Saturday, April 1, 2017

Sari - Nova

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.

---

Suasana kantor pada hari Jumat jam setengah empat
sore kali ini hampir tidak berbeda dengan biasanya.
Dari ruang pribadiku terdengar hiruk pikuk teman-teman
sekerja yang bersiap-siap pulang, canda ria yang
terdengar lepas, dan tulat tulit ponsel mereka yang
sudah mulai ditelpon dari rumah untuk rencana week
end. Seperti biasanya juga, aku pulang agak terakhir.
Bukan karena rajin, tapi karena aku malas mengemudikan
Katana hijauku dalam antrian panjang berkelok-kelok
yang memenuhi gedung parkir pada jam-jam segini. Aku
tetap duduk di kursi kerjaku, mengerjakan beberapa hal
untuk persiapan hari Senin nanti, agar hari Mingguku
bisa terasa lebih bebas. Setelah aku rasa cukup, aku
membuka-buka beberapa situs favoritku di internet,
seperti FriendFinder, nba.com, dan lain-lainnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

"Yak, masuk Nov!" Kataku singkat.
Pintu terbuka, dan masuklah Nova, seorang teman kerja
yang waktu itu baru diangkat menjadi asistenku.
Namanya pernah tertulis juga di serial Lust Hunter
terdahulu.
"Kok tahu kalau aku?" Tanyanya keheranan sambil
menutup pintu kembali.
"Yah...siapa lagi kalau bukan kamu?" Jawabku tanpa
memberitahunya kalau aku sudah hafal pola ketukannya
yang agak lebih keras dibandingkan teman-teman lain.

Wanita itu meletakkan tas kerjanya di sofa putih di
seberang ruangan lalu mendatangi meja kerjaku sambil
matanya sesekali melirik kesana-kemari untuk mencari
benda-benda aneh baru yang memang sering kupajang di
situ. Ketika matanya menemukan sebuah album foto di
meja samping, ia lalu membelokkan arahnya ke situ dan
mencomotnya. Dalam hati aku tertawa geli melihat
tingkahnya yang agak kekanak-kanakan meski usianya
hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Kini ia
mengamati foto-foto itu dengan mimik serius, sementara
aku mengamati dia. Nova ialah seorang mantan atlet
yang bentuk tubuhnya terpelihara dengan baik meski
warna kulitnya agak kecoklatan karena dulu sering
diterpa matahari. Wajahnya cukup manis menurutku,
sementara pakaian-pakaian yang menempel di badannya
selalu mengikuti apa yang kupakai, ia juga selalu
mengikuti kemana aku pergi, dan melakukan apa yang aku
lakukan. Pendeknya, dimana ada Sari, disitu ada Nova,
entah dalam bisnis atau just for fun, singkatnya, dia
seorang sidekick sejati buatku. Ia adalah seorang
'petualang baru' yang memilih menjadi petualang karena
kebetulan ia sangat dekat denganku. Agak merasa
berdosa juga aku, jika mengingat saat pertama ia
datang ke kantor memenuhi iklan lowongan koran. Waktu
itu aku sendiri yang mewawancarainya, dan waktu itu ia
tampak masih lugu dengan kacamata berbingkai hitam
tebal dan rambut panjang sebahu serta pakaian
yang...well...konvensional.

Namun sekarang? Dari tempat dudukku aku bisa mengamati
posturnya yang semampai (sekitar 170-an lah) dan
berbahu bidang itu sedang berdiri di sisi ruangan
dengan terbungkus setelan pakaian kerja Escada merah
menyala yang elegan namun terkesan seksi. Kacamata
berbingkai tebal juga sudah digantikan dengan contact
lens coklat, sementara rambut ikalnya kini dipotong
persis seperti rambutku, pendek seleher dan simpel.
Untung saja rambutku lurus, hingga masih tetap ada
bedanya!

"Ini foto waktu kapan, mbak?" Tanyanya membuyarkan
lamunanku.
"Oh, pas SMA." Jawabku singkat, "Kenapa emang?"
"Mbak Sari yang mana?" Tanyanya balik dengan tetap
mengamati album foto itu dengan mimik serius.
"Yang mana, hayooo?" Godaku sambil mematikan MacIntosh
dan beranjak berdiri dari kursi kerjaku.
"Yang ini ya?" Tanyanya sambil menghadapkan album foto
itu padaku dan menunjuk sebuah foto.
"Iya, yang itu." Jawabku sambil membenahi tas kerjaku,
"Cantik, 'kan?"
Kata-kata terakhir itu tadi mendapatkan jawaban berupa
ekspresi mengejek dari wajahnya.
"Norak, ah!" Katanya sambil menutup album itu dan
melemparnya kembali ke meja, "Kaki kepanjangan gitu
masa pakai celana kependekan, apa nggak malah berkesan
kerempeng?" Lanjutnya lagi, yang kubalas dengan sebuah
tinju agak keras di lengannya.

Kami lalu tertawa-tawa sambil menanti jam bergeser ke
pukul setengah lima, supaya perjalanan mobilku lancar
di gedung parkir. Nova menceritakan padaku tentang
masa-masa hidupnya sebagai atlet, tentang
latihan-latihan fisik yang dilakukannya, dan hal lain
yang terkesan macho dan terlalu dibesar-besarkan.
Sementara aku dengan tak kalah membual juga
menceritakan tentang latihan yang kualami pada saat
aku tergabung dalam sebuah klub basket.

"Eh, gimana rencana malam ini?" Tanya Nova di tengah
pembicaraan.
"Aku belum ada rencana lebih jauh." Jawabku, "Kamu ada
rencana apa?"
"Yahhh..." Desah Nova panjang sambil merentangkan
kedua tangannya dan menggeliat malas, "Aku sih pengen
jalan-jalan."
"Jalan-jalan apa jalan-jalan?" Tanyaku dengan nada
menggoda.
"Hmm...", Nova terdiam agak lama, "Pengennya ya
jalan-jalan biasa, tapi kalau nanti ada hasilnya, yah,
nggak apa-apa kan?"
Pembicaraan terus berlanjut hingga akhirnya tiba pada
topik kesenangan wanita, yaitu membicarakan orang
lain. Kami membicarakan seorang kawan yang kebetulan
sering bekerja sama dengan perusahaan kami.
"Mbak Sari, kalau mbak Ida itu orangnya gimana?" Tanya
Nova sambil mengamati pemandangan dari jendela lantai
tujuh ini.
"Apanya yang gimana?" Tanyaku balik sambil mengenakan
blazerku kembali dan bersiap-siap pulang.
"Dia kan single," Jawab Nova, "Apa dia
juga...hm...seperti Mbak Sari?"
"Hihihi," Aku tertawa kecil mendengar 'tuduhan'-nya
itu, "Not really." Lanjutku sambil mematikan lampu dan
mencolek lengan Nova agar mengikuti aku keluar ruang
kerja.

Karena gedung parkir sudah lumayan kosong, Katana
hijauku dengan bebasnya meninggalkan gedung kantor
itu. Nova menumpang di mobilku, agar nanti bisa keluar
jalan-jalan bareng, katanya. Tapi however kami masih
belum punya tujuan yang jelas, hingga kami
berputar-putar saja di daerah itu. Sempat terpikir
untuk mampir ke kafe Jendela tempat beberapa kawan
sering nongkrong, tapi karena masih terlalu sore dan
sepi, akhirnya nggak jadi. Sempat juga ada ide untuk
mampir ke Colors pub, tapi sekali lagi karena masih
terlalu sore, kami mengurungkan niat itu.

