cuma lagi nggak enak badan aja”, entah ini kebohongan yang keberapa kali yang terucap dari mulut Adel kepada kekasihnya.
“Kalau gitu hari ini kamu nggak usah ke kantor aja”.
“Iya udah minta ijin kok, ini lagi tiduran”.
“If it necessary, go to the doctor”.
“No, I’ll be fine”.
“Oh honey, you make me worried”.
“I’m fine honey, really! Ntar juga baikan kok”, Adel sengaja menekankan nada bicaranya agar Abi mempercayai kata-katanya.
“Bener nggak ada apa-apa kan?”.
“Iya bener, cuma agak capek aja nih”.
“I’ll go home as soon as possible, OK?”.
“OK, kamu nggak ada kelas hari ini?”
“Ada, ini lagi di depan kelas, maybe my class will be start in a few minutes, I’ll have an economic exam today”.
“If that so, I think you must prepare yourself now”, Adel berusaha memutuskan percakapan ini secepatnya, karena ia merasa sudah tidak tahan lagi menahan isak tangisnya mendengar suara kekasihnya.
“Yeah that right,OK just take a rest now, I’ll call you again tonight”.
“OK, have a nice exam, make me proud ”.
“Love you… muaach…”.
“Love you too…”.
Adel mematikan ponselnya dan kembali membenamkan wajah cantiknya ke bantal. Suara isak tangis pun kembali terdengar lirih. Hatinya benar-benar teriris-iris karena kerap harus terus menerus berbohong kepada kekasihnya kalau semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi Adel tahu ia harus terus melakukannya karena ia tidak ingin konsentrasi Abi terganggu ketika menjalani studi, walaupun ia sendiri harus mengorbankan perasaannya untuk itu. Pengorbanan untuk cintanya kepada sang kekasih. Sebuah cinta murni yang kini telah terkoyak.
********
“Ooh…!”.
Laras mendesah tertahan ketika Glen mulai menggosok-gosok vaginanya dengan sabun. Tangan Glen yang lain nampak meremasi payudara Laras yang telah terlebih dahulu tertutupi busa sabun. Sementara di saat yang sama tangan Laras sibuk mengocoki batang penis kekasihnya yang sudah nampak mengacung tegang. Mereka berdua masing-masing melakukan aktifitas tersebut sambil berpagutan di bawah guyuran air pancuran. Sesekali ditengah pagutan tersebut, lidah mereka beradu satu sama lain sehingga menimbulkan sensasi yang begitu menggairahkan. Seandainya saja mereka memiliki lebih banyak waktu, tentunya kedua insan ini akan memilih bercumbu sambil berendam di dalam bath tub untuk mendapatkan sensasi romatisme yang lebih kuat. Kini kedua tubuh bugil tersebut sudah penuh dengan busa sabun, namun keduanya masih saja terlihat saling berpagutan panas sambil saling merabai tubuh pasangannya. Tak lama Laras melepaskan pagutan bibirnya kemudian mendorong pelan kekasihnya mendekati shower. Ia lalu mengambil gagang shower yang tergantung, lalu mulai membilas busa-busa sabun yang menempel di sekujur tubuh kekasihnya tersebut. Glen bisa merasakan sentuhan jari-jari lentik Laras terasa begitu lembut di seluruh permukaan kulitnya. Merasa tubuhnya sudah bersih, Glen mengambil gagang shower yang dipegang Laras dan giliran laki-laki itu yang membilas tubuh gadis manis tersebut. Berbeda dengan yang dilakukan Laras tadi, usapan tangan Glen lebih menyerupai bentuk eksplorasi ketimbang bilasan. Sambil membilas tubuh kekasihnya, Glen sempat cukup lama meremas-remas payudara montok Laras. Glen merundukkan tubuhnya guna mengulum puting payudara kanan kekasihnya. Cukup lama gundukan daging padat itu amblas ke dalam kuluman dan sedotan mulut Glen sebelum bagian kiri mendapatkan jatah perlakuan yang sama. Laras hanya bisa mengelus-elus rambut Glen sambil merasakan sensasi geli yang menyerang sekujur tubuhnya. Sambil mengulum, tangan Glen terus menjelajah menuruni tubuh mulus tersebut sampai akhirnya mencapai daerah kewanitaan kekasihnya. Bulu-bulu halus di daerah selangkangan Laras terasa begitu lembut di permukaan jari-jari Glen. Bagian tersebut rupanya memang menjadi prioritas, karena tangan Glen terlihat begitu lama berada disana.
“Aaah…!”, Laras mendesah pelan ketika sentuhan tangan Glen mengenai klitorisnya.
Glen melepaskan kulumannya kemudian tersenyum kecil ke arah Laras. Rupanya ia sengaja melakukan hal tersebut untuk menggoda kekasihnya.
“Udah dong say, jangan kelamaan, yang lain belum dibilas nih”, walau dengan tersenyum, namun terdengar nada protes dari kata-kata gadis manis tersebut karena bilasan Glen terlalu berkonsentrasi di daerah selangkangannya, sedangkan bagian-bagian tubuhnya yang lain masih terbalur busa-busa sabun.
“Hehe… sorry, abis enak sih”.
“Kebiasaan deh!”.
“Hehe…”, laki-laki itu hanya kembali tertawa ketika mendengar protes kekasihnya lagi.
Glen pun kemudian melanjutkan bilasannya ke bagian lain dari tubuh kekasihnya. Laki-laki itu begitu mengagumi keindahan tubuh kekasihnya ini. Hampir setiap lekuk tubuh Laras begitu terlihat sempurna di matanya. Apalagi dalam keadaan telanjang dan basah seperti saat ini, tubuh molek ini seakan-akan kian memancarkan pesona daya tarik sensual yang luar biasa. Sebagai laki-laki, Glen merasa benar-benar beruntung karena bisa terpilih untuk menikmati keindahan ciptaan yang Maha Kuasa di hadapannya ini. Birahi kelaki-lakian Glen pun mulai terpancing karenanya. Glen lalu mengangkat satu kaki Laras ke atas bath tub, sehingga gadis manis itu menjadi mengangkang. Laras yang sudah hapal betul kebiasaan kekasihnya ini, ia tahu benar kalau saat ini Glen ingin melakukan penetrasi. Ia pun menopangkan kedua tangannya ke dinding di belakangnya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Glen mematikan shower dan menggantungkan kembali gagangnya kembali ke posisi semula. Kemudian ia memegang batang penisnya yang sudah mengacung dan mengarahkannya ke selangkangan Laras yang telah terbuka lebar. Laras terlihat sedikit memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Gadis manis itu seakan-akan mempersiapkan dirinya untuk menerima penetrasi batang penis tersebut ke dalam vaginanya.
“Ooohh…!”, keduanya mendesah hampir bersamaan ketika batang penis Glen perlahan menerobos masuk ke dalam lubang vagina Laras.
Laras merasakan rasa sakit yang teramat sangat ketika berlahan dinding vaginanya membuka akibat batang penis Glen yang menyeruak masuk. Sebenarnya vagina Laras sama sekali belum siap menerima penetrasi penis Glen. Cairan kewanitaan gadis manis itu memang sudah keluar, namun jumlahnya belum cukup untuk melumasi lubang kenikmatan tersebut. Hal ini karena mereka sebelumnya memang tidak sempat melakukan foreplaymengingat waktu yang mereka miliki tidaklah banyak. Gadis manis itu mencoba untuk tidak memperdulikan rasa sakit tersebut dan mencoba menahannya. Berdasarkan pengalamannya, Laras tahu benar kalau semua ini hanya akan ia rasakan di awal permainan saja. Seiring permainan mereka nanti maka berlahan lubang vaginanya akan terus menerus terlumasi cairan cinta dan semua rasa sakit tersebut akan berangsur-angsur menghilang.
“Aaakhh… aakhh…”, Laras berteriak-teriak lirih seiring lesakan demi lesakan penis Glen ke dalam vaginanya. Gadis manis itu kini memeluk tubuh Glen dan mencengkramkan kuat tangannya kuat-kuat pada punggung kekasihnya itu. Sedangkan satu kakinya masih nampak berada di atas bath tub. “Aaakhh…!”, Laras semakin melenguh kencang ketika Glen semakin mempercepat hujaman penisnya.
“Pelan-pelan dikit say, sakit…”.
“Tahan bentar honey, ntar juga enak aahh…”.
“Iya, tapi jangan kenceng-kenceng dulu”.
Glen pun berlahan mengurangi kecepatan hujaman penisnya, walaupun sebenarnya birahinya sudah begitu menggelora. Jika dihitung dari malam setelah acara ulang tahunnya berakhir, ini adalah kali kelima ia menghujamkan batang penisnya ke dalam vagina Laras secara beruntun. Namun tetap saja setiap kali ia menikmati lubang kenikmatan kekasihnya ini, selalu saja ada sensasi baru yang membangkitkan gelora nafsunya. Hal inilah yang membuat Glen seakan-akan tidak pernah bosan menikmati kehangatan tubuh molek kekasihnya ini. Laras memejamkan matanya dan merebahkan kepalanya di pundak Glen. Rasa sakit masih terasa, walaupun tidak separah di awal tadi. Kedua tangan Laras menyilang di belakang leher Glen. Sementara tubuhnya nampak bergoyang-goyang seiring genjotan penis Glen di dalam vaginanya. Rasa sakit di selangkangannya berlahan mulai berkurang karena berlahan Laras bisa cairan kewanitaannya mulai semakin banyak merembes keluar. Gadis manis itu pun akhirnya mulai bisa menikmati persetubuhannya ini, bahkan gairahnya sendiri mulai ikut berlahan bangkit.
“Udah enakan?”.
“Aah… udah…”, sahut Laras pelan.
Mendengar jawaban kekasihnya, Glen mulai kembali mempercepat genjotan penisnya. Laras sendiri masih terlihat memeluk tubuh Glen sambil memejamkan matanya. Tubuhnya berguncang-guncang pelan seirama dengan genjotan penis yang kini mengaduk-aduk lubang vaginanya.
“Aaahh… oooh… aahh…!”, desahan demi desahan terdengar keluar dari kedua mulut insan tersebut.
“Ganti posisi yuk”, ucap Glen.
“Terserah kamu saja aah…”.
Glen lalu mencabut batang penisnya dan mengatur posisi tubuh Laras menjadi menunduk sambil kedua tangannya bertumpu pada pinggiran bath tub. Glen kemudian meremas-remas bongkahan pantat padat Laras, lalu berlahan memasukkan kembali batang penisnya ke dalam vagina Laras dari belakang. Laki-laki itu kemudian menggenjot vagina kekasihnya dengan kecepatan sedang. Sedangkan Laras sendiri merasakan posisi ini jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan posisi awal persetubuhan mereka yang terasa agak kaku.
“Ooh… honey it feels good, enak banget…”.
“Iya say… aah...”.
“Kamu suka?”, tanya Glen.
“Aahh… iya, su.. suka.. terus say…”.
Glen mempercepat genjotannya. Laras sendiri terlihat memperlebar kedua kakinya sehingga penis Glen dapat semakin mudah melakukan penetrasi ke dalam vaginanya.
“Aaakkh… aaakh… aakkh…!”, desahan dan teriakan terus secara bergiliran keluar dari mulut Glen dan Laras. Keduanya terlihat begitu menikmati persetubuhan yang mereka sedang lakukan. Baik Glen maupun Laras seolah-olah sama-sama ingin memberikan pelayanan terbaik untuk pasangannya. Laras berusaha menekan otot-otot vaginanya sehingga bisa menjepit dengan kencang, sedangkan Glen berusaha menghujamkan batang penisnya sedalam mungkin ke dalam lubang kenikmatan Laras.
Setelah hampir puluhan menit persetubuhan ini berlangsung, tubuh keduanya mulai nampak menegang. Kedua insan itu seakan-akan merasakan ada sesuatu yang dasyat ingin meledak dari dalam tubuh mereka masing-masing.
“Say, aku mau keluar nih!”.
“Aku juga honey, tahan sedikit lagi biar kita keluar bareng”.
Glen lalu semakin mempercepat genjotannya. Tubuh keduanya pun berguncang-guncang hebat. Glen dan Laras terlihat begitu ingin mencapai puncak permainan secara bersama.
“Aaakhh… aakhh… aakkh…”, nafas keduanya terdengar menderu kencang.
“Dikit lagi honey!”.
“Terus say… terus…”.
“Aaakhh… aakhh… aakkh…”, Laras merancau di ujung klimaksnya, begitu juga dengan Glen yang terus semakin mempercepat genjotannya.
“Say, aku keluar!”, Laras berteriak. “Aaaakkhhh….!”.
“Aku juga…”, Glen rupanya tidak sempat mencabut batang penisnya sebelum mencapai klimaksnya. “Oooh…!”, cairan putih kental pun tanpa terhalangi menyembur deras memasuki liang vagina Laras. Cairan itu nampak muncrat beberapa kali sebelum akhirnya batang penis Glen berlahan menyusut dan mengecil.
Laras yang semula sempat terlena dengan perasaan nikmat akibat klimaks yang diperolehnya, tiba-tiba tersentak dan tersadar kalau barusan Glen mengeluarkan spermanya di dalam vaginanya. Dengan cepat ia melepaskan pegangannya pada pinggiran bath tub dan segera berdiri. Beruntung beberapa saat tadi Glen sempat melepaskan batang penisnya, jika tidak mungkin penisnya akan tercabut dengan paksa dan pastinya akan terasa menyakitkan.
“Kok ngeluarinnya di dalem sih?”, ucap Laras kesal.
Glen sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa selain mematung melihat Laras menyambar shower kemudian berjongkok dan membasuh vaginanya dengan air. Gadis manis itu berusaha membersihkan lubang kewanitaannya dari sisa-sisa sperma Glen. Ia berharap dapat mencegah sperma Glen agar tidak cukup cepat mencapai rahimnya. Raut wajah Laras sendiri masih menampakkan kekesalan. Setelah beberapa menit dan merasa vaginanya sudah cukup bersih, Laras pun kembali berdiri. Sebuah pelukan mesra langsung menyambutnya dari belakang.
“Maaf ya…”, suara Glen terdengar mesra.
“Kan kemarin aku udah bilang hati-hati, soalnya minggu ini aku lagi subur”.
“Iya, tapi tadi tuh bener-bener nggak sengaja keceplosan”.
Laras hanya diam, dengan dahi yang masih berkerut. Ia meletakkan kembalishower yang dipegangnya kembali ke tempat semula dengan tetap dalam keadaan membisu.
“Jangan cemberut gitu dong pagi-pagi”.
“Habis kamu juga sih!”.
Ciuman mesra pun mendarat di pipi, leher dan bibir Laras. Glen memagut bibir ranum itu cukup lama dengan penuh perasaan, berharap mampu mengurangi rasa kesal kekasihnya.
“Masih kesel?”, ucap Glen setelah melepas pagutan bibirnya.
Laras masih tetap terdiam untuk beberapa saat. Kemudian gadis itu pun menggelengkan kepalanya pelan.
“Makasi ya honey atas pagi yang indah ini”.
Gadis manis itu mengangguk pelan.
“Senyum dong”, goda Glen kepada kekasihnya.
Bukannya tersenyum, malahan Laras kembali mengerutkan dahi dan bibirnya.
“Ye kok malah cemberut lagi? Ayo dong senyum hehe…”, kini Glen menggelitik pinggang Laras yang mau tidak mau membuat tawa gadis manis itu pun pecah.
“Udah dong, geli tau!”, Laras menepis tangan Glen dari pinggangnya.