"Nov, kamu tadi kok nanya tentang Mbak Ida kenapa?"
Tanyaku karena tidak ada topik yang dibicarakan.
"Nggak apa-apa sih." Jawabnya sembari menggosok lensa
sunglasses Gucci-nya dengan ujung baju, "Just
curious."
"Dengar-dengar...dia orangnya nggak normal, yah?"
Tanya Nova lagi.
"Maksudmu dia sinting?" Tanyaku balik, menghindari
membicarakan kejelekan orang dengan cara mengambil
ekstrimnya.
"Nggak gitu sih," Jawab Nova tetap dengan mimik
serius, "Kata orang, dia nggak suka sama cowok."

"Kalo emang iya, kenapa? Dan kalo enggak, apa kamu
nggak malu nggosipin orang?" Jawabku diplomatis.
Nova tertawa kecil mendengar sindiran itu, "Aku cuman
pengen tahu." Jawabnya tak kalah diplomatis tapi masih
amatiran.
"Kalo emang ternyata iya, apa kamu lantas mau nyoba
kencan sama dia?" Tanyaku to the point.
Wajah Nova tampak menunjukkan ekspresi aneh, perpaduan
antara jijik dan mendapat inspirasi.
"Gini deh, daripada kita ngomongin orang, gimana kalau
kita mampir ke rumah dia." Jawabku sambil menyalakan
lampu sign untuk belok kiri, karena Katana hijau kini
telah sampai di depan rumah orang yang kami bicarakan.
"Lho, lho, lho! Mbak! Jangan dooong!" Rengek Nova
ketika Katana hijau kuparkir di depan rumah besar
dengan design aneh itu.
Aku tidak mempedulikan rengekannya karena setengah
jengkel. Aku hanya membuka pintu dan keluar dari
mobil, meski sambil merengek dan menggerutu tidak
jelas, Nova ikut turun juga.

Sampai ketika aku memencet bel pintu, Nova masih juga
tampak tidak tenang. Ia berkacak pinggang sambil
melihat ke langit yang kini berwarna ungu bercampur
oranye. Rumah yang kami kunjungi itu terletak di tepi
sungai kecil dengan lingkungan tertutup yang dipenuhi
pohon-pohon besar (Dan para pembaca yang berasal dari
kota S akan berpikir-pikir, kira-kira dimana letaknya,
ya kan? Hihihi, LH) sehingga suasana jadi agak
remang-remang dramatis.
Seorang pembantu pria berwajah Maluku berbadan tegap
keluar dari balik pintu dalam dan kembali masuk
setelah aku menyebutkan nama orang yang aku cari.
Pintu kembali terbuka, tapi bukan si pembantu yang
keluar, melainkan seorang, eh seekor anjing St.Bernard
sebesar meja makan.

"Aduh, Mbak...ada anjingnya, pulang aja yuk!" Seru
Nova merasa mendapat alasan.
Aku hanya memandangi wajah Nova dan wajah anjing itu
bergantian, lalu menunjuk ke anjing yang kini menatap
wajah Nova sambil menjulurkan lidah dan
mengibas-ngibaskan ekor.
"Tuh lihat!" Kataku, "Dia menyukai kamu, jadi nggak
ada masalah."
"Hm...masa sih?" Tanya Nova sambil berlutut dan
mengamati wajah anjing yang berekspresi lugu agak
bodoh itu dari balik pagar.

Si pembantu muncul dan membukakan gerbang pagar yang
terbuat dari kayu berat berlubang-lubang di sana-sini
itu. Kami melangkah masuk. Aku melangkah dengan
tenang, sementara Nova melangkah agak gelisah sambil
sesekali melihat ke arah anjing besar yang kini
berjalan mengikutinya. Besar sekali memang, tingginya
saja hampir sepinggang kami. Si pembantu lalu
mempersilakan kami duduk di kursi beranda, tentu saja
dengan ditemani St.Bernard besar itu, yang kini duduk
bersimpuh di lantai memandangi Nova dengan ekspresi
yang seperti tadi, lugu setengah bodoh.

Nuansa rumah itu memang agak mendirikan bulu tengkuk
bagi orang yang belum pernah mengunjunginya. Pagarnya
terbuat dari kayu berwarna gelap yang terkesan berat
dan tertutup. Pekarangannya yang tidak terlalu luas
ditutup dengan paving block yang dicat cokelat gelap,
senada dengan tembok rumah yang juga berwarna maroon
gelap. Bangunannya sendiri mungkin cukup bagus,
bangunan tua dengan arsitektur kolonial, namun
sentuhan seni kontemporer di sana-sini membuatnya
tampak aneh. Bayangkan saja, lampu temaram yang
menempel di dindingnya berbentuk kepala wanita yang
melotot, asbak di meja beranda pun berbentuk kepala
seorang bayi (atau tuyul?) yang mulutnya menganga
lebar. Perpaduan yang agak aneh karena meja dan kursi
berandanya berwarna hijau tua dan berbentuk ukiran
Jepara klasik. Di sudut beranda juga terdapat beberapa
patung kayu ukiran Bali yang menggambarkan dua orang
wanita tanpa busana sedang saling mencekik.
"Angker ya, rumahnya?" Celetuk Nova yang rupanya juga
mengamati situasi.
"Yah, tapi dia satu-satunya designer yang setuju
dengan harga yang kamu tawarin!" Jawabku mengingatkan
Nova.
"Hm, iya ya. Mbak Ida partner kantor kita." Gumam
Nova, "Apa nggak sebaiknya nanti kita ngomongin
kerjaan aja?"
"Alaa, udahlah, sekarang Jumat malam." Jawabku
jengkel, "Lagian kan kamu pengen kenal lebih jauh sama
dia?"
"Siapa yang pengen kenalan sama aku?" Tanya suara
berat seorang wanita yang terdengar tiba-tiba dari
samping beranda.

Nova dan aku sempat agak terjingkat karena kaget oleh
suara Mbak Ida yang memang berat itu. Wanita berusia
30-an itu telah berdiri di samping beranda dan
mengelus-elus kepala anjingnya. Meski usianya agak
lebih tua dari aku, Mbak Ida memiliki postur tubuh
yang terjaga. Tidak seperti Nova dan aku yang meski
ramping tapi terkesan lebar dan bidang, postur tubuh
mbak Ida cenderung tidak nampak lebar. Tingginya
kurang lebih 160-an, dengan proporsi yang lebih
panjang di kaki. Kulitnya agak gelap dan bentuk
tubuhnya padat tapi khas wanita dengan dada yang agak
membusung. Sore itu ia mengenakan sejenis kimono
berwarna coklat gelap yang belahannya agak rendah
hingga kami dapat dengan jelas melihat cleavage
(belahan dada) nya. Rambutnya yang lurus dan panjang
sebahu dicat merah. Merah beneran, merah bendera,
bukan merah brunette. Wajahnya  cantik namun matanya
terkesan misterius di bawah alis yang hampir tidak ada
rambutnya.

"Ini, si Nova yang pengen kenalan sama Mbak Ida."
Jawabku seraya berdiri dari kursi beranda.
"Lho, kan udah kenal?" Jawab Mbak Ida sambil menjabat
tangan Nova yang malu-malu dan agak gemetar.
"Ayo masuk!" Seru Mbak Ida mempersilakan kami masuk.
"Bas, kamu jaga diluar ya!" Serunya, kali ini
ditujukan ke si anjing.
"Mbak, nama anjing kamu siapa sih?" Tanyaku ingin
tahu.
"Lubas Herera." Jawab Ida singkat sambil membukakan
pintu ke ruang tamu.
Aku hanya memandangi anjing dan pemiliknya bergantian,
setengah heran karena jarang ada anjing yang punya
nama belakang.

Suasana ruang tamu yang amat luas itu berbeda 180
derajat dengan beranda dan pekarangan yang gelap dan
misterius. Dinding ruang tamu berwarna putih cerah,
lantainya juga terbuat dari keramik putih. Sementara
perabotannya bergaya modern, terbuat dari pipa-pipa
besi berlapis chrome mengkilat dengan
bantalan-bantalan kursi biru cerah. Satu-satunya
hiasan dinding adalah jam yang tepinya terbuat dari
ban penyelamat kapal berwarna merah terang bergaris
putih, dan jarum jamnya juga berwarna merah terang,
kontras dengan nuansa ruangan yang biru-putih. Tidak
ada coffee table (meja tamu), yang ada hanya sebuah
meja makan di tengah ruangan yang kakinya terbuat dari
pipa-pipa mengkilat dan mejanya sendiri dari kaca
dengan bentuk yang tidak simetris, seperti sirip ikan
hiu. Di sudut ruangan terdapat tiga buah komputer
MacIntosh yang casing dan monitornya berwarna biru
transparan, semuanya masih menyala dan screen savernya
berbeda-beda, di monitor paling kiri ada huruf I yang
berputar-putar, di monitor tengah huruf D, dan di
monitor paling kanan huruf A, ketiganya membentuk
huruf nama pemiliknya, benar-benar nyentrik, pikirku.
Sementara dinding belakang dari ruang tamu ini bukan
tembok, melainkan kaca yang menghadap ke sebuah kolam
renang kecil berbentuk pisang. Yang paling aneh adalah
dinding dan dasar kolam renang itu tidak polos seperti
umumnya kolam renang, melainkan dipenuhi sebuah anime
(kartun jepang) besar yang menggambarkan wanita-wanita
yang dibelit gurita. (Setelah diamati lebih jauh,
ternyata bukan gurita, melainkan kejantanan pria yang
jumlahnya banyak dan panjang-panjang seperti ular
melilit badan wanita-wanita tanpa busana itu).

"Yah, ginilah rumahku." Kata Mbak Ida memecah
keheningan, "Gimana?"
"Hm...bagus, bagus sekali," Jawab Nova
mengangguk-angguk tanpa mampu menyembunyikan ekspresi
gugup setengah takut.
"Berbeda sekali dengan waktu aku kesini pertama dulu."
Jawabku sambil mengamati jam dinding aneh yang
kuceritakan tadi.
"Iya dong, Sar." Jawab Mbak Ida, "Kami kan tipe
pembosan, kayak kamu!" Lanjutnya penuh arti.

Kami duduk mengelilingi meja makan berbentuk sirip
hiu itu, menghadap ke beberapa gelas sirup yang
dihidangkan si pembantu yang tadi membukakan pintu.
Nova tak henti-henti memandangi rambut Mbak Ida yang
dicat merah menyala itu, sementara aku sendiri
berusaha untuk tidak menunjukkan ekpresi heran, takut
dia tersinggung.
"Nah, ada apa ini kok kemari? Ada order lagi yah?"
Tanya Mbak Ida mengawali pembicaraan setengah
bercanda.
"Ah, enggak, hanya nggak ada acara aja sore ini."
Jawabku sambil menyeruput minuman di gelas berbentuk
kepala Miki Tikus.
Agak kaget juga aku ketika minuman di gelas itu
menyembulkan sedikit aroma alkohol, aku hanya meneguk
sedikit saja karena aku memang tidak suka minuman yang
memabukkan. Aku melirik ke Mbak Ida sambil mengangkat
alis kiriku,
"Apa nih minumannya?" Tanyaku dengan mata menuduh
namun masih terkesan ramah.
"Oh, iya!" Jawab Mbak Ida dengan ekpresi datar, "Aku
lupa kamu nggak minum."
Mbak Ida lalu berjalan ke dispenser di sudut ruangan
dan menuangkan segelas air putih untuk aku. Ketika ia
berjalan meninggalkan meja makan, aku melirik ke arah
Nova.
"Nov, kalau nggak suka nggak usah diminum, lho."
Bisikku mencegahnya.
"Hmm?" Tanya Nova sambil melihat ke arahku dan
meletakkan gelasnya yang telah kosong ke meja. Ah, ya
sudahlah. Aku mengurungkan niatku mencegah Nova
meminum minuman aneh itu.

Kami lalu ngobrol kesana kemari diselingi joke-joke
khas wanita lajang. Suasana menjadi hangat dan akrab.
Tanpa terasa jam dinding menunjukkan pukul delapan
malam, namun Nova yang tadi takut-takut, kini malah
tampak betah. Memang Mbak Ida, terlepas dari bagaimana
bentuknya, adalah orang yang ramah dan menyenangkan.
Sekedar info, ia adalah seorang designer yang kerap
kali bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.
Dan ia sering kami pakai karena kelebihannya itu, ia
memiliki 'people skill' yang tinggi. Tidak seperti
umumnya orang seprofesi dia, yang sulit untuk memahami
orang lain dan cenderung menganggap orang lain 'awam'.
Meski gayanya mendandani rumah cenderung aneh, dia
sama sekali bukan tipe orang yang nyentrik atau
'weird' dalam hubungan kerja. Ia amat profesional.
Pembicaraan berlanjut sampai kemudian Mbak Ida
mengantar Nova berkeliling rumahnya. Aku yang dulu
sudah pernah kesitu tidak ikut berkeliling, aku
mengambil sebuah buku dari rak di sudut ruangan dan
mulai membacanya. Sebuah buku paperback bagus, yang
berjudul Rich Dad Poor Dad, oleh Robert Kiyozaki.
Cukup lama aku membaca buku itu sampai kemudian Nova
datang kembali ke ruang tamu menjumpaiku.
"Mbak Sari, pulangnya nggak buru-buru kan?" Tanyanya
dengan mata kekanak-kanakan.
"Oh? Nggak kok." Jawabku sambil melirik arloji, "Emang
mau ngapain kamu?"
"Mbak Ida ngajak aku nyobain kolam renangnya, kata dia
airnya hangat." Jawab Nova lagi.
"Yah, terserahlah. Tapi apa kamu bawa baju renang?"
Tanyaku.
"Dia mau minjemin kita baju renang kok." Jawab Nova
sambil menunjukkan sebuah kantong plastik yang berisi
pakaian renang.
"Ganti bajunya di kamar mandi situ, Nov!" Kata Mbak
Ida yang tiba-tiba muncul.
Kali ini Mbak Ida muncul dengan kimononya sudah tidak
lagi diikat, dibiarkannya terbuka begitu saja, dari
balik kimono tampak bikini renang berwarna merah
seperti rambutnya. Hm...kontras dan indah juga
perpaduan warna itu, kulitnya yang kuning agak gelap
dan bikini serta rambut merah. Dalam hati aku sempat
iri dengan bentuk badan Mbak Ida yang padat dan
berbentuk, sementara badanku sendiri cenderung ceking
dan datar panjang-panjang.
"Kamu ikutan sekalian deh, Sar!" Ajak Mbak Ida lagi,
"I Promise I won't do anything." Lanjutnya penuh arti.
Aku hanya mengangkat bahu dan tidak punya pilihan
lain. Apalagi Nova menarik lenganku masuk ke kamar
mandi.

Kamar mandi rumah ini jadi terkesan aneh karena tidak
ada yang aneh di dalamnya. Kamar mandi klasik
berukuran besar dengan bak mandi di sudut, cermin
besar di dekatnya, sebuah kloset di sampingnya, dan
sebuah pintu menuju ke ruang lain. Begitu 'biasa' jika
dibandingkan dengan suasana dalam rumah. Di situ Nova
tanpa malu-malu mempreteli semua yang melekat di
badannya dan mengenakan bikini yang dipinjamkan Mbak
Ida.