Keduanya pun kembali berciuman untuk beberapa saat. Bibir kedua insan tersebut berpagutan mesra. Laras rupanya sudah melupakan rasa kesalnya tadi. Setelah cukup lama berpagutan keduanya kembali membersihkan diri dari bekas-bekas percintaan mereka tadi.
“Ayo, kita keluar”, Glen menggandeng tangan Laras.
“Kamu duluan saja, aku masih mau keramas dulu nih”.
“OK deh, aku tunggu di luar ya”, Glen pun menghilang dari balik pintu kamar mandi, sedangkan Laras nampak mulai membasahi rambut panjangnya.
Tak lama setelah Glen mengenakan pakaian kerjanya, Laras nampak keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut handuk berwarna kuning dengan corak garis-garis. Ia berjalan sambil mengelap rambut panjangnya yang basah dengan sebuah handuk yang berukuran lebih kecil. Glen yang berdiri di depan kaca sambil mengenakan dasinya, tersenyum ke arah kekasihnya. Laras pun membalas senyuman tersebut dengan senyuman pula.
“Honey, nanti malam aku musti ke luar kota lagi nih”.
“Oh, ada proyek lagi?”, tanya Laras sambil mulai mengelap tubuh sintalnya dengan handuk.
“Iya, ada kerusakan di tower pemancar disana, jadi kita di minta mengecek kerusakannya”.
“Berapa lama?”.
“Mungkin seminggu paling lama”, Glen masih nampak merapikan dasinya. Mereka berbicara tanpa saling memandang satu dengan yang lain. Dengan perantara bayangan kaca di depannya, Glen bisa melihat kekasihnya telah selesai mengeringkan tubuhnya. Kini laki-laki itu bisa melihat Laras berjalan menuju meja kecil tempat ia meletakkan tas yang berisi seluruh pakaiannya dalam keadaan berbalut handuk sebatas dada sampai paha. Walau tertutupi handuk, namun Glen bisa melihat pantat montok kekasihnya bergoyang menggoda ketika berjalan. Ia pun hanya tersenyum kecil melihat pemandangan indah tersebut.
“Sama siapa saja kesana?”, Laras mengeluarkan sebuah hair dyer dari dalam tasnya.
“Sama teknisi dan sopir saja, mungkin sekitar tiga atau empat orang”.
“Cowok semua?”.
Glen berjalan mendekati Laras yang kini telah terlihat duduk di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya yang basah dengan menggunakan hair dyer . “Ya iyalah, kenapa emangnya? Cemburu nih ceritanya kalau ada ceweknya? Hehe…”.
“Nggak kok!”, Laras langsung membantah.
“Hehe… Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal lama?”.
“Nggak apa-apa, asal inget bawa oleh-oleh saja hehe…”.
“Iya dong, apa sih yang nggak for my honey bunny sweety”.
Glen mencium pipi Laras dari belakang sambil meremas payudara kekasihnya yang memang belum tertutupi bra. Laras tetap menatap ke arah cermin dan hanya melempar tersenyum kecil atas perbuatan nakal kekasihnya.
“Ya sudah sekarang kamu siap-siap aja dulu, biar aku yang nyiapin sarapan”.
“OK…”, Laras menghentikan aktifitasnya, membalikkan kepalanya dan mengecup bibir kekasihnya.
Glen pun kemudian beranjak keluar dari kamar. Dalam keadaan duduk di depan meja rias dengan tubuh hanya berbalut handuk, Laras kembali melanjutkan aktifitasnya mengeringkan rambut. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar ringtone dari ponselnya menandakan adanya SMS (=short message service) yang masuk. Laras beranjak dari tempat duduknya dan mengambil ponselnya di atas meja yang lain. Rupanya sejak tadi ia tidak menyadari inbox-nya telah dipenuhi oleh beberapa SMS dari nomor yang sama. Laras lalu membuka beberapa SMS tersebut.
“Kok ga prnh d bles c? smbong amat!”.
“Ktemuan lg yuk”.
“Bles dnk!”
“Klo ga bles lg aq dtng k kntormu lo”.
Laras menghela nafas setelah membaca SMS-SMS tersebut. Si pengirim adalah Aldo, salah satu dari mantan kekasihnya. Aldo atau Laras biasa memanggilnya Dodo, adalah mantan pacarnya ketika masih duduk di bangku kuliah. Sudah lama kisah cinta mereka berakhir dan itu pun harus berakhir melalui sebuah pertengkaran yang hebat. Semula Laras menyukai laki-laki itu karena perawakannya yang keren dan perlente. Namun berlahan Laras mulai tidak menyukai sifat Aldo yang cenderung egois dan keras kepala. Selain itu mantan kekasihnya ini kerap bolos kuliah akibat kebiasaannya dugem. Kisah cinta mereka pun berakhir hanya dalam hitungan bulan.
Kenangan kisah cinta mereka itu sudah lama terhapus dari ingatan Laras, sampai suatu saat mereka bertemu kembali di dalam sebuah acara seminar. Laras sendiri sudah tidak merasakan apa-apa lagi ketika bertemu dengan mantan kekasihnya ini, selain layaknya bertemu teman lama. Hal ini jelas berbeda dengan yang dirasakan oleh Aldo, karena sejak pertemuan itu Aldo hampir setiap hari selalu mengganggu Laras dengan telepon-telepon iseng ataupun SMS-SMS yang tidak jelas tujuannya. Pada dasarnya Aldo mencoba untuk menjalin kembali kisah cinta lama mereka kembali, walaupun Laras sudah dengan tegas mengatakan kalau dirinya kini sudah tidak sendiri lagi. Seperti biasa Laras tidak menggubris SMS tersebut. Gadis itu kemudian mengosongkan inbox ponselnya agar Glen tidak sampai membaca SMS-SMS tersebut dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Dengan tidak membalas SMS dan mengangkat telepon dari Aldo, Laras berharap mantan kekasihnya ini akan bosan dengan sendirinya dan tidak akan mengganggu kehidupannya lagi. Laras pun kembali melanjutkan aktifitasnya. Beberapa menit kemudian gadis manis itu telah terlihat mengenakan satu set pakaian kerjanya berupa blazerdan rok span berwarna hitam. Ia juga mengenakan syal sutra berwarna merah untuk mempermanis penampilannya. Setelah dirasa semuanya telah rapi, Laras memasukkan pakaian-pakaian lain ke dalam tas besarnya dan juga memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas jinjing yang akan dibawanya. Kemudian gadis manis itu pun keluar kamar.
“Sudah selesai masak Chef Glen? Hehe…”, Laras menghampiri kekasihnya yang sedang sibuk di dapur dengan membawa sebuah wajan yang nampak berisi telur oseng-oseng.
“Sudah dong! Miss Laras duduk saja di meja makan, sebentar lagi masakan akan siap untuk dihidangkan hehe…”.
Laras tersenyum melihat tingkah kekasihnya yang bertingkah seperti koki profesional. Ia merasa geli saja melihat Glen yang saat ini memakai celemek, namun juga memakai pakaian kerja rapi lengkap dengan dasinya. Laras pun kemudian berjalan menuju meja makan kecil dimana diatasnya telah terhidang dua buah piring berisi nasi goreng serta dua gelas orange juice. Tak lama setelah ia duduk, Glen keluar dari dapur membawa sepiring telur oseng-oseng dan meletakkannya di atas meja.
“Bon appetit, Mademoiselle…”, Glen bergaya ala chef dari negeri Perancis mempersilakan tamunya menikmati masakan hasil karyanya.
Laras tersenyum kecil, “Merci beaucoup, Monsieur”.
Kemudian Glen melepas celemek yang digunakannya lalu duduk di hadapan Laras. Keduanya kemudian menikmati sarapan mereka bersama. Keduanya saling menatap mesra sambil sesekali melemparkan senyum. Cinta terlihat begitu jelas terpancar dari wajah kedua insan tersebut. Sebuah cinta yang terasa begitu manis.
********
Tak terlihat namun bisa dirasakan seperti angin
Tenang namun mampu menghanyutkan seperti air
Hangat namun kadang menyengat seperti api
Damai namun kerap bergejolak seperti bumi
Begitulah Cinta
Sebuah misteri Yang Kuasa, untuk ciptaan-Nya.
********
Suasana di kantor.
“Mit, tolongin gue dong!”, Laras mendongakkan kepalanya dari pintu memanggil Mita yang duduk di meja kerjanya.
Mita pun beranjak dari mejanya dan masuk ke dalam ruangan.
“Ada apa Bu?”.
“Aduh! Udah berapa kali sih gue bilangin ke lu kalau jangan panggil gue ibu, kesannya tua banget tau nggak? Panggil gue Laras aja”, Laras yang berdiri di depan komputer langsung sewot. Agaknya beban pekerjaan yang sedemikian menumpuk sedari pagi dan itupun harus ia urus sendiri cukup memancing emosinya.
“Maaf Bu, eh maksud saya maaf mbak Laras”, Mita nampak masih segan memanggil Laras tanpa embel-embel Ibu atau mbak di depan namanya.
Mita masih berdiri di posisinya tadi. Gadis cantik ini adalah pegawai baru di bagian Humas dan Marketing. Umurnya masih 20 tahun dan masuk ke kantor ini dengan menggunakan ijasah D3-nya. Mita sendiri ditempatkan di bagian sekretaris merangkap administrasi atas permintaan Adel. Saat ini ia masih menjalani masa trainning selama 3 bulan dan telah berjalan selama 2 bulan. Adel sangat menyukai cara kerja Mita yang telaten, rapi dan cekatan sehingga mungkin tak perlu waktu lama bagi gadis tersebut untuk bisa diangkat sebagai pegawai tetap. Perawakan Mita sendiri cukup mungil namun proporsional. Rambutnya yang hitam dipotong pendek sebahu dan kadang-kadang ia ikat ekor kuda. Mita tergolong gadis yang cantik dan menarik, namun cenderung kalem dan pemalu.
“Ya udah, lu kesini deh gue bingung lihat hitung-hitungan yang satu ini”, Laras menunjuk ke layar komputer.
Mita kemudian berjalan mendekati tempat Laras di belakang meja.
“Ini hitungan laporan keuangan bagian Marketing yang dibuat Adel kan Mit?”.
“Iya Mbak, memang ini laporan yang terakhir dibuat sama Ibu Adel”.
“Terus sudah di print? Tadi soalnya Pak Gatot nanyain hard copy laporannya”.
“Kayaknya sih udah Mbak, saya dapet liat Ibu Adel ngeprint data ini begitu selesai disusun”.
“Terus lu tahu dimana biasanya ditaruh ama Adel?”.
“Biasanya sih di lemari berkas disana”, Mita menunjuk ke arah lemari berkas berbahan besi bertumpuk tiga di pojok ruangan.
Laras lalu beranjak menuju lemari besi tersebut dan mencoba membukanya.
“Dikunci Mit, lu ada kunci cadangannya nggak?”.
“Nggak ada mbak”.
“Coba lu cek dulu data yang ada di komputer ini sudah bener apa nggak, soalnya gue puyeng nih ngeliat angka sebanyak gini, ntar kalau sudah bener lu print ulang aja deh biar nanti gue yang bawa ke ruangan Pak Gatot”.
“Iya mbak”, Mita pun menggantikan posisi Laras duduk di depan komputer.
Entah untuk berapa lama Laras harus menggantikan posisi Adel. Yang jelas terasa sangat ruwet dan melelahkan menggantikan tugas seorang Manager Humas dan Marketing karena memang Laras bukanlah tipe pekerja gesit dan cekatan seperti Adel. Laras tahu benar kalau Adel bukanlah seorang wanita lemah yang gampang menyerah bila sakit menderanya. Jika memang Adel sampai harus meminta ijin karena sakit, maka sakit yang dialaminya jelaslah sungguh luar biasa. Hal ini pula yang mendasari mengapa sampai detik ini ia tidak menelpon Adel ketika masalah muncul di kantor, karena ia tidak ingin mengganggu sahabatnya tersebut. Walau penuh dengan keluh kesah, semua pekerjaan yang semestinya dikerjakan oleh Adel sudah cukup lumayan dapat Laras jalani dengan baik. Paling tidak, sampai saat ini belum tugas yang dikacaukan oleh tingkahnya yang urakan dan selengean. Juga belum ada data yang tidak sengaja terhapus ataupun file yang hilang oleh sifatnya yang teledor. Bersyukur di kantor ada Mita yang membantunya sehingga ia jadi tidak perlu repot lagi mempelajari semua masalah yang selama ini ditangani Adel. Jika tidak, mungkin Laras akan mengalami stroke ringan apabila harus meng-handle semua pekerjaan rumit seperti ini. Mita memang kerap diminta oleh Adel untuk ikut mempelajari tugas-tugas kantor guna berjaga-jaga seandainya Adel harus meninggalkan kantor untuk beberapa hari.
“Ini mbak”, Mita menyerahkan satu map berkas yang tadi diprintnya kepada Laras.
“Thanks ya Mit, sekarang gue ke ruangan Pak Gatot dulu, lu tunggu disini saja siapa tahu ada tamu yang datang”.
“Iya mbak”.
Laras pun beranjak menuju pintu dan berjalan keluar ruangan. Namun belum beberapa langkah berjalan keluar ruangan tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang. Tubrukan itu terjadi lumayan keras sehingga otomatis semua berkas yang dipegang Laras terjatuh dari genggamannya dan berserakan di lantai.
“Pak hati-hati dong, berantakan nih!”, Laras langsung mengomel-ngomel ketika tahu yang menabraknya tadi adalah Pak Darmin, pesuruh di kantor tersebut.
“Ma… maaf Non, bapak nggak sengaja”.
Laras melengos lalu berjongkok memunguti satu persatu kertas-kertas yang berserakan di lantai dan memasukkannya kembali ke dalam map.
“Bantuin dong… bengong aja!”, umpatan kembali keluar dari mulut gadis manis tersebut ketika melihat Pak Darmin hanya berdiri mematung memandanginya.
“Eh, i… iya… Non”, Pak Darmin ikut berjongkok kemudian meletakkan baki kosong yang dipegangnya dilantai. Laki-laki tua berwajah buruk rupa itu lalu ikut membantu Laras mengumpulkan satu persatu kertas yang masih terlihat cukup banyak berserakan di lantai.
“Tuh ambil yang disana sekalian!”.
“I… iya… Non”.
Memang pada dasarnya otak Pak Darmin sudah ter-setting untuk berpikir mesum terhadap Laras, sehingga walau hari masih tergolong pagi namun tetap saja otak mesum laki-laki tua itu tetap mampu berkontraksi dengan otot-otot selangkangan melihat sosok bidadari di hadapannya. Sambil memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai laki-laki tua itu sempat-sempatnya sesekali melirik ke arah kedua paha dan betis Laras. Dalam keadaan berjongkok seperti ini, kedua paha dan betis Laras memang menjadi cukup terekspos. Kedua paha dan betis yang terlihat begitu mulus dan padat karena perawatan khusus yang selalu dilakukan oleh sang pemilik. Pemandangan yang jelas begitu menggoda birahi apalagi saat itu Laras mengenakan rok span pendek berukuran 10 cm diatas lutut. Sayang celah yang terbuka diantara kedua paha tersebut tidak begitu lebar sehingga Pak Darmin tidak begitu jelas melihat apa yang ada di balik rok pendek tersebut. Tapi walau begitu pemandangan itu sudah sangat cukup untuk membangkitkan gairah laki-laki tua itu.
“Apa liat-liat?”.
“Eh, nggak Non”.
“Bawa sini dong!”, kembali Laras berteriak cetus sambil berdiri.
“Eh… I… iya Non”, pikiran kotor Pak Darmin pun langsung lenyap akibat teriakan tersebut. Ia pun lalu berbegas berdiri dan menyerahkan beberapa lembar kertas yang dipegangnya kepada Laras.
“Dasar… bikin repot aja nih!”.
“Ma… maaf Non”, Pak Darmin menjawab singkat.
“Lain kali kalau jalan itu pake mata dong pak!”.
“I… iya Non, maaf”.
Setelah itu Laras langsung beranjak pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata apapun lagi kepada Pak Darmin. Pak Darmin sendiri hanya bisa berdiri terpaku sambil memandang kepergian Laras. Gerakan tubuh Laras ketika berjalan sungguh begitu terlihat indah di mata laki-laki tua itu. Di matanya hampir tidak ada cacat yang terlihat dari tubuh proporsional tersebut. Penilaian ini tentunya hanya sebatas untuk bagian-bagian tubuh yang bisa ditatap langsung oleh mata nakalnya. Sedangkan untuk apa yang tertutupi oleh pakaian, laki-laki tua itu tentu sampai saat ini hanya bisa sebatas membayangkan keindahannya. Semakin lama Pak Darmin semakin terobsesi oleh sosok gadis manis bernama lengkap Larasati Savitri tersebut. Obsesi liar yang ingin sekali ia wujudkan menjadi kenyataan suatu saat nanti.
********
“Hei… belum makan siang nih?”, Heri mendongakkan kepalanya ke dalam ruangan setelah ia mengetuk pintu beberapa kali.
Tak ada jawaban dari yang ditanya. Akhirnya Heri pun masuk ke dalam ruangan tanpa menunggu jawaban.
“Masih sibuk ya Ras?”.
“Iya nih Her, hari ini kerjaan gue numpuknya segudang nih!”, Laras menjawab tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer”.
“Ah? Sejak kapan cewek kayak lu dipindahin ke bagian gudang? Tega amat! Haha…”.
“Gudang lu dari Hongkong?! Maksud gue ini nih!”, Laras langsung mengomel dan menunjuk ke arah tumpukan berkas dan map di atas mejanya di samping komputer.
“Iya, iya gue tahu jangan ngambek gitu dong hehe…”, Heri lalu berjalan mendekat. “Ada yang bisa gue bantu nggak?”.
Heri adalah seorang pegawai yang bertugas di bagian tata usaha, namun kadang diperbantukan pula di bagian perlengkapan. Laki-laki bertubuh kurus dengan potongan rambut pendek belah dua tengah tersebut, berusia setahun lebih tua dari Laras. Sudah sejak lama sebenarnya Heri menaruh hati pada Laras, namun karena mendengar gadis manis itu telah memiliki kekasih ia pun memilih untuk memendam perasaannya. Memandang dan bercengkrama dengan gadis pujaan hatinya ini setiap hari sudah menjadi hal yang sangat membahagiakan bagi dirinya, termasuk melihat senyum Laras yang begitu terlihat indah di matanya. Laki-laki muda itu tahu benar kalau Laras saat ini hanya menganggapnya teman biasa, tapi paling tidak dengan begini ia bisa terus berada dekat dengan gadis pujaan hatinya itu setiap hari. Ia tahu ia harus tetap memendam cintanya, sampai mungkin suatu saat nanti ia bisa menemukan momen yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung. Cinta terpendam memang kadang terasa menyesakkan di dada, namun tidak ada lagi yang bisa Heri lakukan saat ini selain menahan rasa sesak tersebut dan menjalani kesemuanya dengan “normal”.
“Hari ini lu ada keluar nggak?”, Laras pun akhirnya melepaskan pandangannya dari layar komputer.
“Ada sih, ntar gue disuruh nganterin pakaian-pakaian untuk pemotretan besok ke studio”.
“Kalau gitu tolong sekalian beliin gue makanan dong, kayaknya gue nggak bakal bisa keluar kantor nih seharian”.
“OK deh nona manis, Heri siap membantu hehe… memang mau makan apa?”.
“Hhhmmm… apa ya?”, Laras nampak mengerutkan dahinya sejenak. “Nasi campur di jalan *** aja deh, lu lewat sana nggak ntar?”.
“Ah itu sih bisa diatur, gampang deh ntar gue beliin”.
“Thanks ya Her, sorry nih ngerepotin hehe…”, Senyuman manis pun tersungging di bibir gadis tersebut. Senyuman yang memang selalu dinanti Heri setiap harinya, jauh melebihi penantiannya terhadap apapun di dunia ini.
“Nggak apa-apa kok, nyante aja”.
Heri pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Eh Her! Satu lagi…”, Laras berteriak ketika Heri sampai di depan pintu.
“Apa lagi nona manis?”.
“Jangan lupa sambelnya dibanyakin, tambah krupuk and nggak pake lama ya, cacing-cacing di perut gue udah pada demo nih minta di subsidi hehehe…”.
“Ih dasar, cantik-cantik kok cacingan! Hahaha…”.
Laras hanya menjulurkan lidahnya menanggapi kata-kata Heri tadi. “Tolong ya…”, ucap Laras lagi dengan nada manja.
“Beres bos, hitung aja dari satu ampe satu milyar, sebelum hitungannya selesai gue pasti udah balik kok hahaha…”.
Heri pun menghilang dari balik pintu setelah sukses membuat manyun gadis manis tersebut.
********
Sementara itu di tempat lain, masih di hari yang sama.
Desi
Telepon berbunyi di atas meja. Seorang wanita berparas cantik ber-make upnaturalis yang nampak sibuk memperhatikan beberapa berkas di atas meja kerjanya kemudian nampak mengangkat gagang telepon tersebut.
“Halo selamat siang, Bank *** dengan Ecy disini, ada yang bisa dibantu?”.
“Ibu Desi, bisa tolong ke ruangan saya sebentar”.
“Baik Pak, saya segera kesana”.
Wanita cantik itu pun berdiri dari tempat duduknya. Setelah merapikan beberapa lembar kertas dan map di atas meja kerjanya, wanita itu pun berjalan menuju sebuah ruangan tak jauh dari tempatnya tadi. Dari gerak tubuhnya terlihat sekali sisi feminisme dan keeleganan yang terpancar pada sosok wanita dewasa tersebut. Apalagi dibalut dengan pakaian kerja yang dikenakannya saat ini kian menambah pesona keelokan tubuh wanita tersebut. Wanita cantik itu adalah Desiany Lestari, biasa dipanggil Ecy atau Desi. Sosok wanita dewasa ini adalah kakak kandung kedua dari Adelia. Sama seperti adik kandungnya, di usia yang bisa dikatakan relatif sangat muda, 29 tahun, Ecy telah memiliki karier yang cemerlang. Wanita cantik ini sudah dipercaya sebagai manager keuangan danfiskal di sebuah bank swasta. Sungguh suatu tanggung jawab yang sangat besar, dimana sirkulasi keuangan yang melewati manajemen bank tersebut sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun rupanya Ecy cukup mampu dan cekatan memikul tanggung jawab tersebut karena kian hari memang kariernya terlihat kian menanjak.
“Permisi Pak”, Ecy membuka pintu ruangan setelah sebelumnya mengetuk beberapa kali.
“Silakan masuk”.
Ecy pun beranjak masuk ke dalam ruangan dan perlahan menutup kembali pintu ruangan tersebut. Di belakang meja duduk seorang laki-laki paruh baya bertubuh tambun. Laki-laki itu jelas bukanlah orang sembarangan di kantor ini jika dilihat dari bahasa tubuh dan pakaian yang dikenakan. Setelan jas dan kemeja lengkap dengan dasi sangat terlihat berkelas, ber-merk dan jelas berharga mahal. Jam tangan dan sepatu yang dikenakan laki-laki tersebut mungkin senilai dengan lima bulan gaji pegawai biasa di kantor tersebut. Namun dengan segala kementerengan tersebut hanya satu kekurangan laki-laki tersebut, yaitu penampilan fisiknya. Wajah laki-laki itu sangat jauh dari unsur tampan, bahkan kalau harus di perhalus mungkin kita bisa mengatakan tidak cukup menarik. Rambut di kepalanya hanya tersisa di bagian-bagian pinggir sedangkan diatasnya sudah mengalami kebotakan. Kulit wajahnya penuh bopeng-bopeng bekas jerawat. Laki-laki itu adalah Pak Baskoro, Direktur Utama dari bank tempat Ecy bekerja.
“Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?”.
“Silakan duduk dulu”.
“Terima kasih Pak”.
Ecy menggeser kursi yang ada di depannya, kemudian duduk di depan Pak Baskoro. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tidak menoleh ke arah Ecy. Ia nampak sibuk menandatangani beberapa tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Setelah selesai menandatangani berkas-berkas tersebut, Pak Baskoro kemudian merapikannya dan memasukkannya kembali ke dalam map.
“Eehem…!”, Pak Baskoro berdehem. Ia lalu mengambil gelas air di ujung mejanya kemudian meminumnya. Setelah itu ia meletakkannya kembali di tempatnya semula.
Ecy sendiri terlihat hanya menunduk dan berdiam diri.
“Begini Ibu Desi, saya memanggil Ibu terkait dengan masalah proses pemberian kredit atas permohonan yang diajukan oleh PT. ***”.
“Memang ada masalah dengan permohonan kredit PT. *** Pak?”.
“Sama sekali tidak ada masalah dengan proses pengucuran dananya, namun yang menjadi masalah adalah pasca pengucuran dana kredit tersebut”.
“Pasca pengucuran kredit? Maksud Bapak?”.
“Apa Ibu tidak mendengar kalau kemarin putusan pengadilan telah memutus PT. *** pailit atau dengan kata lain bangkrut?”.
“Bangkrut Pak?”, Ecy cukup terkejut mendengar berita tersebut.
“Iya bangkrut, dan untuk sementara ini aset perusahaan itu telah dibekukan sambil menunggu perkembangan audit oleh kurator terhadap aset kekayaan total perusahaan baik di dalam maupun di luar negeri”.
Pak Baskoro lalu mengambil sebuah map berwarna merah dari dalam laci meja kerjanya dan menyerahkannya kepada Ecy. Ecy kemudian menerimannya dan berlahan membuka halaman berkas tersebut satu persatu.
“Itu adalah salinan putusan pengadilan, kita diberikan salinannya karena bank kita adalah menjadi salah satu debitur dari perusahaan tersebut. Dengan telah dikabulkannya permohonan pailitnya PT. ***, tentu Ibu Desi tahu apa konsekuensi terhadap bank kita?”.
Pak Baskoro
“Iya Pak”, ucap Ecy lemah.
“Apa konsekuensinya Bu?”
“Kredit yang telah kita kucurkan beserta dengan bunganya kemungkinan tidak akan bisa kembali sepenuhnya”.
“Benar… dan itu juga berarti bank kita akan mengalami kerugian yang sangat besar”.
Ecy sama sekali tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu benar kalau selama proses penilaian dan studi kelayakan pemberian kredit terhadap PT. *** dirinyalah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap pengucuran dananya. Tapi saat itu, hasil studi menunjukkan kalau kondisi keuangan perusahaan tersebut sangatlah baik, sehingga diperkirakan akan mampu mengembalikan kredit yang mereka mohonkan beserta dengan bunganya terhitung selama lima tahun. Namun jika semua ternyata justru terjadi sebaliknya, maka jelas terdapat kesalahan atau pemalsuan data-data yang diberikan oleh perusahaan tersebut kepada pihak bank. Ecy benar-benar menyesal kenapa ia bisa begitu ceroboh dengan tidak melakukan cross checkdengan teliti terhadap data-data tersebut.
“Ibu Desi tentu bisa menghitung sendiri kerugian yang mungkin akan kita alami. Ibu juga tentu tahu siapa yang paling bertanggung jawab atas semua kerugian ini”.
Ecy tetap hanya bisa membisu. Ia benar-benar tidak terbayang kalau kejadian seperti ini bisa menimpa dirinya. Saat ini Ecy benar-benar merasa seperti orang yang paling bodoh sekaligus orang yang paling sial sedunia. Wanita cantik ini sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana cara dirinya harus mempertanggungjawabkan kerugian ini. Bahkan mungkin konsekuensi yang paling buruk adalah mengalami pemecatan atau bahkan sanksi pidana berupa penjara. Ini berarti pemasukan bulanan untuk rumah tangganya akan berhenti, sedangkan saat ini tidak ada suami yang bisa ia andalkan untuk membiayai hidupnya serta anak semata wayangnya, Joshua. Hal ini jelas akan menjadi sesuatu berat bagi kehidupan Ecy yang memang saat ini sudah terasa sangat berat.
“Ada yang ingin Ibu sampaikan?”.
Ecy hanya bisa menunduk. Ia pun kemudian hanya bisa menggeleng dan berkata pelan, “Tidak ada Pak, ini semua memang kesalahan saya”.
“Bagus kalau Ibu sudah mengerti situasinya dengan jelas”, Pak Baskoro kemudian kembali mengambil sebuah map dari meja kerjanya. Laki-laki bertubuh tambun itu lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Ecy. Ia kemudian duduk di tepian meja kerjanya, tepat disamping Ecy. “OK, saya sudah menyampaikan berita buruknya, sekarang saya akan menyampaikan berita baiknya untuk Ibu”.
“Maksud Bapak?”.
“Saya sudah dapat membicarakan masalah ini dengan Pak Candra, Komisaris Utama sekaligus pemilik dari PT. *** dan kami sudah memperoleh kesepakatan tentang cara penyelesaian hutang piutang terkait kredit yang telah dikucurkan oleh bank kita lengkap dengan bunganya. Bahkan kami juga sudah menyusun draft perjanjian terkait penyelesaian hutang piutang tersebut”.
Pak Baskoro lalu menyerahkan sebuah map berwarna biru yang dipegangnya kepada Ecy.
“Itu adalah draft perjanjian yang kami susun, Ibu bisa membacanya sendiri”.
Ecy menerima map tersebut, kemudian membukanya. Di dalamnya ada tiga lembar kertas, lalu ia pun mulai membaca isi yang tertulis di dalamnya. Isi perjanjian tersebut memang mengatakan kalau bank tempatnya bekerja mendapatkan prioritas utama untuk diselesaikan hutang piutangnya dan apabila aset yang ada kurang, maka harta kekayaan pribadi Komisaris beserta dengan Direksi sepenuhnya akan digunakan untuk mengganti kerugian tersebut. Hal ini sungguh suatu yang sangat menggembirakan bagi Ecy, karena memang ini berarti masih ada pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya.
“Jadi masalah Ibu akan segera teratasi apabila perjanjian ini ditandatangani nanti. Sayangnya, hanya ada satu masalah yang sedikit mengganjal di dalam tercapainya kesepakatan antara saya dengan Pak Candra dan masalah itu ada kaitannya dengan Ibu Desi”.
“Saya Pak?”.
“Iya… Ibu…, Pak Candra menginginkan adanya sebuah klausul tidak tertulis di dalam perjanjian di mana Ibu Desi memiliki peranan yang besar di dalamnya”.
“Saya tidak mengerti Pak”.
Pak Baskoro kembali berdiri kemudian berjalan pelan menuju ke belakang Ecy.
“Selama proses negosiasi permohonan kredit Pak Candra mengatakan kepada saya, kalau Beliau menaruh perhatian spesial kepada Ibu Desi, bahkan semakin hari Beliau menjadi semakin terobsesi akan sosok Ibu. Ketika masalah ini muncul dan mendengar Ibu kemungkinan akan terseret ke dalam kasus ini, maka Beliau bersedia mengeluarkan uang dari rekening pribadinya untuk mengganti kerugian bank kita asalkan Ibu Desi terbebas dari jeratan hukum”.