"Kamu kok milih yang bikini sih?" Tanyaku sambil
memilih-milih pakaian renang dalam kantong plastik.
"Emang kenapa, Mbak?" Jawab Nova sambil
melenggak-lenggok di depan cermin menatap keindahan
bentuknya yang memang indah.
"Kan nggak ada cowok." Lanjutnya lagi.
Aku memilih pakaian renang biasa saja, Speedo berwarna
biru muda. Hm, terasa agak longgar di bagian dada dan
pinggang, menunjukkan dimana perbedaan antara bentuk
badanku dan badan Mbak Ida. Sempat menatap cermin,
dan...yah...aku memang sama sekali tidak jelek!
Pikirku sambil menatap garis tubuhku yang menurutku
paling indah di seluruh dunia.

Tiba di pinggiran kolam renang Mbak Ida, rasa-rasanya
aku malas untuk masuk ke air. Entah kenapa, tapi
rasa-rasanya gambar kartun di dasar dan dinding kolam
itu mengganggu pikiranku. Sementara Nova hanya
mengomentari bahwa gambar kartun itu lucu. Yah, memang
dia jarang memperhatikan sampai ke detail, hingga dia
lantas nyemplung begitu saja bersama dengan Mbak Ida
yang sudah lebih dulu masuk ke air. Dari tepi kolam
aku mengamati bahwa di dinding-dinding kolam renang
terdapat lampu-lampu besar, hingga dalam air dapat
terlihat dengan jelas. Aku melihat tubuh lencir Nova
berenang-renang dengan latar belakang gambar-gambar
wanita kartun yang ketakutan karena dililit oleh
'ular-ular' besar. Hm...pemandangan yang menarik
sebenarnya, namun aku memilih untuk duduk saja di tepi
kolam, membiarkan angin malam menyejukkan kulit
tubuhku yang hanya tertutup pakaian renang. Karena
merasa kelewat dingin, akhirnya aku membungkus badanku
dengan kimono Mbak Ida yang ditinggalkannya di tepi
kolam, dan berjalan mengelilingi halaman belakangnya
yang lumayan besar dan bersih, mencari si pembantu
tadi sekedar untuk teman ngobrol, tapi pemuda itu juga
tidak ada. Dalam hati aku merasa sedikit bersalah
karena mengerti siapa Mbak Ida sebenarnya. Wanita itu
tak lain adalah petualang juga, sama seperti aku
sendiri. Namun yang berbeda adalah bahwa buruannya
seringkali berasal dari teman sejenis, dan bukan lawan
jenis. Itu sebabnya pikiranku sekarang terasa seperti
membawa Nova ke mulut singa. Tapi, ah, whattahell! Aku
kan bukan babysitter untuk Nova. Meski keberadaannya
seringkali membuatku merasa memiliki seorang adik,
tapi jalan hidupnya kan bukan urusanku, itu pilihannya
sendiri.

Dari tempatku berdiri di sudut halaman belakang,
kolam renang Mbak Ida tidak terlihat karena tertutup
pagar tanaman setinggi satu meteran. Tapi setelah
lama, aku baru menyadari kalau aku tidak mendengar
suara deburan air seperti yang kudengar tadi. Aku
mulai merasa tidak enak, dan segera melangkahkan kaki
ke arah kolam renang. Seperti dugaanku, Nova dan Mbak
Ida sudah tidak berada di kolam renang, juga di
sekitarnya, mereka mungkin sudah masuk ke dalam rumah.
Aku berusaha melihat melalui dinding kaca, tidak ada
siapa-siapa di ruang tamu atau ruang tengah. Dimana
kedua orang itu, pikirku.

Kucoba membuka pintu kaca geser untuk masuk ke ruang
tengah, ternyata terkunci. Berarti aku terpaksa harus
memutar melalui pintu depan. Agak risih juga hanya
mengenakan pakaian renang terbalut kimono tipis dan
berjalan di antara pohon-pohon pisang di kegelapan.
Akhirnya aku sampai ke garasi tempat 318i Mbak Ida
teronggok congkak. Lalu membelok ke kiri, dan aku tiba
di beranda yang menakutkan tadi. Tampak si Lubas
Herera kini memandangi aku sambil mengibas-ngibaskan
ekor. Anjing tolol ini tentu tidak bisa ditanyai
keberadaan tuannya, pikirku. Lalu aku membuka pintu
depan yang untungnya tidak terkunci, dan kembali
berada di ruang tamu. Seperti yang kuduga, ruang tamu
itu kosong. Aku berjalan mondar-mandir disitu sambil
memikirkan kira-kira kemana kedua temanku tadi.

Akhirnya aku mencoba alternatif terburuk, yaitu kamar
tidur Mbak Ida. Konyolnya, aku tidak menjumpai pintu
lain selain ke kamar mandi dan ke kolam renang tadi.
Rumah ini memang terasa begitu besar karena tidak ada
sekat-sekat ruangannya. Berarti dimana letak kamar
tidurnya? Setelah berpikir beberapa menit, naluri
petualangku mengatakan bahwa kamar tidur seorang
'pemburu' umumnya tergabung dengan kamar mandi atau
setidaknya memiliki akses langsung ke kamar mandi. Aku
jadi teringat akan pintu di kamar mandi tadi.
Segeralah aku melangkah ke kamar mandi, oops! kimono
panjang ini mengganggu langkahku, jadi aku melepaskan
dan menaruhnya di meja makan.

Setibanya aku di kamar mandi, terlihat pintu yang
kumaksud terbuka sedikit. Lampu kamar mandi yang
terang membuat aku tidak dapat melihat apa-apa dari
celah pintu itu, tampak temaram di sana. Pelan-pelan
aku melangkahkan kaki ke sana. Setelah makin dekat,
terasa dinginnya hembusan hawa AC dari celah pintu
yang terbuka sedikit itu, terdengar pula alunan lembut
musik soundtrack Titanic dari Kenny G. Hm...Apakah
mereka berdua ada di situ? Kalaupun iya, apa yang
mereka lakukan? Bukankah Nova seorang straight? Apakah
Mbak Ida mencoba menjahili Nova? Atau apakah Nova
ingin mencoba petualangan baru? Berbagai pikiran jorok
berkembang dalam benakku, membuat aku tidak segera
memasuki ruangan di balik pintu itu. Hm...Apakah aku
harus langsung masuk? Atau mungkin menunggu di ruang
tamu sambil pura-pura tertidur? Atau harus mengintip
dulu? Uhh...bingung juga. Anyway, aku harus melakukan
sesuatu, bukan?

Setelah memantapkan diri aku memegang handel pintu
dan dan mendorongnya hingga terbuka. Nah, tampaklah
kamar tidur Mbak Ida yang ternyata tidak terlalu
besar, namun dindingnya berlapis kayu jati berwarna
gelap. Lampu yang kuning temaram membuat suasana
terasa gelap. Dinding kayu itu polos tidak tertempeli
hiasan apa-apa, karpet tebal di lantai juga polos
berwarna coklat tua, tepat di tengah-tengah ruangan
teronggok tempat tidur kayu besar. Nah, di atas
ranjang besar itulah Nova tertelungkup dengan
bikininya, sementara si pembantu pria yang tadi
kucari-cari kini sedang duduk di atas pantat Nova dan
memijiti punggung wanita itu. Keduanya tampak agak
terkejut melihat kehadiranku.
"Wah, Sari! Kamu juga mau ikutan ya?" Terdengar suara
Mbak Ida mengejutkanku.

Wanita itu duduk di sebuah sofa di pinggir kamar.
Rambutnya masih tampak basah dari kolam renang tadi,
bikini merahnya yang tipis dan agak basah tidak
berfungsi menyembunyikan apa-apa lagi.

"Pjitan si Beni enak nggak, Nov?" Cerocos Mbak Ida
lagi.
"Mmm...mmm...lumayan lah, mbak!" Jawab Nova yang masih
tertelungkup di ranjang, dipijit oleh si Beni yang
bertelanjang dada.
"Oh, well..." Aku seperti kehabisan kata-kata karena
dihadapkan pada suasana yang agak tidak wajar.

Aku lantas duduk di sofa di samping Mbak Ida,
mengamati wajah Nova yang kini tampak terpejam-pejam
karena otot kakinya sedang dipijat oleh si Beni. Dari
cara memijatnya, sepertinya Beni memang orang yang
ahli dalam hal tersebut, bukan hanya seorang yang asal
pencet. Setelah sesaat mencoba beradaptasi, aku
menengok ke Mbak Ida.

"Mbak Ida nggak dipijit juga?" Tanyaku.
"Aku sih udah selesai." Jawabnya singkat, "Kamu mau
nyoba? Enak lho, Sar."
"Iya coba aja Mbak Sari!" Sahut Nova yang rupanya
sudah selesai dipijit, ia kini menghampiri sofa tempat
kami duduk.
"Enak kok, jadi terasa lebih lentur seperti jelly!"
Candanya menambahkan.
"Eh, Ben! Jangan kembali dulu, nih Ibu Sari juga
pengen dipijit!" Seru Mbak Ida pada pemuda Maluku itu.

Aku beranjak menuju tempat tidur besar itu. Beni
tampak tersenyum manis dan mengangguk hormat padaku.
Hmm...Not bad, pikirku. Meski amat pendek dan hanya
setinggi dadaku, pemuda ini otot-ototnya lumayan
'jadi' juga. Beni yang kulit tubuhnya hitam legam itu
hanya mengenakan celana jeans pendek yang menunjukkan
adanya tonjolan khas pria, baguslah, pikirku. Ia
normal, pria mana yang tidak bereaksi seperti itu
kalau diijinkan menyentuh badan si Nova yang memang
atletis dan kesat. Nah, kita tunggu bagaimana reaksi
dia setelah memijiti badan si pemburu ini, hmm, pemuda
yang beruntung, pikirku nakal.

"Apa perlu saya buka pakaian?" Tanyaku pada Beni
dengan nada serius namun bertujuan menggoda.
Pemuda itu diam dan tampak bingung lalu melirik ke
arah majikannya.
"Hahahahahaha!" Mbak Ida tertawa gelak, "Nggak apa-apa
Ben! Ibu Sari itu badannya oke punya lhoo!"

Beni tampak ragu-ragu dan menelan liur, reaksi yang
aku sukai untuk digoda! Aku malah tanpa ragu-ragu
menurunkan lengan pakaian renang ini ke kiri kanan dan
menariknya ke bawah, hingga kini pemuda beruntung itu
dapat melihat segalanya di bawah sinar lampu yang
kuning temaram. Mulut Beni menganga menyaksikan
semuanya. Di hadapannya berdiri si pemburu, tanpa
selembar benangpun, dengan postur yang satu setengah
kali lebih tinggi darinya, berwarna kuning bersih dan
halus semampai. Aku menarik nafas dalam agar kedua
dadaku membusung ke depan, lalu menghembuskan nafas
lagi hingga kedua bukit yang tidak besar itu kembali
ke posisi semula, dan bola mata Beni mengikuti gerakan
kedua benda indah itu. Aku tersenyum sambil
menyipitkan mata menggodanya, dan memanjat naik ke
ranjang dan membaringkan badanku tertelungkup di kasur
pegas empuk itu.

"Hey, ayo, jangan bengong, Ben!" Seru Mbak Ida sambil
tertawa-tawa, "Tunjukkan pijitan terbaikmu!"
"Lho, emangnya yang diberikan ke aku tadi bukan
pijitan dia yang terbaik?" Tanya Nova yang kini duduk
di samping Mbak Ida.
"Lah, kalau buat Sari ya lain dong Nov!" Cerocos Mbak
Ida lagi, "Untuk Sari kan harus
yang...hm...menyentuh!"

Nova dan Mbak Ida lalu tertawa tawa sementara kini
kurasakan tangan-tangan Ben mengoleskan baby oil ke
betisku dan mulai memijit. "Waaaa!" Aku menjerit keras
ketika kurasakan pijitan jari-jari Ben begitu keras
dan menyakitkan. Kontan saja Beni menghentikan
pijitannya dan memasang ekspresi penuh rasa bersalah.
"Pelan-pelan aja, Mas Beni!" Kataku mencoba
menghiburnya, "Mulai dari punggung aja nggak apa-apa
kok."

Lantas Beni mulai mengolesi punggungku dengan baby
oil, dan mulai memijit pelan-pelan. Hmm...harus kuakui
rasanya memang mantap dan membuat rileks. Biasanya,
pria yang tahu memijit wanita adalah pria yang hebat
di ranjang, tapi aku segera membuang pikiran konyol
itu dan memejamkan mata menikmati pijitan-pijitannya
yang melemaskan otot. Hm, menyenangkan sekali dipijit
oleh pemijit ahli, di ruangan ber AC yang temaram,
diiringi musik instrumental Kenny G.

Saat asyik-asyiknya memejamkan mata menikmati
suasana, aku sayup-sayup mendengar erangan wanita di
tengah alunan lembut saxophone itu. Apakah memang di
kaset Kenny G terdapat sound effect seperti itu? Ah,
aku rasa tidak. Aku membuka mata sedikit, dan menatap
lurus ke arah sofa di pinggir kamar. Dan aku segera
mendapat jawaban darimana rintihan itu berasal.
Di atas sofa itu, Mbak Ida juga tampak sedang memijit
badan Nova dari belakang. Tepatnya, Mbak Ida sedang
mengusap-usap pinggang Nova yang terbuka, sambil
menciumi leher kawanku itu. Novanya tidak menunjukkan
perlawanan sedikitpun, malah tangan kirinya memeluk
kepala Mbak Ida yang kini mencium dan menjilati leher
kirinya. Pelan-pelan jemari lentik Mbak Ida merambati
pinggang Nova ke atas, lalu menyusup ke balik bikini
basah yang dikenakan Nova. Membuat payudara Nova
seperti tersentak-sentak karena nafasnya menjadi sulit
diatur. Wajah Nova yang terpejam itu kini tampak
begitu terangsang oleh gerakan-gerakan Mbak Ida.
Dengan gerakan cepat, Mbak Ida melepaskan bikini
bagian atas itu, hingga kini kedua payudara Nova yang
memang menurutku amat indah, padat, putih bersih
dengan puting kecoklatan itu terpampang jelas.
"Hey, kamu kok membuka mata, Sar?" Kata Mbak Ida yang
kini menatap tajam ke arahku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kulihat wajah Nova,
wajah itu kini tampak sayu dan matanya menatap ke
arahku dengan tatapan dingin dan datar, seolah tidak
ingin aku mengganggunya. Ya ampun, pikirku. Apa yang
aku kuatirkan telah terjadi. Pijitan-pijitan Ben kini
tidak lagi terasa. Aku mengangkat kepalaku dari
ranjang dan bermaksud meminta Mbak Ida berhenti
mempermainkan badan Nova. Namun Nova malah mengelus
paha Mbak Ida yang kini menghimpit pinggangnya di
kiri-kanan.
"Tenang aja lah Sar, Nggak apa-apa kan,
sekali-sekali!" Seru Mbak Ida, "Ben, kamu ikuti apa
yang aku kerjakan ya?"

Mengakhiri kalimatnya itu, Mbak Ida lalu meremas-remas
payudara Nova dengan mantap namun lembut sambil
menjilati rahang dan lehernya. Nova tampak memiringkan
kepalanya, terpejam-pejam sambil mendesah-desah
menggumamkan nama Mbak Ida. Tiba-tiba aku merasakan
apa yang kini dirasakan oleh Nova. Tangan-tangan Beni
menyusup di antara payudaraku dan kasur ini, lalu
meremas-remas dan memilin-milin puting susuku. Aku
terhenyak dan memejamkan mata karena serbuan yang
tiba-tiba itu, segera aku mengosongkan pikiran dan
membuang semua logika, membiarkan diri larut dalam
petualangan baru.