Sesaat Pak Baskoro terdiam. Sedangkan Ecy masih hanya bisa menunduk, namun di dalam hati kecilnya seolah-olah ia bisa membaca arah pembicaraan bosnya ini. Ada perasaan tidak enak di dalam dirinya, seolah-olah mengatakan kalau semua ini akan berimbas tidak baik untuk dirinya.
“Eehem…!”, Pak Baskoro berdehem sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sebagai konsekuensi atas kesediaan Pak Candra untuk mengeluarkan dana pribadinya demi Ibu, maka Beliau menginginkan Ibu Desi untuk menukar uang sejumlah tersebut dengan kehangatan tubuh molek Ibu”.
Bagaikan tersambar petir Ecy bergitu tersentak mendengar kata-kata atasannya tadi. Ia benar-benar tidak menyangka laki-laki yang begitu ia hormati bisa mengeluarkan kata-kata sekotor dan sehina itu. Bagaimana bisa atasannya ini menyetujui perjanjian yang jelas-jelas akan merugikan dan menyudutkan dirinya dalam keadaan serba salah seperti ini. Ecy terlihat begitushock, sehingga kini ia hanya bisa duduk mematung dengan tatapan kosong.
“Ibu tidak perlu menjawabnya saat ini juga, Ibu bisa memikirkannya dulu matang-matang di rumah, namun saya minta besok Ibu sudah bisa memberikan jawaban”, Pak Baskoro kemudian kembali berjalan menuju ke belakang mejanya dan duduk di kursinya. “Sekarang saya akan coba mempertegas lagi posisi Ibu saat ini, Ibu Desi bisa memilih untuk mempertanggungjawabkan seluruh kerugian yang dialami bank dan menggantinya dengan sejumlah uang, dimana bila Ibu tidak mampu melakukannya maka bank akan menempuh jalur hukum atau di pihak lain Ibu bisa memenuhi permintaan Pak Candra mungkin hanya untuk beberapa hari saja dan masalah ini kita anggap selesai”.
Ecy terlihat masih shock dan masih belum bisa berkata apa-apa. Pak Baskoro melihat ekspresi kosong bawahannya ini dengan tersenyum kecil.
“Ibu Desi tentu tahu pilihan terbaik yang harus Ibu pilih demi masa depan Ibu dan anak Ibu”.
Wanita cantik itu pun kembali tersentak ketika Pak Baskoro menyebut-nyebut mengenai anaknya. Apa yang dikatakan atasannya yang berhati jahat ini memang benar adanya. Masalah ini memang tidak hanya menyangkut dirinya saja, tetapi juga menyangkut anaknya Joshua, satu-satunya yang tersisa dari hubungan rumah tangganya yang telah lama hancur.
“Sekarang Ibu boleh keluar dan melanjutkan kembali pekerjaan Ibu, tapi ingat besok saya akan meminta jawaban Ibu atas permasalahan ini”.
Ecy segera beranjak dari tempat duduknya. Wanita cantik lalu langsung berjalan keluar dari ruangan tersebut tanpa sama sekali melihat kembali ke arah atasannya tersebut. Sedangkan Pak Baskoro terlihat hanya tersenyum melihat Ecy yang berjalan menuju pintu dan kemudian menghilang dari baliknya. Senyuman itu seakan-akan memperlihatkan kalau dirinya tahu benar apa jawaban yang akan diberikan oleh bawahan cantiknya tersebut esok hari.
********
Malam harinya Ecy sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Ia masih terus terbayang-bayang kata-kata gila Pak Baskoro sore tadi. Bagaimana mungkin seorang pimpinan yang begitu ia hormati bisa sedemikian tega menukar dirinya demi mencapai kesepakatan dengan rekan bisnisnya. Semua masalah ini memang berawal dari dirinya, namun Ecy sama sekali tidak bisa menerima kalau ia sampai harus mempertanggungjawabkan semua masalah ini dengan menggunakan tubuhnya sebagai imbalan. Ecy membuka sedikit pintu kamar Joshua dan memandang ke arah anak kandungnya yang kini sedang tertidur di ranjang. Sebagai seorang ibu tentunya Ecy sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Jos seandainya ia harus berurusan dengan hukum dan pengadilan. Tentu ia tidak bisa menyerahkan begitu saja Jos kepada mantan suaminya, karena mantan suaminya tersebut kini telah memiliki keluarganya sendiri. Tentu Jos sendiri tidak akan bisa hidup dalam keluarga baru dengan status sebagai anak tiri. Pepatah memang mengatakan kalau kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang masa, namun jika ia mengutamakan cintanya kepada Jos maka itu berarti ia harus memilih untuk menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki lain yang bukan suaminya dan masih berstatus suami orang. Hal inilah yang membuatnya begitu bingung karena jika ia menerima permintaan tersebut berarti ia melakukan dosa yang luar biasa karena melakukan perzinahan. Ecy memang seperti layaknya Adel, adalah juga wanita bertipe konservatif yang tidak suka berganti-ganti pasangan. Perbedaan antara dua saudara kandung ini adalah jika Adel pernah merasakan nikmatnya persetubuhan tidak hanya dengan satu laki-laki, maka Ecy merengkuh kenikmatan duniawi tersebut hanya dengan satu laki-laki. Ecy memang sebenarnya telah hamil sebelum melangsungkan pernikahan, namun laki-laki yang memerawaninya sekaligus menanamkan benih di rahimnya hanyalah mantan suaminya seorang. Setelah bercerai Ecy sama sekali tidak pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki manapun juga. Dengan wajah cantik dan tubuh yang indah, memang membuat banyak laki-laki yang coba untuk mendekati Ecy dan ingin menjadi pendamping hidupnya yang baru. Namun Ecy merasa belum menemukan adanya kecocokan dari mereka semua. Akhirnya wanita cantik ini pun memilih untuk tetap hidup sendiri. Ecy lalu menutup pintu kamar Jos dan beranjak menuju ke kamarnya sendiri. Di dalam kamar wanita cantik itu merebahkan tubuhnya. Dengan hanya berbalut gaun tidur berwarna hitam tipis, lekuk-lekuk tubuh sempurna Ecy terlihat begitu indah di atas ranjang. Memang ranjang tersebut sampai saat ini terasa begitu dingin, namun itu tentu tidak bisa menjadi pembenar bagi Ecy apabila ia terpaksa memilih untuk menyerahkan tubuhnya. Kehangatan cinta sejati tentu sangatlah berbeda dengan kehangatan yang ia peroleh hanya beralaskan nafsu belaka. Tanpa diinginkan air mata pun mulai mengalir dari kedua mata indahnya. Pergolakan batin itu pun terus berkecambuk di dalam diri Ecy, sampai akhirnya wanita cantik itu terlelap dalam tidurnya.
********
Keesokan harinya.
“Ooohhh… ssshh… ohhh… aaahh…”.
Terdengar suara desahan lirih dari dalam kamar mandi. Suara itu mungkin tidak akan terdengar begitu jelas oleh orang-orang yang kebetulan lewat dari luar, kecuali memang orang tersebut menempelkan telingannya di pintu kamar mandi. Di dalam ruangan kecil tersebut nampak seorang laki-laki tua sedang mengocok batang penisnya yang sudah terlihat menegang hebat menggunakan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya terlihat memegang sebuah ponsel dimana di layar ponsel tersebut terpampang foto wajah seorang gadis cantik.
“Aaah… ssshh… Oohh…”.
Walaupun sudah terlihat berumur cukup lanjut namun batang penis laki-laki tua tersebut terlihat begitu kokoh. Ukuran yang panjang, ditambah diameter yang lebar serta urat-urat yang kekar seolah-olah memperlihatkan betapa hebatnya kekuatan laki-laki tua tersebut diatas ranjang. Hal ini juga menunjukkan bagaimana tingginya nafsu birahi laki-laki tua tersebut. Kocokan laki-laki itu semakin kencang seiring foto-foto di layar ponselnya terus berganti pose dengan gambar gadis yang tetap sama. Laki-laki tua itu adalah Pak Darmin, sang pesuruh kantor. Sedangkan foto gadis di layar ponselnya adalah foto Laras, gadis idaman di dalam mimpi-mimpi mesumnya. Foto-foto tersebut jelas diambil secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan sang gadis. Memang kian hari obsesi Pak Darmin terhadap Laras kian tak terbendung. Ingin sekali rasanya ia memeluk tubuh molek gadis manis tersebut dan menikmati kehangatannya. Namun Pak Darmin jelas tahu benar kalau ia tidak bisa mengatakan niatnya tersebut secara langsung kepada sang gadis. Ia sadar kalau status dirinya di kantor tersebut hanya pegawai rendahan. Selain itu sosok nya yang menyerupai buruh kasar dan berperawakan buruk rupa jelas tidak akan menarik di mata Laras. Sehingga saat ini ia hanya bisa menjadikan Laras sebagai objek fantasi seksualnya setiap kali melakukan self service. Pak Darmin sendiri berperawakan pendek dengan rambut keriting dan keriput menghiasi wajah serta sekujur kulit tubuh yang memang telah termakan usia. Saat ini Pak Darmin masih memiliki seorang istri, tapi istrinya berada jauh di kampung. Ia baru bisa menemui istri, anak-anak dan cucu-cucunya hanya setahun sekali karena memang biaya untuk pulang ke kampung akan cukup menguras koceknya yang pas-pasan. Akibatnya, kebutuhan biologis laki-laki tua itu menjadi tidak tersalurkan padahal ia termasuk laki-laki dengan tingkat libido yang tinggi. Bertemu dengan wanita-wanita cantik, entah itu para model ataupun pegawai-pegawai yang kerap kali berseliweran di depannya kian menyiksa birahi Pak Darmin. Dorongan untuk menyalurkan libido pun kian hari kian tak tertahankan.
“Oohh… Non Laras… aahh…”, Pak Darmin merancau lirih.
Laki-laki tua itu pun terpaksa menambah sabun di penisnya karena kocokannya mulai terasa seret. Termasuk cukup gila juga Pak Darmin melakukan coli di kamar mandi kantor dimana setiap waktu bisa saja ada seseorang yang masuk ke dalamnya. Namun apabila nafsu sudah menjadi raja maka akal sehat otomatis akan terpinggirkan. Beruntung saat itu memang sedang waktunya makan siang, sehingga hanya tersisa beberapa pegawai saja yang berada di kantor.
“Ooohhh… ohhh… oooh…”, Pak Darmin kian mempercepat kocokannya, apalagi ketika di layar ponselnya memperlihatkan foto pantat Laras yang montok ketika berjongkok.
Setelah beberapa menit melakukan aktifitas onani, akhirnya tiba juga laki-laki tua itu pada puncak permainan. “Croot… croot… croot!”, batang kokoh itu pun menyemburkan beberapa kali cairan putih kental dari ujungnya. Cairan itu muncrat ke dalam lubang kloset. Pak Darmin nampak terpejam dan menikmati betul rasa nikmat yang diperolehnya walaupun tentunya rasa nikmat itu tidak sebanding dengan rasa nikmat apabila melakukan persetubuhan secara langsung. Ketika Pak Darmin tersadar dari belenggu birahinya dan hendak membersihkan sisa sperma di penisnya, laki-laki tua itu baru menyadari kalau dari luar ruangan tempatnya berada kini terdengar beberapa kali bentakan dan teriakan yang sangat keras. Suara teriakan tersebut terdengar seperti beberapa orang yang sedang berkelahi. Pak Darmin pun segera membersihkan diri dan bergegas mengenakan kembali celananya. Laki-laki tua itu keluar dari dalam kamar mandi dan dengan segera berlari menuju ke sumber suara. Suara-suara teriakan tersebut terdengar semakin kencang ketika Pak Darmin mendekati ruangan utama di kantor tersebut. Suara tersebut terdengar seperti suara seorang laki-laki. Begitu Pak Darmin memasuki ruangan tersebut ia melihat seorang pemuda dengan gaya berpakaian casual sedang meronta sambil berteriak-teriak karena kedua tangannya di pegangi oleh kedua satpam kantor. Sedangkan di depan pemuda tersebut berdiri Laras dengan didampingi beberapa karyawan lain yang tidak keluar makan siang hari itu. Laki-laki tua itu pun memilih untuk melihat kejadian itu dari kejauhan. Agaknya Pak Darmin memilih untuk memperhatikan dahulu apa yang sebenarnya terjadi di ruangan tersebut.
“Gue punya hak kok datang kesini Ras, lu nggak bisa ngusir-ngusir gue kayak gini!”.
“Iya, tapi bukan dalam kondisi nggak waras kayak gini Do! Ini tempat umum”.
“Gue itu cinta mati ama lu Ras, tapi kenapa sih dulu lu ninggalin gue? Kenapa Ras?”.
“Do, gue itu sudah nggak tahan jalan bareng lagi ama lu, berapa kali sih gue musti jelasin ke lu? Kita itu sudah nggak ada kecocokan lagi”.
“Gue nggak peduli pokoknya gue mau balik ama lu!”.
“Nggak bisa Do, beneran nggak bisa!”.
Pemuda itu terus meronta dan berteriak-teriak. Kedua satpam kantor yang kini memegang kedua tangannya terus berusaha menyeretnya keluar ruangan, namun pemuda tersebut tetap berusaha untuk bertahan. Pemuda itu adalah Aldo, mantan kekasih Laras yang kerap menerornya beberapa minggu ini. Entah kenapa tiba-tiba saja Aldo muncul di dalam kantor tersebut dan langsung menarik Laras keluar dari ruangan dan memaksa untuk mengikutinya meninggalkan kantor. Beruntung satpam kantor tersebut dengan sigap menangkap laki-laki tersebut sebelum melakukan hal-hal yang lebih gila lagi kepada gadis manis tersebut. Namun dari ekspresi wajah Laras nampak sekali kalau ia begitu shock atas kejadian ini.
“Lepasin! Lepasin gue!”, Aldo terus meronta namun pegangan kedua satpam tersebut justru semakin kencang mencengkeram kedua lengannya. “Anjing lu pada, lepasin gue!”.
“Do, mending lu pergi deh sekarang, nggak enak di lihat orang-orang”.
“Gue nggak bakal pergi Ras sebelum lu bilang kalau lu mau balik sama gue!”.
“Lu jangan keras kepala gitu dong, hubungan kita itu sudah selesai sejak dulu”, Laras hampir menangis melihat tingkah Aldo yang menggila dan kekanak-kanakan seperti ini.
Ia benar-benar malu karena pemuda di hadapannya ini mengumbar masalah yang seharusnya bersifat pribadi di depan teman-teman kantornya seperti sekarang. Dua orang pegawai wanita yang tadinya berdiri di samping Laras, kini memegang tubuh Laras karena melihat gadis manis itu mulai terlihat limbung dan kehilangan keseimbangannya. Sementara masih di tempatnya semula Pak Darmin nampak terus mengawasi apa yang sedang terjadi. Tatap matanya terlihat begitu tajam memperhatikan sosok laki-laki yang saat ini sedang berteriak-teriak ke arah Laras.
“Bilang kalau lu mau balik ke gue Ras!”.
“Do, lu tu sakit jiwa tahu nggak!”.
“Lu boleh bilang apa saja, gue cinta lu Ras, tolong balik ke gue!”.
“Nggak Do, nggak mungkin”.
Kini dua orang pegawai laki-laki ikut memegangi tubuh pemuda tersebut. Tak lama mereka pun kemudian berhasil menarik tubuh Aldo keluar dari ruangan tersebut. Aldo sendiri nampak masih terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
“Anjing… Bangsat! Lepasin gue! Lepasin gue!”, rontaan laki-laki tersebut semakin liar ketika keempat laki-laki tersebut berhasil menarik dirinya menjauhi Laras.
Kedua kakinya menendang-nendang kesegala arah dengan kesetanan. Umpatan-umpatan kasar pun terus keluar dari mulut laki-laki tersebut.
“Gue nggak bakal berhenti sampai lu bilang iya Ras, lu denger? Gue cinta lu Ras! Gue nggak bakal berhenti sampai gue ngedapetin lu lagi!”, teriak Aldo ditengah rontaannya.
Akhirnya Aldo pun berhasil ditarik keluar dari ruangan tersebut. Berlahan teriakan-teriakan Aldo terdengar semakin kecil dan kemudian menghilang. Laras berhasil menahan dirinya untuk tidak menangis, namun di dalam hatinya terbersit ketakutan dan perasaan was-was melihat kegilaan mantan kekasihnya tadi. Apalagi ditambah kata-kata Aldo yang mengatakan kalau dirinya tidak akan menghentikan kegilaannya ini. Laras hanya bisa merinding membayangkan hal gila apa lagi yang mungkin bisa dilakukan oleh laki-laki tersebut. Setelah berkali-laki meminta maaf kepada rekan-rekan kantornya, Laras pun kembali memasuki ruangannya. Pegawai-pegawai yang tadi berkerumun pun mulai membubarkan diri dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Di dalam ruangan Laras menghempaskan dirinya di kursi. Ia lalu menopangkan kepalanya dengan kedua tangan di atas meja. Kepalanya terasa benar-benar pusing akibat kejadian yang baru saja terjadi. Rupanya Laras yang semula mengira kalau dengan cara tidak membalas dan mengangkat telepon dari Aldo maka laki-laki itu akan berhenti mengganggunya, ternyata tidak terealisasi. Justru kini Aldo menjadi semakin nekat dengan datang langsung ke kantornya. Hari ini beban pikirannya pun semakin bertambah, menambah berat hari ini yang memang telah terasa berat. Bagaimana tidak, di satu sisi gadis manis ini masih harus menggantikan posisi Adel yang masih belum juga kembali bekerja sedangkan di sisi lain Aldo datang di saat yang tidak tepat untuk mengacau di kantor ini.
“Maaf mbak Laras, ada yang bisa saya bantu?”, Laras baru menyadari kalau Minta rupanya tadi mengikutinya masuk ke dalam ruangan. Ia pun membuka kedua matanya dan menoleh ke arah Mita.
“Nggak ada Mit, lu keluar aja, gue lagi pengen sendiri nih”.
“Iya mbak”, Mita pun hendak beranjak keluar ruangan.
“Eh Mit, kalau ada tamu yang nggak begitu penting tolong lu handle sendiri aja dulu ya”.
Mita hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Sedangkan di lain pihak, Pak Darmin yang sedari tadi melihat kejadian tersebut dari kejauhan justru terlihat tersenyum. Sebuah senyuman penuh kelicikan. Entah pikiran jahat apa yang kini sedang melintas di dalam otak kotornya. Yang jelas kini laki-laki tua tersebut terlihat berjalan menuju ke luar ruangan tersebut, dengan tetap meyunggingkan senyumannnya. Senyuman yang penuh dengan kemisteriusan.
********
“Sepertinya saya tidak perlu berbasa-basi lagi, jadi bagaimana jawaban Ibu?”.
Akhirnya saat-saat yang paling ditakuti Ecy terjadi juga di hari ini. Wanita berparas cantik itu harus kembali duduk di depan atasannya yang ternyata berotak mesum dan berhati iblis. Parahnya lagi kini ia harus memberikan jawaban atas permintaan tidak waras yang disampaikan oleh atasannya ini kemarin. Jawaban yang sama sekali belum ia temukan walaupun telah ia pikirkan sepanjang malam. Ecy pun hanya terlihat duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Bagaimana Bu?”.
Ecy masih belum bisa mengeluarkan kata-kata. Wanita cantik itu sampai saat ini tetap hanya bisa menunduk.
“Baiklah, kalau begitu kembali saya akan pertegas pilihan yang saya berikan kemarin. Opsi pertama, Ibu bersedia mempertanggungjawabkan segala kerugian yang dialami oleh bank, termasuk apabila masalah ini sampai ke ranah hukum atau opsi kedua permasalahan kredit ini akan diselesaikan secara pribadi oleh Pak Candra, tapi itu berarti Ibu bersedia untuk memenuhi klausul perjanjian yang ditawarkan oleh Beliau”. Sesaat Pak Baskoro berhenti berbicara, “Opsi mana yang akan ibu pilih?”.
Kata-kata yang keluar dari mulut Pak Baskoro terdengar begitu tenang dan berwibawa. Namun bagi Ecy kata-kata itu terdengar seperti musik horor di telinganya. Semua opsi yang diberikan oleh laki-laki bertubuh tambun di hadapannya ini masih tetap seperti yang didengarnya kemarin, dimana kesemuanya menyudutkan dirinya. Saat ini Ecy merasa bagaikan makan buahsimalakama yang legendaris, dimana makan ataupun tidak memakannya tetap saja dirinyalah yang menjadi korban.
“Sa.. saya nggak tahu Pak”, ucap Ecy pelan.
“Jadi Ibu belum tahu harus menjawab apa?”.
Ecy mengangguk, kemudian ia kembali menunduk.
“Saya sudah memberikan Ibu waktu, sekarang kita sudah tidak memiliki waktu lagi, cepat atau lambat masalah ini akan terendus oleh media dan masyarakat, pada saat itu Ibu sama sekali tidak akan memiliki opsi seperti seperti yang saya tawarkan ini lagi”. Laki-laki tambun itu lalu memainkan pulpen yang dipegangnya kemudian melanjutkan kata-katanya, “Saat itu ibu suka tidak suka harus berhadapan dengan yang berwajib, bayangkan bagaimana nasib anak ibu yang kini beranjak dewasa, bagaimana ia akan menjadi ibarat seekor ayam yang kehilangan induknya”.
Ecy menggigit bibir bawahnya sambil tetap membisu dan tertunduk. Pak Baskoro nampaknya berusaha mempengaruhi psikologis wanita cantik tersebut dari sisi keibuannya. Melihat bahasa tubuh Ecy, agaknya usaha tersebut memang berhasil.
“Bukankah Ibu adalah seorang janda? Tentunya akan sangat berat bagi anak Ibu untuk hidup dibawah tekanan orang tua yang bercerai, apalagi kemudian Ibu juga akhirnya terpaksa untuk meninggalkannya akibat harus menjalani hidup di balik jeruji besi”, Pak Baskoro terus berusaha menstimulus otak Ecy dan menekan mentalnya.
Ecy mengepalkan erat kedua tangannya. Ia benar-benar kesal dengan ketidakberdayaannya ini.
“Siapa yang akan menafkahi anak Ibu lagi? Ayahnya? Bisa saja, tapi itu pun pasti tetap akan menyiksa batin Ibu karena akan terpisah dengannya untuk jangka waktu yang sangat panjang”.
“To… tolong hentikan Pak!”, Ecy berguman pelan. Emosinya mulai terstimulus mendengar kata-kata yang diucapkan oleh atasannya.
“Yang saya inginkan hanya ibu memikirkan baik-baik pilihan yang hendak Ibu ambil, pikirkan karier Ibu dan masa depan anak Ibu, tidak ada salahnya kan kalau Ibu menerima permintaan Pak Candra dan semua ini pasti akan berakhir dengan baik”.
Kembali Ecy harus mengepalkan telapak tangannya, berusaha menekan emosinya agar tidak meledak. Ia benar-benar sadar kini laki-laki tambun ini berusaha menggiring pikirannya untuk memberi jawaban seperti keinginannya, yaitu menyerahkan tubuhnya.
“Bagaimana Ibu Desi?”.
Untuk beberapa saat Ecy masih tetap terdiam sambil tetap berusaha menjaga akal sehatnya. Pak Baskoro hanya duduk di meja kerjanya memandangi wanita cantik di hadapannya yang masih tertunduk lesu. Karena masih belum juga ada jawaban yang keluar dari mulut Ecy setelah sekian lama ia menunggu, kesabaran Pak Baskoro nampaknya mulai berkurang.
“Tolong jangan menguji kesabaran saya, sekali lagi saya ulangi pertanyaan saya, opsi mana yang akan Ibu pilih?”, kini nada suara laki-laki tambun itu terdengar agak meninggi.
Dengan tetap dalam keadaan tertunduk, Ecy memejamkan matanya dan menghela nafas panjang. “Op.. opsi du… dua”, ucap wanita cantik lirih.
“Maaf bu, saya kurang jelas mendengarnya”, Pak Baskoro seakaan-akan berusaha menegaskan apa yang sebenarnya sudah sangat jelas ia dengar.
“Opsi kedua Pak”, ingin sekali Ecy mengutuk dirinya sendiri karena kata-kata penuh rasa putus asa itu akhirnya keluar dari mulutnya.
“Hahaha… pilihan yang bagus! Kalau begitu saya akan beritahukan Pak Candra secepatnya agar masalah ini segera beres”.
Walau dalam keadaan tertunduk, Ecy seolah-olah bisa melihat senyum mesum pasti kini sedang tersungging di wajah laki-laki bertubuh tambun dan berwajah buruk rupa dihadapannya. Hal ini pun menambah kesal dan rasa muak di dalam dirinya terhadap atasannya ini. Pak Baskoro kemudian berdiri dari kursinya dan berjalan ke belakang Ecy.
“Ibu benar-benar yakin dengan keputusan Ibu tadi?”, tangan Pak Baskoro menyentuh pundak Ecy dan berlahan memainkan ujung-ujung jarinya. Wanita cantik itu pun tidak berusaha menepisnya, ia rupanya memilih untuk diam dan membiarkannya.
Ecy hanya mengangguk pelan. Kata-kata telah terucap, pilihan telah diputuskan. Kini Ecy hanya bisa pasrah pada nasibnya. Dalam benaknya wanita cantik ini hanya bisa berkata yang terjadi maka biarkanlah terjadi, selama ia tidak terpisahkan dari buah hatinya.
“Baiklah sepertinya kesepakatan ini perlu kita rayakan dengan makan siang hehe…”.
“Ma… makan siang?”, ucap Ecy pelan.
“Iya, bukankah ini memang waktunya makan siang?”. Pak Baskoro melepaskan rabaan tangannya di pundak Ecy. Kemudian ia melangkah kembali ke belakang meja kerjanya. “Sekarang saya beri waktu Ibu sepuluh menit untuk membereskan meja Ibu, setelah itu kita pergi makan siang dan persiapkan diri Ibu karena mungkin kita akan kembali ke kantor cukup lama”.
Ecy sama sekali tidak mengerti dengan maksud dari kata-kata atasannya ini, namun ia jelas tidak ingin melawan laki-laki tambun tersebut. Ia pun berdiri dan beranjak menuju pintu ruangan. Langkah kakinya terlihat begitu gontai. Wanita itu pun kemudian menghilang dari pintu ruangan. Sedangkan Pak Baskoro merapikan berkas-berkas yang ada di atas mejanya, masih dalam keadaan senyum yang sama tersungging lebar di wajahnya.
********
“Bagaimana makanannya Ibu Desi? Enak?”.
Ecy hanya mengangguk pelan.
“Kalau Ibu mau menambah pesanan lagi, silakan saja tidak usah malu-malu hehe…”.
Pak Baskoro mengajak Ecy makan siang di sebuah restoran yang cukup berkelas di kota tersebut. Terlihat hanya beberapa orang yang makan di tempat tersebut. Rata-rata dari mereka terlihat seperti pebisnis ataupun eksekutif muda yang sedang membicarakan bisnis mereka dengan klien. Restoran ini memang merupakan bagian dari sebuah hotel bintang lima sehingga tentunya makanan yang tersedia di bandrol dengan harga yang cukup menguras kantong untuk ukuran masyarakat kelas menengah kebawah. Entah kenapa Pak Baskoro mengajaknya makan di tempat semewah ini. Apakah untuk merayakan kesuksesannya menyelesaikan perjanjian dengan Pak Candra? Bukanlah perjanjian itu belum terealisasi? Lalu kenapa harus dirayakan jauh-jauh hari sebelumnya? Ecy sebenarnya ingin mengetahui jawabannya, namun ia tetap milih untuk diam dan mengikuti apa yang diinginkan oleh Pak Baskoro.
“Ibu Desi sudah berapa lama bekerja di perusahaan?”.
“Hampir lima tahun Pak”.
“Hhmm… lama juga ya?”, Pak Baskoro sejenak mengelap bibirnya dengan serbet. “Kalau saya boleh tahu sudah berapa lama Ibu menjanda?”.
Ecy nyaris saja tersedak mendengar pertanyaan atasannya tersebut. Beruntung ia segera bisa menguasai dirinya kembali. “Hampir tiga tahun”, jawab Ecy singkat.
“Oh… tentu susah ya menjadi single parent untuk anak Ibu selama tiga tahun ini”.
“Begitulah Pak”, Ecy mulai merasa risih dengan pertanyaan Pak Baskoro yang mulai menjurus ke masalah pribadi.
“Kenapa Ibu berpisah dengan suami Ibu?”.
“Maaf Pak, saya tidak bisa menjawabnya soalnya masalahnya sedikit rumit”, Ecy berusaha dengan sehalus mungkin menghindar untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena ia tidak ingin mengenang kembali masa-masa kelamnya dalam membina rumah tangga.
“O tidak apa-apa, saya mengerti, maafkan kalau saya sudah menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi terlalu jauh”.
Mereka pun kembali melanjutkan makan mereka dalam kesunyian.
“Sudah Bu?”, akhirnya Pak Baskoro membuka suara setelah melihat Ecy selesai menikmati segelas kecil vanilla ice cream di hadapannya sebagai makanan pencuci mulut.
Kembali Ecy hanya mengangguk pelan.
“Pelayan!”, Pak Baskoro lalu melambai ke arah seorang laki-laki yang berdiri beberapa meter dari tempatnya duduk.
Laki-laki berseragam itu pun berjalan ke arahnya.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?”.
“Tolong bill-nya”.
“Oh, sebentar Pak saya ambilkan untuk Bapak”, laki-laki muda itu lalu berjalan menuju ke belakang restoran, tepatnya ke bagian kasir.
Pak Baskoro lalu tersenyum kecil ke arah Ecy. Wanita cantik itu pun membalas dengan senyuman singkat, kemudian menundukkan kepalanya. Tak lama pelayan laki-laki itu pun kembali.
“Permisi Pak, ini bill-nya”, pelayan itu menyerahkan sebuah nampan kecil berisikan sebuah kertas bertuliskan sejumlah angka-angka.
Setelah melihat jumlah yang tertera pada kertas kecil tersebut, Pak Baskoro lalu menyerahkan nampan tersebut kembali disertakan dengan kartu kreditnya. “Tolong bilang ke manager hotel kalau bill ini digabung saja dengan pesanan saya yang lain dan semuanya di agar charge atas nama saya, saya akan bayar di resepsionis setelah semua urusan saya selesai”.
“Baik Pak, nanti saya sampaikan”, pelayan itu mengambil kembali nampannya. “Permisi Pak, Bu…”, ia pun kemudian beranjak meninggalkan meja tersebut.
Pak Baskoro lalu beranjak dari tempat duduknya dan kembali tersenyum ke arah Ecy. “Ayo Ibu Desi, mari kita tinggalkan restoran ini”.