Pelan-pelan aku merasa tubuhku diangkat dan
didudukkan di ranjang, sementara Beni duduk di
belakangku dan mengusap serta meremas-remas kedua
payudaraku lembut. Sejenak kemudian puting-puting
susuku terasa menegang terangsang, sementara payudara
ini terasa kaku dan memadat. Aku membuka mata dan
melihat bagaimana Mbak Ida menghimpit pinggang Nova
dari belakang dengan kedua kakinya, ibujari kaki kanan
Mbak Ida kini menyusup ke balik celana bikini Nova dan
bergerak-gerak disitu, sementara tangannya terus
menjentik-jentik puting susu Nova. Mbak Ida sendiri
tampak amat terangsang, dagunya terkait di pundak kiri
Nova sambil wajahnya terpejam-pejam, mungkin karena
gesekan dadanya dengan punggung Nova. Sementara Nova
tak kalah terangsang, kedua alisnya menyatu di tengah
kening dan giginya terkatup meski bibirnya setengah
terbuka, dan mendesah-desah norak,
"Aduuhhhh...aduuuhhhh....enaknya Mbak
Idaaahhhh...aduuhhhhssshh. Birahi dalam tubuhku
tergugah ketika melihat Nova diperlakukan seperti itu,
terbayang rasanya jika badanku diperlakukan demikian.

Tampaknya Beni menyadari hal itu, namun tidak
menirukan gerakan Mbak Ida. Ia menyusupkan kepalanya
di bawah ketiak kiriku dan mengulum-ngulum puting
susuku dari situ, Uhhh...rasanya geli dan merangsang
bukan main. Sementara jari-jari tangan kanannya
menguakkan bibir kewanitaanku hingga terbuka dan jari
tangan kirinya memijit-mijit di dalam situ,
Aduuuhhhh...nafasku sampai tersengal-sengal dan
rasanya sulit menjaga kedua mataku agar tidak
menyipit-nyipit. Aku hanya menggeretakkan gigiku
rapat-rapat menahan rangsangan ini. Ingin memejamkan
mata, namun aku tidak ingin melewatkan pemandangan di
hadapanku, dimana Nova sedang dikerjai habis-habisan
oleh tangan-tangan Mbak Ida yang begitu berpengalaman.
Ohh, sungguh pemandangan yang membuat kewanitaanku
berdesir melembab.

Titik-titik keringat mulai tampak di tubuh Nova meski
AC sangat dingin. Tubuh lencir atletis itu kini tampak
lunglai seperti selembar handuk, dan pasrah saja
ketika Mbak Ida menelentangkannya di karpet dan
menjilat-jilat paha bagian dalamnya. Saat diperlakukan
seperti itu, Nova menggeliat-geliat seperti kesetanan
sambil mengaduh-aduh keras dan kedua tangannya
berpegangan pada kepala Mbak Ida di selangkangannya.
Melihat kondisi itu, otot-otot kewanitaanku tiba-tiba
mengejang menangkap jari tengah Beni yang sedang
berada di dalamnya. Merasakan jarinya dijepit begitu,
Beni malah menggerakkannya keluar masuk kewanitaanku
dengan cepat sambil mengait-ngait di dalam, tentu saja
tubuhku jadi terjingkat-jingkat kegelian dan
punggungku melengkung seperti busur panah. Kudekap
kepala Beni yang menempel pada puting susu kiriku agar
ia tak menghentikan hisapan dan jilatannya pada puting
yang telah mengeras ini. Rintih dan eranganku ikut
terdengar memenuhi ruangan, menutupi lembutnya alunan
saxophone Kenny G.

Aku benar-benar telah terangsang hebat. Aku tidak
lagi mempedulikan Nova dan Mbak Ida yang kini tengah
berpelukan erat sambil paha-paha mereka saling
menggesek kewanitaan mereka. Aku bangkit dari duduk
dan menunggingkan badanku, mempersilakan Beni
menikamkan kejantanannya. Sejenak Beni melepaskan
tubuhku, terdengar suara kain berjatuhan saat Beni
membuka Jeans-nya, lalu tubuhku segera terasa penuh
terjejali benda hangat yang keras dan tegang, yang
membuatku langsung terpejam dan menengadahkan kepala
menahan rasa nikmat tak terkira ini. Aku setengah
membuka mata sambil meringis-ringis keenakan. Kedua
alisku kini menyatu di keningku, mengikuti ekspresi
penuh birahi dari Nova dan Mbak Ida di karpet. Terasa
pinggul Beni menabrak-nabrak pantatku ketika ia
menggerakkan tubuhnya maju mundur. Gesekan
kejantanannya terasa membuat dinding-dinding
kewanitaanku menjadi panas dan berdenyut. Otot-otot di
dalam sana berusaha mencengkeram kejantanan yang
bertekstur kasar itu...Aduuuhhhh...rasanya nikmat
sekali disetubuhi dari belakang sambil menatap tubuh
kawan sekantorku dinikmati habis-habisan oleh seorang
wanita petualang berpengalaman.

Bermenit-menit lamanya posisi tidak berubah, namun
kenikmatan serta sensasi yang kurasakan terasa kian
memenuhi batinku. Badanku terasa begitu nikmat
digempur oleh kejantanan Ben, apalagi kedua telapak
tangannya kini berada pada payudara-payudaraku dan
memencet-mencet puting susuku. Uhhh...enak sekali
rasanya...Dari atas ranjang besar ini, aku melihat
tubuh-tubuh indah Mbak Ida dan nova kini saling
berdekapan makin erat dan kaki-kaki mereka semakin
cepat bergerak pada selangkangan mereka...lalu kedua
tubuh semampai itu tiba-tiba mengejang dan wajah-wajah
mereka menunjukkan eksresi kosong yang setengah
memejamkan mata dan mulut menganga. Lalu keduanya
lunglai di atas karpet sambil terengah-engah dan tetap
berpelukan. Aku membayangkan nikmat dan hangatnya
puncak yang telah mereka capai dan
menggoyang-goyangkan pinggulku untuk berjuang mencapai
puncakku sendiri. Beni tampaknya juga dapat bekerja
sama, ia mengikuti gerakan-gerakanku. Namun tidak
semuanya sesuai harapan, tiba-tiba Beni mencabut
kejantanannya dan melepaskan kedua payudaraku. Aku
masih tetap menungging pada kedua lututku di ranjang
ketika cairan panas terasa menyemprot ke punggungku.
Ahhh, sial benar nasibku. Beni telah mencapai
puncaknya, dan kini duduk di tepi ranjang sambil
terengah-engah pucat.

"M-Maafkan saya, Bu..." Kata Beni terbata-bata.
"Hmmhhh...." Aku menarik nafas panjang sambil menatap
kedua matanya penuh rasa marah.
"Nggak apa-apa kok Ben, kamu hebat sekali." Jawabku
setelah menguasai emosi, "Dah, tidur di kamarmu sana!"

Beni lalu berjalan tertatih-tatih keluar kamar. Aku
menatapnya dengan rasa benci, dasar pria tidak
bertanggung jawab! Mending kalau dia suamiku, tapi dia
hanya pembantu kawanku, sebal sekali rasanya.
Kutelentangkan diri di ranjang besar itu menatap ke
langit-langit yang berhiaskan cermin di sana-sini.
Menatap bayangan tubuhku sendiri yang gelisah di atas
sprei putih yang kusut, menatap bayangan tubuh Nova
dan Mbak Ida yang masih saling berpelukan di karpet
sambil terpejam dengan ekspresi puas. Sungguh tidak
adil, pikirku. Karena birahiku sulit kutahan, akhirnya
aku melakukan apa yang selama ini pantang kulakukan,
yaitu memuaskan diri sendiri.

Kupejamkan kedua mataku, aku berkonsentrasi penuh
membayangkan postur tubuh laki-laki idamanku, The Big
D! Kubasahi ujung jariku dengan lidah, lalu
kupilin-pilin kedua putingku, membayangkan ia sedang
mengulum-ngulumnya...hmmm...tidak terasa seperti
dikulum beneran, tapi siapa peduli itu di tengah
kondisi seperti sekarang. Kutekan-tekan sendiri
klitoris dan liang kewanitaanku yang terasa becek dan
hangat. Uhhh...cukup lama juga aku menggeliat-geliat
sendiri di atas ranjang besar itu sambil kedua
tanganku menjamah tubuhku sendiri. Sampai tiba-tiba
aku merasakan kasur bergerak-gerak karena ada orang
lain yang naik ke ranjang. Ah, pasti Mbak Ida ingin
memanfaatkan situasi, pikirku. Tadinya aku ingin
menolak, tapi kuurungkan niatku karena ingin mencapai
puncak yang sejak tadi tidak kesampaian. Kubiarkan
saja ia menjamah tubuhku sambil aku tetap dengan setia
membayangkan bahwa The Big D lah yang melakukannya
padaku.

Terasa jilatan-jilatan dari lidah dan bibir yang
halus dan hangat menyapu kedua putingku bergantian,
pelukan hangat terasa seperti menyelimuti tubuh
rampingku, dan sebuah paha halus menyelip di antara
kedua tungkaiku, menggosok-gosok di situ. Sebuah jari
lentik menyusul masuk ke dalam liang
kewanitaanku...disusul satu jari lagi hingga kini dua
jari berdesakan di dalam liang kewanitaanku.
Uhhh...semuanya membuatku seperti melayang-layang di
udara. Ahh, aku tidak tahu apa lagi yang terjadi, yang
jelas seluruh tubuhku seperti diselimuti kehangatan
yang amat nyaman. Sentuhan jemari-jemari lentik dan
bibir lembut bergantian menyapu ke sekujur badan ini,
memercikkan bunga-bunga api birahi yang makin lama
makin terasa hangat dan nikmat. Kedua jari dalam liang
kewanitaanku pun menari-nari dengan gemulai seolah
sudah mengenal betul tempat-tempat yang harus
dihinggapinya. Ahhh...nikmattt sekali, meski aku
memejamkan mata, aku seperti dapat melihat tubuhku
sendiri sedang menggelinjang-gelinjang dan
mengerang-ngerang dijilati oleh lidah-lidah api birahi
ini.

Tidak seperti biasanya, puncak kenikmatan kali ini
terasa datang perlahan-lahan dan lembut. Kehangatan
tiba-tiba menyelimuti tubuhku ketika aku merasakan
tubuhku dipeluk dengan hangat dan erat serta leherku
dihujani ciuman, menambah kenikmatan di puncak yang
kini baru saja kurasakan. Hm...terbayang wajah dan
tubuh The Big D memelukku dengan penuh kasih sayang.
Sulit juga membayangkan otot-otot padatnya, karena
yang kurasakan menempel di dadaku sekarang adalah
payudara wanita lain, dan bukannya dada The Big D yang
bidang dan ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Tapi
rasa nikmat terus mengguyur sekujur tubuhku, hingga
sempat aku tak ingat apa-apa untuk beberapa detik.

Pelan-pelan gelombang kenikmatan itu meninggalkan
diriku, membiarkan kesadaranku kembali mengambil alih.
Masih terasa dekapan hangat pada tubuhku. Terpikir
juga olehku untuk mengucapkan terimakasih nanti pada
Mbak Ida, sekaligus mengucapkan selamat karena ia
berhasil menjamah tubuhku kali ini. Hmm...hampir aku
membuka mata, namun kuurungkan niatku karena masih
ingin menikmati kehangatan pelukan yang somehow terasa
penuh kasih sayang ini. Aku mempererat pelukanku pada
tubuh semampai yang menindihku itu, sampai aku
menyadari bahwa bahu tempat daguku bersandar terasa
lebar dan berotot kencang seperti bahuku sendiri. Ah?
Aku hampir tidak percaya. Pelan-pelan aku membuka
mata, dan menatap tajam ke arah cermin di
langit-langit yang kini menunjukkan dengan jelas siapa
yang bercinta denganku barusan.
"Nova?!!" Aku menjerit agak membentak sambil
melepaskan pelukan hangat itu.
Kulihat Nova agak terkejut. Tubuh telanjangnya kini
teronggok di sampingku dengan tangannya masih memegang
bahuku. Wajahnya tampak sayu meski dipenuhi ketakutan.
Sorot matanya tampak menyesal dan menatap sendu ke
arah mataku.
"Whattahell have you done?" Tanyaku setengah membentak
tanpa mengharapkan jawaban. Dan memang Nova tidak
menjawab. Ia hanya menatapku dengan wajah manisnya
yang kini tampak sedih. Bibirnya bergerak-gerak pelan
meski terkatup rapat, dan matanya yang biasanya tajam
itu kini digenangi setetes air yang kemudian bergulir
jatuh melewati pipinya.

Aku tidak mempedulikannya dan segera bangkit berdiri
dari ranjang. Dengan tanpa berusaha menutupi
ketelanjanganku, aku melangkah cepat ke arah pintu,
dan bergegas kembali ke kamar mandi dan mengguyur
kepalaku dengan air dingin. Tanpa menunggu badanku
kering, aku melanjutkan langkah kembali ke ruang tamu,
mendapati pakaian kerjaku tergeletak kusut di meja
makan, dan segera mengenakannya kembali pada tubuhku
yang masih basah. Aku terduduk di kursi sambil kedua
sikuku bertelekan di meja dan telapak tanganku
mencengkeram kepalaku sendiri, menyesali yang terjadi
barusan. Bukan diriku sendiri yang kusesali, melainkan
Nova. Anak muda yang manis itu, yang dulunya lugu
namun cerdas, yang secara tak sengaja terseret dalam
pola hidupku, yang kini terseret makin jauh. Ah,
gila...kenapa aku merasa demikian bersalah? Mungkin
karena selama ini aku memproyeksikan Nova untuk bisa
menggantikan posisiku di perusahaan, mungkin karena
aku juga bercita-cita untuk merubah hidupnya yang dulu
kurang bahagia, mungkin juga karena aku sudah begitu
mencintai dan menganggapnya seperti adikku sendiri,
dan jelas-jelas telah membawanya pada kehidupan
yang...seperti ini. Apakah aku sudah menyeretnya
terlalu jauh di luar kemauan kami sendiri?
"Sari." Suara berat Mbak Ida tiba-tiba mengejutkanku.
Aku melepaskan cengkeramanku pada kepalaku sendiri,
mengusap mataku yang tadi agak berkaca-kaca, dan
menatap tajam ke arah wanita itu dengan sorot mata
sangat menyalahkan.
"Kamu mau nyalahin aku lagi?" Tanyanya dengan nada
datar sambil terus menatap mataku dari seberang meja
makan.