Ecy pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Pak Baskoro kemudian menggandeng tangannya.
“Lho Pak, bukannya pintu keluar di sebelah sana?”, Ecy sedikit heran karena Pak Baskoro menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan ke arah berseberangan dengan pintu dimana mereka masuk tadi.
“Siapa bilang kita mau keluar?”.
“Bukannya waktu makan siang sudah mau berakhir Pak? Harusnya kan kita segera balik ke kantor?”, suara Ecy terdengar cemas.
“Kamu kan bareng saya saat ini? Saya kan bosnya? Jadi kenapa Ibu musti takut kalau terlambat balik ke kantor? Hehehe…”.
Suara tawa Pak Baskoro benar-benar semakin terdengar menyeramkan di telinga Ecy. Naluri kewanitaannya jelas-jelas menangkap sesuai yang jahat di balik tawa tersebut. Sesuatu yang sangat menakutkan.
“Sudah Ibu ikut saya saja”, Pak Baskoro kembali menggandeng tangan Ecy dan dengan sedikit memaksa menariknya untuk mengikuti langkahnya. Ecy yang tidak ingin menimbulkan keributan di tengah restoran diantara orang-orang yang nampak cukup terpelajar ini akhirnya mengalah dan mengikuti kemauan atasannya tersebut.
Tak lama keduanya memasuki lift, bersama beberapa orang yang juga memiliki kepentingan untuk naik ke lantai atas hotel tersebut. Di dalam lift Ecy hanya bisa menunduk sambil berusaha membuang jauh-jauh pikiran yang berkecambuk di dalam kepalanya. Kata hatinya kian kuat mengatakan kalau sesuatu yang buruk akan segera menimpanya, namun ia tetap berusaha menekannya dengan menyakinkan dirinya kalau atasannya ini adalah seorang laki-laki terhormat yang tak mungkin melakukan hal-hal buruk kepada dirinya. ketika Ecy melirik singkat ke arah Pak Baskoro, rupanya laki-laki tambun itu juga sedang memandang ke arahnya. Kembali senyuman jahat yang dilihatnya tadi tersungging di wajah buruk rupa atasannya. Memang sejak dari restoran tadi hampir tidak ada kata-kata yang keluar dari atasannya ini, selain yang terlihat hanya beberapa kali senyuman saja. Ecy pun dengan segera memalingkan wajahnya dan kembali menunduk. Di genggamnya erat-erat tas jinjing yang dipegangnya berusaha menghilangkan gejolak perasaan yang tengah berkejambuk di dalam dirinya.
“Ting!”, pintu lift terbuka dan dua orang pasangan yang nampak seperti suami istri keluar dari dalam lift. Pak Baskoro tidak mengajak dirinya keluar, berarti bukan lantai ini yang dituju olehnya. Di dalam lift kini selain mereka berdua ada dua orang wanita dan seorang laki-laki muda yang tersisa. Tak ada orang yang masuk dan beberapa saat pintu lift kembali tertutup.
“Ting!”, kembali pintu lift terbuka. Kali ini Pak Baskoro dengan segera menggandeng tangan Ecy dan menariknya keluar dari dalam lift. Bersama mereka, seorang wanita juga keluar dari dalam lift namun mengambil arah yang berlawanan dengan mereka berdua.
Ecy sama sekali tidak bisa melawan tarikan tangan Pak Baskoro. Wanita cantik ini hanya bisa melangkahkan kakinya mengikuti langkah laki-laki tambun tersebut. Mereka pun melangkah pelan sampai akhirnya berhenti di depan sebuah kamar hotel bertuliskan nomor 117. Pak Baskoro mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku jasnya dan memasukkannya ke dalam lubang kunci pintu kamar tersebut. Sedetik kemudian pintu kamar itu pun terbuka.
“Silakan masuk Ibu Desi”, ucap laki-laki tambun itu pelan.
Sesaat Ecy menyapu pandangannya ke dalam kamar tersebut. Tidak ada seseorang pun berada di dalam kamar tersebut. Semula Ecy berpikir kalau mereka akan menemui klien atau tamu khusus di hotel ini, namun melihat kamar hotel yang kosong wanita cantik ini menjadi bingung tujuan mereka naik ke lantai ini.
“Kita mau menemui klien ya Pak?”.
“Sudah masuk saja dulu”.
Ecy pun berlahan melangkahkan kakinya ke dalam kamar tersebut. Matanya tetap dengan awas menyapu sekeliling ruangan kamar tersebut. Tidak berbeda dengan kamar hotel pada umumnya, ruangan kamar ini juga terlihat rapi dan bersih. Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang single bed, televisi, AC, lampu hias dan sebuah lukisan kecil tergantung di dinding. Di dalam kamar tersebut juga terdapat sebuah kamar mandi berukuran 2x2 meter. Dari aksesoris yang terdapat di dalamnya kira-kira kelas kamar ini adalah kelasdeluxe, dengan harga sewa diatas ratusan ribu per-malamnya. Setelah Ecy masuk ke dalam kamar, Pak Baskoro segera menyusulnya kemudian laki-laki paruh baya itu menutup pintu. Tanpa Ecy sadari selain menutup kamar Pak Baskoro juga mengunci pintu kamar tersebut.
“Kok tidak ada siapa-siapa sih Pak?”, nada curiga mulai terdengar dari suara Ecy.
“Memang tidak ada siapa-siapa”.
Perasaan Ecy kembali tidak enak mendengar kata-kata Pak Baskoro, “Terus maksud Bapak mengajak saya kemari?”.
Bukannya jawabannya yang diperoleh Ecy, namun sebuah dekapan langsung membekap tubuh sintalnya. Belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi, sebuah ciuman langsung mendarat di bibir lembut wanita cantik tersebut. Mendapat serangan yang tiba-tiba seperti itu Ecy pun meronta sebelum ciuman selanjutnya mendarat kembali di bibirnya. Ia pun langsung refleks mendorong tubuh Pak Baskoro menjauh.
“Bapak mau apa?”, Ecy lalu bergerak mundur menjauhi Pak Baskoro.
Dengan santainya kini Pak Baskoro melepaskan jas yang dikenakannya kemudian meletakkannya di kursi. “Hahaha… saya mau apa? Saat ini saya ingin tubuh Ibu yang ranum itu”.
“Tolong jangan macam-macam Pak!”, ekspresi kepanikan terlihat di wajah Ecy setelah mendengar kata-kata atasannya ini.
“Bukankah tadi Ibu mengatakan memilih opsi untuk melayani Pak Candra? Lalu kenapa sekarang Ibu bertingkah seolah-olah ingin menarik kata-kata Ibu tadi?”, kini laki-laki tambun itu terlihat melonggarkan ikatan dasi yang dikenakannya. “Saya sudah bilang tadi kepada Ibu, kalau saya hanya ingin melihat kesungguhan dari kata-kata Ibu tadi, jadi sebelum Pak Candra mendapatkan jatahnya anggap saja sekarang Ibu melakukan sedikit pemanasan dengan saya hahaha…”.
Ecy benar-benar tidak percaya kata-kata sekurang ajar seperti itu bisa keluar dari laki-laki yang sebelumnya sangat ia hormati ini. Wanita cantik ini pun akhirnya mengerti maksud dan tujuan Pak Baskoro mengajaknya makan siang di sebuah hotel mewah seperti ini. Atasannya ini rupanya ingin menikmati kehangatan tubuhnya sebelum menyerahkan dirinya kepada rekan bisnisnya, Pak Candra. Ternyata wibawa dan kebaikan Pak Baskoro selama ini kepadanya hanyalah topeng belaka, topeng yang ia gunakan untuk menutupi pikiran busuk dan kotor di dalam otaknya.
“Selama ini saya sangat menghormati Bapak, tapi ternyata Bapak tidak lebih dari hanya seorang iblis berotak kotor!”, umpat Ecy. Tanpa disadarinya mata indah wanita cantik tersebut mulai nampak berkaca-kaca.
“Haha… terserah apa yang ada dipikiran Ibu saat ini tentang saya, tapi saya ini cuma seorang laki-laki biasa yang tentunya akan berfantasi nakal ketika melihat tubuh seindah tubuh Ibu dan kini saya hanya ingin untuk mewujudkan fantasi tersebut”.
“Dasar laki-laki tidak bermoral!”, kedua telapak tangan Ecy terkepal dengan kencang. Ingin sekali ia mengayunkan kepalan tangan tersebut ke wajah penuh bopeng di hadapannya.
“Tolong jangan berbicara moral saat ini, Ibu tahu sendiri posisi Ibu seperti apa, jangan kira hanya Pak Candra saja yang memiliki kekuasaan dalam masalah ini, Ibu juga memerlukan tanda tangan saya di perjanjian tersebut sehingga wajar kiranya kalau saya berhak juga mendapatkan pelayanan yang sama dengan Beliau hahaha….”.
Tak ada lagi kata-kata umpatan yang mampu Ecy keluarkan untuk mengekspresikan emosinya. Yang dikatakan Pak Baskoro tadi sangatlah benar. Kini ia telah terjebak di dalam permainan kotor dua orang iblis berhati bejat dan mesum.
“Saya kira sudah cukup kita membahas masalah ini karena saya yakin Ibu sudah benar-benar mengerti dengan situasinya”, kini Pak Baskoro nampak melepaskan dasi yang ia kenakan. “Ibu terlihat sangat cantik dengan berbalut pakaian itu, namun saya lebih tertarik dengan apa yang ada di balik pakaian itu, jadi sekarang tolong Ibu mulai melepaskan pakaian tersebut satu per satu”.
Ecy benar-benar muak dengan laki-laki tambun yang ada di hadapannya ini. Bagaimana bisa Pak Baskoro dengan tenang dan santai begitu saja memintanya untuk melepaskan pakaian? Sebagai seorang wanita terhormat hal ini jelas sangatlah memalukan. Pak Baskoro menatap tajam ke arah Ecy yang masih tetap berdiri termangu. “Rupanya Ibu tidak sungguh-sungguh dengan opsi yang Ibu pilih sendiri, baiklah kalau begitu kita kembali ke kantor. Biarkan saja kasus ini mengalir dengan liar dan mulai detik ini Ibu harus mulai bersiap-siap menghadapi segala konsekuensi dari pilihan Ibu ini”. Laki-laki tambun itu pun mengalungkan kembali dasinya yang baru saja ia lepas. Ecy sama sekali tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Dia kini benar-benar terjebak dalam pilihan antara mempertahankan kehormatan dirinya sebagai wanita atau masa depan anaknya yang sangat ia cintai. Air mata pun mulai mengalir dari mata indahnya. Ia melihat ekspresi Pak Baskoro penuh kekecewaan dan rasa kesal. Laki-laki tambun itu kini telah selesai merapikan dasinya. Sebagai seorang ibu, Ecy menyadari ia terlalu mencintai anak semata wayangnya, lebih dari apapun di dunia ini. Ia tidak ingin Jos nantinya terlantar karena dirinya harus dipenjara. Sehingga kini tak ada lagi pilihan untuknya yang tersisa, selain mengikuti kemauan laki-laki bejat di hadapannya.
“Tunggu Pak!”, ucap Ecy pelan.
“Iya? Ada apa?”.
“Sa… saya akan melepaskan pakaian saya”.
Ekspresi kekecewaan yang semula bergelayut di wajah Pak Baskoro seketika itu juga berganti dengan sebuah senyuman. Senyuman itu pun bertambah lebar ketika matanya dengan nanar melihat bagaimana wanita cantik di hadapannya mulai melepaskan satu per satu kancing blazer yang dikenakannya, setelah tadi melepaskan sepatu high heel yang dipakainya.
Ecy melakukan semua gerakannya secara berlahan dengan berat hati, namun laki-laki tambun itu justru melihat adegan di hadapannya seperti sebuah adegan lamban penuh sensualitas. Ia pun kini kembali melonggarkan ikatan dasinya dan kemudian melepaskannya. Blazer berwarna biru tua itu pun telah tergeletak di ranjang. Berat rasanya Ecy melanjutkan aksi gilanya ini, namun ia tahu kalau ia tetap saja harus melanjutkannya. Dengan sangat berat jari-jari wanita cantik itu pun bergerak membuka kancing kemejanya. Ecy terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya ini adalah benar, walaupun itu berarti ia harus melawan kata hatinya sendiri. akhirnya kancing terakhir pun terbuka. Kembali dengan berat Ecy melepaskan kemeja putih itu dan meletakkannya di atas ranjang. Meskipun kini dadanya masih tertutupi oleh bra polos berwarna krem, namun wanita cantik itu bisa melihat Pak Baskoro sudah beberapa kali menelan ludah akibat melihat dadanya. Memang Ecy menyadari benar kalau payudaranya ini adalah bagian terbaik pada tubuhnya. Paling tidak itu yang dikatakan oleh semua laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya, bahkan juga oleh mantan suaminya.
“Jangan! Lepaskan rok Ibu dulu”, ucap Pak Baskoro ketika melihat Ecy hendak melepaskan kaitan branya.
Ecy pun membatalkan niatnya dan mengalihkan tangannya menuju resleting roknya. Ia sama sekali tidak merasa perlu memprotes permintaan atasannya ini. Bukankah di akhir nanti toh ia akan tampil polos juga di hadapan laki-laki mesum ini. Kini masalahnya hanya terletak pada urutan pakaian yang mana yang harus terlepas lebih dahulu dari tubuhnya. Resleting rok berwarna senada dengan blazernya itu pun terbuka. Berikutnya adalah kaitan roknya dan sedetik kemudian rok span pendek itu pun meluncur turun ke lantai. Sama seperti tubuh atasnya, kini tubuh bawah Ecy pun hanya terbalut celana dalam berwarna krem. Walau masih ada pakaian dalam yang tersisa membalut tubuh indahnya, namun Ecy merasa kini sudah benar-benar dalam keadaan telanjang.
“Aaahh… benar-benar indah!”, Pak Baskoro berjalan pelan mendekati Ecy yang hanya berdiri mematung di dekat ranjang. Terlihat sekali ada sesuatu yang menggunung di selangkangan laki-laki bertubuh tambun tersebut.
Laki-laki itu lalu berdiri di hadapan Ecy yang kini menundukkan kepalanya. Wajah wanita cantik itu nampak memerah menahan malu. Tangan Pak Baskoro kemudian membelai rambut ranjang Ecy yang bergelombang dan berwarna kecoklatan. Kemudian tangan itu turun menjelajahi leher, pundak dan berakhir di belahan dada Ecy yang membusung.
Kulit pemukaan tangan Pak Baskoro merasakan benar bagaimana lembut dan halusnya kulit tubuh wanita cantik tersebut. Sedangkan Ecy sendiri merasakan sensasi geli ketika kulitnya tersentuh tangan atasannya. Perasaan geli namun nikmat ini seakan membuat Ecy menyadari kalau tubuhnya ini sudah terlalu lama merindukan sentuhan seorang laki-laki. Pak Baskoro memegang lembut kening Ecy dan mengangkat wajah cantik yang tertunduk tersebut. Sebuah kecupan mendarat di bibir lembut Ecy. Kecupan pertama yang mendarat di bibir tersebut sejak tiga tahun yang lalu. Kemudian laki-laki tambun itu mendekatkan bibirnya di telinga Ecy.
“Sekarang lepaskan bra dan celana dalam Ibu, kemudian berbaring di ranjang”, bisiknya.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Ecy pun menuruti perkataan Pak Baskoro. Mendapat perlakuan lembut seperti itu, mau tidak mau mulai memicu birahi Ecy sebagai seorang wanita yang telah lama menjanda. Kini kedua tangannya telah selesai melepaskan kaitan branya dan kemudian tak perlu waktu lama bagi sepotong pakaian dalam tersebut untuk tergeletak di atas ranjang, menemani pakaian Ecy lainnya. Mata Pak Baskoro yang tadi telah mundur beberapa langkah nampak terbelalak melihat pemandangan indah tersebut. Sepasang payudara padat dan bulat dengan puting coklat mungil di tengahnya sungguh menggoda birahi setiap laki-laki normal untuk mencicipinya.
“Ooohh…”, Pak Baskoro melenguh pelan sambil meremas-remas selangkangan dari balik celananya yang kini sudah nampak semakin menonjol.
Nafas laki-laki tambun terasa semakin sesak, demikian pula dengan sesuatu yang ada di selangkangannya ketika melihat tangan Ecy yang kini telah memegang pinggiran karet celana dalamnya. Tak lama celana dalam itu pun melorot turun dan memperlihatkan selangkangan indah seorang wanita dewasa yang tertutupi bulu-bulu lebat berwarna hitam. Selangkangan itu terlihat begitu alami dan natural, tidak seperti selangkangan wanita-wanita panggilan papan atas yang seringkali ia booking demi kepuasan duniawi. Melihat selangkangan Ecy yang tertutupi bulu-bulu lebat rapi dan pakaian dalamnya bermodel polos berbahan katun tanpa renda, Pak Baskoro bisa memperkirakan kalau Ecy bukanlah seorang wanita bertipe penggoda dan binal di atas ranjang. Namun justru hal ini membuat birahi laki-laki itu kian meninggi. Bagaimana tidak, tentunya ia bisa membayangkan kalau penisnya sebentar lagi akan merasakan sensasi jepitan vagina yang pastinya masih akan terasa rapat karena belum dirusak oleh kocokan berbagai bentuk penis laki-laki.
Ini adalah pertama kalinya bagi Ecy untuk tampil polos di hadapan seorang laki-laki sejak perceraiannya. Parahnya, laki-laki yang berada dihadapannya bukanlah suami barunya ataupun mantan suaminya namun atasannya yang kini masih berstatus terikat tali perkawinan. Melihat tatapan mata nanar Pak Baskoro, secara refleks Ecy menggunakan kedua tangannya untuk menutupi payudara dan selangkangannya. Air mata semakin membasahi kedua pipi wanita cantik tersebut. Hatinya kini telah hancur, harga dirinya pun akan segera menyusul untuk hancur. Ecy tahu masih ada waktu untuk mundur sebelum akhirnya ia benar-benar menyerahkan kehormatannya kepada atasannya ini. Namun begitu teringat kembali anak semata wayangnya, ia pun menguatkan diri untuk mempertahankan keputusannya ini. Ecy lalu beranjak naik ke atas ranjang dan membiarkan tubuh indahnya tergolek pasrah di atas ranjang. Melihat Ecy yang kini telah terbaring di atas ranjang, dengan terburu-buru Pak Baskoro membuka seluruh pakaian berikut sepatu dan kaos kaki yang dipakainya. Di atas ranjang Ecy memejamkan matanya, seakan tidak ingin melihat wajah Pak Baskoro yang kini pastinya telah terbakar nafsu birahi. Sambil berbaring wanita cantik itu kembali menutupi bagian-bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangan. Gejolak pertentangan batin terus berkecambuk di dalam diri Ecy. Tak lama Ecy bisa merasakan kalau ranjangspring bed tempatnya berbaring mulai bergoyang. Ini berarti Pak Baskoro sudah naik ke atas ranjang dan siap menuntaskan nafsu birahinya. Ecy tetap memejamkan matanya. Bulir air mata pun terus menerus turun dari mata indah tersebut. Wanita cantik itu pun kian terisak ketika ia bisa merasakan sentuhan tangan Pak Baskoro mulai menjelajahi setiap jengkal tubuhnya. Sentuhan itu terasa begitu menyenangkan sekaligus memalukan. Apalagi ketika Ecy merasakan remasan lembut di payudaranya ditambah sebuah kuluman di permukaan payudaranya yang lain. Terasa begitu memalukan, tapi begitu nikmat! Ya begitu nikmat!
“Aaahhh… oohhh… aahh…”, walau masih terisak, mau tidak mau tubuh Ecy tidak bisa berbohong kalau ia menikmati benar sensasi yang ia rasakan saat ini. Desahan demi desahan pelan pun berlahan mulai mengganti suara isak tangis yang tadi keluar dari mulutnya.
“Bagaimana kalau saya memanggil Ibu dengan panggilan Ecy saja mulai sekarang? Ibu keberatan?”.
Ecy menggeleng pelan, sambil tetap merasakan sensasi nikmat yang ditimbulkan oleh sentuhan tangan Pak Baskoro yang kini sedang meremas-remas kedua payudaranya.
“Aahh… sungguh sempurna, berapa ukuran dadamu Cy?”.
“36”.
“Cup?”.
“B”, jawab Ecy sambil meringis nikmat akibat remasan tangan Pak Baskoro yang semakin kencang di kedua payudaranya.
“Ooohh… benar-benar padat dan kenyal!”.
Pak Baskoro kemudian melanjutkan kembali kuluman dan jilatannya di payudara Ecy. Kini kuluman dan jilatan tersebut menimbulkan jejak-jejak merah di permukaan daging padat tersebut. Jilatan lidah nakal Pak Baskoro perlahan mulai turun menjelajahi permukaan perut rata wanita cantik tersebut. Jilatan itu terus turun menuju pusarnya dan terus turun menuju kedua paha mulus dan padat milik Ecy. Kini Ecy sudah sepenuhnya terbelenggu dalam gejolak birahinya. Stimulus yang dilakukan Pak Baskoro pada tubuhnya terasa benar-benar nikmat. Semuanya terasa bagaikan hujan yang membasahi sisi gersang di dalam diri Ecy. Begitu lama terkungkung di dalam kesendirian, membuat tubuh wanita cantik itu menjadi begitu cepat terangsang.
“Srrup… srruup… ssrruup…”, terdengar suara sedotan di bawah sana. Kini Pak Baskoro memang sedang menghisap dan menjilati vagina Ecy.
“Aaakkhh…!”, Ecy berteriak kencang ketika lidah Pak Baskoro masuk ke dalam liang vaginanya. Ecy yang semula terpejam, kini mendadak terbelalak. Kenikmatan yang begitu luar biasa Ecy rasakan ketika lidah nakal tersebut menari-nari di dalam lubang vaginanya. Rasa nikmat tersebut terasa jauh lebih nikmat bila dibandingkan dengan kenikmatan yang ia rasakan ketika memainkan vagina dengan menggunakan tangannya sendiri. Tanpa disadarinya, Ecy secara refleks semakin membuka kedua kakinya dan mengangkang lebar guna memberikan akses penuh kepada lidah Pak Baskoro.
Cairan kewanitaan Ecy mengalir dengan derasnya menandakan kalau nafsu kini sudah benar-benar menguasai dirinya. Pak Baskoro pun masih nampak dengan telaten memainkan lidahnya pada vagina Ecy, sambil tangan kirinya memainkan klitoris wanita cantik tersebut yang sudah nampak menonjol. Sementara tangan kanan laki-laki tambun tersebut bergerak lincah meremas-remas kedua payudara Ecy yang terlihat sudah begitu tegang. Aroma wangi liang vagina Ecy semakin menggoda Pak Baskoro untuk terus dengan ganas memainkan lidahnya disana. Melihat bawahannya ini sudah mulai terangsang hebat, Pak Baskoro kemudian menghentikan kegiatannya di selangkangan Ecy. Ia tahu benar kalau vagina wanita cantik tersebut telah sepenuhnya siap menerima batang penisnya. Namun di saat yang sama batang penisnya justru belum tegang sempurna. Maka dari itu ia pun beranjak naik dan mencumbu bibir Ecy dengan bibirnya. Lidah mereka pun kini beradu mengakibatkan mau tidak mau mereka kerap kali harus bertukar air liur. Cukup lama keduanya berpagutan sampai kemudian Pak Baskoro berbisik di telinga Ecy.
“Kamu pernah mengoral penis mantan suamimu, Cy?”.
“Per… pernah Pak”, jawab Ecy lirih ditengah gelora birahinya.
“Sering?”.
“Nggak, sa.. saya nggak suka”.
“Kamu tidak suka mengoral penis?”.
Ecy hanya mengangguk.
“Suka atau tidak suka sekarang kamu harus mengoral penisku haha…”.
Selesai berbisik Pak Baskoro beranjak berdiri kemudian mengambil posisi duduk sambil bersandar di ujung ranjang. Laki-laki tambun itu lalu membantu Ecy untuk bangkit dari posisinya yang terlentang. Kini Ecy bersimpuh di depan atasannya tersebut. Saat itulah Ecy untuk pertama kalinya melihat batang penis Pak Baskoro secara jelas. Batang penis itu terlihat begitu besar dan panjang dengan urat-urat disekelilingnya. Penis itu jauh lebih besar dari milik mantan suaminya. Ecy pun bergidik melihatnya dan vaginanya pun terasa berdenyut membayangkan bagimana batang besar itu akan segera menyeruak masuk ke dalamnya. Memang Ecy tidak begitu suka melakukan oral seks. Ia merasa adalah sesuatu yang aneh harus memasukkan batang penis ke dalam mulutnya, dimana seharusnya benda itu masuk ke dalam vaginanya. Ada sedikit perasaan tidak nyaman dalam dirinya bila memberikan pelayanan oral dan kalaupun ia melakukannya maka selalu akan berujung pada rasa mual setelah selesai melakukannya. Ecy memang kadang kerap menolak saat mantan suaminya memintanya untuk melakukan oral sebagai bentuk foreplay. Oral seks paling hanya bersedia ia lakukan apabila mantan suaminya tiba-tiba bergairah sedangkan ia sendiri dalam keadaan menstruasi. Sebagai istri yang baik, Ecy pun berusaha membuang jauh-jauh perasaan tidak nyamannya dan berusaha memberikan pelayanan terbaik yang bisa ia berikan. Kini situasinya berbeda. Saat ini di dalam diri Ecy tengah bergejolak nafsu birahi yang luar biasa. Setiap titik syaraf di tubuhnya begitu merindukan sebuah kenikmatan dari sensasi persetubuhan. Vaginanya terasa berdenyut-denyut menantikan saat-saat batang penis besar itu menghujam masuk ke dalamnya. Seandainya saja ia bisa, maka ingin sekali rasanya saat ini juga ia mengangkang di atas batang kokoh tersebut dan menghujamkannya masuk ke dalam dirinya. Namun Ecy tahu kalau si pemilik batang kokoh tersebut ingin merasakan pelayanan mulutnya terlebih dahulu. Tak lama batang penis besar itu pun amblas masuk ke mulut wanita cantik tersebut. Kemudian batang penis itu pun bergerak keluar masuk di dalamnya.
Awalnya Ecy merasakan bau yang tidak sedap di selangkangan atasannya ini, namun wanita cantik itu berusaha tidak memperdulikannya dan terus mengulumnya. Yang ada di pikiran Ecy saat ini adalah secepatnya membuat batang besar itu mencapai ukuran maksimal dan menanjapkannya ke dalam lubang vaginanya.
“Ooohh… aaahh…!”, Pak Baskoro melenguh kencang karena saat ini batang penisnya benar-benar terasa sedang termanjakan. “Ternyata Ibu tidak hanya memuaskan saat bekerja di kantor, tapi juga memuaskan saat “bekerja” di ranjang hehe…”, ucap laki-laki tersebut ditengah kenikmatan yang mendera sekujur tubuhnya. Dengan pelan ia membelai rambut wanita cantik yang kini sedang memberikan pelayanan dengan mulut dan lidahnya.
Ecy sendiri sebenarnya sudah tidak kuat lagi menahan gejolak birahinya yang kian meninggi. Vagina terasa begitu basah dan berdenyut kencang. Jauh di dalam dirinya, ia sebenarnya ingin sekali agar Pak Baskoro secepatnya meng-“eksekusi” dirinya. Namun sebagai seorang wanita bermartabat tentunya mengatakan hal seperti ini secara langsung tentu adalah sebuah hal yang tabu. Akhirnya Ecy pun hanya bisa meraba-raba vaginanya sendiri dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya terlihat sibuk mengocok batang penis Pak Baskoro.
“Cukup Cy, sekarang giliran memekmu yang merasakan kontolku hahaha…”, saat ini Pak Baskoro seakan-akan merasa tidak perlu lagi menjaga image-nya sebagai seorang atasan. Laki-laki tambun itu pun kini tidak segan-segan lagi menggunakan kata-kata “aku” dan “kamu, serta “kontol “ dan “memek”.
Pak Baskoro mengangkat tubuh sintal Ecy yang sejak tadi merunduk di depan selangkangannya. Kini ia mengatur posisi tubuh Ecy sehingga giliran terduduk bersandar di ujung ranjang. Kemudian laki-laki tambun itu menekuk kaki Ecy dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Mata Pak Baskoro nampak terbelalak melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapannya. Sebuah vagina berwarna merah segar, begitu menggoda untuk dinikmati. Sedangkan wajah Ecy terlihat memerah menahan malu karena harus mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya menjadi bagian yang paling privasi dari dirinya.
“Ooohh… benar-benar ranum!”, Pak Baskoro menjulurkan tangan kanannya guna menyentuh bulu-bulu di vagina Ecy, kemudian mengusap-usap permukaan lubangnya dengan lembut.
“Aaahhh…”, Ecy mendesah.
“Selain mantan suamimu, siapa lagi yang pernah memakai memek ini?”.
Wajah Ecy semakin memerah mendengar pertanyaan atasannya ini.
“Siapa saja?”, Pak Baskoro mengulang pertanyaannya, kali ini sambil mengusap-usap tonjolan kecil yang ada dipermukaan vagina Ecy.
“Aaahh…”, kembali Ecy melenguh. “Ti… tidak ada lagi”.
Senyum sumringah terpancar di wajah kali-laki tambun tersebut. “Jadi artinya aku akan menjadi yang kedua?”.
Ecy mengangguk malu.
“Aku akan benar-benar menikmati saat-saat ini hahaha…”.
Pak Baskoro kemudian menghujamkan jari tengahnya ke dalam lubang vagina Ecy.
“Aaakkhh…!”, Ecy memejamkan matanya.
Ecy benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Ia sebenarnya sudah benar-benar siap untuk melakukan persetubuhan, bahkan setiap jengkal tubuhnya dan setiap simpul syarat yang ada di otaknya begitu merindukan sensasi kenikmatan tersebut. Tapi rupanya Pak Baskoro ingin mempermainkan dulu psikologis wanita cantik tersebut, sebelum melakukan “eksekusi”. Sebenarnya laki-laki itu tahu benar kalau saat ini bawahannya ini sudah terbakar birahi. Jari tengahnya yang kini mulai nampak menghujam pelan keluar masuk ke dalam lubang vagina Ecy, bisa merasakan kalau bagian tersebut telah benar-benar membanjir. Ecy sendiri merasakan jari Pak Baskoro memberikan kenikmatan kepadanya, tapi itu tidaklah cukup baginya. Jika hanya sebatas memasukkan jari ia sendiri sudah sering melakukannya ketika bermasturbasi. Saat ini yang sangat ia mendambakan adalah sesuatu yang lain berada di dalam kewanitaannya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan lagi sejak lama yaitu penis laki-laki. Ketika Pak Baskoro merubah posisinya yang semula terduduk menjadi berbaring, Ecy pun sama sekali tidak menolak. Ia tahu saat-saat yang dinantikannya akan segera tiba. Benar saja! Setelah merasakan kalau Pak Baskoro kembali membuka lebar kedua pahanya, tak beberapa kemudian Ecy merasakan sesuatu yang lembut menyapu permukaan vaginanya. Ecy tahu benar kalau yang saat ini sedang mengusap-usap liang kewanitaannya adalah kepala penis Pak Baskoro.