Ia masih mengenakan kimono hitam tipisnya yang tadi
sempat kukenakan. Tali kimono dibiarkannya tidak
terikat hingga separuh tubuhnya terlihat jelas. Rambut
merahnya pun masih belum benar-benar kering, hingga
penampilannya secara keseluruhan terlihat agak
menakutkan.
"Ini memang yang kamu mau 'kan, Mbak?" Tanyaku kembali
dengan nada tajam.
Mbak Ida menggelengkan kepala sambil memejamkan mata,
"Nggak." Jawabnya singkat.
"Kamu terlalu memaksakan dia untuk menjadi seperti
kamu." Lanjut Mbak Ida sambil berdiri dari kursinya
dan melangkah ke arah rak buku di sudut ruang tamu.
Aku diam saja, sambil terus mengikuti kemana jalannya
tubuh semampai itu.
"Apakah itu salah?" Tanyaku padanya, seperti tidak
mengharap jawaban.
"Nggak." Jawab Mbak Ida tetap membelakangiku, "Sama
sekali nggak salah."
Aku tetap terdiam sambil menatapnya mengambil sebuah
buku dan membalik-balik beberapa halaman, menyelipkan
sebuah pembatas halaman pada halaman yang
dikehendakinya, lalu kembali menghampiri meja sambil
menatap wajahku. Diletakkannya telapak tangan kirinya
di bahuku sambil memijit-mijit kecil, aku
membiarkannya berbuat begitu sambil menunggu
kata-katanya lagi.
"Orang seperti kamu, yang kepala batu dan berambisi
tinggi..." Katanya seperti setengah berbisik, "...yang
merasa serba bisa, dan merasa paling kuat..." Ia
berhenti sejenak sambil mengangkat tangannya dari
bahuku, "...pengen mencoba merubah kehidupan seorang
yang lugu seperti Nova? Agar dia bisa jadi seperti
kamu? Agar dia bisa 'hidup bahagia dan bebas' seperti
kamu? Agar dia bisa memilih kemana akan hinggap dan
tidak harus menunggu dihinggapi?"  Cerocosnya dengan
nada menyalahkan, ia menyebutkan kembali semua kalimat
yang pernah kukatakan padanya tentang filosofi
hidupku, tentang ambisi pengejaran cita-cita dan pola
pikir struggle for excellence yang selama ini aku
anut. Entah kenapa, tapi kata-kata Mbak Ida seperti
membuatku jadi merasa makin tidak enak dan merasa
bersalah.

"Cobalah sekali-sekali ngaca, Sar!" Serunya lagi
sambil meletakkan buku yang baru diambilnya di
hadapanku, "Coba pikir siapa sebenarnya kamu...apa
yang sebenarnya kamu kejar...apa kamu yakin kalau
orang lain juga bisa mengikuti pola pikir kamu?"
Dagunya bergerak ke atas sedikit, memberiku komando
agar melihat ke arah buku yang diletakkannya tadi.
 Tanganku bergerak meraih buku hard cover bersampul
cokelat gelap itu, "Becoming a Person of Influence"
Judulnya.

Pelan-pelan aku membuka halaman yang oleh Mbak Ida
telah diberi pembatas. Di situ tertulis sebuah salinan
dari sebuah batu nisan di Inggris, yang bunyi
terjemahannya kurang lebih begini,
"Semasa mudaku, aku bercita-cita mengubah sikap dunia.
Namun ternyata tidak mudah. Setelah aku beranjak
dewasa, aku bercita-cita mengubah sikap negaraku.
Namun ternyata tidak mudah juga. Setelah aku beranjak
tua, aku bercita-cita mengubah sikap keluarga dan
sahabat-sahabatku. Namun ternyata sudah terlambat.
Kini, di akhir hayatku aku terpikir, seandainya sejak
awal aku mengubah sikapku sendiri, mungkin keluarga
dan sahabat-sahabatku akan ikut berubah sikap, dan
mereka bisa membawa perubahan pada negaraku. Dan jika
negaraku berubah lebih baik, pengaruhnya akan mengubah
sikap dunia menjadi lebih baik."
Sejenak aku merenungi tulisan yang baru kubaca.
Tulisan itu seperti menyadarkan diriku tentang apa
yang seharusnya lebih kupikirkan tentang diriku,
tentang masa depanku, dan tentang kehidupan orang lain
di sekitarku.

Lama setelah itu, Nova muncul dari kamar mandi dengan
mengenakan kimono handuk berwarna merah muda. Tanpa
berkata apa-apa dan tanpa melihat ke arahku, ia
mengambil pakaian kerjanya di meja makan, lalu
membawanya kembali ke kamar mandi, untuk beberapa
detik kemudian ia keluar lagi dengan sudah mengenakan
pakaian kerja yang tadi dipakainya kemari.
"Aku rasa sudah waktunya kalian untuk pulang." Ujar
Mbak Ida dengan nada datar sambil tidak melihat ke
arah kami.

Tanpa banyak basa-basi, aku dan Nova melangkah keluar
ruangan. Di beranda, Lubas Herera memandangi kami dan
berjalan mengikuti kami sampai ke gerbang yang tidak
terkunci. Aku melangkah masuk ke Katana hijauku, dan
Nova menyusul setelah menutup gerbang dan mengunci
gemboknya, meninggalkan Lubas Herera yang kini berdiri
dengan dua kaki belakangnya hingga kepalanya seperti
melongok keluar dari lubang di gerbang kayu itu.
Tatapan bodohnya mengiringi kepergian kami.

Di dalam mobil, Nova meminta maaf padaku dan
mengatakan bahwa ia melakukannya padaku tadi karena
menyayangiku. Aku menarik tubuhnya dan membiarkannya
bersandar pada bahu kiriku sementara aku mengemudi.
Kubiarkan ia menangis sejadi-jadinya di bahuku.
Meratapi kesepiannya sekarang, meratapi kesendiriannya
di kota S, kota yang semula dijadikan tumpuan
harapannya untuk masa depan yang baik. Sambil
mengemudi, tanpa terasa pipiku sendiri juga dialiri
air dari mataku. Aku menenangkan Nova dan menyatakan
pengertianku padanya. Kami berjanji untuk tetap tidak
mengulangi kesalahan yang seperti tadi, sekaligus
menyatakan diri untuk saling menganggap adik-kakak,
agar hubungan kami lebih dari sekedar teman sekerja.
Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk lebih
memberikan pengertian pada Nova, bahwa perburuan yang
selama ini terjadi bukannya didasari oleh pemuasan
kebutuhan, melainkan untuk mencari yang terbaik. OK,
kadang-kadang memang ada dorongan yang tak terelakkan
untuk lebih mementingkan kebutuhan diri. Namun pikiran
logis dan akal sehat tetap harus menduduki prioritas
pertama. Aku mengantar Nova kembali ke pondokannya,
lalu memacu Katana Hijau sekencang-kencangnya kembali
ke "The Huntress's Lair" nama yang diberikan oleh The
Big D untuk tempat tinggalku di apartemen P di ujung
barat kota.

Nah, ceritanya sudah selesai. Sekedar info, teman saya
Nova itu kini sudah menikah dengan seorang banker
sukses, dan memiliki seorang anak laki-laki yang manis
seperti ibunya. Sebenarnya banyak petualangan yang
saya lewatkan bersamanya. Namun kini ia tidak lagi
mengembara, tidak juga menggantikan posisi lama saya
di kantor. Ia lebih memilih hidup bahagia bersama
keluarganya dan mengelola usahanya sendiri. Mbak Ida
kini juga sudah pensiun dari avonturirnya. Ia hijrah
ke Aussie untuk menetap bersama kekasihnya, seorang
wanita pengusaha yang juga sukses di bidang real
estate. Sementara saya sendiri? Well, goals saya
adalah mencapai posisi tertinggi di kantor dalam
beberapa bulan ke depan, menikah, lalu mengundurkan
diri dari jabatan bergengsi itu untuk mengelola bisnis
sendiri bersama pasangan saya. Semoga apa yang saya
pelajari dari kehidupan ini bisa berguna untuk masa
depan saya, dan masa depan generasi berikutnya. Semoga
juga saya mampu memperbaiki diri saya sendiri dulu,
seperti di kutipan buku yang ditunjukkan Mbak Ida pada
saya tadi. Bagaimana dengan Anda?

No comments:

Post a Comment

Musim Panas di Los Angeles - 3

  Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sa...