“Ayo Pak, masukkan, tolong segera hujamkan batang itu ke dalam!”, teriak Ecy di dalam hatinya. Ia malu untuk mengucapkan kata-kata itu secara langsung, namun ia juga tidak bisa berbohong kalau semua kata-katanya itu adalah gambaran hatinya saat ini. Ecy memejamkan matanya sambil meremas erat sprei dengan kedua tangan, menanti saat-saat yang ditunggunya.
“Ooohh…!!!”, pantat Ecy nampak terangkat beberapa senti dari atas ranjang.
Suara lenguhan panjang terdengar dari mulutnya. Remasan erat kedua tangannya menjadi semakin kencang. Kini batang penis Pak Baskoro sudah sepenuhnya berada di dalam liang kewanitaannya. Ketika batang penis itu melesak masuk ke dalam vaginanya, Ecy seperti merasakan kembali sensasi malam pertama ketika mantan suaminya memerawaninya. Sensasi yang luar biasa! Sungguh luar biasa! Ecy merasa seperti terbang melayang ketika Pak Baskoro mulai menghujam-hujamkan batang penisnya. Kenikmat ini sudah lama sekali tidak ia rasakan. Sedangkan di sisi lain, Pak Baskoro juga merasakan sensasi yang sama. Jepitan dinding vagina Ecy terasa begitu kencang bak seorang anak gadis yang baru saja diperawani. Hal ini jelas membanggakannya karena batang penisnya ini adalah batang penis kedua yang mengisi lubang kenikmatan bawahannya yang cantik mempesona ini.
“Aaahh… Ooohhh… Aaakkh…”, kini Ecy tidak hanya mendesah dan melenguh. Kini ia sudah berteriak, berteriak dan berteriak. Ia sepertinya telah lupa segalanya. Ia lupa kalau saat ini yang menyetubuhinya adalah atasannya sendiri. Ia lupa kalau saat ini seharusnya ia berada di kantor, bukan di hotel. Ia lupa kalau di awal tadi ia menangis dan selalu teringat akan dosa. Kini di dalam otak Ecy hanya ada kenikmatan duniawi yang sejati dan keinginan untuk mencapai puncak kenikmatan yang sejak lama tidak pernah dirasakannya lagi. Ecy benar-benar sudah menggila. Cukup lama berada di bawah, kini dengan meyakinkan ia menggulingkan tubuh tambun Pak Baskoro sehingga menjadi terlentang di sampingnya. Lalu dengan segera ia bangkit dari posisinya untuk kemudian berdiri mengangkang di atas tubuh Pak Baskoro. Laki-laki tambun itu nampak terkejut dengan perubahan bawahannya ini, namun ia juga merasa senang karena berhasil memicu sisi liar Ecy sehingga menjadi binal dan nakal. Ecy kemudian berjongkok sambil menggenggam batang penis Pak Baskoro dan kemudian mengarahkannya ke lubang vaginanya. Setelah merasa posisinya pas, Ecy pun duduk di atas tubuh Pak Baskoro dan penis laki-laki itu pun kembali amblas ke dalam vaginanya. Kini Ecy menguasai sepenuhnya permainan dalam posisi woman on top. Wanita cantik itu menggoyangkan pinggulnya dengan liar. Nampaknya ia ingin batang penis besar itu sepenuhnya mengaduk-aduk vaginanya dan memberinya kenikmatan yang lebih dasyat.
“Ooohhh… goyang terus Cy! Nikmat banget memekmu!”, rancau Pak Baskoro.
Dalam posisi seperti ini tidak terlihat lagi siapa yang menyetubuhi siapa. Tak terlihat lagi Ecy yang tadi menangis dan menyesal karena menyerahkan tubuhnya atas paksaan. Semuanya berubah 180 derajat. Kini yang terlihat justru Ecy-lah yang begitu bersemangat menyetubuhi Pak Baskoro.
Ecy mengambil kedua tangan Pak Baskoro dan meletakkannya pada kedua payudaranya. Rupanya ia ingin selama bergoyang, pasangan bercintanya ini terus meremas-remas payudaranya yang sudah nampak semakin memadat.
“Aaaahh… ooohhh…”.
“Uuhh… aaaakkhh…”.
“Oooohh…!!”.
Di dalam ruangan kamar hotel itu kini dipenuhi oleh suara teriakan penuh kenikmatan dari kedua insan yang sedang bersetubuh tersebut. Dinginnya AC sama sekali tidak bisa menetralisir panasnya birahi dari keduanya. Kedua tubuh polos tanpa sehelai benang tersebut terlihat dipenuhi peluh. Ranjang pun kini terlihat semakin kencang bergoyang, menandakan begitu dasyatnya gairah yang membelenggu dua insan tersebut. Cukup lama Pak Baskoro membiarkan Ecy memegang kendali permainan. Namun rupanya kini Pak Baskoro ingin berganti posisi kembali dan mengambil kendali permainan kembali. Ia kemudian membuat tubuh Ecy terlentang kembali di atas ranjang. Kemudian ia mengangkat satu kaki Ecy ke pundaknya, sehingga membuat tubuh Ecy dalam posisi menyamping. Lalu dengan segera kembali menghujam-hujamkan batang penis besarnya ke dalam vagina wanita cantik tersebut.
“Oooohh…!!”.
“Oooohh… aahhh…!!”.
Teriakan penuh nafsu masih terus terdengar. Pak Baskoro rupanya benar-benar perkasa di atas ranjang. Di saat Ecy mulai merasakan sesuatu yang dasyat akan segera meledak dari dalam dirinya, genjotan penis Pak Baskoro sama sekali tidak terlihat mengendur, justru semakin kencang. Bahkan Pak Baskoro kini kembali mengganti posisi genjotannya menjadi doggie style. Dengan begini batang penis besar tersebut dapat menghujam semakin kencang dan semakin dalam. Hal ini membuat Ecy semakin bisa merasakan kalau puncak permainan akan segera direngkuhnya.
“Terus Pak, yang kenceng, yang dalem!”, rancau Ecy. Jika saja saat ini Ecy dalam keadaan sadar, mungkin ia tidak akan percaya kata-kata seronok seperti itu akan keluar dari mulutnya.
Kata-kata wanita cantik tersebut membuat Pak Baskoro merasa semakin perkasa. Ia pun kian semangat menggenjot vagina Ecy.
“Pak, saya keluar! Saya keluar!”, rancau Ecy.
“Tahan Cy, tahan bentar!”.
“Pak… Pak Baskoro… aaahh… ooohhh…”.
“Ooohh… Ooohh… Ooohh…”, Pak Baskoro terus melenguh seiring genjotan penisnya yang semakin kencang.
Tubuh polos Ecy dan Pak Baskoro kini berguncang semakin hebat. Nampaknya keduanya akan segera mencapai klimaks dengan gemilang bersamaan.
“Aaaakkh…. Pak….!!!”, Ecy melolong panjang. Disusul kemudian dengan Pak Baskoro, “Aaakkh…!!!”.
Keduanya pun ambruk di atas ranjang, dimana tubuh tambun Pak Baskoro menindih tubuh sintal Ecy. Setelah itu Pak Baskoro berguling kesamping dengan nafas terengah. Kenikmatan yang luar biasa yang saat ini menderanya membuat Ecy tidak menyadari kalau cairan sperma Pak Baskoro menyembur kencang ke dalam liang vaginanya. Bahkan ketika mereka ambruk tadipun penis laki-laki itu masih berkedut beberapa kali mengeluarkan semburan sperma tambahan. Ecy sepertinya tidak peduli kalau akibat persetubuhan ini mungkin saja bisa mengakibatkan kehamilan baginya. Yang ada kini dalam pikiran Ecy adalah perasaan nikmat yang sangat ia rindukan dan nantikan sejak perceraiannya. Bahkan ketika masih melayani mantan suaminya, Ecy tidak pernah merasakan kenikmatan dari persetubuhan seperti saat ini. Kini Ecy benar-benar telah terbang ke langit ke tujuh. Kesadaran wanita cantik tersebut baru mulai perlahan muncul ketika ia merasakan sebuah ciuman di bahunya. Ciuman itu terus menyerang bahu, pundak, leher dan telinganya. Selain itu Ecy juga merasakan belaian lembut di rambutnya yang panjang. Berlahan rasa sesal yang tadi menyelimuti diri wanita tersebut mulai muncul kembali seiring kesadarannya yang mulai bangkit. Kembali bulir air mata jatuh dari pinggir kelopak mata indahnya. Tapi rasa sesal ini sudah tidak berguna lagi. Tubuhnya ini kini telah dinikmati oleh Pak Baskoro. Namun ketika tangan Pak Baskoro mulai bergerilya menuju payudaranya, Ecy seakan tiba-tiba sadar akan ketelanjangan dirinya. Ecy pun menarik selimut dan dengan segera menutupi tubuh polosnya.
“Hahaha… untuk apa lagi kamu tutupi tubuh indahmu ini Cy?”.
Pak Baskoro berusaha membalikkan tubuh Ecy yang tertelungkup membelakanginya, namun Ecy menolak dan mempertahankan posisinya. Suara isak tangis kini terdengar keluar dari mulut Ecy.
“Baiklah, menangislah sepuasmu, semua wanita yang aku tiduri untuk pertama kali memang melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan saat ini hahaha…”.
Ecy benar-benar kesal dengan kata-kata Pak Baskoro tadi. Dari kata-kata tersebut berarti dirinya bukanlah wanita pertama yang menjadi “korban” nafsu bejatnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Ecy selain menangis. Walaupun harus diakuinya kalau beberapa saat yang lalu ia benar-benar menikmati persetubuhan yang mereka lakukan, namun tetap saja sebagai wanita normal Ecy menyesali hal tersebut. Ecy memegang erat selimut yang membungkus tubuh polosnya.
“Aku akan membersihkan diri lebih dulu, setelah itu silakan kamu melakukan hal yang sama karena kita masih harus kembali ke kantor”.
Sebelum beranjak dari atas ranjang, Pak Baskoro mencium pipi Ecy dan kemudian berbisik, “Ibu Desi, ini bukanlah yang terakhir, sekarang Ibu sepenuhnya adalah milik saya hahaha…”.
Tak lama kemudian terdengar suara senandung dari dalam kamar mandi. Suara yang terdengar seperti lantunan suara iblis di telinga Ecy. Saat ini wanita cantik itu tetap terbaring pada posisinya semula sambil terus menangis dan menyesali apa yang baru saja telah terjadi. Kini ia merasa kalau dirinya benar-benar telah ternoda. Noda yang tidak akan pernah hilang seumur hidupnya. Awan hitam pun mulai saat ini akan terus bertengger dan menyelimuti kehidupan Ecy.
********
Manusia mengklaim dirinya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Merasa berada pada tingkat tertinggi dalam siklus kehidupan. Selalu berbangga diri karena dikaruniai akal dan pikiran oleh-Nya. Namun manusia kerap lupa kalau mereka juga dibekali dengan nafsu birahi. Ketika birahi berbicara maka akal dan pikiran itu pun terpental entah kemana. Apalagi bila kemudian birahi itu diperkuat dengan sebuah kekuasaan yang besar. Maka berlakulah apa yang diistilahkan dengan homo homoni lupus, homo homoni sosius. Manusia yang satu akan menjadi serigala bagi manusia yang lainnya. Ketika ini terjadi, manusia pun tidak ada bedanya dengan binatang. Bergerak berdasarkan insting demi mencapai apa yang disebut dengan : kepuasan!
********
Laras nampak keluar dari dalam mobil Swift merah marun miliknya. Mobil itu terlihat terparkir rapi di depan garasi rumah kontrakan yang sudah dikontraknya hampir selama 2 tahun ini. Ekspresi wajah gadis manis itu memperlihatkan kelelahan yang sungguh luar biasa, setelah satu hari full ia harus berkonsentrasi menyelesaikan segala aktifitas dan masalah di kantornya. Rumah yang dikontraknya ini cukup mungil, namun cukup luas untuk ditinggali seorang diri. Halaman di depan rumah tersebut dihiasi sebuah taman kecil yang menempel di pinggir-pinggir gerbang. Sedangkan seluruh areal halaman tertutupi oleh kerikil-kerikil kecil, kecuali jalan setapak kecil yang menuju ke dalam rumah yang nampak tertutupi semen. Gadis manis itu melangkah gontai menuju ke dalam rumah. Beberapa langkah berjalan, dari dalam tas jinjingnya terdengar nada ponsel. Laras mengeluarkan ponselnya tersebut dan senyuman pun terkembang di wajahnya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
“Hai say!”, suara Laras terdengar manja. Paling tidak setelah menghadapi berbagai macam masalah di kantornya hari ini, kini ia bisa tersenyum mendengar suara kekasihnya.
“Hai juga, gimana kabar cintaku hari ini?”.
“Cuaapek buangeeet…”.
“Hahaha… kacian nih, coba aku disana pasti udah aku pijitin”.
“Halah, kalau kamu yang mijit bisa bahaya tuh hehe…”.
“Kan pijitan kasih sayang hehehe…”.
“Dasar! Gimana proyeknya?”.
“Ini masih di lapangan, baru ngurus satu tower, ini juga masih belum nemu kerusakannya”.
“Rumit juga ya kayaknya?”.
“Iya nih maklum tower lama, eh udah dulu ya honey kayaknya aku diperluin tuh ama temen temen yang lain, ntar aku telpon lagi”.
“Iya deh, ati-ati ya kerjanya”.
“OK, muaachh…”.
Laras mematikan ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Ia kemudian berganti mencari kunci rumahnya di dalam tas jinjing coklat yang dibawanya sambil berjalan. Laras baru bisa menemukan benda yang dicarinya tersebut, ketika ia sampai di depan pintu. Gadis manis itu lalu memilih salah satu kunci diantara sekian banyak anak kunci yang tergantung menjadi satu. Ia kemudian memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang kunci. Belum sempat ia memutar kunci tersebut, tiba-tiba sebuah bekapan kuat mencengkram tubuhnya dari belakang. Laras langsung meronta dan hendak berteriak, namun suara teriakannya tidak sempat keluar karena hidung dan mulutnya kini telah ditutup oleh sebuah kain beraroma aneh dan menyengat. Laras masih terus berusaha meronta walaupun bekapan di tubuhnya terasa sangat kuat. Beberapa saat kemudian rontaan Laras pun berakhir. Tubuh molek itu akhirnya terbujur lemas di dalam bekapan sosok misterius yang secara tiba-tiba muncul tersebut. Semuanya pun menjadi gelap karena gadis manis tersebut tak sadarkan diri.
To Be Continued…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Musim Panas di Los Angeles - 3
Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sa...
-
Vani Gadis KU Semasa kuliah terjadi sebuah pengalaman serta cerita sex aku bersama temanku. Gimana sih cerita dewasa dan cerita sek...
-
Sudah setengah jam ini suara dengusan nafas yang memburu dan lenguhan penuh birahi terdengar sayup-sayup dari sebuah kamar kos di bilangan ...
-
Cerita Seks Vani Peju Siapa Ini Cerita Seks Vani Peju Siapa Ini, Sinar matahari sudah di ubun-ubun kepala. Suasana sebuah kos di satu...
Yang ini lanjutannya mana ya?
ReplyDelete